Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Belajar Menegaskan Batas

Thursday, June 12th, 2008

Dr Ing Fahmi Amhar

KASUS perbatasan mencuat lagi. Oleh Malaysia hak-hak
perbatasan kita dilanggar. Sedang oleh Australia
nelayan-nelayan kita ditangkapi dan dituduh melanggar
batas laut teritorial Australia.

Setelah kisruh Sipadan-Ligitan dan perairan blok
Ambalat, kini muncul helipad (tempat pendaratan
helikopter) milik militer Malaysia hanya 7 meter dari
perbatasan di wilayah pehuluan Tanjung Lokang Kec
Kedamin Kab Kapuas Hulu. Keberadaan helipad ini
melanggar perjanjian Sosek Malindo 1967 yang tidak
memperbolehkan ada kegiatan kedua negara di sepanjang
2 kilometer dari patok batas kedua wilayah.

Sementara, Australia, telah memulangkan 50 nelayan
Indonesia ke Kupang NTT.  Para nelayan itu merupakan
sebagian awak dari 24 kapal ikan Indonesia yang
ditangkap kapal-kapal patroli Australia.
Berdasarkan MoU 1974, nelayan tradisional Indonesia
memiliki akses penangkapan di zona khusus sebagaimana
tertera dalam peta yang disepakati kedua negara.
Kawasan itu antara lain adalah Kepulauan Karang Scott,
Seringapatam, Pulau Browse, Kepulauan Karang Ashmore,
Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.

Bagaimana seharusnya menentukan batas?

Yang termudah, antar-wilayah dibatasi (delimitasi)
oleh objek alam yang tajam – semisal jurang atau
palung.  Kenyataannya, banyak batas yang didefinisikan
secara kabur. Jangankan batas wilayah, batas persil
tanah kita pun banyak yang kabur – dalam sertifikat
misalnya sering hanya tertulis: Batas Timur: tanah Bp
Todung; Batas Selatan: tanah Bp. Slamet; Batas Barat:
tanah Haji Bajuri dan Batas Utara: tanah Ibu Utari.
Kalau dikejar, persisnya batas tanah kita dengan tanah
sebelah itu apa?  Selokan? Pohon pisang? Kalau tanah
seluas 100-200 meter persegi saja rumit, bayangkan
yang ribuan hektar!

Semua persoalan batas manapun harus dikembalikan pada
itikad baik kedua pihak yang berbatasan.
Mereka harus sepakat pada empat hal: (1) yang
dijadikan batas; (2) cara mengukurnya; (3) cara
mendokumentasikannya; (4) bagaimana mengenali kembali
batas itu di alam agar kesepakatan itu dapat
dihormati.

Pertama banyak hal bisa dijadikan batas. Yang termudah
adalah batas alam, umumnya garis pemisah air di
punggung pegunungan atau alur sungai terdalam.  Di
laut, batas laut teritorial ditentukan 12 mil laut
dari garis pantai, kecuali bila lebar selat antar
negara tidak mencapai 24 mil, maka ditentukan garis
tengahnya. Selain itu, batas juga bisa dibuat hanya
dengan kesepakatan, misalnya berupa as jalan negara
sebagai batas dua kabupaten.  Ada juga batas
disepakati dengan garis lurus pada lintang sekian atau
bujur sekian.  Yang terakhir ini ada di Pulau Sebatik
Kabupaten Nunukan (Indonesia – Malaysia) dan di Papua
(Indonesia – Papua Nugini).

Kedua, setelah kedua belah pihak sepakat pada poin 1,
masalah berikutnya adalah tentang cara mengukurnya.
Batas alam jelas membutuhkan survei dan pemetaan yang
teliti. Untuk mendapatkan garis pemisah air yang
akurat, perlu peta-peta kontur (3-dimensi) minimal
skala 1:25.000.  Pernah terjadi di suatu negara Arab,
titik-titik yang disepakati menjadi garis batas
digambar (delineasi) di atas peta yang lebih kecil
(skala 1:250.000).  Akibatnya saat dibawa ke lapangan,
apa yang semula diduga pas di garis pemisah air,
ternyata di lereng. Tentu keenakan wilayah yang dapat
puncak bukitnya dan tidak enak bagi yang cuma dapat
lerengnya.

Hal yang sama terjadi bila batas itu adalah sungai.
Bila secara gegabah ditarik garis tengah sungai, bisa
jadi pada saat air surut, air itu berada hanya di satu
sisi saja, sehingga penduduk sisi yang lain yang mau
ke air harus ke ‘luar negeri’.  Karena itulah maka
harus dilakukan survei hidrografi untuk mendapat
‘Talweg’ – yakni alur terendah di dasar sungai itu.

Menentukan batas pada jalan sekilas tampak lebih
mudah, tentu selama jalan itu tidak diperlebar ke satu
sisi saja.  Sedang menentukan batas secara eksak
dengan lintang dan bujur semata, bisa-bisa menzalimi
penduduk lokal jika memisahkan komunitas mereka secara
sewenang-wenang.

Di luar ini semua, pengukuran batas sangat tergantung
instrumentasi yang digunakan. Bisa jadi, batas yang
dianggap sudah pasti, jika diukur lagi dengan alat
yang lebih canggih, didapatkan koordinat yang berbeda.
Ini terjadi di Pulau Sebatik pada pilar batas yang
sebenarnya tak pernah bergeser sejak zaman Belanda,
namun hasil ukur modern dengan GPS berbeda beberapa
puluh meter dengan data pengamatan astronomi jaman
dulu yang ada dalam lampiran perjanjian
Inggris-Belanda.  Garis pantaipun tergantung bagaimana
definisinya. Di laut ada pasang-surut.

Ketiga, taruhlah sekarang kedua belah pihak telah
sepakat menggunakan objek batas dan alat ukur yang
sama. Bagaimana mereka akan mendokumentasikan batas
itu sebagai dokumen antar-negara yang didepo di PBB?
Mereka harus membuat dokumen yang berisi peta
topografi yang mencakup wilayah di kedua negara
sepanjang garis batas, daftar koordinat titik-titik
batas dan tanda tangan pengesahan kedua belah pihak.
Peta topografi tersebut harus seragam dalam tiga hal,
yaitu: (a) sistem koordinat, datum dan bidang
proyeksi; (b) klasifikasi objek yang sama; dan (c)
simbolisasi yang sama.  Tiga hal ini perlu banyak
kompromi untuk mewujudkannya. Sebagai contoh:
peta-peta rupabumi Indonesia yang dibuat Bakosurtanal
pada umumnya menggunakan koordinat geografis, datum
WGS-1984 dan proyeksi Universal Transverse Mercator,
sedang Malaysia menggunakan datum dan proyeksi yang
berbeda. Klasifikasi sawah di Malaysia juga berbeda
dengan Indonesia yang mengenal sawah irigasi dan tadah
hujan.  Sedang pola arsiran maupun warna jelas semua
beda. Walhasil, menggabungkan kedua peta topografi
agar menjadi satu peta perbatasan jelas butuh
perjuangan tersendiri. Ini ditambah dengan persyaratan
bahwa semua legenda peta harus bi-lingual dari
masing-masing negara ditambah bahasa Inggris sebagai
bahasa PBB.

Keempat, kalau masalah peta sudah beres, kini masalah
implementasi di lapangan. Peta dan dokumen perbatasan
hanya akan disimpan di tempat-tempat terhormat. Yang
harus ada di lapangan adalah tanda-tanda, yaitu pilar
atau pagar (baik dari kawat berduri ataupun dari
beton) seperti di Israel atau di zaman perang dingin
dulu. Pilar-pilar ini biasanya dibuat dalam jumlah
yang cukup, yang jaraknya satu dengan yang lain
memungkinkan saling melihat.  Sedang di laut, karena
tidak mungkin membuat pilar, yang bisa dilakukan
adalah mengandalkan alat navigasi GPS. Untuk kapal
dengan peta elektronik, alat bahkan dapat diset untuk
langsung memberi alarm bila sudah mendekati
perbatasan.

Kalau semua berjalan baik, tentu kasus helipad
Malaysia atau nelayan Indonesia yang ditangkap di
Australia tak akan terjadi. Masalahnya, belum semua
segmen perbatasan dengan kedua negara itu telah
ditegaskan dan diratifikasi. Sebagian patok batas kita
dengan Malaysia ada yang baru klaim sepihak – artinya
belum diakui oleh Malaysia. Di antara patok-patok
batas itu ada yang dengan mudah dapat dipindahkan oleh
para pelaku illegal logging untuk memudahkan mereka
melarikan diri bila aksi-aksinya terdeteksi aparat.
Demikian juga dengan peta-peta laut Australia – yang
boleh jadi masih berbeda dengan peta-peta laut
Indonesia – terutama dalam hal garis Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE). Yang jelas, pemerintah memang harus
lebih serius dalam menegaskan batas – terlebih yang
antar-negara.

(Penulis adalah Peneliti Utama, Bakosurtanal)-n
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=166973&actmenu=45