Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Teknologi Militer Tak Hanya Senjata

Saturday, November 2nd, 2013

teknologi-militer-era-khilafahProf. Dr.-Ing. Fahmi Amhar

Di dunia militer, dikenal istilah Operasi Militer Selain Perang (OMSP).  Misalnya ketika tentara digerakkan untuk membangun desa – seperti dulu di zaman Orba “ABRI Masuk Desa” (AMD).  Atau ketika tentara yang memiliki peralatan memadai dan personel terlatih digerakkan untuk menolong korban bencana.

Maka di dunia militer pun dikenal istilah Teknologi Militer Selain Senjata (alutsista).  Karena itulah, di dunia akademisi pertahanan, tidak hanya ada pakar-pakar ilmu strategi dan ilmu senjata, tetapi juga ilmu-ilmu sipil.

Demikian juga dalam sejarah militer Islam. Rahasia kekuatan militer umat Islam generasi awal ada pada kemampuannya menyinergikan berbagai infrastruktur, yaitu

(1) Infrastruktur ruhiyah (akidah, ibadah) sehingga setiap Muslim baik yang menjadi anggota militer atau tidak, akan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah dan hidup untuk mencari ridha Allah semata.  Mereka memiliki kejelasan tujuan hidup dan pegangan hidup, yang lebih kuat dari segala ideologi.  Islam adalah “beyond ideology”.

(2) Infrastruktur syakhsiyah, sehingga setiap Muslim akan menempa dirinya menjadi pribadi yang taqwa, kuat, berahlaq mulia dan sekaligus memiliki profesionalisme terbaik, karena dengan itu dia dapat memberikan manfaat yang terbesar di tengah umat manusia.  Untuk itu mereka selalu siap belajar dari manapun, baik yang sifatnya kauni yang dapat diperoleh dari pengalaman / percobaan, juga inspirasi dari ayat-ayat suci.  Dalam hal jasadiyah, mereka mempelajari berbagai jenis beladiri yang dikenal saat itu.  Rasulullah juga sangat menganjurkan setiap Muslim untuk belajar berkuda, berenang, memanah.  Ini adalah tamsil untuk keterampilan hidup yang selayaknya dimiliki seorang Muslim. (more…)

Ketika Khilafah Mengadakan Alutsista

Tuesday, July 24th, 2012

Dr. Fahmi Amhar

Pupus sudah rencana TNI untuk membeli 100 tank berat Leopard dari Jerman.  Bukan karena tank seberat 50 ton itu mungkin akan merobohkan beberapa jembatan yang akan dilewatinya di Indonesia, juga bukan karena Indonesia sebagai negara maritim sebenarnya lebih butuh kapal perang, tetapi karena Parlemen Jerman menolak rencana penjualan tank ke Indonesia karena Indonesia dianggap belum baik dalam soal HAM.

Maka muncul pertanyaan: bagaimana umat Islam di masa keemasannya memiliki alat utama sistem senjata (alutsista) yang lebih canggih dari bangsa-bangsa lain?  Ataukah keunggulannya di masa lalu itu semata-mata dari semangat jihad yang menyala-nyala, kepemimpinan yang efisien, sehingga kaum Muslim dapat bersatu dan kuat?

Ilustrasi percobaan roket dari abad 14. Dari museum Suleymaniye, Istanbul

Ilustrasi percobaan roket dari abad 14. Dari museum Suleymaniye, Istanbul

Masih ada pihak di dalam kaum Muslim yang berpendapat bahwa teknologi militer kaum Muslim di masa lalu tidaklah sepenting semangat, kepemimpinan dan persatuan.  Mereka berargumentasi bahwa pada masa Rasulullah dan sahabat teknologi senjata yang dimiliki juga masih sangat sederhana, bahkan di bawah teknologi negara-negara adidaya seperti Romawi dan Persia, namun faktanya tentara Islam berhasil memenangkan peperangan.

Karena itu lantas ada sejumlah Muslim yang menolak teknologi militer, apalagi saat ini hampir seluruhnya diimpor dari negara-negara adidaya penjajah seperti Amerika, Inggris, Prancis atau Rusia.  Sejumlah orang Islam mencukupkan diri dengan latihan pencak silat dan upaya spiritual.  Yang dimaksud adalah upaya menghasilkan kesaktian, seperti kebal, dapat menghilang atau berpindah tempat secara mistik.

Namun kalau kita telaah sejarah, ternyata sejak awal kaum Muslim sangat terbuka dalam mempelajari teknologi militer.  Pada perang Ahzab, Rasulullah SAW menerima usulan untuk membuat parit dari Salman yang berasal dari Persia.  Sampai saat itu, bangsa Arab tidak pernah mengenal teknik perang parit.

Rasulullah juga sempat mengirim sejumlah sahabat untuk berburu ilmu ke Cina.  Mereka kemudian pulang di antaranya membawa pengetahuan membuat mesiu yang di Cina biasa dipakai untuk membuat kembang api saat perayaan Imlek, dan saat itu belum dikenal di luar Cina.

Kaum Muslim kemudian mengembangkan berbagai ilmu dasar yang terkait teknologi militer, yaitu fisika dan kimia.  Sekarang pun bila Hamas ingin merakit sebuah roket sederhana untuk mengganggu Israel, mereka harus menguasai fisika dan kimia dasar.  Fisika untuk mekanikanya, dan kimia untuk bahan bakar dan peledaknya.  Kalau roket itu ingin dapat dikendalikan, maka mereka harus menguasai elektronika, terutama terkait sinyal radio dan navigasi.

Pada tahun 1228, laporan independen dari Prancis menyebutkan bahwa tentara Muslim sudah menggunakan bahan peledak untuk mengalahkan tentara Salib yang dipimpin Ludwig IV.  Bahan peledak itu dikemas dalam pot-pot tembikar yang dilontarkan dengan ketapel raksasa.

Tahun 1260 pistol pertama telah digunakan oleh tentara Mesir dalam mengalahkan tentara Mongol di Ain Jalut.  Menurut Syamsuddin Muhammad (wafat 1327 M), pistol itu berisi bubuk mesiu yang komposisinya idealnya terdiri dari 74 persen salpeter, 11 persen sulfur, dan 15 persen karbon.  Mereka juga sudah menggunakan pakaian tahan api untuk melindungi diri dari bubuk mesiu itu.

Tahun 1270 insinyur kimia Hasan al-Rammah dari Suriah menulis dalam kitabnya al-Furusiyya wa al-Manasib al-Harbiyya (Buku tentang formasi perang [dengan pasukan berkuda] dan peralatan perang) hampir 70 resep kimia bahan peledak (seperti kalium nitrat) dan teknik pembuatan roket.  Dia menuliskan bahwa banyak dari resep itu telah dikenal generasi kakeknya, yang menunjukkan akhir abad 12 M.  Komposisi bahan peledak secanggih ini belum dikenal di Cina atau Eropa sampai abad-14 M.

Torpedo juga ditemukan oleh Hasan al-Rammah yang memberi ilustrasi torpedo yang meluncur di air dengan sistem roket yang diisi bahan peledak dengan tiga lubang pengapian.

Torpedo yang dibuat ulang berdasarkan kitab Al-Rammah.

Torpedo yang dibuat ulang berdasarkan kitab Al-Rammah.

Ibnu Khaldun menuliskan bahwa pada tahun 1274 penggunaan meriam telah dimulai oleh Abu Yaqub Yusuf dalam menaklukkan kota Sijilmasa.  Namun penggunaan “senjata super” yaitu meriam raksasa pertama kali adalah saat penaklukan Konstantinopel pada 1453 oleh tentara Muhammad al Fatih.  Dia memiliki meriam dengan diameter 762 mm yang dapat melontarkan peluru batu ataupun mesiu hingga seberat 680 kg.

Senjata Super Utsmani

Senjata Super Utsmani

Pada 1582 Fathullah Shirazy, seorang matematikawan dan ahli mekanik Persia-India yang bekerja untuk dinasti Mughal menemukan senapan mesin.  Mesin ini dapat mengoperasikan meriam berikut membersihkan hingga 16  lubang mesiunya secara otomatis.  Mesin ini dioperasikan dengan tenaga sapi.

Teknologi alutsista di masa khilafah Islam juga mencakup hal-hal yang paling “sederhana” seperti ilmu metalurgi untuk menghasilkan pedang dan tombak yang lebih kuat, metode komunikasi militer untuk menyampaikan pesan-pesan rahasia secara cepat, hingga astronomi navigasi untuk memandu kapal-kapal perang ke tujuan dengan akurat secara cepat.

Di berbagai era kekhilafahan, peran para perekayasa militer terus meningkat.  Korps perekayasa yang terdiri dari pandai besi (metalurgist), tukang kayu, ahli keramik, ahli kimia dan sebagainya dibentuk, dan mereka bekerja di bawah komando yang langsung bertanggung jawab kepada Amirul Jihad.

Pada 1683 M, tentara Khilafah Utsmani yang persenjataannya masih di atas seluruh persenjataan Eropa bersama-sama, salah strategi, sehingga misi mereka menaklukkan Wina Austria tanpa tetesan darah, gagal total.  Jihad kemudian dinyatakan “reses”.  Akibatnya korps perekayasa militer ini mengalami stagnasi. Pada akhir abad 18 saat tentara Napoleon memasuki Mesir, teknologi meriam Prancis sudah di atas meriam Mesir – yang praktis sudah berhenti berkembang selama satu abad!  Karena itu memang jihad tidak boleh berhenti.  Jihad itulah yang akan terus mengobarkan perkembangan teknologi alutsista kaum Muslimin.[]

Menaksir IT pada Militer AS

Friday, June 9th, 2006

Tulisan ini dipublikasikan di Republika, 1 April 2003

Dr. Fahmi Amhar
Dosen Pascasarjana Univ. Paramadina

Perang modern tidak lagi dilakukan secara berhadap-hadapan antara dua pasukan di medan terbuka. Begitu dimulai, perang ini akan lebih banyak dilakukan secara impersonal dengan teknologi, dipersiapkan jauh-jauh hari, dikendalikan dari jarak jauh, dan dilakukan malam hari. Pembantaian dibuat seperti play station, dan sang pembunuh tidak perlu mencium langsung bau anyir darah. Pada pembantaian di Iraq ini, perang sangat teroptimasi dengan teknologi informasi (IT) yang luar biasa.

IT pada pra-operasi militer

Jauh sebelumnya, intelijen AS akan memburu data dari semua penjuru. Satelit mata-mata AS membuat citra yang paling rinci yang pernah ada. Kalau satelit sipil seperti Ikonos atau Quickbird hanya mampu membuat citra dengan kehalusan pixel satu atau setengah meter, maka kita harus yakin bahwa satelit mata-mata akan mampu membaca tulisan koran.

Sementara itu shuttle radar topographic mission telah memetakan topografi seluruh dunia dengan pixel lima meter. Ini data yang di-release untuk sipil. Berapa akurasi militer yang dirahasiakan, tidak kita ketahui.

Dengan citra dan topografi ini, AS bisa membuat peta mutakhir daerah manapun tanpa perlu ijin atau sepengetahuan pemerintah manapun. Memang, dari peta ini beberapa ciri bangunan atau nama-nama geografis belum bisa diketahui. Untuk itulah AS akan mengirim spion untuk mengumpulkan informasi objek terutama yang dianggap vital dan tak “terbaca” dari angkasa. Juga tempat-tempat yang diduga berranjau. Mereka akan “berwisata” sambil merekam objek-objek “menarik” dengan piranti sistem posisi global (GPS). Piranti ini begitu mungil, bisa ditaruh dalam jam tangan, atau korek api. Begitu melihat objek menarik, wisatawan gadungan ini akan mengaktifkan GPS, sehingga objek itu terekam beserta posisinya. Kalau spion ini salah, petanya juga salah. Akibatnya fatal. Di Beograd jet AS pernah membom kedubes Cina, yang dikiranya markas Slobodan Milosevic. Di Iraq juga ada apartemen yang disangka mes militer. Malah Saddam sendiri tak diketahui ada di mana.

AS memiliki peta yang lebih rinci dari otoritas nasional manapun di dunia. Dengan data spasial tiga dimensi ini, pilot-pilot AS bisa melakukan simulasi terbang yang sangat realistis atas kota-kota di dunia. Mereka juga bisa optimalkan rute gerak pasukan, baik di darat maupun udara. Model elevasi digital (DEM) yang ada pada sistem ini juga yang menuntun rudal jelajah Tomahawk atau pesawat Stealth ke sasaran dengan efisien, tanpa takut menabrak gunung atau apapun.

Tapi itu semua belum cukup. AS juga ingin informasi tentang orang-orang yang perlu diawasi. Untuk itu intelijen AS menyadap informasi yang lalu lalang via jaringan telekomunikasi (dengan satelit AS), juga data perbankan dan data kartu kredit. Dengan analisis database, maka kebiasaan orang-orang yang disorot dinas rahasia AS bisa diikuti. Ostrovsky (1990) dalam By Way of Deception melukiskan, bahwa dengan analisis database kartu kredit saja, CIA atau Mossad bisa mempelajari penerbangan atau hotel apa yang sering dipakai seseorang, berapa pengeluarannya, apa yang suka dibelinya, siapa yang sering diteleponnya, siapa yang mengirim dana padanya, dan kapan dia ke mana. Tak heran bahwa dinas-dinas rahasia itu punya background & insider information yang sangat rinci tentang tokoh-tokoh di negeri Islam. Mungkin di antara mereka ada yang berbakat jadi pengkhianat.

CIA-World-Fact-Book yang sering jadi referensi, adalah versi sipil dari bank data yang sangat lengkap. Di situ tersimpan data logistik di tiap daerah, yang di masa perang akan penting. Misalnya, bahwa di suatu desa ada sekian penduduk, sekian yang bisa perang, sekian janda (mungkin disiapkan untuk “hiburan” tentara AS), sekian ton pangan, dan sebagainya. Informasi itu penting untuk manuver pasukan, evakuasi, ataupun menduga lokasi musuh dalam perang gerilya. Di Indonesia, data seperti ini dikelola Direktorat Topografi TNI-AD dengan memanfaatkan organnya sampai ke desa, yaitu Babinsa. Bedanya, AS mengumpulkan Laporan Geografi Militer dari seluruh dunia.

Dengan data yang begitu lengkap, AS bisa membangun sistem informasi geografis (GIS) yang luar biasa. Mereka bisa simulasi berbagai skenario perang, berapa korban yang akan jatuh dan kerugian yang ditimbulkan jika suatu senjata canggih seperti gelombang mikro ataupun nuklir digunakan. Mereka juga bisa berhitung tentang “keuntungan” perang dalam jangka panjang.

Andaikata diijinkan dipakai untuk sipil, sistem semacam ini sangat optimal untuk mempelajari pola bencana alam seperti banjir, gempa tsunami atau kebakaran hutan. Kapasitas komputasi sistem ini bisa membantu mengetahui dengan akurat, apa action yang tepat untuk misalnya mencegah banjir Jakarta: apa benar dengan reboisasi Puncak?; dengan kanal banjir senilai 15 Trilyun?; dengan pompanisasi?; dengan pembersihan tepi Ciliwung dari pemukiman liar?; atau apa? Sayang sistem tadi justru dipakai untuk optimasi pembantaian kaum muslimin.

Perangkat ini dilengkapi sistem pakar (expert-system) yang akan membantu pengambilan keputusan. Bisa jadi keputusan kapan perang dimulai, atau suatu rudal diluncurkan, tidak di kepala George Walker Bush, apalagi PBB, melainkan pada sistem pendukung keputusan (decission support system), yang tentu hanya mesin pintar berkapasitas besar, tanpa nurani.

IT pada saat perang

Ketika perang, pasukan di garis depan akan dilengkapi alat GPS-telemetri, inframerah dan telematika. GPS akan memandu ke sasaran. Komando di belakang bisa memantau posisi dan kondisi pasukannya dari laptopnya. Kalau ada prajurit yang terluka atau tertangkap, posisinya langsung bisa diketahui.

Sementara itu alat inframerah berguna untuk melihat di kegelapan. Alat ini bisa mendeteksi manusia, yang tubuhnya memancarkan panas pada spektrum tertentu, meski bersembunyi di balik semak-semak atau dinding dengan ketebalan tertentu.

Mereka juga dilengkapi piranti telematika, yang akan memasok data-data terakhir ke front, baik dari satelit, atau analisis komputer atas data intelijen mutakhir. Agar jaringannya tidak disusupi hacker musuh, maka dilakukan enkripsi cryptografi yang sangat rumit.

Sementara itu senjata yang dipakai pun memiliki kandungan IT yang makin tinggi. Kini ada robot-robot mungil (dragon-runner) yang memiliki kecerdasan buatan (artificial intelligence). Robot ini bisa mengambil keputusan mandiri dan terus mengupdate diri dengan “pengalamannya”. Ia dilengkapi kamera dan sejumlah sensor suara, panas atau bau. Dengan software pengenal pola, maka robot ini bisa mengenali musuh dan secara mandiri menyerangnya.

Sementara itu ada jenis robot lain yang dilengkapi bom dan piranti GPS. Bom itu diprogram untuk hanya meledak di lokasi yang koordinatnya ada pada daftar. Bom ini bisa juga dicurahkan dari “mother bomb” sebagai “bom satelit” atau diluncurkan sebagai ”position guided missile” (PGM).

Jenis senjata lain adalah senjata radio yang bisa merebut kontrol atas piranti elektronik. Pesawat-pun bisa dibajak secara elektronik (electronic hijacked) – hal mana diduga kuat terjadi pada pesawat yang menabrak WTC 11 September 2001. Masih dengan radio adalah gangguan frekuensi (jamming) sehingga seluruh piranti telekomunikasi musuh terganggu.

Namun teknik jamming ini bisa pula digunakan musuh untuk melawan. Kalau ada ahli elektronik muslim yang mampu membuat pemancar yang kuat, bisa jadi pasukan AS yang dipandu GPS akan kehilangan arah, karena sistem GPS-nya ngaco. Karena itu pasukan AS juga dilengkapi sistem navigasi inersia (INS), yang tidak tergantung pada gelombang radio.

IT kaum muslimin

Apakah Iraq mampu mengatasi keunggulan IT AS itu? Boro-boro. Jangankan membungkam sistem GPS AS, pasokan listrik saja mungkin sudah byar pet. Dalam perang modern, instalasi listrik dan telekomunikasi adalah objek yang sering dihantam dulu. Iraq bahkan sebelumnya sudah melatih rakyatnya untuk biasa “bekerja seperti di zaman Khalifah Harun Al Rasyid”, tanpa listrik, tanpa komputer, tanpa radio.

Maka di atas kertas, Iraq atau negara manapun yang mencoba “berani” melawan AS sudah akan keok. Meski demikian, dalam perang manapun, yang terpenting bukanlah senjata, tapi “man behind gun” atau bahkan “God behind gun”. Di Vietnam dan Somalia pun AS tak begitu sukses. Jadi kalau Allah menghendaki bisa saja, seluruh sistem IT AS itu ternyata ditanami virus oleh programmernya, yang kesal dengan arogansi Bush. Atau Chief Information Officer (CIO) Pentagon sendiri – sebagai orang yang de facto paling berkuasa atas sistem IT ini – terketuk nuraninya, lalu menembak ke “gawang” sendiri. Atau di lapangan, serdadu AS yang stress pada mabuk, lalu ribut sendiri. Yang jelas, makin canggih teknologi, ia makin rentan, dan “kecerdasan bertahan hidup” (survival quotient) dari pasukan akan turun. Sementara rakyat Iraq yang bertahan dengan ruh jihad siap menghabisi pasukan AS di perang kota. Banyak yang bisa terjadi. Allah juga pernah mengirim burung Ababil untuk menghancurkan pasukan Abrahah.

Kenyataan ini seharusnya membuka mata kita, bahwa untuk melawan negara sekuat Amerika, kaum muslimin tidak bisa mengandalkan Iraq, apalagi yang dipimpin seorang tiran, dan setelah diembargo dan dilucuti. Kaum muslimin memerlukan sebuah negara yang lebih kuat dari Amerika, negara yang mempersatukan seluruh potensi kaum muslimin di dunia. Negara seperti itu adalah Daulah Khilafah, yang pernah meruntuhkan adidaya Persia dan Romawi, namun sayang telah tiada sejak pasca Perang Dunia I. Untuk itulah, respon kita terhadap serangan AS atas Iraq tidak cukup hanya jangka pendek seperti aksi protes, boikot, bantuan kemanusian atau pun qunut nazilah.

Kita harus punya agenda jangka panjang, membangun kembali persatuan ummat Islam sedunia, dalam wadah Daulah Khilafah, karena hanya negara ini yang pernah menjadi adidaya. Dan negara ini pula yang nanti akan mengembangkan teknologi yang lebih kuat berdasarkan syariat, sehingga tak hanya menandingi arogansi AS, tapi bahkan menundukkannya, dan lalu menjadikan teknologi itu sarana mewujudkan keadilan, kemakmuran dan rahmat di seluruh alam.