Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

BELAJAR BERMIMPI NAIK HAJI DI USIA MUDA

Monday, November 7th, 2011

Bagi orang tua saya yang pas-pasan, pergi haji adalah sebuah mimpi.  Sepertinya saat itu hanya sebuah keajaiban yang mampu melontarkan kami ke tanah suci.  Tetapi ayah saya tidak pernah ragu, bahwa bila Allah telah memanggil (dan Dia telah memanggil seluruh manusia melalui Nabi Ibrahim ribuan tahun yang lalu!), tentu Dia juga yang akan memberikan jalan, kepada mereka yang memang bersungguh-sungguh berproses untuk merespon panggilan itu.

Tetapi, kalau saya di SD ditanya cita-cita oleh ibu guru, lalu saya jawab, cita-cita saya adalah “naik haji sebelum berusia 30 tahun”, tentu teman-teman saya bisa tertawa sampai terguling-guling.  Umumnya teman-teman kami bercita-cita menjadi dokter, insinyur, polisi atau guru.  Lha belum apa-apa koq sudah ingin naik haji.  Beberapa orang terkaya di kampung kami juga belum naik haji tuh.

Oleh kakak saya, sejak saya pergi ke Taman Kanak-kanak, saya sering dipakei peci.  Apalagi kalau ke masjid pakai sarung dan peci, lucu sekali.  Dan dari kecil, saya yang bungsu ini sering dipanggil “pak haji” – mungkin karena saya rajin adzan. Bisa memukul bedhug pertama kali lalu adzan di masjid, itu obsesi saya setiap hari waktu itu.

Tahun 1978, ketika saya duduk di kelas 3 SD, kakak ipar saya mencoba usaha pembibitan cengkeh.  Pada waktu harga cengkeh masih sangat tinggi.  Bibit cengkeh dibeli Rp. 30 / batang, nanti setelah umurnya sekitar 1 tahun dan tingginya sudah semeter lebih, bisa laku Rp. 1000.  Bisnis yang menggiurkan, meski kemudian dari 1000 batang bibit cengkeh lebih dari 200 yang diserang rayap.  Beberapa batang kami tanam sendiri, dan ibu saya sangat berharap pohon cengkeh ini kelak mampu membawa kami berhaji.  Namun apa dikata, beberapa tahun kemudian, ketika pohon-pohon cengkeh telah besar, Soeharto membuat BPPC yang diketuai Mas Tommy, yang membuat harga cengkeh hancur …

Tahun 1986 saya lulus SMA.  Adalah sebuah musibah bahwa nama saya tidak disebut dalam daftar siswa yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).  Padahal saya memilih jurusan fisika FMIPA yang kapasitas PMDK-nya besar.  Beberapa teman yang rankingnya di sekolah di bawah saya malah diterima di jurusan-jurusan favorit.  Aneh juga, tapi itulah matematika PMDK yang tidak selalu dapat dilacak.

Sehabis test Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru), ada peluang test Overseas Fellowship Program (OFP) dari Kementrian Ristek untuk lulusan SMA yang ingin dapat beasiswa sekolah di Luar Negeri.  Mungkin karena saya masih fresh sipenmaru, saya bisa lulus test akademik OFP.  Sayang jadwal psikotestnya bersamaan dengan registrasi ulang di ITB.  Okey, saya lupakan OFP.  Ibu saya kecewa, karena tadinya, beliau berharap saya dapat beasiswa itu.  Selain bisa sekolah tanpa pusing mikirin biaya, barangkali itu juga jalan untuk bisa … naik haji … kembali kepada mimpi.

Tiba-tiba, hampir satu semester di ITB, ada panggilan dari OFP untuk psikotest susulan.  Okeylah, tanpa beban, psikotest ini saya ikuti.  Dan singkat cerita akhirnya saya lulus seluruh rangkaian test OFP.  Kesimpulan: ITB ditinggal.  ITB sih menganjurkan, saya tetap registrasi ulang tiap semester dengan SKS 0.  Iya benar juga.  Di depan saya saat itu masih ada kursus bahasa 6 bulan.  Lalu test bahasa.  Lalu berangkat ke negara tujuan.  Di sana test masuk Universitas.  Semua belum tentu lulus.  Nanti kalau sudah kuliah juga belum tentu selesai …  Tapi akhirnya, saya tidak pernah registrasi ulang di ITB lagi.  Ini ibarat strategi membakar kapal Thariq bin Ziyad.  Hanya ada satu jalan: maju terus.

Oktober 1987 saya mulai kuliah di Austria.  Alhamdulillah, test bahasa dan test masuk Universitas sudah lewat. Saya mencoba hidup hemat.  Kenapa?  Biar bisa nabung … biar bisa naik haji dan memberangkatkan ibu saya naik haji. Ayah saya sudah wafat ketika saya SMP, dan beliau belum sempat naik haji.

Kalau tidak hemat, beasiswa yang 7000 Schilling (sekitar US$500) per bulan bisa tekor.  Untuk bayar kamar di asrama sudah 2500 Schilling.  Ongkos tiket bulanan naik bus 500 Schilling.  Asuransi kesehatan wajib 120 Schilling.  Anggaran beli buku, alat tulis, pakaian dsb rata-rata sebulan 300 Schilling.  Sedang makan di kantin kampus sekitar 50 Schilling sekali makan.  Jadi harus hemat.  Untuk itu harus belajar masak.  Tiap pagi masak.  Sebagian buat sarapan, sebagian buat bekal makan siang di kampus, sebagian disimpan untuk makan malam.  Ternyata seperti ini kemudian berjalan bertahun-tahun.  Ketika masak sendiri, ternyata cukup anggaran 1000 Schilling sebulan.  Jadi bisalah nabung hingga 2000-3000 Schilling / bulan.

Waktu itu ongkos naik haji sekitar US$ 3200.  Ketika kemudian mata uang Dollar terhadap Schilling melemah, dan kursnya menjadi 10 Schilling per US$, maka ONH menjadi sekitar 32.000 Schilling.  Jadi kalau nabung 2000 Schilling / bulan, perlu sekitar 2 tahun. Tetapi kalau ONH dari Austria jauh lebih kecil.  Cuma 20.000 Schilling cukup lah.  Jadi tabungan setahun insya Allah akan memadai.

Tahun 1988, ada paman saya yang bekerja di Depag, mengajak kalau bisa pas liburan datang ke Jeddah, untuk bantu-bantu tim haji Indonesia.  Bisa dalam administrasi (entri data di komputer) atau di transportasi (nyopir).  Maka saya belajar dengan sungguh-sungguh keahlian menggunakan komputer dan belajar nyetir.  Untung lab-lab komputer di kampus bebas dipakai asal tidak sedang dipakai praktikum.  Ikut saja suatu mata kuliah yang pakai komputer — jadi mahasiswa gelap … lalu cari buku dan belajar mandiri.  Sayang kalau belajar nyetir tidak bisa seperti itu.  Di Austria, semua orang yang mau mendapatkan SIM harus kursus dan praktek minimal 15 jam.  Padahal 1 jam belajar nyetir ongkosnya hampir 300 Schilling.  Dan saya pernah ketiduran, sehingga 300 Schilling menguap percuma!  Singkat cerita, saya akhirnya dapat juga SIM Austria, sekalipun telah habis hampir 14.000 Schilling, gara-gara tidak lulus ujian praktek 2 kali padahal setiap mengulangi ujian, bayar lagi 3000 Schilling !  Hikmahnya: saya jadi pengemudi yang hati-hati.

Pada pertengahan 1988 itu saya ke KBRI di Wina, minta pengantar untuk mencari visa haji.  Ternyata ditolak mentah-mentah!  Alasannya: saya belum 2 tahun belajar di Austria, jadi belum boleh pulang.  Lho padahal ini kan tidak pulang, tetapi naik haji.  Tetap saja dianggap sama.  Anehnya, kalau saya jalan-jalan keliling Eropa, boleh.  Ya udah, akhirnya, dana naik haji ini dikirim saja ke Indonesia, buat ibu saya.  Bersama dana dari kakak saya, jadilah ibu saya mendaftar buat naik haji, dan akan berangkat tahun 1990.

Saya mulai nabung untuk haji dari nol lagi.  Tahun 1989, di campus ada iklan pekerjaan untuk mahasiswa.  Pekerjaan programming!  Tadinya saya ragu, bisa gak ya?  Akhirnya nekad.  Eh sampai di kantor biro engineering itu, pertama-tama saya ditanya, mau dibayar berapa?  Bagaimana kalau 150 Schilling?  Kupikir sehari, ternyata ini per jam.  Soalnya, ada teman saya kerja nyuci piring di restoran hanya dapat 4000 Schilling sebulan, artinya sehari tak sampai 150 Schilling.

Mungkin karena saya sudah belajar komputer (khususnya programming) untuk persiapan bekerja di Jeddah tahun 1988 itu, saya bisa dapat pekerjaan itu.  Singkat cerita, dari bekerja 2 bulan itu saya mendapat hampir 40.000 Schilling!  Wah bisa berangkat haji lagi deh …

Tahun 1990 saya mengurus segala sesuatu untuk haji.  Ini kesempatan yang luar biasa, karena ibu saya juga berangkat tahun itu.  Dan sejak tahun 1987, artinya sejak saya berangkat ke Luar Negeri, saya belum berjumpa dengan beliau.  Alangkah rindunya.  Akhirnya saya sudah di ruang tunggu pesawat Austrian Airlines yang akan membawa kami ke Jeddah.  Penumpang satu persatu mulai masuk.  Ketika giliran saya, tiba-tiba pramugari setelah memeriksa visa saya berkata, “Maaf, Anda tidak boleh ikut, karena untuk haji kemarin sudah Closing Date”.  Saya bingung.  Ternyata, 1 Zulhijjah di Mekkah maju sehari (konon karena hilal dapat dirukyat).  Sehingga hari closing date ikut maju.  Saya yang berangkat di hari terakhir – karena menyesuaikan dengan jadwal ujian – terpaksa ditolak berangkat.  Kalau airlines maksa, mereka akan didenda oleh pemerintah Saudi US$ 25.000. Wah, loyo lah … jadi yang sempat terangkut ke Jeddah cuma bagasi saya, yang esoknya sudah diantar pulang. Ongkos tiket sih dikembalikan, tetapi semangat seperti terbang.

Tahun 1990 itulah terjadi tragedi terowongan al-Muashim, di mana 400 jama’ah Indonesia tewas.  Mungkin itu hikmahnya.  Barangkali Allah ingin mencegah saya ada dalam rombongan yang tewas itu.  Saya masih punya tugas lain.

Tahun-tahun berikutnya, musim haji terjadi di tengah-tengah musim ujian kuliah.  Jadi saya tidak bisa mencobanya lagi. Tahun 1993 saya lulus meraih gelar “Diplom-Ingenieur”, jadi tuntaslah sudah beban beasiswa saya.  Alhamdulillah, karena saya termasuk “the speedy” (lulusan no-2 tercepat), saya ditawari beasiswa dari Austrian National Science Foundation untuk langsung menempuh jenjang Doktor.  Jadi masih ada kesempatan mencoba berhaji lagi …

Tahun 1993 setelah lulus saya pulang dulu, nikah dulu, kemudian balik lagi ke Austria sudah membawa istri.  Dengan istri saya sudah berkomitmen, bahwa goal yang pertama bukan punya anak, bukan punya rumah, tetapi pergi haji.  Banyak saudara yang menasehati kami, agar menabung dulu, karena nanti harga rumah makin mahal.  Sekolah anak juga mahal.  Padahal gaji saya sebagai pegawai negeri sangat keciiiiil.  Bikin nggak pede saja …

Tahun 1994 rencana haji itu kami godhog lebih matang.  Pengalaman dua kali kegagalan pergi haji membuat saya belajar. Ternyata banyak pernik-pernik yang kami baru tahu.  Maka buku-buku haji dikumpulkan.  Pengalaman teman-teman yang pergi haji dari Eropa juga.

Dan alhamdulillah, tahun 1994 itu saya berhasil pergi haji, bahkan langsung bersama istri tercinta.

Allah memang memberikan sesuatu sangat indah, pada saatnya.

Tahun 1994, kami berhasil pergi haji pada usia 26 tahun.
Tahun 1997, saya pulang setelah meraih gelar Doktor pada usia 29 tahun.

Dan tahun itu pula, alhamdulillah saya juga bisa beli rumah, cash, gak pakai kredit (apalagi kredit pakai riba janganlah ya) 🙂 … karena tiba-tiba ada krisis moneter, sehingga tabungan saya dalam mata uang asing jadi terasa lebih banyak ketika ditukar dalam Rupiah …

sampai di Mina …

MELEJITKAN KECERDASAN BERBASIS SPIRITUAL

Wednesday, November 2nd, 2011

Apakah yang bisa membuat Anda atau anak-anak Anda doyan belajar?  Kita melihat, banyak orang malas belajar, apalagi bila itu menyangkut pelajaran yang dinilai sulit, seperti matematika atau bahasa Inggris.  Padahal, sebenarnya semua anak pernah mengalami masa-masa belajar yang menyenangkan.  Hampir setiap anak suka belajar naik sepeda, berenang, atau menggunakan HP,  meski tidak ada sekolah yang memberinya nilai.

Setidaknya ada empat motivasi yang mendorong anak-anak sehingga suka belajar.

Pertama adalah pengalaman sehari-hari.  Bila sesuatu yang dipelajari dapat langsung digunakan dalam kehidupan sehari-hari, maka itu akan membuat mereka bersemangat mempelajarinya.   Itulah mengapa semua anak semangat belajar naik sepeda atau menggunakan HP tanpa perlu ada yang menyuruh atau menilainya.

Kedua adalah menyadari tantangan.  Bila anak menyadari apa saja yang pasti akan dihadapinya di masa mendatang atau di tempat baru yang pasti dapat dikunjunginya, maka mereka akan bersemangat untuk mempelajari ilmu yang diperlukan untuk menghadapi tantangan itu.  Maka anak yang tahu akan diajak wisata ke luar negeri atau bertemu orang asing akan lebih semangat belajar bahasa Inggris, dibanding yang tidak punya harapan untuk itu.

Ketiga adalah mendapatkan teladan.  Bila anak bertemu atau mendapatkan contoh sosok teladan yang menekuni suatu bidang ilmu, maka dia bisa terinspirasi untuk jadi menyukai bidang ilmu tersebut.  Seorang anak yang telah menonton film kisah Thomas Alva Edison bisa terinspirasi untuk tekun belajar fisika dan hobby utak-atik elektronika agar mengikuti jejak sang penemu lampu listrik itu seperti halnya anak yang rajin berlatih bola karena terinspirasi idola bola Zinedine Zidan.

Motivasi pertama dapat disebut “experiential”, motivasi kedua “adventurial”, dan motivasi ketiga “historical”.

Motivasi yang keempat adalah yang terunik, karena dapat mendorong orang mempelajari sesuatu yang di luar pengalaman sehari-hari, melebihi tantangan yang ada, dan nyaris tidak ada contohnya dalam sejarah.  Motivasi ini muncul dari kekuatan di luar dunia – yakni Allah swt, dan karena itu disebut juga “transendental”

Kaum muslimin terdahulu memberikan contoh, bagaimana mereka termotivasi belajar, mengembangkan kreativitas ilmiah dan menerapkan teknologi secara arif, oleh dorongan ayat-ayat Qur’an dan sabda Nabi saw.  Maka mereka meraih banyak hal, jauh di atas yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, melebihi yang dibutuhkan untuk menaklukkan musuh-musuhnya seperti Romawi atau Persia, dan menorehkan peradaban jauh di atas para teladannya yakni bangsa Yunani atau bangsa Cina.

Ayat yang pertama kali turun bukanlah ayat tentang ibadah mahdhoh seperti sholat, bukan pula ayat tentang keutamaan jihad, melainkan ayat tentang belajar.

Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaraan tulis-baca, Dia mengajarkan manusia apa yang tak diketahuinya. (QS al-Alaq 1-5) 

Ditambah sejumlah hadits, di mana Rasulullah sangat mengapresiasi pencari ilmu.

Siapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke sorga”  (HR Muslim) 

 “Para malaikat selalu membentangkan sayapnya menaungi para penuntut ilmu karena senang dengan perbuatan itu, dan orang alim dimintakan ampun 

oleh penduduk langit dan bumi dan ikan-ikan di dalam air.  

Kelebihan orang alim atas ahli ibadah bagaikan kelebihan cahaya rembulan atas cahaya bintang”  (HR Abu Daud)

Selain memberi motivasi secara umum, ada sekitar 800 ayat Qur’an yang secara spesifik mendorong kaum muslim agar mempelajari suatu hal.

Ayat  “Dan [mengapa kalian tidak memperhatikan] langit, bagaimana ia ditinggikan?” (QS al-Ghasiyah:18) dijadikan pendorong belajar astronomi.  Pada abad 9 M, di Baghdad, orang biasa menggunakan kitab Almagest karya astronom Yunani Ptolomeus dalam kajian “tafsir” atas ayat tersebut.

Sedang ayat “Hai jama’ah jin dan manusia, 

jika kamu sanggup melintasi penjuru langit dan bumi, 

maka lintasilah, kamu tak dapat menembusnya, kecuali dengan kekuatan.” (Qs. 55 Ar-Rahman :33) telah mendorong Abbas Ibnu Firnas dari Cordoba (abad 9 M) untuk menciptakan gantole dan parasut, yang dengan itu dia telah menjadi manusia pertama yang terbang dengan peralatan teknologi.

Sedang Hasan al Rammah (abad 13 M) mengembangkan hampir 70 resep bahan peledak hingga torpedo mungkin karena termotivasi ayat “Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan selain mereka yang kamu tak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya …”  (Qs. 8-Al-Anfaal :60).

Dalam kaitan teknologi, Rasulullah memandang manusia lebih tahu urusannya, sehingga beliau mendorong agar ada yang belajar ke Cina, yang tentu saat itu kaitannya dengan teknologi.  Sungguh, sebagian sahabat benar-benar pergi sampai ke Cina, antara lain untuk belajar teknologi membuat kertas, sehingga di masa Utsman bin Affan, Qur’an sudah dapat ditulis di atas mushaf (kertas).

Karena Nabi juga pernah mengatakan “Jika mati manusia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal, shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendoakan dirinya”  (HR Muslim), maka pada masa keemasan Islam, banyak orang kaya ataupun penguasa yang ingin menorehkan namanya dalam keharuman ilmu. Mereka melakukan wakaf berupa pembangunan lab riset atau observatorium, lengkap dengan kebun yang luas untuk menghidupi para ilmuwannya agar melakukan riset.  Hasilnya antara lain adalah suatu tabel almanak astronomi yang paling mutakhir dan akurat di zamannya.  Tabel itulah yang akan dibawa-bawa oleh para pelaut dan mujahidin menembus batas cakrawala dunia Islam, menemukan tempat-tempat baru yang perlu disampaikan risalah Islam atas mereka, juga untuk selangkah lebih maju dari para pelaut penjajah yang selalu mengintai kelemahan dan kelengahan kaum muslim.  Shadaqah jariyah yang sekaligus memiliki output ilmu yang manfaat.

Karena iklim cerdas di masyarakat seperti itu, tak heran bila para penguasa juga dikelilingi penasehat yang terdiri dari para ulama dan ilmuwan, sehingga kebijakan-kebijakannya tak melenceng dari dalil Qur’an dan Sunnah, dan juga tidak pernah mengabaikan sunnatullah yang ditemukan secara empirik dan ilmiah.  Meski penguasa dapat silih berganti, tetapi politik teknologi nyaris tidak berubah.  Negara tetap pro pencerdasan rakyat, memberi akses pendidikan yang maksimal kepada rakyat, dan menghargai karya para ulama dan ilmuwan sebagaimana mestinya.

 

Inilah kecerdasan berbasis spiritual.  Berawal dari sebuah dorongan transendental (Qur’an dan Sunnah), diproses dengan sebuah metodologi yang dibentengi syariah oleh orang-orang yang sejak kecil dididik dalam pendidikan Islam, dan akhirnya menerapkan teknologi yang ditemukannya untuk memberi rahmat seluruh alam

Abbas ibnu Firnas (abad 9 M), orang pertama yang terbang dengan teknologi.

THE MIRACLE OF “SABAR!”

Tuesday, August 9th, 2011

Semoga kisah ini sahih … (copas dari milis lain)

Seandainya sanadnya kurang jelas, ada kisah serupa, bahkan ada yang pernah saya saksikan sendiri …

ini sekedar memberi motivasi

 

==================

 

SEBUAH KISAH DARI TANAH ARAB…..

Ditengah gemuruhnya kota, ternyata Riyadh menyimpan bayak kisah.

Kota ini menyimpan rahasia yang hanya diperdengarkan kepada telinga dan hati yang mendengar. Tentu saja, Hidayah adalah kehendak NYA dan Hidayah hanya akan diberikan kepada mereka yang mencarinya.

Ada sebuah energi yang luar biasa dari cerita yang kudengar beberapa hari yang lalu dari sahabat Saya mengenal banyak dari mereka, ada beberapa dari Palestina, Bahrain, Jordan, Syiria, Pakistan, India, Srilanka dan kebanyakan dari Mesir dan Saudi Arabia sendiri. Ada beberapa juga dari suku Arab yang tinggal dibenua Afrika. Salah satunya adalah teman dari Negara Sudan, Afrika.

Saya mengenalnya dengan nama Ammar Mustafa, dia salah satu Muslim kulit hitam yang juga kerja di Hotel ini.

Beberapa bulan ini saya tidak lagi melihatnya berkerja.

Biasanya saya melihatnya bekerja bersama pekerja lainnya menggarap proyek bangunan di tengah terik matahari kota Riyadh yang sampai saat ini belum bisa ramah dikulit saya.

Hari itu Ammar tidak terlihat.

Karena penasaran, saya coba tanyakan kepada Iqbal tentang kabarnya.

“Oh kamu tidak tahu?”

Jawabnya balik bertanya, memakai bahasa Ingris khas India yang bercampur dengan logat urdhu yang pekat.

“Iyah beberapa minggu ini dia gak terlihat di Mushola ya?” Jawab saya.

Selepas itu, tanpa saya duga iqbal bercerita panjang lebar tentang Ammar.

Dia menceritakan tentang hidup Ammar yang pedih dari awal hingga akhir, semula saya keheranan melihat matanya yang menerawang jauh. Seperti ingin memanggil kembali sosok teman sekamarnya itu.

Saya mendengarkan dengan seksama.

Ternyata Amar datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2004 lalu.

Ia datang ke Negeri ini dengan tangan kosong, dia nekad pergi meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan di Kota ini. Saudi arabia memang memberikan free visa untuk Negara Negara Arab lainnya termasuk Sudan, jadi ia bisa bebas mencari kerja disini asal punya Pasport dan tiket.

Sayang, kehidupan memang tidak selamanya bersahabat.

Do’a Ammar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini demi keluarganya ternyata saat itu belum terkabul. Dia bekerja berpindah pindah dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membayar apartemen hingga ia tinggal di apartemen teman temannya.

Meski demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan.

Ia tetap mencari kesempatan agar bisa mengirim uang untuk keluarganya di Sudan.

Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat…

Bulan ketiga hingga tahun tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak kunjung berakhir..

Waktu bergeser lamban dan berat, telah lima tahun Ammar hidup berpindah pindah di Kota ini. Bekerja dibawah tekanan panas matahari dan suasana Kota yang garang.

Tapi amar tetap bertahan dalam kesabaran.

Kota metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak tahu caranya untuk mendapatkan uang, dihutan bahkan lebih baik. Di hutan kita masih bisa menemukan buah buah, tapi di kota? Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak mampu bersaing.

Riyadh adalah ibu kota Saudi Arabia.

Hanya berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 Jam jarak tempuh dengan bis menuju Makkah. Dihampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk berlindung saat panas. Disini hanya terlihat kurma kurma yang berbuah satu kali dalam setahun..

Amar seperti terjerat di belantara Kota ini.

Pulang ke suddan bukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus membawa perubahan untuk kehidupan keluarganya di negeri Sudan. Itu tekadnya.

Ammar tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya.

Ia tetap mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan lapar dan haus untuk raganya disini.

Sering ia melewatkan harinya dengan puasa menahan dahaga dan lapar sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi untuk keluarganya di Sudan.

Tapi Ammar pun Manusia.

Ditahun kelima ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman temannya yang ia kenal, sudah lima tahun ia berpindah pindah kerja dan numpang di teman temannya tapi kehidupannya tidak kunjung berubah.

Ia memutuskan untuk pulang ke Sudan.

Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan tanpa uang yang ia bawa untuk mereka yang menunggunya.

Saat itupun sebenarnya ia tidak memiliki uang, meski sebatas uang untuk tiket pulang.

Ia memaksakan diri menceritakan keinginannya untuk pulang itu kepada teman terdekatnya. Dan salah satu teman baik amar memahaminya ia memberinya sejumlah uang untuk beli satu tiket penerbangan ke Sudan.

Hari itu juga Ammar berpamitan untuk pergi meninggalkan kota ini dengan niat untuk kembali ke keluarganya dan mencari kehidupan di sana saja.

Ia pergi ke sebuah Agen di jalan Olaya- Riyadh, utuk menukar uangnya dengan tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu ini susah didapat karena konflik di Libya, Negara tetangganya. Tiket hanya tersedia untuk kelas executive saja.

Akhirnya ia beli tiket untuk penerbangan minggu berikutnya.

Ia memesan dari saat itu supaya bisa lebih murah. Tiket sudah ditangan, dan jadwal terbang masih minggu depan.

Ammar sedikit kebingungan dengan nasibnya.

Tadi pagi ia tidak sarapan karena sudah tidak sanggup lagi menahan malu sama temannya, siang inipun belum ada celah untuk makan siang. Tapi baginya ini bukan hal pertama. Ia hampir terbiasa dengan kebiasaan itu.

Adzan dzuhur bergema..

Semua Toko Toko, Supermarket, Bank, dan Kantor Pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. Security Kota berjaga jaga di luar kantor kantor, menunggu hingga waktu Shalat berjamaah selesai.

Ammar tergesa menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh.

Ia mengikatkan tas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu.. memabasahi wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting dengan air.

Lalu ia masuk mesjid. Shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid. Ia duduk menunggu mutawwa memulai shalat berjamaah.

Hanya disetiap shalat itulah dia merasakan kesejukan,

Ia merasakan terlepas dari beban Dunia yang menindihnya, hingga hatinya berada dalam ketenangan ditiap menit yang ia lalui.

Shalat telah selesai.

Ammar masih bingung untuk memulai langkah.

Penerbangan masih seminggu lagi.

Ia diam.

Dilihatnya beberapa mushaf al Qur’an yang tersimpan rapi di pilar pilar mesjid yang kokoh itu. Ia mengmbil salah satunya, bibirnya mulai bergetar membaca taawudz dan terus membaca al Qur’an hingga adzan Ashar tiba menyapanya.

Selepas Maghrib ia masih disana.

Beberapa hari berikutnya, Ia memutuskan untuk tinggal disana hingga jadwal penerbangan ke Sudan tiba.

Ammar memang telah terbiasa bangun awal di setiap harinya.

Seperti pagi itu, ia adalah orang pertama yang terbangun di sudut kota itu.

Ammar mengumandangkan suara indahnya memanggil jiwa jiwa untuk shalat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa Kota.

Adzannya memang khas.

Hingga bukan sebuah kebetulan juga jika Prince (Putra Raja Saudi) di kota itu juga terpanggil untuk shalat Subuh berjamaah disana.

Adzan itu ia kumandangkan disetiap pagi dalam sisa seminggu terakhirnya di kota Riyadh.

Hingga jadwal penerbanganpun tiba. Ditiket tertulis jadwal penerbangan ke Sudan jam 05:23am, artinya ia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2 jam sebelumnya.

Ammar bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk mencari bis menuju bandara King Abdul Azis Riyadh yang hanya berjarak kurang dari 30 menit dari pusat Kota.

Amar sudah duduk diruang tunggu dibandara,

Penerbangan sepertinya sedikit ditunda, kecemasan mulai meliputinya.

Ia harus pulang kenegerinya tanpa uang sedikitpun, padahal lima tahun ini tidak sebentar, ia sudah berusaha semaksimal mungkin.

Tapi inilah kehidupan, ia memahami bahwa dunia ini hanya persinggahan.

Ia tidak pernah ingin mencemari kedekatannya dengan Penggenggam Alam semesta ini dengan mengeluh. Ia tetap berjalan tertatih memenuhi kewajiban kewajibannya, sebagai Hamba Allah, sebagai Imam dalam keluarga dan ayah buat anak anaknya.

Diantara lamunan kecemasannya, ia dikejutkan oleh suara yang memanggil manggil namanya.

Suara itu datang dari speaker dibandara tersebut, rasa kagetnya belum hilang Ammar dikejutkan lagi oleh sekelompok berbadan tegap yang menghampirinya.

Mereka membawa Ammar ke mobil tanpa basa basi, mereka hanya berkata “Prince memanggilmu”.

Ammarpun semakin kaget jika ia ternyata mau dihadapkan dengan Prince. Prince adalah Putra Raja, kerajaan Saudi tidak hanya memiliki satu Prince. Prince dan Princess mereka banyak tersebar hingga ratusan diseluruh jazirah Arab ini. Mereka memilii Palace atau Istana masing masing.

Keheranan dan ketakutan Ammar baru sirna ketika ia sampai di Mesjid tempat ia menginap seminggu terakhir itu, disana pengelola masjid itu menceritakan bahwa Prince merasa kehilangan dengan Adzan fajar yang biasa ia lantunkan.

Setiap kali Ammar adzan prince selalu bangun dan merasa terpanggil..

Hingga ketika adzan itu tidak terdengar, Prince merasa kehilangan. Saat mengetahui bahwa sang Muadzin itu ternyata pulang kenegerinya Prince langsung memerintahkan pihak bandara untuk menunda penerbangan dan segera menjemput Ammar yang saat itu sudah mau terbang untuk kembali ke Negerinya.

Singkat cerita, Ammar sudah berhadapan dengan Prince.

Prince menyambut Ammar dirumahnya, dengan beberapa pertanyaan tentang alasan kenapa ia tergesa pulang ke Sudan.

Amarpun menceritakan bahwa ia sudah lima tahun di Kota Riyadh ini dan tidak mendapatkan kesempatan kerja yang tetap serta gaji yang cukup untuk menghidupi keluarganya.

Prince mengangguk nganguk dan bertanya: “Berapakah gajihmu dalam satu bulan?”

Amar kebingungan, karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap. Bahkan sering ia tidak punya gaji sama sekali, bahkan berbulan bulan tanpa gaji dinegeri ini.

Prince memakluminya.

Beliau bertanya lagi: “Berapa gaji paling besar dalam sebulan yang pernah kamu dapati?”

Dahi Ammar berkerut mengingat kembali catatan hitamnya selama lima tahun kebelakang. Ia lalu menjawabnya dengan malu: “Hanya SR 1.400”, jawab Ammar.

Prince langsung memerintahkan sekretarisnya untuk menghitung uang.

1.400 Real itu dikali dengan 5 tahun (60 bulan) dan hasilnya adalah SR 84.000 (84 Ribu Real = Rp. 184. 800.000). Saat itu juga bendahara Prince menghitung uang dan menyerahkannya kepada Amar.

Tubuh Amar bergetar melihat keajaiban dihadapannya.

Belum selesai bibirnya mengucapkan Al Hamdalah,

Prince baik itu menghampiri dan memeluknya seraya berkata:

“Aku tahu, cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan. Pulanglah temui istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi setelah 3 bulan. Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu kembali ke Riyadh. Jadilah Bilall dimasjidku.. dan hiduplah bersama kami di Palace ini”

Ammar tidak tahan lagi menahan air matanya.

Ia tidak terharu dengan jumlah uang itu, uang itu memang sangat besar artinya di negeri Sudan yang miskin. Ammar menangis karena keyakinannya selama ini benar, Allah sungguh sungguh memperhatikannya selama ini, kesabarannya selama lima tahun ini diakhiri dengan cara yang indah.

Ammar tidak usah lagi membayangkan hantaman sinar matahari disiang hari yang mengigit kulitnya. Ammar tidak usah lagi memikirkan kiriman tiap bulan untuk anaknya yang tidak ia ketahui akan ada atau tidak.

Semua berubah dalam sekejap!

Lima tahun itu adalah masa yang lama bagi Ammar.

Tapi masa yang teramat singkat untuk kekuasaan Allah.

Nothing Imposible for Allah,

Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah..

Bumi inipun Milik Allah,..

Alam semesta, Hari ini dan Hari Akhir serta Akhirat berada dalam Kekuasaan Nya.

Inilah buah dari kesabaran dan keikhlasan.

Ini adalah cerita nyata yang tokohnya belum beranjak dari kota ini, saat ini Ammar hidup cukup dengan sebuah rumah di dalam Palace milik Prince. Ia dianugerahi oleh Allah di Dunia ini hidup yang baik, ia menjabat sebagai Muadzin di Masjid Prince Saudi Arabia di pusat kota Riyadh.

Subhanallah…

Seperti itulah buah dari kesabaran.

“Jika sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya.

Jika kamu mulai berkata sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti pribadimu belum mampu menetapi kesabaran karena sabar itu tak ada batasnya. Batas kesabaran itu terletak didekat pintu Syurga dalam naungan keridhaan Nya”. (NAI)

وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. (Al Fushilat 35)

Allahuakbar!

Maha Benar Allah dengan segala Firman Nya