Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Mencari Nilai tambah (1)

Monday, May 5th, 2008

Hidup ini tidak linier.

Kadang-kadang, istri saya membandingkan Fahri (anak ketiga) dengan Fitri (anak pertama).  Pada usia 3 tahun dulu, bicara Fitri sudah jelas, membaca dikit-dikit sudah bisa, beberapa doa-doa sudah lancar.  Fahri belum, meskipun motoriknya bagus, usil (dalam bahasa Jawa: “petakilan”) dan pokoknya “rame” banget.  Dulu ibu saya juga suka membandingkan saya dengan beberapa teman atau sepupu, yang konon tulisan mereka lebih rapi atau belajarnya lebih rajin.  Tetapi ketika saya mendapat beasiswa sekolah ke Luar Negeri, semua komentar itu tentu saja terhenti dengan sendirinya.

Saya bilang, hidup ini tidak linier.  Seseorang yang di suatu masa dilebihkan atau dikurangkan, tidak selamanya begitu.  Semua yang didapat seseorang di suatu masa, itu hanya modal dari Sang Maha Pencipta untuk kehidupan selanjutnya.  Yang dihitung adalah amal, sejauh mana performance seseorang dalam membuat nilai tambah dari modal tersebut.  Nilai tambah ini ada yang berupa fisikal, finansial, emosional, intelektual ataupun spiritual.  Tak heran bila Rasulullah mengajarkan kepada kita doa: Allahumma inni as’aluka salamatan fid dien (=spiritual), wa afiatan fil jasadi (=fisikal), wa ziyadatan fil ilmi (=intelektual), wa barakatan fi rizki (=finansial) wa taubatan qablal maut (=emosional).

Kadang-kadang orang melihat diri kita hanya sebagai kita sekarang.  Saya sendiri sering dilihat sebagai “orang yang beruntung” – minimal beruntung dari sisi pernah menikmati pendidikan S1-S3 di Austria, meraih Doktor pada usia 29 tahun dan jabatan fungsional Peneliti Utama IV/e pada usia 39 tahun.  Beberapa orang bertanya apa kunci suksesnya.  Saya katakan, semua ini hanya merupakan satu mata rantai dari sebuah mosaic.  Ada masa lalu, yang tanpa itu semua tidak terjadi.  Dan ada masa depan yang masih menanti.

Kalau kembali ke tahun 1973, tahun ketika saya masuk Taman Kanak-kanak, dan ayah saya berhenti bekerja karena dua hal: lapak dagangnya digusur dan diikuti penyakit glaukoma yang merenggut penglihatannya, tentu saat itu tidak ada harapan yang muluk-muluk di keluarga kami.  Saya menapaki masa-masa sekolah dari TK hingga SMA dalam situasi yang mungkin jarang dirasakan anak-anak lain: yakni hampir tidak pernah jajan karena juga hampir tidak pernah dibekali uang saku!  Kalau habis pelajaran olahraga, anak-anak lain langsung menyerbu warung, saya ya biasa saja tidak ikut ke warung.  Haus ditahan.  Kadang sih bawa air putih dari rumah.  Alhamdulillah kebiasaan itu menjadi salah satu “faktor sukses” ketika saya belajar di Luar Negeri.  Sepuluh tahun di Austria, saya tetap saja tidak akrab dengan kantin Universitas.  Lebih banyak bawa bekal yang disiapkan sendiri.  Jauh lebih murah dan dijamin halal.

Karena kami keluarga besar (total sembilan bersaudara), sementara kondisi ekonomi cukup memprihatinkan, hanya dua kakak saya pertama yang sempat kuliah dengan biaya orang tua.  Ayah sangat berharap mereka sukses dan menjadi lokomotif bagi adik-adiknya.  Sayang, harapan ini tidak tercapai.  Kakak saya ketiga masuk STM dan pernah bekerja serabutan dengan ijazahnya, sebelum sepuluh tahun kemudian diterima di perusahaan minyak asing.  Kakak saya keempat masuk Akabri karena alasan simpel saja: sekolahnya gratis.  Kakak saya kelima dan keenam masuk sekolah menengah kejuruan farmasi, sehingga setelah lulus langsung dapat cari uang dengan jaga apotik.  Belakangan kakak-kakak ini yang lalu patungan membiayai adik-adiknya, yang nomor tujuh dan delapan, yang kebetulan perempuan.

Kondisi ekonomi juga membuat kakak-kakak saya kreatif menciptakan pekerjaan.  Ada yang bikin layang-layang lalu dijual.  Ada yang memelihara ulat sutera untuk diambil benangnya.  Ada yang melukis kartu lebaran lalu ditiipkan di toko-toko.  Ada yang mengkreditkan baju ke teman-temannya.  Saya sendiri kebagian menjaga warung material bangunan dan membesarkan bibit cengkeh.  Dan ini saya lakukan kelas 3-4 SD!

Di masa SMP, saya mendapat dua “mentor” yang banyak berpengaruh dalam hidup saya.  Pertama seorang guru Bahasa Indonesia yang masih muda namun sangat inspiratif, mendorong murid-muridnya mengarang dan membuat majalah dinding.  Dan kedua seorang mahasiswa fisip yang mengumpulkan remaja di kampung dan diprovokasi untuk jadi militan, berani mengungkapkan pendapat – termasuk di muka umum.  Herannya, dari sekian banyak murid dan remaja kampung yang bertemu mentor tersebut, sejatinya tidak banyak yang kemudian “jadi”.

Di masa SMP itulah saya merasakan kemampuan menulis bisa menjadi salah satu bekal hidup saya.  Saya mulai menulis di media massa.  Mulai dari cerpen, puisi, dan reportase singkat.  Saya juga mulai mengikuti berbagai Lomba menulis atau Karya Ilmiah.  Dari uang yang saya dapat, saya mulai membiayai sekolah saya sendiri.  Bahkan sedikit-sedikit ikut menyumbang kakak-kakak saya kalau ada keperluan biaya sekolahnya …

Namun sejatinya banyak juga ketrampilan yang saya pelajari untuk jaga-jaga di kemudian hari.  Saya belajar menservis elektronik, fotografi hingga mengetik.  Ada kursus mengetik yang katanya gratis.  Saya ikut dua minggu.  Eh rupanya kursus itu ada tipu-tipunya.  Setelah dua minggu, harus naik level, dan untuk itu ada ujiannya, nah untuk ujian itu siswa diminta membayar cukup mahal.  Saya berhenti kursus, namun keahlian mengetik itu terbawa sampai sekarang – meskipun tidak punya ijazah mengetik.  Alhamdulillah dengan honor tulisan, saya kemudian dapat membeli mesin ketik (manual) sendiri.  Jadilah, hampir tiap hari di rumah tak tik tuk tak tik tuk cling ….

Keahlian mengetik sangat penting, sekalipun sekarang sudah pakai komputer.  Kita jadi tidak perlu melihat keyboard lagi.  Dan kecepatannya: boleh dech balapan sama para sekretaris … he he …  Dan itu pernah terpakai.  Ketika di Luar Negeri, ada masa-masa paceklik, ketika beasiswa sudah tidak ada.  Saya sempat jadi tukang ketik skripsi.  Lumayan, dapat sekitar 30 Austrian-Schilling (sekarang kira-kira 3 Euro) per halaman.

Namun hobby saya menulis tidak selalu terakomodir oleh lingkungan.  Karena sering dipanggil final Lomba Menulis di luar kota, saya jadi sering meninggalkan sekolah.  Akibatnya sebagian nilai pelajaran saya di SMA jadi kebakaran.  Bukan karena tidak bisa mengerjakan, namun karena terkadang tidak diberi kesempatan test-susulan.  Saya tahu, sikap guru-guru terbelah.  Anehnya, guru pelajaran Bahasa Indonesia termasuk yang kurang kondusif pada aktivitas kepenulisan ini.

Pada saat kelulusan SMA, saya tidak termasuk lima puluhan siswa yang beruntung lolos seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri tanpa test (jalur PMDK).    Sebagian orang heran, sebagian gembira (“rasain loh, emang enak ..”), sebagian lagi kecewa.  Dari wajahnya, saya tahu ibu saya termasuk yang kecewa.  Kalau ayah saya waktu itu masih hidup, tentu beliau juga amat kecewa.  “Makanya, jangan cuma mengetik melulu” …

(bersambung)