Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Mencari Muslim di Negeri Samurai

Thursday, March 3rd, 2011

Tahukah Anda bahwa Kekaisaran Jepang adalah sahabat Khilafah di Turki?  Sebetulnya hanya ada sedikit catatan tentang kontak antara Islam dan Jepang sebelum pembukaan negeri itu dari isolasi tahun 1853, meski mungkin ada Muslim yang telah datang ke sana berabad sebelumnya.  Kontak Muslim modern pertama adalah dengan orang-orang Melayu yang melayani kapal-kapal Inggris dan Belanda di akhir abad-19.

Pada 1870, sejarah kehidupan Nabi Muhammad telah diterjemahkan ke bahasa Jepang.  Pada tahun 1890 kontak penting terjadi ketika Turki Utsmani mengirim kapal perang ke Jepang untuk membalas kunjungan persahabatan Pangeran Komatsu Akihito ke Istanbul tujuh tahun sebelumnya.

Orang Jepang pertama yang pergi haji adalah Kotaro Yamaoka.  Dia masuk Islam setelah kontak dengan penulis Turki Abdürreşid İbrahim.  Yamaoka berhasil mendapatkan izin untuk membangun masjid jami’ di Tokyo (selesai 1938) dari Sultan Abdülhamid II sebagai khalifah dan pemimpin seluruh Muslim.  Pada tahun 1998 masjid ini direnovasi total.

Baru pasca Revolusi Rusia, beberapa ratus Turko-Tatar-Muslim dari Rusia datang ke Jepang mencari perlindungan. Mereka membentuk komunitas-komunitas kecil di beberapa kota di Jepang.

Turki tetap komunitas Muslim terbesar Islam sampai sekarang.  Jepang sejak sebelum perang dikenal simpatinya pada Muslim di Asia Tengah, karena mereka dilihat sebagai sekutu melawan Rusia maupun Soviet.  Pada saat itu, intelijen Jepang banyak bekerja sama dengan Muslim, bahkan sebagian terus masuk Islam, dan menyebarkan Islam setelah perang selesai.

Hal menarik terjadi pada serdadu ini saat mereka dikirim ke Asia Tenggara. Pilot-pilot ini diperintahkan untuk mengucapkan kalimat “La ilaha illa Allah” jika mereka tertangkap di daerah ini. Saat ini benar-benar terjadi, begitu mereka mengucapkan kalimat ini, penangkapnya berubah pikiran dan memperlakukan mereka dengan baik.

Pada masa pendudukan sekutu pasca Perang Dunia II, terdapat tokoh Shūmei Ōkawa dan muridnya, Toshihiko Izutsu, yang meski ditahan sebagai penjahat perang kelas-A, tetapi di penjara tetap mempraktekkan Islam dan berusaha menyelesaikan penerjemahan Quran.

Pada 1953 berdiri organisasi Muslim Jepang pertama, Japan Muslim Association, di bawah pimpinan Sadiq Imaizumi. Jumlahnya mencapai 120 pada saat dia wafat enam tahun kemudian.  Presiden kedua adalah Umar Mita. Dia masuk Islam ketika kontak dengan Muslim Cina, saat Jepang menduduki Cina.  Dia lalu naik haji dan menerjemahkan Quran ke bahasa Jepang.  Dia juga membuat dokumenter: “Road to Hajj – Japan”, yang disiarkan oleh Al-Jazeera.  Saat ini yang menjadi presiden Japan Muslim Association adalah Prof Hasan Ko Nakata, dari Fakultas Theologi Universitas Dosisha Kyoto.  Dia pernah menjadi pembicara pada Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta tahun 2007.

Pada tahun 1970-an, terjadi “Islamic booming” akibat krisis minyak. Begitu menyadari pentingnya Timur Tengah dan besarnya cadangan minyaknya untuk ekonomi Jepang, media massa Jepang gencar memublikasikan tentang dunia Islam.

Tetapi sulit mendapatkan data seberapa besar jumlah Muslim bertambah.  Keiko Sakurai pada tahun 2000 menaksir jumlah Muslim etnis Jepang sekitar 63.000, dan yang orang asing sekitar 100.000.  Sedang Michael Penn menaksir 90 persen Muslim di Jepang adalah orang asing, dan hanya 10 persen yang etnis.  Semuanya spekulatif, karena pemerintah Jepang yang sangat sekuler sama sekali tidak memasukkan agama sebagai salah satu variabel statistik.  Meski demikian, semua orang tahu bahwa mayoritas rakyat Jepang adalah penganut kepercayaan Shinto yang kadang-kadang dicampur dengan agama Budha atau Kristen.  Ada lebih dari 100.000 kuil Shinto di Jepang.

Menurut situs japanfocus.org, baru ada 30 – 40 bangunan masjid di Jepang, dan sekitar 100 apartemen yang digunakan sebagai mushala.  Jumlah ini tentu saja sangat kecil mengingat populasi Jepang yang 120 juta jiwa.

Semua ini memperlihatkan bahwa pekerjaan dakwah di Jepang masih sangat besar, di tengah suasana yang lebih ramah dan lebih bebas prasangka daripada di Barat misalnya.  Maklum, sekali lagi dulu Kaisar Jepang pernah menjadi teman Khalifah.[]