Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Kegagalan Kebangkitan ala Indonesia

Monday, May 21st, 2012

Definisi Kebangkitan

Kalau kita bicara tentang kebangkitan sebuah bangsa, maka kita harus menetapkan dulu apa definisi kebangkitan itu dan apa indikator sebuah bangsa dikatakan telah bangkit, maju, kuat dan mandiri, juga sebaliknya kapan bangsa itu itu disebut bangsa yang gagal, terbelakang, lemah dan pengekor.

Pertama-tama kita bisa menggunakan definisi yang relatif berlaku umum.

Bangkit berarti bangun dari suatu kondisi yang dianggap memiliki kemampuan lebih rendah, misalnya dari posisi berbaring ke duduk, dari duduk menjadi berdiri, dan dari berdiri menjadi berjalan atau berlari. Dalam konteks sosial-politik, bangkit adalah berubah dari posisi “mati” (statis) menjadi “hidup” (dinamis) secara sosial politik.

Dari sisi kualitas, bangkit menuju hidup ini ada tiga tingkatan (level), yaitu:
level-1: bergerak ke arah yang positif (self-build), tidak merusak diri sendiri (self-destroy);
level-2: melakukan sesuatu yang ada hasilnya (produktif) yang tidak habis sekali pakai;
level-3: memberikan sesuatu yang kontributif ke orang banyak atau di masa sesudahnya.

Untuk ukuran sebuah bangsa, bangsa yang statis adalah bangsa yang sepenuhnya tergantung kepada bangsa lain, baik dalam perkara mempertahankan hidupnya, menjaga martabatnya, maupun mewujudkan cita-citanya.  Kehidupan maupun keamanannya ada di tangan bangsa lain.  Mungkin bahkan untuk pangan, air dan energi harus disupply atau disubsidi bangsa lain.  Hukum yang berlaku dan siapa penguasa yang menjalankan hukum itu sepenuhnya juga ditentukan bangsa lain.  Dan tentu saja, apa saja yang dianggap baik yang perlu diperjuangkan sebagai cita-citanya juga diberikan oleh bangsa lain yang menguasainya tersebut.  Bangsa tersebut menjadi “bangsa robot”, meski mungkin memiliki kemajuan material yang tinggi seperti adanya konstruksi pencakar langit, pabrik-pabrik, perkebunan, pertambangan  besar, atau penggunaan teknologi transportasi atau informasi yang canggih.  Tetapi semua kemajuan material ini dirancang asing, dioperasikan di bawah supervisi asing dan keuntungannya juga paling banyak dinikmati oleh asing.

Sebuah bangsa dikatakan keluar dari kondisi statisnya ketika dia mulai merintis memiliki kemauan dan kemampuan sendiri untuk mempertahankan kehidupannya, menjaga martabatnya dan mewujudkan cita-citanya. Proses inilah yang sering disebut perjuangan kemerdekaan.  Persoalannya, sejauh mana kualitas “merdeka” setelah bangkit tersebut?

Sebuah bangsa dapat dikatakan telah bangkit level-1 ketika setelah merdeka dia benar-benar bergerak positif, kondisinya tidak sama atau makin buruk dengan sebelumnya.  Tetapi kalau setelah “merdeka” kemudian terjadi perang saudara, ekonomi memburuk, pendidikan tidak lagi berjalan, dan di jalanan berlaku hukum rimba, maka level-1 inipun tidak tercapai.  Baru setelah level-1 tercapai, bangsa itu dapat meraih level-2 atau -3.

Level-2 adalah ketika kebangkitannya itu memberinya kemampuan untuk produktif, menghasilkan sendiri SDM cerdas berkualitas, membuat sendiri fasilitas produksi yang mampu membuatnya mandiri, sekalipun belum lebih maju dari capaian material yang dimiliki negara lain.  Intinya bukan kualitas capaian materialnya, tetapi bahwa itu dirancang sendiri, dioperasikan sendiri dan keuntungannya lebih untuk mereka sendiri.

Pada level-3, mereka benar-benar dapat memberikan kontribusi ke luar, bahkan ke masa sesudahnya.  Kontribusi ini tergantung visi yang diembannya, bisa positif bisa negatif.  Mereka bisa membebaskan atau memajukan bangsa lain, bisa pula menjajah bangsa lain.

Peta Kebangkitan Dunia

Kalau kita proyeksikan ke dunia saat ini, ada bangsa-bangsa yang statis misalnya sejumlah negeri jajahan Inggris, Perancis, Rusia atau Amerika.  Irlandia Utara adalah jajahan Inggris dan Puerto Rico adalah negeri di Caribia jajahan Amerika Serikat. Sekalipun di sana ada kemajuan material, tetapi faktanya bangsa itu adalah bangsa “robot”.  Mereka tergantung total oleh politik negara penjajahnya.

Sebagian negara jajahan pernah bergolak menuju kemerdekaan, misalnya Chechnya di Rusia, atau Irlandia Utara di Inggris.  Meski negeri tersebut sudah dimasukkan sebagai provinsi penuh dari negara penjajahnya, dan rakyatnya dianggap memiliki hak yang sama dengan rakyat di provinsi lain, tetapi mereka tetap merasa tidak puas karena merasa memiliki martabat dan cita-cita yang berbeda.  Hal yang mirip pernah terjadi di Nusantara saat menjadi sebuah koloni Negeri Belanda, dengan adanya seorang gubernur jenderal yang memerintah Hindia-Belanda.

Lalu ada bangsa-bangsa merdeka level-1 yang sudah berangsur-angsur bergerak ke arah positif, seperti Vietnam atau Malaysia.  Walau mungkin belum semaju Malaysia, Indonesia dapat dikatakan juga sedang menuju level-1, dengan indikator bahwa sejak merdeka secara umum hampir tak ada lagi perang saudara yang berkepanjangan, walaupun masih ada bentrokan kecil-kecilan atau separatis di daerah rawan konflik seperti di Papua.  Ekonomi Indonesia juga secara umum tidak lagi memburuk dengan cepat, pangan atau energi masih relatif mudah diperoleh, walaupun cenderung makin mahal, dan utang negara semakin besar.  Pendidikan bisa berjalan walaupun masih ada jutaan rakyat yang kesulitan mengaksesnya.  Dan di jalanan juga hukum sedikit banyak bisa berjalan, walaupun ada mafia peradilan.

Tetapi kebangkitan di Indonesia dapat dikatakan gagal mencapai level-2.  Level-2 dapat dikatakan telah diraih oleh negara-negara maju seperti Skandinavia, Switzerland atau juga negara berkembang seperti China atau India, bahkan oleh negara yang lebih kecil seperti Iran atau Venezuela.  China dan India dalam tiga dekade terakhir dapat dikatakan berhasil mentransformasi masyarakatnya menjadi cerdas dan mandiri.  Mereka berhasil merancang sendiri banyak hal terkait teknologi dan industri, mengoperasikannya sendiri, dan mereguk keuntungannya sendiri.  Meski produk mereka belum sekaliber negara-negara adidaya, tetapi mereka sudah tidak akan melemah oleh suatu embargo, bahkan mereka mulai disegani di kancah global.

Karena Indonesia gagal meraih kebangkitan level-2, maka tentu saja gagal meraih level-3.  Level-3 saat ini dimiliki oleh negara-negara adidaya atau mantan adidaya seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, mungkin ditambah Jepang atau Jerman.  Umat Islam hanya memiliki negara level-3 di masa lalu, yakni Daulah Khilafah.

Pada masa Orde Lama, Soekarno ingin dengan cepat mentransformasi Indonesia yang baru saja merdeka menuju kebangkitan level-3.  Secara politik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno berusaha tegak tidak mengekor politik negara adidaya saat itu.  Tetapi fakta di lapangan, jangankan level-3, level-1 pun saat itu belum tercapai.  Memang tentara penjajah tidak lagi bercokol di Indonesia, tetapi perang saudara saat itu masih berkecamuk di mana-mana.  Inflasi sangat tinggi, harga-harga meroket, dan rate-pendidikan sangat rendah.

Pada masa Orde Baru, Soeharto belajar dari pengalaman Soekarno, mencoba membangun Indonesia secara terrencana dan berkelanjutan.  Soeharto bahkan membangun berbagai industri strategis seperti PT IPTN, PT PAL, PT PINDAD dsb.  Sayangnya, mayoritas ekonom dan teknokrat yang direkrut Soeharto kurang mandiri, sehingga mengikuti arahan nyaris total dari asing.  Ini tampak pada kebijakan utang luar negeri, pembuatan berbagai instrumen hukum yang lebih pro kapitalis (kurang pro UKM), serta kebijakan politik yang lebih represif.  Semua ini ditambah lagi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang justru ditunjukkan secara mencolok oleh keluarga presiden.  Akibatnya kebangkitan level-1 pun justru ditinggalkan lagi.  Di akhir kekuasaan Soeharto, ekonomi dengan cepat memburuk dimulai dari krisis moneter menjadi krisis ekonomi, dan krisis multi dimensi, termasuk perang saudara yang meluas di Aceh, Ambon, Poso dll,  Industri strategis yang telah disiapkan ditelantarkan kembali, dan ribuan SDM cerdas yang pernah dididik ramai-ramai hengkang ke luar negeri.

Orde Reformasi sempat memberikan harapan. Krisis ekonomi sementara dapat diatasi.  Perang Saudara dapat diredam.  Tetapi liberalisasi yang membonceng reformasi justru membuat kebangkitan level-1 saja semakin sulit didekati kembali.  Berbagai perundangan yang dibuat di era reformasi justru membuat negeri ini makin “ramah” (baca: “dikuasai“)  investor asing.  Akibatnya kesempatan kerja makin berkurang, semakin banyak rakyat yang kehilangan daya beli dan di sisi lain rakyat semakin tidak terurus oleh para petualang politik yang naik ke kekuasaan (legislatif dan eksekutif) melalui proses demokrasi yang sarat permainan uang.

Faktor Ideologi

Di dunia, ada bangsa dengan ideologi yang bermacam-macam berhasil bangkit hingga level-3.  Amerika bangkit dengan kapitalisme.  Soviet dulu bangkit dengan sosialisme.  Yang membedakan hanya pada level-3 ini kontribusi seperti apa yang dihasilkan oleh bangsa itu.

Faktanya, dua ideologi itu menebar kerusakan di luar negeri.  Penjajahan, exploitasi sumber daya alam, dan penggunaan tenaga kerja yang nyaris seperti budak menjadi menu sehari-hari.  Sosialisme bahkan dalam jangka panjang tidak berhasil mempertahankan keberlangsungan negara Soviet.  Dan sekarang kapitalisme sedang menjadikan Amerika diujung tanduk.

Indonesia mengklaim menjadikan Pancasila sebagai ideologi kebangkitannya.  Namun ada yang terlupa, bahwa Pancasila sebenarnya baru sekedar falsafah, belum berupa ideologi yang lengkap.  Karena itu, dalam prakteknya, Pancasila bisa ditarik-tarik ke arah sosialis seperti di masa Orde Lama, ke arah kapitalis seperti di masa Orde Baru, atau ke arah kapitalis-liberal seperti di era Reformasi.

Hanya ideologi intelektual yang sehat dan secara rinci menunjukkan tak cuma tentang cita-cita tetapi juga jalan yang terang untuk meraih cita-cita itu, yang akan mampu mengantar Indonesia kepada kebangkitannya, tak hanya level-1, tetapi hingga level-3.  Ideologi seperti itu ada dalam Islam. Dan  pengalaman empiris dari sejarah menunjukkan bahwa itu hanya akan terjadi bila kita meraih cita-cita itu melalui kendaraan berupa Daulah Khilafah yang akan menerapkan seluruh paket sistem syariah.

Dengan ideologi Islam, visi kebangkitan sangat jelas, yaitu sampai mampu mewujudkan umat terbaik yang mampu menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah (QS 3:110).  Tugas ini memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya takut kepada Allah saja dan taat kepada semua yang diperintahkan syari’ah.  Selanjutnya kebangkitan level-1, 2, 3 akan terwujud dengan sendirinya seiring dengan penerapan syariah yang kaffah dan istiqomah.

Untuk konteks Indonesia, faktor ideologi ini juga akan berpengaruh pada seberapa cepat kebangkitan akan diraih.  Karena 85% rakyat Indonesia adalah muslim dan berbagai survei menunjukkan mereka masih memiliki ikatan emosional dan spiritual Islam yang tinggi, maka sudah seharusnya ideologi yang dipakai untuk membangkitkan adalah ideologi Islam.

Inilah rahasia kenapa kebangkitan level-1 pun tidak sepenuhnya kita raih, karena kita lengah tidak menggunakan ideologi Islam sebagai ideologi kebangkitan.  Hanya dengan ideologi Islam, maka tak cuma kebangkitan level-1 yang akan kita raih, tetapi juga level-2 dan level-3.

Dalam konteks materialisme seperti pada bangsa Barat, kualitas suatu bangsa memang diukur dari produk peradaban (teknologi, industri, seni, arsitektur, dll).   Namun dalam konteks Islam, ukuran yang standard adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma’ruf nahi munkar kelas dunia.  Itulah kebangkitan yang kita dambakan.

Jembatan Selat Sunda

Tuesday, April 8th, 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.

 

Konon pada zaman es, pulau Sumatra, Jawa, dan Bali masih terhubung daratan dengan benua Asia.  Karena itulah hewan-hewan di wilayah ini ada kemiripan.  Kini, kondisi itu dimimpikan muncul lagi, setidaknya dalam wujud jembatan yang menghubungkan Malaysia dengan Riau melalui sejumlah pulau di Selat Malaka, kemudian jembatan Sumatra-Jawa melintasi Selat Sunda, jembatan Jawa-Madura (sedang dibuat dalam proyek Suramadu) dan jembatan Jawa-Bali.  Jadi nantinya, untuk ke Bali, turis dari Eropa dapat naik mobil saja, sekalipun ada kemungkinan lebih mahal daripada naik pesawat.

Ide jembatan Selat Sunda menghangat lagi ketika akhir-akhir ini cuaca buruk berkali-kali membuat kapal-kapal feri terlambat.  Akibatnya antrian penyeberangan mengular hingga 15 Km atau 2-3 hari, dari semula hanya 2-3 jam saja.  Kalau yang antri itu truk pengangkut ayam potong, bisa-bisa ayam-ayam tersebut sudah mati duluan karena lemas atau kelaparan.  Cuaca buruk juga sempat membuat pasokan batubara untuk PLTU Suralaya terganggu, dan Jawa mengalami krisis listrik.

Tahun 1960, Prof. Sediyatmo (yang namanya diabadikan untuk jalan tol bandara SukarnoHatta) sudah melontarkan gagasan jembatan Selat Sunda.  Tahun 1986 BPPT ditugaskan Presiden Soeharto mengkaji penghubung Tri-Nusa-Bima-Sakti (Sumatra-Jawa-Madura-Bali).  Waktu itu yang sempat mengemuka adalah terowongan.  Namun ide terowongan akhirnya disingkirkan dengan sejumlah alasan: adanya palung sedalam 150 meter dengan lebar hingga 4 Km yang membuat panjang terowongan menjadi 2x panjang jembatan (biaya lebih besar), terowongan hanya dapat dilalui kereta listrik (sehingga mobil atau truk harus dinaikkan keatas kereta seperti pada terowongan Selat Kanal yang menghubungkan Inggris-Perancis) dan terowongan tidak dapat menjadi landmark.

Jarak terpendek di Selat Sunda: 27 km, dengan pulau-pulau di antaranya: Sangiang, Rimau Balak, Sebuku, Sebesi, Ular, Tempurung dan Krakatau.

Jalur terpendek in menurut survei geologi dan vulkanologi sudah cukup aman.  Jalur subduksi Sunda yang rawan gempa ada jauh di selatan.   Demikian juga gunung Krakatau berada cukup jauh.  Namun demikian konstruksi jembatan harus dirancang tahan tsunami, yang diramalkan dapat terjadi bila Krakatau meletus lagi kurang lebih tahun 2300-an.  Memang masih lama, namun untuk ukuran jembatan, 300 tahun “relatif muda”.  Di Eropa ada sejumlah jembatan yang telah berdiri sejak zaman Romawi Kuno.

Yang menjadi pertimbangan juga adalah arus laut (0.95 m/s) dan kecepatan angin (15-18 knots).  Desain konstruksi harus memiliki kekuatan yang tahan 3x arus dan angin tersebut.  Memang belum ada pengukuran dalam skala yang diperlukan untuk elevasi pasang surut, tinggi dan perioda gelombang, arah/kecepatan angin dan arus, curah hujan, kelembaban, suhu, tekanan udara dan penyinaran matahari.

Model jembatan yang didesain adalah kombinasi jembatan cancang dan jembatan gantung.  Karena Selat Sunda ada pada jalur internasional (Alur Laut Kepulauan Indonesia), maka Organisasi Hidrografi Internasional (IHO) maupun Organisasi Maritim Internasional (IMO) meminta bahwa di bawah jembatan utama harus bebas (clearance) setinggi 100 meter!  Dengan demikian kapal tanker atau kapal induk terbesar di dunia pun dapat melintas dengan aman di bawahnya. Untuk itu bentang jembatan utama kira-kira akan sepanjang 3300 m.  Jembatan gantung terpanjang di Indonesia saat ini baru 350 m!   Namun di dunia saat ini jembatan dengan bentang 3300 m sudah ada, yakni yang menghubungkan Italia dengan pulau Sicilia di Messina.

Menurut Dr. Pariatmono, Asisten Deputi Menristek urusan Promosi dan Komersialisasi Iptek, BPPT melalui Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Industri dan Sistem Transportasi telah melakukan kajian yang cukup intensif atas jembatan-jembatan antar pulau. Sebagian yang telah dilaksanakan adalah jembatan Suramadu (dalam proses) dan jembatan Batam-Rempang-Galang (Barelang) yang telah selesai dan beroperasi.  Kajian yang perlu dilakukan sebelum jembatan antar pulau dibangun meliputi kondisi alam (topografi darat, geologi, geomarine, geofisik, geoteknik), teknis struktur (aerodinamika, getaran) dan sosial ekonomi (lalu lintas, perkembangan wilayah).

Kompleksitas pembangunan jembatan Selat Sunda membuat prediksi biaya yang dibutuhkannya sangat tinggi.  Hitungan dari Prof. Wiratman (guru besar teknik sipil ITB) biayanya sekitar US$ 8 Milyar.  Sedang hitungan konsorsium dari AS, Korea dan Jerman, sekitar US$ 15 Milyar, namun dengan desain multiguna, jadi jembatan bukan hanya untuk lalu lintas jalan raya (tol), namun juga untuk kereta api, kabel-kabel listrik, fiber optik, pipa BBM, pipa gas dan bahkan untuk pengendara motor, sepeda dan pejalan kaki.  Dengan saat ini sekitar 4 juta motor per tahun yang menyeberangi selat Sunda, jelas rancangan multiguna ini cukup menarik.  PLTU besar bahkan dapat dibangun di dekat tambang batubara di Sumatera, sedang yang ke Jawa cukup kabel listrik saja.

Meski benefit secara nasional cukup besar, namun dengan kemampuan APBN yang ada sekarang, beranikah pemerintah segera membangun jembatan ini?  Kalau jembatan ini dibangun dalam 5 tahun, maka setiap tahun harus dianggarkan dana sekitar Rp 25 Trilyun?  Ini sudah 70% anggaran Departemen Pekerjaan Umum untuk membangun dan merawat jalan negara, jembatan dan infrastruktur lainnya di seluruh Indonesia.

Karena itu Presiden SBY menyambut baik inisiatif group Artha Graha (milik Tommy Winata) dan Media Group (milik Surya Paloh) untuk membangun jembatan Selat Sunda ini dengan prinsip Building – Operation – Transfer (BOT). Jadi jembatan dibangun oleh swasta, dioperasikan dengan sistem konsesi selama 30 tahun, baru kemudian diserahkan kepada negara.  Namun tentu saja swasta cerdik juga.  Dia tidak hanya meminta konsesinya seperti lazimnya membangun jalan tol, namun juga meminta kompensasi lahan di Banten dan Lampung masing-masing 10.000 hektar dan bagian dari sumberdaya alam di kedua provinsi itu.

Tinggal pemerintah sebagai pengurus dan pelindung masyarakat harus lebih cerdik lagi.  Jangan sampai nanti lahan 20.000 hektar sudah diberikan dan oleh mereka sudah dijadikan real estate dengan total nilai lebih dari Rp. 100 Trilyun, namun jembatannya tidak jadi-jadi.  Sekarang saja, jembatan Suramadu mengalami hal sejenis.  Biaya membengkak terus dengan berbagai alasan.  Di Jakarta bahkan proyek monorel yang jauh lebih sederhana juga terbengkelai.  Di banyak tempat di Kalimantan atau Sumatra, proyek pertambangan atau perkebunan tidak sukses, karena pengusahanya sebenarnya hanya mengincar kayu yang akan digundulinya dulu dari area hutan yang konon potensial untuk perkebunan atau pertambangan tersebut.  Kata Nabi, tidak boleh seorang muslim itu terperosok dalam lubang ular dua kali