Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Realitas Pendidikan di Barat

Friday, July 13th, 2007

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Alumnus Vienna University of Technology, Austria

Abstrak

Pendidikan di negara-negara Barat (Eropa, Amerika) sering dicirikan sebagai pendidikan yang maju, karena memang berada di dalam siklus sebuah negara industri maju.  Namun untuk memahmi realitas pendidikan di sana, beberapa sisi harus disorot.  Aspek pertama adalah persoalan akses vs mutu, yang secara langsung berkaitan dengan peran negara di dalamnya.  Di banyak negara, upaya pemerataan akses atas pendidikan sering dalam kontradiksi dengan mutu yang didapatkan.  Aspek kedua adalah tentang muatan pendidikan, baik dalam sisi ketrampilan hidup – termasuk di dalamnya sains dan teknologi, maupun pandangan hidup.  Yang jelas, realitas pendidikan di Barat sebenarnya tidak seragam, dan tidak mudah untuk digeneralisir.

 Realitas

Dari 200 perguruan tinggi top di dunia yang disurvei oleh majalah Times dan dipublikasikan pada November 2004, 62 universitas ada di AS.  Inggris mendapat ranking ke 2, disusul Jerman, Australia, Perancis dan seterusnya.  AS juga menduduki ranking pertama dilihat dari score maximum yang didapat oleh kampusnya. 

Sedang dihitung dari angka score rata-rata, Swiss menduduki peringkat tertinggi dengan angka 422.  Terlihat ada suatu simpangan yang cukup besar dari nilai rata-rata ke minimum dan maksimum di AS atau Inggris.  Sebaliknya di Jerman, Swiss atau Austria nilai simpangan ini sangat kecil, yang berarti mutu pendidikan di negara-negara itu relatif merata.

Scoring yang diberikan majalah Times ini meliputi penilaian dari peer (panel pakar), jumlah fakultas yang “go intenasional” dan jumlah mahasiswa dari luar negeri (yang diasumsikan menggambarkan reputasi perguruan tinggi tersebut sehingga diminati mahasiswa asing), rasio ideal dari jumlah mahasiswa per fakultas, dan jumlah karya tulis mereka yang dikutip di dunia ilmiah. 

Secara metodologis, nilai score tidak bisa dibandingkan secara linear begitu saja, karena hanya sebagai alat pembeda (differensiasi), bukan kuantifikasi.  Artinya, kampus dengan score 1000 bukan berarti 10 kali lebih baik dari yang scorenya 100.  Survei ini juga tidak merinci ke score per bidang studi yang tentunya akan bisa bervariasi.  Selain itu, indikator yang dipakai tadi tak pelak lebih menguntungkan negara-negara yang berbahasa Inggris, seperti AS, Inggris dan Australia. 

Namun walau bagaimana, daftar itu bisa menjadi cermin bahwa pada abad ke-21 ini, pendidikan yang bermutu lebih banyak dijumpai di Barat.  Dari dunia Islam, satu-satunya negara yang masuk dalam daftar itu hanya Malaysia, yang diwakili Malaya University dan Sains Malaya University.

 

Daftar negara dengan Perguruan Tinggi yang masuk Top200 versi majalah Times

Data compiled for The Times Higher by QS (www.qsnetwork.com), published 5 November 2004

 

Negara n avg min max
Amerika Serikat 62     254    103   1.000
Inggris 30     213    106      732
Jerman 17     141    104      228
Australia 14     223    123      418
Perancis 8     191    125      316
Belanda 8     153    107      188
Canada 7     194    114      364
Jepang 6     238    120      482
Cina 5     183    105      392
Swedia 5     135    117      150
Hongkong 4     191    104      250
New Zealand 3     160    146      184
Austria 3     152    121      175
Denmark 3     152    129      189
Korea 3     129    121      144
Swiss 2     422    289      554
Singapura 2     302    217      386
Belgia 2     209    205      213
Malaysia 2     158    150      166
Israel 2     143    124      161
Norwegia 2     134    110      159
Finlandia 2     127    115      139
Italia 2     116    110      122
India 1     242    242      242
Irlandia 1     167    167      167
Rusia 1     162    162      162
Taiwan 1     158    158      158
Spanyol 1     124    124      124
Mexico 1     105    105      105

Keterangan:

n = jumlah perguruan tinggi yang masuk Top200

avg = score rata-rata dari yang masuk Top200

min = score minimum dari yang masuk Top200

max = score maximum

 

Secara umum memang di Indonesia sendiri, alumni perguruan tinggi dari Luar Negeri memiliki “daya jual” yang lebih baik dari lulusan dalam negeri.  Stereotype yang sering muncul adalah: lulusan LN memiliki wawasan lebih luas, memilki attitude (seperti kedisiplinan dan etos kerja) yang lebih baik, dan lebih cakap berkomunikasi dalam salah satu bahasa Internasional.  Walhasil banyak anak-anak dari keluarga kaya yang cenderung pergi sekolah ke Luar Negeri, atau ke sekolah asing di Indonesia.

Antara akses dan mutu

Sebenarnya bila melihat data di atas, tampak bahwa mutu pendidikan sangat tergantung dari besarnya dana (anggaran).  Masalahnya, dana tersebut ada yang disediakan pemerintah, ada yang swadaya. 

Pada negara-negara dengan simpangan score yang besar (AS atau Inggris), pendidikan tinggi praktis dikelola secara swadaya.  Walhasil ada PT yang sangat bonafid (dengan score 1000) seperti Harvard University, yang SPP-nya juga sekitar US$ 100.000 per semester, namun ada juga yang relatif rendah (score 103 – walaupun masih masuk Top200) yaitu Virginia Polytechnic Institute yang disubsidi oleh pemerintah negara bagian.  Sedang di negara-negara dengan simpangan score yang kecil (seperti Jerman atau Austria), pendidikan tinggi hampir seluruhnya didanai oleh negara.

Tampak di sini bahwa sistem pembiayaan pendidikan di Barat memang tidak seragam sehingga sulit digeneralisir.  Sistem ini bergantung kepada filosofi yang dominan di dalamnya. 

Pada negara-negara di mana faham sosialis cukup kuat, yang diterapkan adalah sistem ekonomi pasar (kapitalis), namun pada beberapa aspek seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, negara tetap berperan besar.  Sistem ini sering disebut “Social-capitalism” atau “social-free-market”.  Di sisi lain memang ada negara-negara yang benar-benar menerapkan ekonomi pasar termasuk di sektor ini, walaupun levelnya berbeda-beda.

Secara umum, sistem pembiayaan pendidikan di Barat dapat dibagi dalam empat jenis.

Jenis pertama adalah subsidi penuh, sehingga pendidikan benar-benar gratis.  Sebagai contoh, di Jerman dan Austria, pendidikan adalah gratis sejak masuk Sekolah Dasar hingga lulus Doktor (S3).  Walhasil tidak ada yang tersisih karena persoalan biaya.  Sekolah akan mendapatkan bibit yang terbaik dan siswa yang memang tidak berbakat atau kecerdasannya kurang memadai akan terseleksi secara alami.

Jenis kedua adalah mirip jenis pertama, hanya saja untuk pendidikan tinggi, masa gratis dibatasi misalnya hanya hingga usia tertentu atau lama studi tertentu.  Setelah itu mahasiswa dipungut biaya yang akan makin besar bila lulusnya tertunda.  Negeri yang menerapkan ini misalnya Belanda.  Tentu saja di sana selain pujian juga ada kritik atas sistem ini, karena dianggap mengabaikan kenyataan bahwa meski sekolah gratis namun biaya hidup cukup tinggi, dan ada orang-orang yang tidak memiliki biaya hidup yang cukup sehingga harus sekolah sambil bekerja, sehingga sekolahnya molor.  Fakta memang, meski gratis, yang lebih mampu memanfaatkan hanya kelas menengah ke atas; masih jarang yang anak petani atau buruh.  Bukan sekedar masalah akses, namun juga biaya tambahan (untuk hidup).

Jenis ketiga adalah pembiayaan pendidikan gratis hanya sampai lulus SMA, sedang di perguruan tinggi dipungut biaya SPP – walaupun juga masih bersubsidi.

Jenis keempat adalah pendidikan membiayai sendiri.  Caranya macam-macam, ada yang dengan melibatkan komunitas atau alumni, kerjasama dengan industri atau perbankan (kredit pendidikan) dan atau menjadikan pendidikan sebagai benda komersil.  Contoh ini banyak di Amerika, sekalipun di Amerika banyak juga model pembiayaan jenis ketiga.

Pendidikan jenis terakhir inilah yang cenderung „dijual“ secara internasional.  Kita sering melihat iklan dari perguruan tinggi Australia, Singapura atau bahkan Amerika Serikat.  Namun kita akan jarang melihat iklan sejenis dari Jerman atau Austria.  Andaikata ada, maka ia dipakai untuk: (1) merekrut calon ilmuwan unggul dari negara dunia ke-3; (2) merekrut calon agen yang akan mempromosikan dan menyalurkan produk mereka di negara dunia ke-3; (3) mendapatkan tenaga yang lebih murah minimal selama pendidikan (karena membayar kandidat PhD jelas lebih murah daripada membayar pekerja resmi – meski kualifikasi dan yang dikerjakannya sama; (4) mendapatkan anggaran tambahan dari pemerintahnya.

 

Uang SPP di beberapa negara EU

Negara SPP per tahun setara (US$)
Belgia sekitar 18000 BFR per tahun, termasuk registrasi, kuliah, ujian dan asuransi. 560-670
Inggris undergraduates 607 GBP; postgraduates 1890 GBP plus uang ujian dan biaya lain 1300-4320
Italia universitas negeri 300000-400000 Lira per tahun; tergantung pendapatan keluarga 300-400
Belanda 1500-1750 NGL 1000-1270
Perancis 450 FF SPP, plus asuransi + iuran mahasiswa 1100 – 1500 FF; kecuali Grandes ecoles de commerce et de gestion (sekolah swasta di bawah KADIN): 12000-22000 FF 220-300 / 2400-4400

Sumber: UNIVERSITÄTEN 1995, p. 16, angka di sini dipengaruhi oleh perubahan (kurs, kenaikan harga, …)

 

 Baru menggarap IQ dan EQ

Dalam masalah muatan pendidikan, aspek IQ (kecerdasan intelektual) dan EQ (kecerdasan emosi) sama-sama digarap.  Untuk menilainya tentu saja kita harus sadari bahwa di Indonesia, baru IQ yang diolah.  Maka segera akan terlihat bahwa muatan pendidikan di Indonesia memang kurang bermutu. 

Di Barat pada umumnya siswa atau mahasiswa tidak dibebani dengan jumlah materi ajar yang terlalu besar sebagaimana di Indonesia, namun mereka dibekali dengan pisau asah sehingga mampu mencari dan mengembangkan sendiri ilmu.  Sedari kecil anak dibimbing untuk mampu berpikir logis, kritis dan kreatif.

Kecerdasan emosi juga dikembangkan sehingga anak-anak yang tumbuh di sana relatif lebih percaya diri, lancar berkomunikasi baik lisan maupun tertulis, dan peka terhadap lingkungan.  Kalau masyarakat di Barat relatif lebih mampu menjaga kebersihan, rajin bekerja, dan displin saat berlalu-lintas, itu adalah buah dari pendidikan EQ yang cukup berhasil.

Dari aspek ruhiyah (kecerdasan spiritual, SQ), perlakuan institusi pendidikan tidak sama.  Di negara dengan tingkat sekulerisme yang sangat tinggi seperti Perancis, tidak ada pendidikan agama pada sekolah umum.  Pendidikan agama hanya dimungkinkan pada sekolah swasta berlatarbelakang agama.  Sedang di negara dengan kultur agama yang masih kuat (seperti Katholik di Austria), pendidikan agama diberikan secara umum di sekolah-sekolah sampai SMU.  Untuk siswa yang beragama lain diberikan juga pendidikan agama dengan guru seagama, yang semuanya dibayar oleh pemerintah (termasuk guru agama Islam – yang dikoordinir oleh Austrian Islamic Society).

Namun pendidikan agama ini hampir tidak ada pengaruhnya.  Pada .penelitian James H. Leuba (psikolog terpandang Amerika) Th.1914: 58% dari 1000 ilmuwan Amerika yang dipilih acak tidak percaya adanya Tuhan.  Tahun 1934 jumlahnya naik menjadi 67%.  Edward J. Larson (Prof. Hukum & Sejarah-University of Georgia, Amerika & pemenang Pulitzer 1998) meneliti lebih lanjut pada ilmuwan top anggota National Academy of Science.  Pada pertanyaan “Apakah percaya adanya Tuhan” ada jawaban sebagai berikut:

 

  1914 1933 1998
Percaya 27,5% 15,0% 7,0%
Tidak percaya 52,7% 68,0% 72,2%
Ragu-ragu 20,9% 17,0% 20,8%

 

Dan tentang kehidupan setelah mati

 

  1914 1933 1998
Percaya 35,2% 18,0% 7,9%
Tidak percaya 25,4% 53,0% 76,7%
Ragu-ragu 43,7% 29,0% 23,3%

 

Sumber:
E.J. Larson & L. Witham. Nature 394, 313 (1998)

 Marketer Sekulerisme

Tampak di sini bahwa budaya sekuler-liberal tetap lebih berkesan dibanding pendidikan agama di sekolah yang cuma beberapa jam seminggu.  Persoalan seperti pergaulan bebas, narkoba dan kriminalitas di sekolah ada di mana-mana.  Di sisi lain, pandangan terhadap Islam, umat dan sejarahnya yang bias hampir ditemui di semua semua pelajaran (penelitian Susanne Heine: Islam Zwischen Selbstbild und Klische, Wien, 1995).

Cara pandang dan perilaku sekuler – yang tidak harus melalui indoktrinasi atau pelajaran sekolah – adalah sarana mempertahankan sistem yang ada di Barat (yakni untuk siswa mereka sendiri), dan juga mengekspornya ke seluruh dunia melalui orang-orang asing yang bersekolah di Barat.  Mahasiswa asing ini nantinya diharapkan menjadi “marketer” tentang keramahan bangsa Barat, kehandalan produk Barat, dan kemajuan cara pandang Barat.

Pada kasus beasiswa untuk ilmu-ilmu humaniora, pandangan sekuler ini akan tertanam dalam prinsip-prinsip ilmiah yang dikaji.  Penerima beasiswa dari negara-negara berkembang selama bertahun-tahun, bahkan setelah lulus, diharapkan menghasilkan paper-paper tentang berbagai hal yang dilihat dari sudut pandang kapitalis.

Sedang pada beasiswa untuk ilmu-ilmu sains dan teknologi, secara khusus memang tidak ada pengkondisian sekulerisme di kampus.  Namun realitas kehidupan Barat itu sendiri adalah cara “dakwah” terbaik tentang sekulerisme – sehingga tak sedikit mahasiswa muslim yang berkesimpulan bahwa sistem di Barat serba lebih “islami” daripada di negeri Islam sendiri.

Dengan orang-orang ini, maka imperialisme dapat dilanjutkan.  Keunggulan sains dan teknologi akan dijadikan alat imperialisme, misalnya melalui hutang LN atau ketergantungan produk LN – dan ini sering melalui anak-anak kandung umat Islam sendiri.

 Kesimpulan:

Pendidikan di Barat secara umum memang saat ini lebih maju dibanding di negeri-negeri Islam – yang memang belum menerapkan sistem Islam.  Dalam pembiayaannya, ditemukan bahwa ketika negara mendanai penuh pendidikan, terjadi pemerataan akses – dan juga mutu.  Namun kurangnya sentuhan ruhiyah – terlebih Islam – membuat lulusannya cenderung atheis dan terdehumanisasi.  Mereka akan menjadi alat sekulerisme dan imperialisme. 

tulisan ini dimuat di jurnal al-Waie edisi no 59, Juli 2005