Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Teknologi Tepat Guna Zaman Khilafah

Saturday, May 10th, 2014

Dr Fahmi Amhar

Bicara teknologi, sering orang terdikotomi – atau bahkan terpolarisasi – pada pembagian teknologi “tepat guna” dan “teknologi canggih”.  Teknologi tepat guna sering dipahami sebagai teknologi yang menyentuh kehidupan rakyat kecil yang merupakan mayoritas, dan dengan mudah dapat diterapkan untuk menaikkan kualitas hidup.

Sedang teknologi canggih diasosiasikan sebagai teknologi yang eksklusif, hanya mampu digunakan oleh orang-orang kaya, atau yang berpendidikan tinggi.  Penggunaan teknologi canggh juga tidak secara signifikan menaikkan kualitas hidup, kecuali hanya menaikkan gengsi dari penggunanya.  Teknologi tepat guna juga secara umum dapat dibuat sendiri oleh penduduk lokal dengan bahan-bahan lokal, sedang teknologi canggih lebih sering masih harus diimpor.

Kincir air al-Jazari, teknologi tepat guna pada masanya

Kincir air al-Jazari, teknologi tepat guna pada masanya

Karena itu, teknologi tepat guna sering diasosiasikan dengan teknologi untuk mendapatkan air, teknologi meningkatkan produksi pertanian dan peternakan, teknologi energi yang murah, teknologi kesehatan dan obat-obatan dari bahan-bahan yang tersedia dan murah, juga teknologi transportasi yang tidak memerlukan teknologi tinggi.  Teknologi tinggi sering dicontohkan dengan teknologi informasi dan komunikasi, serta teknologi hankam.  Ini tidak menutup mata pada eksistensi teknologi canggih di bidang pangan, energi, kesehatan dan transportasi; atau juga teknologi tepat guna di bidang informasi, komunikasi serta hankam.

Pada masa keemasan peradaban Islam, sebagian besar teknologi yang berkembang berangkat dari kebutuhan mayoritas rakyat.  Karena itu mayoritas teknologi yang ada dapat disebut tepat guna.

Misalnya teknologi pangan.  Di dunia pertanian muncul Al-Asma’i (740-828 M) yang mengabadikan namanya sebagai ahli hewan ternak dengan bukunya, seperti Kitab tentang Hewan Liar, Kitab tentang Kuda, kitab tentang Domba, dan Ābu Ḥanīfah Āḥmad ibn Dawūd Dīnawarī (828-896), sang pendiri ilmu tumbuh-tumbuhan (botani), yang menulis Kitâb al-nabât dan mendeskripsikan sedikitnya 637 tanaman sejak dari “lahir” hingga matinya.  Dia juga mengkaji aplikasi astronomi dan meteorologi untuk pertanian, seperti soal posisi matahari, angin, hujan, petir, sungai, mata air.  Dia juga mengkaji geografi dalam konteks pertanian, seperti tentang batuan, pasir dan tipe-tipe tanah yang lebih cocok untuk tanaman tertentu. (more…)