Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
June 11th, 2006

Mitos, Sains dan Iman di tengah Bencana

Tulisan ini dipublikasikan di harian KR, Yogya, 12 Juni 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Meletusnya Merapi sering dikaitkan dengan suatu mitos. Kiai Dandang Wesi – danyange gunung Merapi – ini nama menurut almarhum SH Mintardja – barangkali sedang hajatan. Dan menurut Mbah Maridjan, orang hajatan tidak akan buang sampah di pekarangan rumah. Makanya dia tenang-tenang saja tinggal di dusunnya. Dia bahkan tidak tertarik untuk diajak Walikota Berlin ke Jerman ikut “ngeruwat” Piala Dunia.

Demikian juga, gempa besar yang meluluhlantakkan Yogya dan Klaten tempo hari, konon karena Nyi Loro Kidul – ratu laut selatan – marah karena RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi mau disahkan. Karena nanti kembenannya yang seksi bisa jadi delik. Ini minimal menurut Permadi, anggota DPR dari PDIP yang tetap berprofesi atau berhobby sebagai paranormal. Versi lainnya mengatakan bahwa Nyi Loro Kidul yang sekarang sudah teremansipasi, jadi tidak mau lagi dimadu oleh Kanjeng Sultan Yogya. Wah-wah, yang namanya mitos bisa liar begini.

Tapi yang lebih liar lagi, beberapa hari yang lalu ada sms dan email yang beredar di seluruh jagad. Bahwa lempeng Indo-Australia sedang bergerak menuju lempeng Eurasia, dan dalam 11 hari setelah 27/5/2006, atau tanggal 6/6 kemarin, akan menumbuknya dan melecut gempa yang lebih besar lagi. Akibatnya beberapa kalangan ragu-ragu untuk beres-beres rumah. Sampai-sampai ada anggota tim yang ditugaskan mendata rumah yang akan dibantu lalu menunda pendataan, sekalian saja kalau gempa besar itu sudah terjadi, pikirnya.

Apa yang terjadi ini semua adalah mitos. Kadang-kadang mitos dibumbui dengan sains. Tentu saja dari orang yang tidak begitu mengerti sains. Karena yang namanya gerak lempeng itu tidak mudah diukur dalam ukuran hari. Kalau lempeng bergerak 10 cm per tahun, artinya per hari kurang dari 0,3 milimeter. Ini suatu dimensi yang bisa diukur untuk benda mikroskopis, tetapi tidak bisa diukur dengan ketelitian yang dibutuhkan untuk ukuran lempeng benua. Lagipula, gempa besar itu bukanlah saat “tumbukan” itu sendiri, tetapi ketika material yang ada di perut bumi sudah tidak sanggup menahan energi desakan lempeng.

Kembali ke masalah mitos. Mbah Maridjan mungkin sedang melakukan doa dan ritual tertentu sesuai keyakinannya. Waktu dulu Yogya terancam badai, ada sesaji dengan 12 atau 17 macam jenang. Ritual semacam ini tentu saja tidak ilmiah, tetapi faktanya sudah dilakukan orang berabad-abad. Pada situasi di mana sains juga tidak banyak menolong, orang biasa lari ke mitos dan klenik. Tidak cuma di Yogya. Di Jepang dan Amerika yang sudah majupun, mitos tetap ada. Hal ini terkait dengan kebutuhan spiritual yang merupakan bagian dari fitrah manusia.

Tetapi ada cerita menarik yang terjadi hampir 14 abad yang lalu. Kalau Yogya terancam gunung Merapi, maka negeri Mesir terancam banjir Sungai Nil atau di musim yang lain kekeringan. Maka Mbah Maridjan-nya negeri Mesir biasa melakukan ruwatan. Dan tak tanggung-tanggung, sesajennya – menurut mitos mereka – harus seorang perawan rupawan, yang setelah dihias akan dilarung hidup-hidup ke sungai Nil.

Ketika Islam masuk ke Mesir, dan ingin melarang orang Mesir meneruskan tradisi itu, mereka menghadapi penolakan. “Kalau tidak diruwat, kalau terjadi bencana gimana …”. Maka Khalifah Umar bin Khaththab lalu menulis sebuah surat.
Bunyi surat itu kira-kira begini, “Wahai Sungai Nil, kalau engkau mengalir karena dirimu sendiri, maka janganlah mengalir. Namun jika yang mengalirkan airmu adalah Allah, maka mintalah kepada-Nya untuk mengalirkanmu kembali”. Umar menyuruh orang Mesir untuk melarung surat itu, sebagai ganti dari perawan rupawan.
Allah Maha Mendengar. Tahun itu sungai Nil tidak membuat bencana. Dan mitos Mesir kuno pelan-pelan tergantikan dengan iman. Dan di zaman keemasan Islam, sains kemudian tumbuh pesat di sana dengan landasan iman.

Oleh sebab itu, mungkin rakyat Yogya – terutama yang muslim – pelu menggantikan segala jenis ruwatan ke Merapi, cukup dengan surat seperti surat Umar bin Khaththab tadi. “Wahai gunung Merapi, kalau engkau meletus karena kehendak Allah, taatlah kepada-Nya …. “.

Karena, bencana yang ditimbulkan Merapi atau Laut Selatan, yang tidak bisa kita cegah, boleh jadi memang kehendak Allah untuk menguji kita. Namanya anak sekolah, kalau mau naik kelas ya harus lulus ujian dulu. Begitu kan?

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (Qs. 29-al-Ankabut : 2)

Tags: , , ,

.

Leave a Reply