Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
July 4th, 2006

Bencana Alam vs Bencana Buatan

Tulisan ini dipublikasikan di harian “Kedaulatan Rakyat”, Yogyakarta, 30 Juni 2006

GEMPA besar seperti yang menggoyang Yogya 27/5/2006 adalah bencana alam yang tidak bisa dicegah dan tidak bisa diprediksi saat terjadinya. Letusan Gunung Merapi dengan luncuran awan panas, lahar dan lava pijarnya adalah bencana alam yang tidak bisa dicegah namun bisa diprediksi saat terjadinya, karena sebelumnya sudah memberi sejumlah tanda-tanda. Untuk kedua jenis bencana yang tidak bisa dicegah ini, manusia hanya bisa membuat perencanaan ruang dan konstruksi yang siap menghadapinya. Mereka akan mendirikan bangunan yang tahan gempa, atau permukiman di zona yang tidak akan terkena awan panas dan lahar.

Namun banjir besar di Sinjai Sulawesi Selatan yang terjadi kemudian adalah jenis bencana ketiga, yang mestinya dapat dicegah dan diprediksi. Bencana banjir lebih tepat disebut ‘bencana buatan’ – bukan bencana alam. Quran mengatakan: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Qs 30 – Ar Ruum :41)

Banjir terjadi ketika neraca air permukaan positif. Neraca air ditentukan empat variabel: curah hujan di suatu tempat, air limpahan masuk dari sekitar, air yang diserap tanah dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar. Dari empat variabel tadi, tiga di antaranya dipengaruhi atau bisa diintervensi oleh aktivitas manusia. Hanya curah hujan yang tidak ditentukan oleh manusia. Manusia hanya bisa menyelidiki curah hujan maksimum di suatu daerah dari catatan stasiun cuaca dalam jangka panjang, seperti yang ada pada Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).

Air yang terserap tanah tergantung jenis tanah dan vegetasi di atasnya. Makin banyak vegetasi, makin tinggi daya serapnya. Menggunduli hutan, mengeringkan rawa-rawa atau mengubah fungsinya secara drastis berarti merencanakan bencana. Demikian juga limpahan air masuk dan keluar, dapat diintervensi manusia dengan tanggul, kanal, dan pompa air.

Tak heran, curah hujan sebesar apapun pada daerah yang bahkan lebih rendah dari permukaan lautpun – bisa jadi tidak mengakibatkan banjir, selama manusia sudah dapat mengelola neraca air dengan seksama. Amsterdam contohnya, kota ini rata-rata terletak tujuh meter di bawah muka laut. Namun teknik hidrologi Belanda membuktikan, dengan suatu jaringan kanal kota yang rapi, sistem pompa yang efisien serta tanggul laut yang perkasa, beberapa dekade terakhir kota besar ini tidak pernah kebanjiran lagi.

Di Jakarta, meski Ancol terletak di tepi laut, namun Ancol tidak pernah kebanjiran, padahal banyak lokasi lain di Jakarta yang lebih tinggi dari Ancol justru biasa tergenang. Dengan demikian, banjir pasti bisa dicegah, asal kita memiliki tiga pilar pencegahnya.

Pilar pertama adalah kesadaran warga untuk menjaga lingkungan. Di ‘zaman edan’ ini, Alhamdulillah tetap saja ada warga yang sadar, bahwa membuang sampah di sungai atau menjarah hutan itu berbahaya. Bahkan ada orang yang rela menghabiskan umurnya untuk terus menanam pohon. Rasulullah memuji seseorang yang terus menanam pohon, sekalipun orang itu tahu sorenya hari kiamat akan tiba. Orang itu merawat lingkungan tanpa memandang hasil, namun sebagai manifestasi ibadahnya.

Pilar kedua adalah kontrol sosial dari budaya masyarakat yang menghargai lingkungan, walau kadang dikaitkan mitos tertentu. Inilah ‘kearifan lokal’, yang meski tidak ilmiah namun efektif menjaga mereka dari bencana. Namun di suatu masyarakat, tidak semua warga dapat diharapkan sadar lingkungan atau punya malu ketika menyimpang dari budaya yang ada. Untuk itulah diperlukan pilar ketiga, yaitu peran pemerintah. Pemerintah harus melakukan rekayasa sosial dan fisik, agar lingkungan terjaga.

Pemerintah bisa membuat aturan yang memberi insentif pada daerah yang meningkat kualitas lingkungannya – misalnya dengan Dana Alokasi Khusus, pengurangan pajak, atau subsidi warga (pendidikan, kesehatan, BBM, infrastruktur). Pemerintah juga wajib mengurangi beban utang negara, agar sumber alam ini tak lalu ‘digadaikan’ untuk membayar utang berikut bunganya.

Pemerintah dapat menstimulasi gerakan cinta lingkungan dengan promosi yang gencar di media massa, melibatkan tokoh dan selebritis, juga memasukkannya dalam kurikulum. Gaya hidup materialistis, yang mendorong orang lebih banyak menjarah alam, harus dikikis habis. Agar lebih joss lagi, gerakan ini perlu diberi landasan spiritualnya, agar merawat lingkungan dirasakan sebagai aktivitas syar’i yang transendental.

Pemerintah dapat mewajibkan agar pada setiap proyek (real estat, lapangan golf, reklamasi pantai), dilakukan simulasi uji dampak lingkungan. Pemerintah bisa menghukum berat para penjahat lingkungan, penjarah hutan, penumpah limbah sembarangan, termasuk juga para pejabat yang secara sembrana memberi izin atau tutup mata pada para kapitalis bejat seperti itu.

Tanpa pilar-pilar ini, bencana alam ..ups.. ‘bencana buatan’ akan terus menghantui kita.  Maka apakah orang-orang pembuat kerusakan itu, merasa aman dari ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari ?, (Qs. 16 – an Nahl:45)

.

Leave a Reply