Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
July 26th, 2006

Juara Sejati Olympiade

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal
Mantan anggota Dewan Juri Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI.

 

Indonesia juara Olympiade Fisika Internasional, bahkan tahun 2006 meraih “Absolute Winners”.  Mengharukan.  Membanggakan.  Saya teringat awal-awal ketika Saudara Yohannes Surya, yang saat itu masih mahasiswa S3 di College Williamsburg and Marry menggalang dukungan via milis-milis Indonesia.  Di kampusnya itu akan diselenggarakan Olympiade Fisika Internasional.  Akhirnya beberapa pelajar SMU dari Indonesia dibiayai ke Amerika untuk ditentor oleh Yohannes sendiri beberapa bulan.  Maklum, soal-soal yang akan keluar adalah soal-soal fisika level S2.  Karena partisipasi pertama itu tidak mengecewakan, maka sponsor untuk partisipasi berikutnya semakin banyak.  Sepulang dari LN dan menjadi dosen di UPH, fokus Yohannes pada TOFI (Team Olympiade Fisika Indonesia) jauh melebihi penelitian-penelitian dia sendiri.  Visinya, tahun 2020 akan ada pemenang Nobel bangsa Indonesia.  Adanya pemenang Nobel dari suatu bangsa, mau tidak mau akan menaikkan posisi tawar bangsa itu, baik dalam kancah ristek maupun dalam kancah politik.

Saya kiri visi itu realistis.  Beberapa anak asuh Yohannes (alumni TOFI) bahkan kini sudah ada yang menjadi Associate Professor di Perguruan Tinggi top di Amerika.  Sanggat membanggakan, bahwa IQ bangsa ini ternyata sangat unggul.  Namun saya merasa perlu untuk melakukan sedikit kontemplasi.  Setidaknya ada tiga hal yang perlu direnungkan.

Pertama, sejak adanya OFI, bermunculan OF tingkat nasional, provinsi bahkan kabupaten/kota.  Juga olympiade jenis lainnya (matematika, kimia, biologi, komputer, astronomi).  Semua ajang ini saya yakin baik sekali untuk penyaluran aktivitas remaja.  Namun sejujurnya, ini baru ajang kecerdasan intelektual (IQ).  Soal-soal Olympiade adalah soal-soal yang memerlukan analisis, bukan soal-soal yang memerlukan kreatifitias ataupun kepekaan sosial.  Ini berbeda dengan kompetisi dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja yang diadakan baik LIPI maupun Depdiknas.  Namun sejak “musim” Olympiade, tingkat popularitas kegiatan LIPI maupun Depdiknas ini dapat dikatakan turun cukup signifikan.

Kedua, alumni Olympiade, apalagi yang meraih medali di level internasional, selalu akan diperebutkan oleh universitas-universitas top dunia.  Apakah mereka benar-benar akan jadi “orang”?  Bila ya, siapa yang akan menarik manfaat dari mereka?  Sejujurnya, penelitian-penelitian dalam bidang SDM justru menunjukkan bahwa keberhasilan menjadi manusia lebih ditentukan oleh kecerdasan emosi, bukan kecerdasan intelektual.  Pada kecerdasan emosilah terletak idealisme, motivasi, empati, kerjasama, kreatifitas, dan sejenisnya.  Sementara itu, kompetisi dalam olympiade-olympiade ini lebih menonjolkan IQ.  Saya teringat, tahun 1985 dulu, ada 50 anak berbakat yang dipilih dari SMU-SMU top di Jakarta, diberi pengayaan ilmu secara khusus, kemudian diberi beasiswa ke Negeri Belanda tanpa kewajiban ikatan dinas setelahnya.  Apa hasilnya?  Dari 50 orang itu, hanya 1 orang yang sampai PhD!  Kemudian pada periode yang sama, Kementrian Ristek yang saat itu masih powerful di bawah BJ Habibie, mengirim ratusan orang ke berbagai negara maju.  Saya termasuk yang beruntung berada di dalamnya.  Namun sejujurnya, mayoritas alumni program Habibie kini lebih banyak yang “lari” dari kewajiban ikatan dinasnya dan lebih memilih mengabdi untuk korporasi asing.  Terakhir bahkan dikabarkan data karyasiswa ini di BPPT (yang waktu itu merupakan sekretariat program) telah hilang.  Sesuatu yang menurut saya tidak lucu.  Dari sekian ratus orang itu, sedikit yang sampai PhD.  Dari yang sedikit ini, mayoritas menetap di negara maju, berkarya untuk negara maju, menghasilkan PDB untuk negara maju.

Mengapa mereka enggan pulang?  Mungkin gegar budaya.  Atau memang iklim riset di negeri ini jauh dari kondusif.  Yang kondusif cuma korupsi!  Seorang peneliti yang bekerja di lembaga riset pemerintah, jarang yang bisa fokus pada penelitiannya.  Mereka harus berpartisipasi dalam segudang agenda lain dari lembaga itu, kalau mereka ingin survive.  Memang ada apologi, bahwa yang di luar negeri bisa dikatakan sedang menabung jaringan riset dan bisnis, dan menunggu saat yang tepat untuk kembali.  Mereka juga dapat memberi jalan bagi “adik-adiknya” untuk juga sekolah, riset atau bisnis ke sana.  Lalu pada siapa terletak tugas menjadikan “saat yang tepat” dan membangun “iklim yang kondusif” ini?

Ketiga, memberi penghargaan yang demikian tinggi pada para juara OFI, hingga mengundangnya beradiensi dengan Presiden, itu pantas dan wajar.  Itu akan memotivasi para remaja yang lain.  Namun akan lebih pantas lagi untuk memberi penghargaan yang tinggi kepada para peneliti yang sudah banting tulang bekerja untuk negeri ini, menyiapkan iklim riset yang kondusif meski dengan segala keterbatasan, sambil tetap menghasilkan karya-karya besar dalam kesepian.  Contoh, para peneliti tsunami, bertahun-tahun hanya “diejek” sampai “frustrasi”.  Baru akhir-akhir ini saja mereka menjadi bak “selebriti”.  Indonesia sudah lama jadi “nett-importer technology & nett-exporter brain”.  Orang-orang kita yang cerdas lebih suka bekerja untuk korporasi atau negara asing, karena kita tidak sediakan lahan yang subur untuk mereka.  Kita semakin lama semakin memandulkan teknologi kita sendiri.

Sementara orang-orang cerdas yang tetap nekad bekerja untuk negeri ini, karena idealisme tinggi untuk mandiri dalam teknologi, tidak didukung agar terus kerja keras, kerja cerdas serta kerja ihlas; namun justru diajari untuk kerja meras, kerja culas dan kerja (me)nindas.

Namun di depan Tuhan Yang Maha Esa, barangkali merekalah para juara sejati.

Tags: ,

.

Leave a Reply