Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
July 18th, 2006

Mengagas Dana Perimbangan Bencana

Tulisan ini dimuat di harian Kompas, 21 Juli 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal

Kemarau panjang telah tiba. Hujan sudah lama tak turun. Ini saat yang tepat bagi orang-orang yang ingin merenovasi atap rumahnya. Ini musim orang hajatan, dari khitanan sampai acara 17-Agustusan. Namun ini juga musim petani menjerit. Waduk-waduk irigasi telah menampakkan dasarnya. Puluhan ribu hektar sawah kini telah kering. Di beberapa daerah, ibu-ibu dan anak-anak terpaksa mencari air berkilometer jauhnya.

Di Malaysia dan Singapura, ini juga musim asap. Asap yang datang dari hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan, yang entah sengaja dibakar untuk membuka lahan, atau terbakar sendiri saking keringnya. Saluran inframerah dari citra satelit NOAA menampakkan ratusan “hot-spot” – ini bukan istilah fasilitas akses internet wireless di café-café, tapi benar-benar “titik-titik panas”, artinya dalam satu pixel NOAA yang berdimensi sekitar 1×1 Km itu diduga ada api atau bara api.

Identifikasi NOAA ini memang masih cukup kasar. Dia hanya membedakan bahwa di suatu cakupan 1×1 Km panasnya melebihi suatu nilai threshold tertentu yang ditetapkan. Bila nilai ini diturunkan, tentu saja akan lebih banyak hot-spot yang bermunculan. Tentu saja tidak semua hot-spot ini benar-benar kebakaran hutan. Suatu industri yang banyak memiliki mesin-mesin kalor, atau pusat kemacetan transportasi pun akan teridentifikasi sebagai hot spot.

Karena itu data hot spot harus digabung dengan data lain, yang menunjukkan bahwa tempat itu seharusnya tidak “hot”. Tempat itu bukan daerah industri atau transportasi. Daerah itu hutan, yang semestinya sejuk. Adanya hot spot menunjukkan sesuatu yang tidak beres. Namun pixel NOAA yang amat kasar (1×1 km) masih mensisakan banyak pekerjaan rumah. Dengan helikopter tentu saja luasan itu tidak banyak artinya. Namun bagi polisi hutan yang berjalan di darat, tentu memerlukan energi yang cukup tinggi untuk benar-benar menemukan sumber kebakaran. Ini baru menemukan, belum memadamkannya.

Dengan areal hutan kita yang sangat luas (lepas dari soal sebagian kini tinggal belukar, hutannya sendiri sudah habis dijarah), tentu tidak mudah bagi siapapun untuk dapat mengatasi kebakaran hutan dengan cepat. Akan terlalu banyak daerah-daerah yang sangat sulit dijangkau. Oleh karena itu memang lebih baik adalah tindakan preventif.

Tindakan preventif ini kalau ingin efektif harus melibatkan masyarakat lokal. Selama ini para penjarah hutan juga melibatkan masyarakat lokal. Masyarakat lokal sering bertindak jangka pendek karena iming-iming (uang, minuman keras, cewek) dari para pengusaha hitam. Karena itu masyarakat lokal perlu diberdayakan, diberi fasilitas pendidikan bermutu yang terjangkau, diberi infrastruktur agar nilai tawar mereka di pasar meningkat sehingga mereka terbebas dari kemiskinan struktural yang membelitnya, serta dilindungi dari ancaman pengusaha hitam yang tak jarang menteror mereka dengan senjata.

Hal yang mirip sebenarnya diperlukan dalam mengatasi kekeringan yang meluas ini. Para petani kita selama ini memang termarjinalkan. Berbagai kebijakan politis belum berpihak pada mereka. Pada saat panen raya, pemerintah justru impor beras. Namun pada musim paceklik seperti sekarang, belum kelihatan solusi yang ditawarkan pemerintah.

Sebenarnya, pemerintah bisa melakukan pemetaan terhadap lahan pertanian, untuk dapat diketahui jenis-jenis kesulitan yang dihadapi setiap lahan secara rinci. Dengan pemetaan itu akan diketahui areal yang rawan kekeringan, atau sebaliknya rawan banjir, juga daerah dengan kelerengan tertentu yang berarti lebih sulit pengerjaannya dan rawan longsor, lalu daerah pertanian terpencil yang akses infrastrukturnya masih sangat terbatas, dan seterusnya.

Dalam skala yang lebih detil – dan ini pernah diaplikasikan pada beberapa perkebunan sawit dengan luas ratusan ribu hektar, pemetaan ini bisa sampai pada level kondisi kesehatan tiap tanaman, sehingga kebutuhan air, pupuk dan pestisida dapat dipenuhi secara optimal. Inilah yang dikenal dengan istilah precision farming.

Dengan pemetaan ini, maka dapat diketahui secara tepat jenis dan besaran subsidi yang mesti diberikan pemerintah kepada petani. Tidak selalu subsidi berupa pupuk atau alat pertanian itu tepat.

Pemetaan ini juga mestinya efektif untuk tindakan preventif terhadap kekeringan. Suatu lahan yang diperkirakan akan kering, dapat segera dikonversi ke tanaman yang lebih tahan kekeringan.

Pemetaan seperti ini akan mengurangi dampak kekeringan, namun belum mengatasi korban yang berjatuhan. Di situlah kembali ditunggu peran negara. Pada negara sebesar Indonesia ini, tentu kemungkinannya kecil bahwa seluruh negeri terkena kekeringan. Sepertinya negara perlu mengalokasikan “dana perimbangan bencana” yang tetap dipegang pemerintah pusat, namun dihitung per daerah sesuai potensi bencananya, dan baru dicairkan bila bencana telah terjadi.

Jangan sampai, bencana yang terus ada ini dijawab pemerintah dengan kata-kata, “Pos bencana alam sudah habis” – namun pemerintah tetap punya pundi-pundi untuk membayar gaji ke-13 para pejabat, untuk studi banding ke luar negeri serta untuk kegiatan-kegiatan lain yang manfaatnya untuk masyarakat luas justru kurang jelas.

Tags:

.

Leave a Reply