Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
May 26th, 2007

Menyelesaikan Masalah Pertanahan

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

 Suara Islam no 21, minggu III-IV Mei 2007

Sebuah kasus pertanahan yang cukup kolosal sedang menarik perhatian anak negeri.  Areal seluas 59 hektar, yang di atasnya telah berdiri ribuan bangunan, termasuk fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas, yang mayoritas mengantongi sertifikat tanah, tiba-tiba terancam tergusur, karena konon proses jual belinya puluhan tahun yang lalu bermasalah.  Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung telah memerintahkan agar tanah di Meruya Selatan Jakarta Barat itu dikosongkan karena telah menjadi hak PT Porta Nigra.

Masyarakatpun resah.  Harga tanah dan bangunan di sana mendadak turun.  Real estate merugi.  Banyak pihak menduga ini hanya akal-akalan mafia tanah untuk dapat memborong tanah dengan harga murah.  Gubernur DKI konon siap pasang badan membela masyarakat melakukan upaya Peninjauan Kembali.  Sementara itu pengacara PT Porta Nigra menuduh BPN telah sewenang-wenang saat memberikan sertifikat atas tanah yang sedang dijadikan sita jaminan.

Lepas dari soal kepastian hukum kasus yang sedang hangat ini, sebenarnya sejauh mana ”state of art”  dari teknologi yang dapat digunakan untuk mencegah kasus semacam ini terulang lagi di masa depan?.

 Administrasi Pertanahan

Kekisruhan masalah pertanahan di Indonesia bermula dari belum menyatunya sistem kadastral perpajakan (fiscal-cadastre) yang digunakan untuk menarik pajak bumi dan bangunan (PBB) – yang ada di bawah Dirjen Pajak dan Pemda – dengan kadastral batas hak (right-cadastre) yang ada di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN).  Lebih jauh lagi, baik data BPN maupun PBB ternyata hanya pada tanah pribadi, belum mencakup tanah-tanah tak bertuan (tanah negara) atau tanah adat (ulayat) seperti yang ada di bantaran sungai atau kawasan hutan.

Walhasil, seseorang yang ”menghidupkan” tanah tak bertuan, dia cukup meminta izin dan membayar Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).  Bagi pemerintah, tanah negara yang tidak dipakai, tidak menjadi fasilitas umum serta tidak di kawasan lindung, dianggap lebih produktif kalau menghasilkan PBB.  Maka siapapun yang mau membayar BPHTB diberi hak menguasai atau memiliki tanah tersebut.  Dan karena tidak ada sistem yang mengawasi bila tanah itu cuma jadi objek investasi (lahan tidur), maka di Indonesia ini ada cukup banyak tanah-tanah terlantar atau sebatas disewakan ke petani penggarap.  Selama si pemilik membayar PBB, pemerintah menganggap sudah beres.

Di masa lalu, orang-orang pertama yang mendiami suatu tempat akan memiliki tanah dengan cara seperti itu.  Mereka cukup mematok / memagari tanah itu, dan jika BPHTB dan PBB telah dibayar, keluarlah surat girik (surat pajak tanah).

Pada umumnya, pemerintah belum mampu membuat peta yang cukup atas tanah-tanah girik seperti itu.  Maka tidak heran bila kemudian terjadi sengketa batas antar tanah, tumpang tindih kepemilikan, atau surat jual beli ganda.  

 Teknologi Pertanahan

Untuk menjaga agar tanah dikelola secara tepat, dewasa ini tersedia setidaknya tiga teknologi yakni: (1) fotogrametri-surveying; (2) remote sensing; (3) land information system.

(1) Fotogrametri surveying digunakan untuk memetakan klaim-klaim kepemilikan tanah sehingga tidak sekedar verbal namun jelas fisiknya di lapangan.  Pertama-tama, dilakukan pemotretan udara skala besar atas kawasan tersebut.  Dari foto udara ini dibuat foto tegak (ortofoto) untuk memplot batas-batas klaim pemilik tanah.  Ortofoto dan batas-batas ini lalu diumumkan minimal dua bulan di kantor pemerintah setempat.  Pada masa kini, data semacam ini dapat ditayangkan di internet – mirip yang ada dalam bentuk yang lebih sederhana di Google Earth

Bila tidak ada komplain, maka setelah dua bulan klaim itu dapat dinyatakan sah.  Bila ada sengketa, maka dilakukan penegasan batas (ajudikasi) di lapangan, di mana kedua belah pihak bertemu, sepakat, untuk kemudian dibuat berita acara. 

Pada awalnya, batas-batas tanah hanya menggunakan tanda-tanda fisik di alam, seperti pagar, patok atau pohon tertentu.  Tanda-tanda seperti ini mudah rusak, hilang, atau dipindahkan.  Batas yang tidak bisa dimanipulasi adalah titik-titik koordinat yang tertuang dalam buku tanah di BPN – dan salinannya dapat dikeluarkan berupa surat sertifikat tanah.  Titik-titik koordinat ini dapat diukur secara fotogrametris atau terestris dengan alat-alat surveying seperti total station atau global positioning system (GPS).  Jika titik-titik ini memiliki referensi yang sama, kapan saja mereka dapat direkonstruksi posisinya dengan alat GPS. 

(2) Remote Sensing atau penginderaan jauh (inderaja) digunakan untuk memantau penggunaan lahan dari waktu ke waktu.  Berbeda dengan fotogrametri yang fokus ke geometri, inderaja lebih fokus pada informasi fisis, semisal liputan lahan atau kesuburan vegetasi di atasnya.  Karena inderaja dari satelit umumnya lebih murah dari foto udara, maka ia dapat dilakukan secara berkala (misal setiap musim), sehingga dapat ditemukan tanah-tanah terlantar yang tidak produktif – yang umumnya tanah-tanah yang dikuasai seseorang namun tak termanfaatkan.

(3) Sistem Informasi Pertanahan atau Land Information System (LIS) adalah sistem database tersentral yang mengelola data-data tanah, meliputi koordinat batas-batasnya, penggunaan lahannya beserta sejarah kepemilikannya.  Di negara-negara maju, LIS ini terintegrasi dengan suatu jaringan infrastruktur data spasial nasional (NSDI) yang juga dapat diakses oleh dinas tata ruang, perpajakan, bank, notaris, pengadilan bahkan lembaga yang menangani bencana alam.  LIS merupakan sistem informasi tunggal untuk seluruh data pertanahan.  Setiap orang yang akan bertransaksi tanah seketika dapat mengetahui status tanah yang dimaksud.  LIS dapat mencegah sebuah tanah untuk dijual atau diagunkan berulang.  Bahkan LIS dapat digunakan untuk mencegah pemberian izin atau konsesi yang tumpang tindih (misalnya antara hutan lindung dan pertambangan). 

LIS juga dapat membantu mendata dengan cepat tanah-tanah yang harus dibebaskan untuk suatu proyek publik (misalnya pengadaan tanah untuk sekolah, saluran pencegah banjir atau pengadaan makam).  Kalau LIS ini digunakan oleh pemerintah yang menerapkan syariat Islam, LIS ini dapat digunakan untuk memantau tanah pertanian yang terlantar lebih dari tiga tahun (sehingga menurut syariat Islam harus disita oleh negara), atau mendeteksi kemungkinan penyewaan tanah pertanian bila tanah itu dimiliki seseorang yang domisilinya sangat jauh. 

Sistem administrasi pertanahan terpadu akan memudahkan negara merencanakan kawasan pertanian pangan – termasuk alih fungsinya, menghitung subsidi penggarapan lahan atau zakat untuk komoditi pertanian tertentu, hingga membuat perencanaan ruang yang lebih rapi.  Kota-kota peninggalan masa khilafah (seperti Cordoba) dikenal rapi.  Kota dari abad-8M ini bahkan sudah memiliki drainase yang baik.  Ini hanya bisa dilakukan bila ada sistem pertanahan yang relatif rapi, yang teknologi saat ini semestinya lebih mendukung lagi.

Insya Allah dengan sistem pertanahan syari’ah, yang dilaksanakan oleh aparat yang amanah dan kafaah (capable), serta didukung dengan teknologi pertanahan yang tepat, kisruh pertanahan di masa depan tidak terjadi lagi.

 Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah Peneliti Utama dan Kepala Balai Penelitian Geomatika Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional.  Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

Tags: , ,

.

Leave a Reply