Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
February 22nd, 2009

India, negeri masa lalu dan masa depan.

Dr. Fahmi Amhar

 

Apa yang anda pikirkan mendengar “India” disebut?  Tentang agama Hindu?  Mahatma Gandhi?  Bollywood?  Martabak (yang ternyata di India tidak ada)?  Bajay?  Atau Teknologi Informasi?

Penulis ke India pada Februari 2009, menghadiri konferensi “Map World Forum” di Hyderabad selama seminggu.  Penulis belum menjelajahi India, belum melihat langsung Taj Mahal apalagi Bollywood, namun semoga cukuplah merasakan India di kota terbesar ke empat India setelah Mumbai (dulu Bombai), Delhi, dan Kolkata (dulu Calcutta).

Hyderabad yang berpenduduk hampir 7 juta adalah ibu kota negara bagian Andhra Pradesh.

Sejarah Hyderabad dimulai dari 1463, ketika panglima Quli Qutb-ul-Mulk mendirikan benteng Golconda untuk memadamkan pemberontakan di kawasan Telanggana.  Pada 1518 dia memisahkan diri dari Sultan Bahmani dan menyebut dirinya sendiri sultan.  Nama Hyderabad diambil dari nama istrinya yang semula bernama Bhagyanagar, namun setelah masuk Islam kemudian bernama Hyder Mahal, sehingga dia namakan kota itu Hyderabad.

Pada 1591 cucunya memerintahkan untuk mendirikan Charminar, suatu monumen yang di atasnya terdapat masjid, sebagai tanda syukur atas keberhasilannya mengatasi penyakit menular.

Dinasti Qutb berkuasa sampai 1687 hingga penguasa Mughal Aurangzeb mengalahkannya dan mengambil alih Hyderabad.  Dia mengangkat gubernur dengan julukan Nizam-ul-Mulk.  Pada 1724 Nizam Asaf Jah I menyatakan merdeka dari Mughal setelah tampak tanda-tanda kemundurannya.  Pada 1763, Hyderabad membuat aliansi pertahanan dengan Inggris sehingga menjadi negara terbesar di bawah “asuhan” British-India.  Negeri ini adalah yang terkaya di wilayah India, hingga pada tahun 1930-an, majalah Time meranking Nizam sebagai orang terkaya di dunia.

Pada 1947 dengan kemerdekaan India, Nizam ke-7 lebih menginginkan bergabung dengan Pakistan mengingat populasi muslim di Hyderabad sangat tinggi.  Namun India segera mengirim tentaranya dan mengakhiri kekuasaan Islam di Hyderabad.

Hyderabad kini adalah sebuah kota yang penuh kontradiksi.  Suasana jalanan adalah khas dunia ketiga: kumuh, semrawut, bising oleh bunyi klakson dan deru knalpot auto-rickshaw (taksi berbentuk bajay, sebagian berargometer).  Lokasi wisata seperti Charminar, istana Nizam dan masjid Makkah (disebut masjid Makkah karena ada serpihan dari Hajar Aswad di sana), dikelilingi pedagang kaki lima.  Di mana-mana pengemis yang dekil meminta uang kepada orang berwajah asing.

Namun Hyderabad juga “kota masa depan” India.  Hyderabad berkompetisi dengan kota India yang lain Bangalore dan Chennai menjadi sentra IT dunia.  Microsoft, Google, Oracle dan perusahan software India terkemuka “Wipro” berkantor pusat di Hyderabad.  Sebuah kota technology (Hitech-city) telah dibangun.  Bahkan Hyderabad sering diplesetkan jadi “Cyberabad”.

India dengan penduduknya yang 1,15 Milyar manusia, memang potensi pasar yang sangat besar.  Dari tahun 1950-an hingga 1980-an, India menganut paham sosialis.  Uni Soviet yang berseteru dengan Cina mencoba merangkul India agar menjadi sekutunya.  Kebetulan India punya masalah dengan Cina di Tibet.  Karena India digaet Soviet maka Amerika Serikat merangkul Pakistan untuk menghadapinya.  Kebetulan Pakistan punya masalah dengan India di Kasymir.  Kedua adidaya ini sama-sama membekali sekutunya dengan nuklir.  Setelah masing-masing memiliki nuklir inilah, India dan Pakistan tidak pernah lagi perang terbuka.

Setelah Uni Soviet melakukan glasnost dan perestroika, India pelan-pelan meninggalkan sosialisme yang penuh dengan korupsi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah.  Sejak 1991, India sebagaimana Cina, sepenuhnya masuk ke sistem kapitalisme, yang membuatnya meroket menjadi adidaya ekonomi baru.  Selepas runtuhnya Soviet, AS juga kini merangkul India guna mengimbangi Cina dan menekan kebangkitan Islam di Asia Selatan.

Di India terdapat 154 juta Muslim.  Meski cuma 13,4% populasi, rata-rata tingkat pendidikan mereka jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional.  Tingkat melek huruf nasional (literacy rate) India adalah 64,8 %, namun di kalangan muslim bisa lebih dari 91%.  Itu juga barangkali alasan Inggris dulu menghasut agar India dibagi dua menjadi India yang mayoritas Hindu dan Pakistan yang mayoritas muslim.  Kalau tidak dibagi, pasti lambat laun yang berkuasa adalah muslim, karena mereka memiliki bekal intelektual yang lebih tinggi.  Sebagai negara sekuler, India pernah memiliki presiden yang muslim, Dr. Abdul Kalam, yang juga menjadi Bapak Nuklir India.  Sekarang wakil presidennya yang muslim, Muhammad Hamid Anshari.

Dengan sejarah dan komposisi penduduk India seperti ini, budaya India menjadi ditandai dengan derajat yang tinggi pada sinkretisme dan pluralisme.  Hindu sebagai agama mayoritas di India, ternyata memiliki ribuan sekte, dan tidak sedikit sekte yang memiliki keyakinan yang bertentangan dengan kemajuan.  Namun satu hal yang positif dari pemeluk Hindu dan Budha adalah kebiasaan makan vegetarian.  Dapat dibayangkan kesulitan pangan yang akan dialami bila ratusan juta orang tiba-tiba meninggalkan kebiasaan vegetariannya.

Sementara itu bekal kemandirian yang dibangun di era sosialisme menjadikan mereka memiliki harga diri untuk masuk ke pasar global sebagai subjek, bukan hanya sebagai objek.  Oleh sebab itu kita akan banyak menyaksikan bahwa di India, kendaraan yang dominan di jalanan adalah TATA dan BAJAY, buatan India sendiri.  Semua mobil impor (yang di jalanan cuma sedikit) pasti bermitra dengan merek lokal.

Meski masih 42% (atau 483 juta orang!) penduduknya yang hidup di bawah garis kemiskinan (US$ 1,25 / hari), India tidak menghalangi pengembangan teknologi tinggi.  Teknologi roket peluncur ruang angkasa dan satelit India kini sudah setara dengan yang dimiliki Amerika atau Uni Eropa.  Teknologi ini bahkan sudah dikomersilkan dan menghasilkan devisa yang besar.  Beberapa universitas di India, sekalipun bangunannya sederhana, dan beasiswa S3-nya cuma Rs 4800 (sekitar Rp. 1 juta), masuk dalam 100 perguruan tinggi sains terbaik dunia.  Kapitalisme tidak mengubah keyakinan India untuk tetap mensupport pendidikan dan riset teknologi sebagai sebuah investasi.  Kalau di India ada makanan yang murah, itu adalah makanan kelas jalanan atau kaki lima.  Namun kalau tentang buku yang murah, itu ternyata juga belaku pada buku-buku teknologi atau manajemen standar Internasional, dengan harga seperlima atau sepersepuluhnya.  India berhasil menaruh subsidi pada pendidikan, termasuk pada buku.

Tags: , ,

.

Leave a Reply