Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
February 22nd, 2009

PERTANIAN KITA: SWASEMBADA ATAU KRISIS?

(dari Seminar Pertanian di Unpad Jatinangor, 21 Feb 2009)

 

Dr. Fahmi Amhar

 

Ada dua pertanyaan seputar dunia pertanian: (1) Kalau dunia pertanian Indonesia telah berhasil swasembada beras, apakah itu keberhasilan Departemen Pertanian? (2) Kalau kita telah swasembada beras, adakah kita aman dari krisis global?  Apapun jawaban anda pada dua pertanyaan itu, marilah kita menelaah lebih jauh persoalan.

Pertanian membutuhkan lahan, air, dan infrastruktur.  Tanpa lahan di mana kita menanam?  Tanpa air tidak ada kehidupan.  Dan tanpa infrastruktur seperti jalan atau pasar, hasil panen sulit dijual.  Dan keseluruhan aspek ini karena menyangkut ruang, diatur dalam UU 24 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.  Tanpa wawasan pertanian yang cukup, dapat saja di era otonomi daerah ini seorang gubernur atau bupati mengalokasikan suatu ruang untuk peruntukan yang tidak ramah pertanian atau bahkan rajin menukar peruntukan dari sektor pertanian ke sektor yang lebih komersil, misalnya real estat atau industri.

Masalah lahan juga masalah pertanahan.  Sebagian besar petani kita adalah petani penggarap yang tidak punya tanah, atau memiliki lahan sangat sempit atau marginal yang tidak mencukupi untuk menopang kehidupannya.  Ada UU Pokok Agraria, namun UU ini kini terdesak dengan UU Penanaman Modal yang membolehkan investor asing mendirikan usaha dengan memperoleh Hak Guna Usaha hingga 95 tahun.  UU PM ini sedang di-judicial review di Mahkamah Konstitusi.  Masalahnya, tanah memang sudah menjadi objek investasi spekulatif, sedang petani kita karena keterbatasan ilmu sering terjerat pada rentenir dan ujung-ujungnya tanahnya digadaikan untuk bayar utang.

Pertanian membutuhkan sumber daya manusia (SDM).  Merekalah yang akan bertani.  Mereka perlu dibekali di dunia pendidikan, disuluhi agar selalu segar dengan teknologi terkini dan dimotivasi agar cerdas pasar dan cerdas politik.  Tanpa cerdas pasar, para petani ini akan selalu diakali oleh para tengkulak.  Dan tanpa cerdas politik, para petani ini tidak akan mengenal mana pemimpin dan mana sistem yang lebih ramah pertanian.

Pertanian juga membutuhkan teknologi.  Teknologi ini mulai dari teknik persiapan lahan, perbenihan, perpupukan, pemberantasan hama, pascapanen (pergudangan, pengemasan) hingga teknologi untuk mengetahui perkembangan pasar maupun teknologi pertanian itu sendiri, yaitu e-agro.  Teknologi ini menyangkut pemuliaan tanaman (termasuk dengan rekayasa genetika), teknologi traktor, kultur jaringan, teknologi pupuk dan pestisida organik, penyebaran pupuk dan pestisida yang presisi (precission agriculture) hingga teknologi pergudangan dengan energi matahari yang diatur komputer.  Namun semua teknologi ini jika tidak cerdas, kemungkinan juga sulit digunakan karena dilindungi UU Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

Dan terakhir tak kalah pentingnya adalah Sosial Ekonomi.  Ekonomi Pertanian harus dipandang sebagai rantai pasokan (Supply Chain).  Tanpa kontrak supply chain dari petani ke end-user, pola tanam petani tidak sustainable (berkesinambungan), sehingga harga pun dapat mudah dimainkan, baik di pasar tradisional maupun di Bursa Komoditas Berjangka.  Masalah sosial ekonomi juga menyangkut persoalan kredit pembiayaan,  masalah bea masuk, peran Bulog dan sebagainya.  Dari sisi pemerintah, distribusi hasil pertanian semestinya juga dapat dimonitor ke seluruh Indonesia.

Dari sini tampak bahwa keberhasilan pertanian adalah buah sinergi dari berbagai struktur yang lain.  Demikian pula kegagalannya adalah buah dari kegagalan berbagai sistem yang lain.

Bagaimana pertanian akan berhasil kalau tidak ada sawah baru yang dicetak, justru malah tanah produktif dialih fungsi atau cuma dijadikan objek spekulasi?  Masalah pertanahan adalah lingkup tugas BPN.  Masalah Tata Ruang di daerah adalah urusan Bappeda.

Bagaimana pula pertanian akan berhasil kalau air kini sudah menjadi komoditas ekonomi setelah adanya UU Sumber Daya Air?  Masalah irigasi adalah lingkup tugas Departemen PU.

Bagaimana pula pertanian akan berhasil kalau pendidikan gagal mencetak petani yang unggul?  Ribuan alumni Fakultas Pertanian sekarang justru bekerja jauh dari dunia pertanian, sampai ada anekdot bahwa IPB sekarang telah menjadi “Institut Pleksibel Banget”, bisa menyiapkan orang ke segala profesi, dari bankir sampai ustadz, tapi tidak menjadi petani?  Bagaimana pula setelah adanya UU BHP sehingga kampus pertanian top ini justru semakin sulit dimasuki oleh anak-anak petani?  Ini semua lingkup tugas Departemen Pendidikan.

Bagaimana pertanian akan maju kalau para peneliti yang terkait pertanian hidup kembang kempis dengan “anggaran penghinaan”?  Persoalan riset adalah tugas Kementrian Riset dan Teknologi.

Bagaimana dengan pupuknya?  Pabrik pupuk di Aceh berhenti karena ketiadaan pasokan gas.  Gas kita justru dijual ke Cina.  Ini tugas siapa?  Departemen ESDM!

Sedang tentang rantai bisnis terkait pertanian adalah urusan Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, BULOG, Otoritas Bursa dan Otoritas Moneter.

Jadi tidak tepat bila swasembada beras diklaim sebagai keberhasilan Departemen Pertanian.

Lagi pula masih perlu dilihat, berapa lama swasembada itu akan bertahan?  Setahun?  Kita baru meraih swasembada beras, belum meraih ketahanan pangan.

Padahal krisis global yang kini terjadi akan berdampak jauh lebih parah dari krisis moneter tahun 1997.  Harga pangan dunia sebelumnya sudah sempat meroket.  Impor pangan jadi mahal.  Padahal kita masih belum swasembada terigu, jagung, daging dan sebagainya.

Kini, ekspor produk pertanian anjlog.  Resesi dunia membuat permintaan produk kita di Luar Negeri turun drastis.  Petani yang menanam produk khusus ekspor (seperti sawit, coklat atau kakao) merugi.  Mereka terancam bahkan tidak bisa makan, karena tidak punya uang untuk beli beras yang konon telah swasembada itu, sementara di lahannya mereka tidak lagi punya tanaman yang dapat dimakan.

Jadi kesimpulannya: kita belum aman dari krisis.  Kita membutuhkan solusi yang komprehensif.  Solusi yang tidak ego-sektoral.  Solusi yang fundamental.  Ibarat kendaraan yang akan melewati medan sulit, kita tidak hanya mencari sopir yang lebih baik, namun juga kendaraan yang lebih baik.  Solusi kapitalisme selama ini terbukti gagal.  Solusi dari syariat Islam wajib dikaji lebih mendalam.

Tags: ,

.

Leave a Reply