Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
May 5th, 2009

Psikologi tak harus ikut Freud

Dr. Fahmi Amhar

Setelah Pemilu Legislatif lalu diperkirakan ada satu profesi yang “panen”, yang sayang hal ini tidak membanggakan, yaitu: ahli jiwa berikut rumah sakit jiwa.  Ya ribuan caleg stress bertebaran di mana-mana.  Mereka semula sudah menggadaikan rumah, utang bank ratusan juta, bahkan utang ke pengusaha sablon dan alat-alat pesta, sambil bermimpi hidup enak jadi anggota dewan berikut pensiun seumur hidup.  Tiba-tiba kini menghadapi kenyataan pahit, perolehan suaranya cuma nol koma Insya Allah.  Ada caleg yang langsung kena serangan jantung dan tewas, ada yang bunuh diri, ada yang keluar hanya bercelana kolor, ada yang merampas kembali barang-barang yang sudah dibagikan ke konstituennya, ada yang mengusir orang-orang yang bertahun mengontrak rumahnya, dan masih banyak lagi tanda-tanda gangguan jiwa lainnya.

Setiap bicara gangguan jiwa, orang teringat pada ilmu jiwa.  Psikologi atau ilmu jiwa termasuk ilmu sosial yang banyak dipengaruhi oleh pandangan hidup.  Ilmu jiwa dirasa penting ketika ada fenomena orang sakit jiwa (gila).  Pada masa lalu, di hampir semua kebudayaan, orang gila sering dianggap orang yang jiwanya goyah karena kurang iman, kena sihir atau kerasukan setan.  Akibatnya, terapi atas orang gila adalah terapi keagamaan atau ritual pengusiran setan (ruqyah).  Terapi ini kadang berhasil, tetapi sering juga gagal.  Pandangan bahwa orang bisa gila karena kurang iman juga tidak cocok dengan kenyataan bahwa Rasulullah sendiri tidak memandang semua orang kafir itu sebagai orang gila, meski jelas mereka tidak punya iman.

Namun pandangan semacam itu di Barat ternyata masih bercokol hingga zaman modern, bahkan sebagian hingga kini.  Sigmund Freud, orang Austria yang dianggap Bapak psikologi modern – disebut modern karena mempelajari ilmu jiwa secara eksperimental – pun menganggap bahwa gangguan jiwa terjadi karena ada “gap” (perbedaan) antara ide (rasio), ego (nafsu), dan superego (hati nurani), dan gap ini harus dijembatani.  Dalam bukunya yang berbahasa Jerman berjudul “Die Deutung der Traumen” (Arti Mimpi-Mimpi) dia menyatakan bahwa beberapa kasus kejiwaan disebabkan oleh keinginan seks yang tidak terpenuhi, sehingga saran terapinya adalah dengan memberi pasien kesempatan melakukan hubungan seks.

Saran dari Sigmund Freud ini tentu saja mendapat reaksi keras, tidak cuma di dunia Islam, tetapi juga di kalangan konservatif Eropa.  Sayangnya mereka tidak punya alternatif, karena Freud-lah perintis psikologi di Eropa.

Namun bagi kaum muslim, psikologi tidak harus mengacu kepada Sigmund Freud.  Sejarah sains Islam ternyata juga mencatat prestasi-prestasi di bidang psikologi.  Ini karena Islam menjadikan aqil (sehat akal, lawan dari gila) sebagai syarat seseorang menjadi subjek hukum.  Orang yang terbukti gila tidak boleh menjadi pejabat publik, dan seorang Khalifah yang terbukti gila dengan serta merta akan dipecat.  Tapi bagaimana mendefinisikan gila, bagaimana cara mengukurnya, lantas bagaimana mengobatinya?  Ini adalah bahasan-bahasan psikologi.

Dalam dunia psikologi, karya pertama tentang psikologi dan komunikasi dalam dunia hewan telah ditulis oleh Al-Jahiz (766–868 M).  Sedang Abū Naṣr Muḥammad al-Fārābi (872–951 M), dikenal sebagai pendiri psikologi sosial dan psikologi perkotaan.  Dia menyatakan bahwa untuk meraih kesempurnaan, seorang manusia perlu untuk tinggal di suatu lingkungan bertetangga dengan yang lain dan bekerja bersama mereka.

Konsep kesehatan mental pertama kali diajukan oleh Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934 M) dalam kitabnya Masalih al-Abdan wa al-Anfus.  Bersama Muhammad ibn Zakarīya Rāzi (Rhazes), al-Balkhi dikenal sebagai ahli-ahli pertama yang mempelajari psikoterapi.  Ar-Razi bahkan telah membangun bagian jiwa di rumah sakit Bagdad, hal yang saat itu tak mungkin ada di Eropa karena kepercayaan bahwa penyakit jiwa adalah akibat kerasukan setan.

Ibnu Sina adalah perintis psikologi fisis dan psikosomatis.  Dia mendapatkan bahwa dalam mengobati suatu penyakit mesti melibatkan emosi dan dia mendapatkan juga bahwa denyut jantung terkait dengan perasaan.  Dia adalah orang pertama yang menggambarkan berbagai kondisi neuropsikiatri termasuk halusinasi, insomnia (kesulitan tidur), mania (gila atas sesuatu), nightmare (mimpi buruk), epilepsi (ayan), stroke, vertigo dan sebagainya.

Dalam dunia medis, psikologi secara umum terkait dalam tiga hal: (1) psikiatri – yakni terapi medis bagi orang yang hilang ingatan atau berpersepsi abnormal (schizophrenia); (2) psikoterapi – dialog psikologis untuk membantu orang menyadari kondisi yang lebih menenteramkannya dan menurunkan perasaan ketidaknyamanan yang subjektif. (3) psikosomatis – kaitan kesehatan mental dengan fisis, atau disebut juga psycho-physiologis.

Dalam ketiga aspek ini para ilmuwan muslim memberikan kontribusi yang signifikan.  Ibnu Sina dan Ar-Razi adalah perintis-perintis psikiatri dan psikosomatis.  Sedang al-Balkhi dan al-Farabi adalah sumber ide psikoterapi, yang tidak hanya berlaku individual tetapi juga untuk masyarakat (psikologi pendidikan, psikologi sosial, dan psikologi massa).

Tokoh Al-Farabi ini bahkan cukup unik.  Beliau menekuni bagaimana memberikan kondisi yang nyaman bagi kebanyakan orang, dan menemukan bahwa bunyi yang ritmis namun lembut mampu menciptakan hal itu.  Karena itu kemudian dia mempelajari irama musik hingga ke alat-alatnya dan menemukan hubungan matematika antara tangga nada.  Al-Farabi menulis buku Kitab-al-Musiqa (Buku tentang musik), dan menemukan beberapa jenis instrumen, termasuk di dalamnya yang zaman sekarang berkembang menjadi piano.

Berbeda dengan instrumen musik rebana yang sudah ada di tanah Arab sejak zaman pra-Islam, dan umumnya dipakai untuk mengiringi acara pesta gembira, dentang piano yang lembut dan menenangkan justru semula diciptakan al-Farabi sebagai alat menciptakan efek terapi pada kondisi mental, yang seterusnya juga akan berefek positif pada kondisi kesehatan fisik.

Tags: , ,

.

Leave a Reply