Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
June 10th, 2009

Belajar Bahasa untuk Negara Adidaya

Dr. Fahmi Amhar

Apa yang ada di benak para pelajar kita ketika mereka wajib mempelajari bahasa asing di sekolah?  Setelah matematika, Bahasa Inggris adalah pelajaran momok di sekolah-sekolah umum.  Sebagian besar sekolah memberi pelajaran Bahasa Inggris di level SMP dan SMA atau total selama enam tahun.  Sebagian lagi bahkan memberi pelajaran ini sejak kelas 1 SD.  Hasilnya?  Sekedar cukup untuk Ujian Nasional?  Cukup untuk menebak makna di balik judul film atau lagu Barat?  Untuk isinya nanti dulu.  Kalau buat kerja, bahasa Inggris di sekolah tersebut juga jelas belum cukup.  Bagaimana kalau untuk belajar ke luar negeri?  Atau untuk jadi diplomat?  Makanya TKI kita di luar negeri mayoritas hanya mendapat pekerjaan kasar yang murah, salah satunya karena keterbatasan bahasa.

Itu baru untuk bahasa Inggris.  Konon, di dunia ini kalau mau maju ya harus pandai berbahasa Inggris.  Ini adalah mitos yang tak sepenuhnya benar.  Maju tanpa berbahasa Inggris bisa, tetapi harus pandai berbahasa Perancis, atau Jerman, atau Jepang atau Rusia.  Pendek kata, bahasa negara-negara juara sains dan teknologi saat ini.

Yang jelas motivasi belajar bahasa di dunia Islam saat ini sangat memprihatinkan.  Kalaupun ada, mayoritas karena motivasi materialistik (“Biar mudah cari kerja”).  Walhasil Bahasa Inggris tidak dikuasai,  Bahasa Arab tidak bunyi, dan Bahasa Nasional tidak peduli, tidak digunakan dengan baik dan benar.  Orang menggunakan bahasa amburadul, karena menguasainya juga cuma setengah-setengah.  Mempelajarinya hanya bermodal semangat, tanpa kesabaran, padahal tanpa kesabaran, belajar bahasa tidak akan pernah jadi.

Ini berbeda dengan masa ketika Daulah Islam masih menjadi negara adidaya, atau terobsesi menjadi negara adidaya.  Generasi awal Islam masih sangat terobsesi oleh beberapa sabda Rasulullah, bahwa orang-orang mukmin adalah umat terbaik yang dikirim Allah ketengah manusia, kemudian bahwa mereka diperintahkan untuk untuk mencari ilmu sekalipun sampai negeri Cina.

Maka kita bisa amati berbagai fenomena bahasa di dunia Islam generasi awal:

(1) kegandrungan para ilmuwan – terutama dari non native speaker – untuk menyusun struktur bahasa Arab, sehingga dari bahasa Arab ke bahasa yang lain dan sebaliknya dapat disusun rumusan sederhana yang memudahkan pembelajaran dan penerjemahan.

(2) upaya sistematis mendidik seluruh warga negara agar menguasai bahasa Arab sebagai bahasa Islam, bahasa persatuan, dan bahasa ilmu pengetahuan dengan baik dan benar, lisan maupun tulisan.

(3) kegandrungan para pemuda untuk belajar bahasa asing, agar dapat mencari ilmu dan sekaligus berdakwah ke luar negeri, demi keagungan islam dan kaum muslim;

Ilmu tata bahasa (gramatik) sudah muncul dari India sejak abad 4 SM.  Tata Bahasa Arab muncul dari abad 8 M dengan karya Abdullah Ibn Abi Ishaq (wafat 735 M) dan para muridnya.  Usaha ini memuncak pada tiga generasi sesudahnya, terutama pada buku karya ulama Basrah, Sibawayhi (sekitar 760-793).

Dengan kodifikasi tata bahasa ini, maka bahasa Arab menjadi lebih mudah diajarkan dan disebarkan ke rakyat negeri-negeri yang telah dibebaskan, seperti ke Iraq, Syams, Mesir, hingga Afrika Utara.  Dengan kodifikasi ini pula bahasa Arab terpelihara, tidak timbul jurang perbedaan yang sangat jauh antara bahasa yang diucapkan sehari-hari dengan yang tertulis (yang di sini distandarkan pada Qur’an), dan juga antara bahasa yang digunakan di Hejaz, yang diyakini sebagai bahasa Arab termurni, dengan bahasa Arab yang digunakan di wilayah-wilayah Islam yang jauh.  Bahasa Arab bahkan kemudian menjadi lingua franca – bahasa bagi pergaulan antar bangsa di dunia saat itu, digunakan pula oleh orang Eropa yang akan berdagang ke Cina!  Ada ratusan kosa kata Jerman, Perancis atau Spanyol yang sejatinya berasal dari kosa kata Arab.

Namun meski bahasa Arab telah jadi bahasa internasional, kaum muslimin tetap bersemangat mempelajari bahasa asing guna merebut ilmu pengetahuan dan teknologi di luar negeri, yang tidak cukup hanya dipahami dengan small-talk.  Dan itu bukan perkara gampang.  Ketika orang Islam berangkat ke Cina untuk belajar membuat kertas, kompas atau mesiu, mereka setidaknya harus mempelajari empat bahasa asing secara berurutan (sequensial).  Ini karena menurut riwayat tidak ada orang Cina di Hejaz.  Mungkin pertama-tama mereka harus belajar bahasa Persia.  Sebulan kemudian mereka pergi ke Persia.  Di Persia masih belum ditemukan orang Cina, yang ada orang Uzbekistan.  Maka mereka belajar bahasa Uzbek, dengan pengantar bahasa Persia.  Sebulan kemudian mereka pergi Tashkent, Uzbekistan.  Di sana masih belum ditemukan orang Cina, yang ada hanya orang Xinjiang – sekarang wilayah Cina bagian Barat yang mayoritas penduduknya muslim.  Orang Xinjiang ini bicara bahasa Uighur.  Maka belajarlah orang-orang muslim ini bahasa Uighur, dengan pengantar bahasa Uzbek.  Sebulan kemudian mereka berangkat ke Urumqi, ibukota Xinjiang.  Baru di sana mereka bertemu orang Cina.  Maka belajarlah mereka bahasa Mandarin, dengan pengantar bahasa Uighur.  Ingat bahasa-bahasa ini memiliki bunyi, tulisan dan tata bahasa yang sangat berbeda.  Barulah setelah sebulan belajar bahasa Mandarin, mereka datang ke Xian, ibu kota kekaisaran Tiongkok saat itu.  Hanya orang-orang bersemangat baja dan sabar luar biasa, yang sanggup bertahan dalam perjalanan perburuan ilmu semacam itu.

Hingga masa dinasti Abbasiyah, bahasa Arab diajarkan secara sistematis ke setiap tempat yang telah dibebaskan oleh kaum muslimin.  Akibatnya, secara sistematis pula terjadi arabisasi bahasa di seluruh wilayah Islam.  Bangsa Iraq misalnya, akhirnya melupakan bahasa Mesopotamia mereka.  Demikian juga orang Mesir akhirnya melupakan Hieroglyph.  Bangsa-bangsa itu kini menggunakan bahasa Arab dalam lisan dan tulisan seperti orang Quraisy di Hejaz, bahkan terkadang lebih fashih.

Pada masa-masa akhir Abbasiyah, perang Salib dan lalu serbuan Tartar ke Baghdad membuat pendidikan bahasa Arab nyaris terhenti.  Dinasti Utsmaniyah penerusnya lebih berkonsentrasi menghadapi tantangan militer dan kurang mendorong ilmu pengetahuan, termasuk bahasa.  Akibatnya, bahasa yang digunakan oleh negara Utsmani adalah campuran dari kosa kata Arab, Turki dan Persi, disusun dalam struktur tata bahasa Turki, dan ditulis pakai huruf Arab.  Pada masa itu ada sejumlah wilayah Islam yang separatis, seperti Persia (Dinasti Safawid) dan India (Dinasti Mogul).  Kedua negara ini juga tidak lagi istiqomah dalam bahasa.  Walhasil sekarang ini kita mendapatkan di Iran, yang dipakai adalah tulisan Arab, tetapi bahasanya Persia.  Hal yang sama di India atau Pakistan dengan bahasa Urdu dan di Nusantara dengan Arab-Melayu.  Tulisan Arab di bahasa Melayu ini baru dihapus tahun 1905 dengan dipaksakannya huruf latin (ejaan Van Ophuizen) oleh penjajah Belanda.  Sedang huruf Arab di bahasa Turki baru dihapus dan digantikan huruf Latin tahun 1926 oleh Attaturk.

Kini, di masa kemunduran, di negeri non Arab, orang yang lancar membaca huruf Arab sudah dipanggil “Ustadz”.  Bisa sedikit berbahasa Arab dan mampu membaca “kitab gundul” sudah disebut Kyai.  Padahal di masa Islam menjadi Negara Adidaya, itu semua baru modall awal.  Mereka yang sudah lancar berbahasa Arab tidak henti-hentinya memperdalam ilmunya, termasuk mempelajari bahasa asing lain guna mempelancar dakwah ke luar negeri, dan memburu ilmu pengetahuan dan teknologi dari manapun.

Tags: , ,

.

Leave a Reply