Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
January 20th, 2010

Hizbut Tahrir – sebuah analisis politik

Dr. Fahmi Amhar

Hizbut Tahrir (“Partai Pembebasan”) adalah sebuah fenomena politik Indonesia
yang unik. Dari seratus lebih parpol yang mewarnai pentas nasional sejak reformasi 1998, HT
adalah “partai” yang barangkali tertua. Didirikan 1953 di Jordania, HT dari
awal menyebut dirinya partai politik, bukan sekedar gerakan dakwah.
Sifatnya yang kosmopolit dan internasional, membuat HT berada di mana-mana.
Di Indonesia HT eksis dengan legalitas sebagai organisasi massa dengan nama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Untuk memahaminya, berikut sekilas “yang unik” dari HT.

1. Da’wah Group – but also Political Party
HT adalah kelompok dakwah, yang diperintahkan menasehati siapa saja (QS
3:104), sedang yang paling berhak dinasehati itu adalah penguasa, yang
mengurusi segala masalah ummat (tanpa dibatasi). Maka dakwah seperti ini
bisa disebut aktivitas politik, dan kelompoknya bisa disebut partai politik.

2. Politics – but smart & make the people smart
Namun aktivitas politik HT adalah “high-politics” atau “smart and smarting
politics”. HT mendidik masyarakat agar sadar hak dan kewajiban islaminya,
sehingga mereka bisa mengawasi penguasanya, agar memerintah sesuai dengan
Islam. Bagi HT sudah cukup bahwa masyarakat bersama penguasanya berjalan
islami, tanpa harus berkuasa sendiri.

3. Political party – but extra parlementary
Meski HT adalah partai politik, namun HT memilih berjalan di luar parlemen.
Karena itu HT juga tidak berminat turut dalam Pemilu, sekalipun memiliki
massa yang banyak. Ini karena HT memandang, parlemen dalam sistem demokrasi
tidak sepenuhnya kompatibel dengan Islam, dan tidak akan mampu memberi jalan bagi
tegaknya Islam di manapun. Dan fakta sejarah di berbagai negara menunjukkan
bahwa perubahan yang revolusioner tidak pernah, tidak bisa dan tidak perlu
melalui jalan parlemen.  Meski demikian HT membolehkan seorang muslim yang memperjuangkan Islam via parlemen untuk muhasabatul hukkam (menasehati penguasa) atau untuk menguak hukum-hukum atau perilaku penguasa yang bertentangan dengan Islam.

4. Revolutionary – but start in the mind
Meski HT mengidamkan perubahan revolusioner, namun itu bukan revolusi (ala)
sosialis. Revolusi yang dicitakan adalah revolusi pemikiran.
Pemikiran-pemikiran busuk di masyarakatlah yang menjadi sebab busuknya
sistem dan rusaknya para penguasa. Karena itu pemikiran busuk ini harus
digantikan dengan pemikiran Islam yang cemerlang, yang pada saatnya akan
mencerahkan masyarakat, sehingga mereka mampu memilih penguasa yang
tercerahkan. Pemikiranlah yang akan menggerakkan perubahan – bahkan
revolusi – di segala bidang (QS 13:11).

5. Social Change – but not forget Individu
Meski HT memperjuangkan perubahan masyarakat, namun ini tidak didrop dari
atas, ataupun didongkrak dari bawah (individu-individu). Masyarakat tidak
sekedar himpunan individu, namun individu-individu yang berinteraksi dan
diikat pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Karena itu HT mendidik
secara individual para kadernya, seraya bersama-sama melakukan interaksi ke
masyarakat untuk merubah opini umumnya. Bila kader-kader itu kebetulan
memiliki power, sementara opini umum juga sudah kondusif untuk Islam, maka
perubahan sistem akan berjalan mulus. Selanjutnya sistem baru yang islami
ini akan memacu islamisasi lagi, tanpa harus membuat semua orang menjadi
kader.

6. Fundamental – but not dogmatic
Sebagai gerakan yang merindukan tegaknya syariat Islam yang diyakini
satu-satunya alternatif mengatasi krisis multi dimensi, HT dapat dibilang
ada di kubu “fundamentalis”, atau “revivialis”. Namun demikian, HT bukan
gerakan dogmatis. Bahkan untuk masalah aqidah saja (untuk pertanyaan:
mengapa mesti percaya pada Islam?), HT menggunakan metode rasional semata.
Karena itu oleh sebagian gerakan lain -juga di kubu fundamentalis – HT
pernah disalahpersepsikan sebagai neo-mu’tazilah. Dalam fiqh, HT menelusuri
dalil secara mendalam, tanpa terbelenggu keharusan mengikuti madzhab
tertentu.

7. Syariat Islam – but not just “Jakarta Charter”
Meski menyerukan penerapan syariat Islam, namun berbeda dengan lainnya, HT
tidak terjebak pada sekedar usaha memasukkan Piagam Jakarta ke amandemen UUD
45, atau pada jargon piagam Madinah. HT justru mengusulkan suatu rancangan
konstitusi baru yang seluruh pasalnya diambil dari Islam, dan memandang
piagam Jakarta maupun piagam Madinah baru sebagian kecil dari syariat itu
sendiri. HT memandang syariat Islam sebagai solusi integral
(politik-ekonomi-sosial-budaya-hankam). Karena itu syariat tidaklah sekedar
hukum (=sanksi) Islam, seperti hukum potong tangan bagi pencuri atau rajam
bagi pezina. Dalam masalah ekonomipun, ekonomi syariat tidak sekedar ekonomi
anti riba plus zakat, namun lebih jauh mulai dari paradigma, teori
kepemilikan, teori harga, peran negara dsb.

8. Islamic State – but not theocracy
HT memandang, suatu negara yang menjalankan syariat Islam, dan keamanannya
dijamin oleh kaum muslim, adalah negara Islam. Namun negara itu bukanlah
theokrasi yang dikuasai para padri yang memerintah atas nama Tuhan. Negara
Islam adalah negara dunia, yang dihuni orang sholeh maupun orang jahat,
muslim maupun bukan. Dalam negara Islam, meski kedaulatan ada pada syara’,
namun kekuasaan ada pada rakyat, sedang manfaatnya ditujukan ke seluruh
alam.

9. Unity of Umma – but not unity of party
Negara hanya tegak bila kaum muslim bersatu. Namun menurut HT, persatuan
ummat tidak berarti harus menyatukan partai. Keberadaan banyak partai itu
sunnatullah, karena memang ada banyak dalil yang bisa ditafsirkan beraneka.
Ketika ada khalifah, dialah yang memutuskan pendapat mana yang akan
dilegislasi dan mengikat semua orang, termasuk yang berbeda pendapat. Namun
ini hanya untuk persoalan kemasyarakatan. Dan pendapat yang berbedapun
boleh dipelajari. Inilah mengapa mazhab-mazhab fiqh tetap hidup, sekalipun
khalifah saat itu melegislasi pendapat satu mazhab saja.

10. Khilafah – but not just group leader
Dan tentang figur khalifah, HT memandang khalifah bukan sekedar pemimpin
jama’ah semacam yang ada pada Ahmadiyah atau Laskar Hizbullah. Namun
khalifah adalah kepala negara dan pemerintahan. Khalifah juga bukan jabatan
yang bisa diwariskan, karena ia semacam kontrak sosial. Adapun yang terjadi
di masa lalu, harus dikaji secara jernih, dan pula sejarah bukanlah dalil
hukum yang mengikat.

11. Orthodox – but with ijtihad
HT sangat teguh memegang dalil syara’. Namun demikian HT juga sangat peduli
pada ijtihad asal memenuhi syarat. Termasuk arena ijtihad yang subur adalah
konsep pembentukan dan kebangkitan masyarakat. Ini karena ulama terdahulu
tidak mewariskan sedikitpun kajian di sini, sebab saat itu tak ada yang
membayangkan bahwa khilafah Islam yang besar dan berperadaban tinggi bisa
runtuh.

12. Syura’ – but not democracy
HT membedakan syura’ dengan demokrasi. Proses pengambilan keputusan dibagi
tiga: (1) Untuk masalah hukum, syura dilakukan untuk memilih pendapat yang
terkuat argumentasinya – bukan terbanyak pendukungnya. (2) Untuk masalah
teknis, serahkan pada ahlinya, bukan pendapat mayoritas. (3) Yang
diserahkan pendapat mayoritas adalah hal-hal optional yang sama-sama mubah,
misalnya memilih pejabat yang paling akseptabel, setelah semua sama-sama
memenuhi syarat.

13. Radical – but not exclusive
Sebagai gerakan yang memperjuangkan perubahan yang mendasar, HT dapat
disebut gerakan radikal (radix = akar, mendasar). Namun HT jauh dari kesan
eksklusif. HT berbaur di masyarakat dan tidak berpretensi membentuk
perkampungan sendiri. Maka aktivis HT hanya bisa dikenali dari
pemikirannya, tidak dari lahiriahnya. Kalaupun wanita aktivis HT berjilbab,
itu bukan karena HT-nya, namun memang itu kewajiban Islam. Bahkan HT tidak
punya bendera. Bendera hitam bertulisan kalimat tahlil putih yang sering
dibawanya adalah bendera Islam. Dan ini boleh dibawa setiap muslim!

14. Substantive – but take also the symbols
HT memandang segalanya dari sudut hukum syara’, dan tidak dari dikotomi
substansi – simbol. Maka tak perlu menonjolkan satu dan mengabaikan
lainnya. Pengentasan kemiskinan atau pemberantasan KKN sama wajibnya dengan
menutup aurat atau sholat lima waktu. Keduanya harus didukung baik di
tingkat individu dan – bila perlu – di tingkat negara.

15. Jihad – but peaceful
HT mengakui bahwa jihad memiliki makna bahasa “usaha sungguh-sungguh”.
Namun syara’ telah memberi definisi spesifik, bahwa jihad adalah segenap
usaha mengatasi kekuasaan tirani asing yang merintangi dakwah secara fisik.
Jadi jihad tak hanya untuk mempertahankan diri, apalagi sekedar melawan hawa
nafsu. Sedang usaha mengoreksi penguasa / melenyapkan kemungkaran di negeri
Islam, tidaklah disebut jihad, melainkan dakwah atau nahi mungkar – dan ini
tidak dengan kekerasan, kecuali penguasa daulah Islam mengkhianati baiat
rakyatnya, yang mewajibkannya menerapkan Islam. Sedang usaha mendirikan
daulah Islam itu sendiri, sama sekali harus tanpa kekerasan. Rasulullahpun
saat di Mekkah, berjuang tanpa kekerasan, meski banyak pengikutnya disiksa.
Revolusi pemikiran tak bisa tidak selain dengan pemikiran juga, melalui
dialog, diskusi publik, media massa dsb.

16. Uncompromising – but no violence
Dalam aktivitasnya, HT tidak mengenal kompromi dalam masalah syara’,
sekalipun bagi gerakan lain itu adalah manuver politik. Namun sikap anti
kompromi ini tidak berarti HT pro kekerasan. Bahkan di Jakarta, HT mendapat
penghargaan Polda, sebagai penggelar demo paling tertib di Jakarta. Hal ini
karena HT memandang jalan raya sebagai milik publik dan haram menghalangi
orang untuk lewat. Selain itu HT melihat polisi hanya sebagai alat negara.
Dan preman, bahkan pelacur sekalipun bukanlah musuh, karena hakekatnya
mereka juga korban dari sistem yang tidak islami.

17. Liberating – but not liberal
Meski memperjuangkan syariat Islam, HT memilih nama universal “Hizbut
Tahrir” (Partai Pembebasan) – tanpa label “Islam”, karena ini mubah. Namun
pembebasan itu bukanlah liberalisme (bebas dari batasan apapun kecuali yang
bermanfaat baginya), melainkan pembebasan dari penghambaan pada sesama
manusia menjadi pada Allah saja.

18. Tolerance – but not pluralism
Dari pemahaman bahwa ada dalil-dalil syara’ yang bisa ditafsirkan berbeda,
HT toleran pada mereka yang masih punya “syubhatud dalil” (dalil tipis) yang
masih islami. Atas pemikiran dan aktivitas gerakan lain, HT berpendapat
bahwa gerakan lain itu islami, meski pendapatnya berseberangan dengan HT.

Namun tidak berarti HT setuju dengan doktrin yang mengharuskan kekuasaan
di-share ke kelompok dengan pemikiran yang berbeda-beda. Karena dalam
masyarakat tetap harus ada suatu pemikiran tunggal yang mempersatukan.

Untuk hukum yang menyangkut masyarakat luas (bukan soal Qunut atau rokaat
tarawih), mau tidak mau HT harus dan akan mengambil sikap untuk
memperjuangkan pendapat yang terkuat hujjahnya saja. Terhadap pendukung
pendapat islami lainnya, dikembangkan iklim dialog dan toleransi.

19. International – but work local
Sedari awal HT sadar bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Karena
itu, seluruh manusia pantas dijadikan sasaran dakwah. Maka HT ada di seluruh
dunia, juga di negara-negara Barat.

Dakwah memang harus dimulai dari entitas yang bisa diakses. Karena itu
prioritas dakwah tetap pada kaum muslim dulu. Dan karena bangsa Arab adalah
komponen muslim terbesar dengan ikatan emosional tertinggi, maka pada mereka
dakwah lebih intensif

20. Local – but not nationalism
Namun meski bekerja secara lokal, tidak berarti HT setuju dengan
nasionalisme atau patriotisme. Bahwa HT akan berdiri di garis depan bila
negerinya diserang orang-orang kafir, itu pasti. Namun ini bukan karena
merasa pengabdian tertinggi adalah pada bangsa dan negara, melainkan karena
HT yakin membela negeri Islam dari serangan orang-orang kafir adalah
kewajiban syara’.

HT berpikir lebih kosmopolit dan globalisasi, karena syara’ setiap bicara
tentang ummat Islam, tidaklah spesifik hanya untuk muslim di negeri tertentu
saja. Demikian juga, cita-cita mendirikan khilafah Islam sebagai cikal
bakal suatu “superstate” tidak tertuju hanya di wilayah teritorial tertentu
saja, melainkan di mana saja yang memang paling kondusif untuk itu, di
sanalah cita-cita itu akan mulai direalisasi. Tidak oleh HT, namun oleh
ummat yang telah berubah cara berpikirnya.

Referensi:

Abdul Qadim Zallum: Nizhamul Hukum
Hizbut Tahrir: Ta’rif Hizbut Tahrir
Taqiyyudin An-Nabhani: Mafahim Hizbut Tahrir

Tags: , , ,

.

Leave a Reply