Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
January 23rd, 2013

Belajar Menjadi PNS

pns-indonesia-fahmiamhar-dot-comApakah Anda punya pendapat stereotip tentang PNS?

Misalnya “PNS itu pemalas”, “PNS itu bergaji kecil”, “PNS itu enak, gaji kecil tapi sabetan banyak” dsb.

Apakah Anda sendiri, anggota keluarga Anda atau teman baik Anda PNS?

Stereotip tadi tidak salah-salah amat, tetapi juga tidak benar 100%.  Sewaktu kecil dulu saya juga tidak bercita-cita jadi PNS.  Orang tua saya pedagang & guru ngaji partikelir.  Penghasilannya memang tidak teratur seperti PNS, tetapi totalnya lebih besar.  Saya pernah punya cita-cita jadi pengusaha berbasis teknologi.  Tapi nasib mengharuskan saya mengambil ikatan dinas agar bisa dapat beasiswa ke luar negeri.  Dan jadilah saya PNS sejak Februari 1987, dimulai dengan modal ijazah SMA dan pangkat II/a.  Tujuh tahun kemudian (1994), ketika saya sudah mengantongi ijazah yang disamakan dengan S1, pangkat saya dinaikkan menjadi III/a.  Dan empat tahun sesudahnya (1998), dengan ijazah S3, pangkat saya dinaikkan menjadi III/b.  Kemudian saya mengajukan diri menjadi fungsional peneliti.  Tahun 1998, ijazah Doktor dan sejumlah paper saya cukup untuk menjadi “Ajun Peneliti Muda” (atau sekarang istilahnya “Peneliti Muda III/c”).  Karena jabatan peneliti saya lebih tinggi dari pangkat saya, maka saya mendapat Kenaikan Pangkat Pilihan 2 tahun, sehingga tahun 2000 pangkat saya menjadi III/c juga.  Demikian seterusnya, dan tahun 2007 jabatan peneliti saya sudah “Peneliti Utama IV/e”, sehingga setiap dua tahun saya otomatis mendapat Kenaikan Pangkat Pilihan.  Jadi tahun 2012 saya sudah mencapai pangkat tertinggi IV/e.  Pangkat saya bahkan lebih tinggi dari pangkat Kepala Lembaga … 🙂

Tetapi meski demikian, saya belum dapat dikatakan mengumpulkan semua pengalaman PNS.  Saya memang pernah menjadi pejabat fungsional (sebagai peneliti), pejabat struktural (kepala Balai/eselon-3, pelaksana harian kepala Pusat/eselon-2), surveyor, widyaiswara luar biasa, panitia seminar & pameran, penulis pidato pimpinan, penilai prakualifikasi, pembuat spesifikasi & RSNI, pembuat RUU, RPP, dan Raperka, pembuat Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK), koordinator supervisi, sekretaris pokja penanggulangan bencana, anggota tim seleksi CPNS, anggota tim reformasi birokrasi, dsb.  Tetapi saya belum pernah – dan pernah menolak – untuk dijadikan Pimpro (atau sekarang disebut “Pejabat Pembuat Komitmen”).  Saya cuma menjadi pengamat “yang sangat dekat dengan objek” … 🙂

Dari situ saya melihat bahwa PNS itu sedikitnya ada 5 jenis stereotip:

1. “PNS Omar Bakri” — ini jenis PNS dengan pekerjaan yang teramat rutin pada pos-pos yang “tidak basah”, tidak ada uangnya, atau berhubungan dengan orang-orang yang tidak memiliki uang.  Kalau secara umum, PNS seperti ini adalah guru-guru di pedesaan, yang dulu diangkat menjadi film dengan judul “Omar Bakri”.  Kalau di perkotaan, guru masih bisa ngasih les privat, walaupun ini terbatas pada guru-guru mata pelajaran sulit, seperti matematika, ipa atau bahasa Inggris.  Kalau secara kuantitas, saya kira PNS Omar Bakri ini yang terbanyak jumlahnya, karena lebih dari 60% PNS di Indonesia itu guru.  Baru akhir-akhir ini saja sebagian guru yang telah tersertifikasi agak mendapat “angin segar”, karena ada tunjangan sertifikasi sebesar gaji pokok.  Kalau di kantor-kantor, ini PNS yang ditempatkan sebagai penerima tamu (resepsionis), penerima telepon layanan masyarakat, atau satpam.  Mereka tidak mungkin cari objekan, karena harus standby di tempat, dengan “insentif seikhlasnya” !!!

2. “PNS Pak Ogah” — ini jenis PNS yang sering kelihatan lontang-lantung tanpa pekerjaan dan nongkrong di warung, main catur atau ngerumpi.  Mereka dikenali kalau memakai seragam instansinya atau seragam Korpri.  Tetapi sebenarnya ada banyak latar belakang mengapa fenomena ini terjadi.  Pertama, mereka bekerja berdasarkan proyek.  Jadi mereka tidak ada kegiatan ketika proyek belum mulai (misalnya karena APBN/APBD belum disahkan), atau tahapan proyek di mana mereka terlibat belum sampai/sudah selesai.  Kedua, mereka berada di bagian yang kekurangan pekerjaan, karena anggarannya dicoret atau dialihkan ke bagian lain.  Ketiga, mereka memang dianggap memiliki integritas atau kompetensi yang kurang, sehingga tidak banyak dilibatkan dalam pekerjaan.  Yang terakhir ini yang paling repot.  Karena ada PNS-PNS “bermasalah” tetapi tidak cukup alasan untuk dipecat, dan harus “dibina” … tentu saja pejabat yang menjadi atasannya pusing, mau dibina jadi apa?  PNS bermasalah ini banyak yang sudah “pamen” alias pangkat mentok.  Bayangkan, kalau seseorang lulus sarjana pada usia 23, lalu masuk PNS usia 24 dengan pangkat III/a, kemudian naik pangkat reguler setiap 4 tahun, maka pada usia 36, dia sudah akan memiliki pangkat III/d.  Kalau dia tidak sekolah lagi, atau tidak dipercaya menjadi pejabat struktural, maka dia akan di III/d ini sampai pensiun.  Dan itu berarti masih 20 tahun lagi.  Bayangkan, baru 36 tahun – masih sangat muda – tapi sudah kehilangan semangat hidup karena tidak bisa naik pangkat lagi !!!

3. “PNS Gayus” — ini jenis PNS yang lingkup kerjanya memungkinkan meraup uang haram.  Dan ini tidak harus pejabat struktural ataupun pimpro !!!  Pejabat memang bisa mengarahkan agar ada pekerjaan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu (yang kemudian akan kembali ke pribadi berupa gratifikasi), atau agar sering-sering ada rapat di hotel, ada perjalanan keluar kota, atau ada honor nara sumber yang dapat ikut dia nikmati.  Tetapi, stafpun ada yang dalam posisi bisa melakukan hal-hal itu, yaitu ketika dia dipercaya untuk melaksanakan operasional sehari-hari, misalnya membelikan ATK, mengurus snack/catering-rapat, mengurus tiket, hotel atau sewa kendaraan, dsb.  Banyak kwitansi yang kemudian dimanipulasi agar menyesuaikan dengan pagu anggaran, padahal realitasnya jauh lebih murah.  Inilah yang akan dikumpulkan oleh “gayus-gayus” itu.  Tentu saja, pada PNS yang melakukan pelayanan publik, kesempatan “ngegayus” ini lebih besar lagi.  Apalagi kalau yang dilayani itu para pengusaha, entah untuk urusan perijinan atau pembayaran pajak.  “PNS Gayus” ini indikasinya jelas koq, yaitu tidak memiliki keahlian istimewa, tidak memiliki sumber penghasilan sampingan, tetapi bisa hidup jauh lebih mewah dari rata-rata PNS sebayanya.  Apalagi kalau yang bersangkutan memang hobby narsis … 🙂

4. “PNS Profi” — ini jenis PNS yang memiliki keahlian istimewa, dan lingkup tugasnya memungkinkan sehingga keahliannya itu dihargai oleh masyarakat secara halal.  Sebenarnya tidak banyak PNS yang seperti ini.  Yang paling kelihatan adalah dokter spesialis.  Semua orang tahu kalau Indonesia masih kekurangan dokter spesialis, sehingga hampir semua dokter spesialis yang PNS pasti juga praktek swasta.  Kemudian juga akademisi (ahli/dosen/peneliti).  Mereka tidak harus 8 jam nongkrong di kantor, karena kalau sedang tidak jadwalnya mengajar atau jadwalnya bekerja di lab, atau target kinerjanya sudah terpenuhi, ya sah-sah saja menjadi konsultan/narasumber di luar kantor, atau menulis buku/artikel yang nanti laku di luar.

5. “PNS Aktivis” — ini jenis PNS paling langka.  Mereka ini PNS, tapi mereka juga berani mengkritik pemerintah sendiri, yang notabene bosnya.  Untuk jenis yang terakhir ini sepertinya nyaris hanya ada di perguruan tinggi dan lembaga penelitian, itupun tidak semua berani.  Memang, itu kebebasan dan independensi dunia akademis.  Tetapi kalau mereka memangku suatu jabatan struktural, mereka mau tak mau harus mendukung kebijakan atasannya, termasuk kebijakan pemerintah.  Orang-orang seperti Amien Rais, Nurcholis Madjid (alm) atau Yusril Ihza Mahendra, semuanya dulu PNS.  Tetapi integritas dan independensi mereka membuat mereka seakan-akan bukan PNS.

Karena ada 5 tipe PNS itu, maka menghadapinya juga harus berbeda-beda.  PNS Omar Bakri memang harus disejahterakan dulu, karena mereka sudah terlalu banyak bersedekah untuk negeri ini.  PNS Pak Ogah sebaiknya lebih dioptimalkan, ditraining ulang, atau dipindahkan ke yang kegiatannya selalu ada, dan kalau memang sudah tidak punya gairah hidup, lebih baik dipensiunkan dini.  PNS Gayus sebaiknya dijebak saja oleh atasannya, agar mendapat pelajaran sehingga tidak berani ngegayus lagi, dan kalau masih belum kapok, kasih tahu saja KPK, biar KPK yang ngurus.  Kalau yang PNS Profi atau PNS Aktivis, tidak usah terlalu diurusi, karena mereka sudah pandai mengurus dirinya sendiri … 🙂

Tags: , , , , ,

.

7 Responses to “Belajar Menjadi PNS”

  1. hehe, jadi ingin jadi PNS aktivis nich…

  2. Analisis yang menarik mas Fahmi. Mas kenapa yang tidak sekolah lagi pangkatnya mentok di III/D?

  3. Karena aturannya, pangkat tertinggi PNS dengan ijazah S1 adalah III/D, kalau S2 itu IV/A, S3 itu IV/B. Kecuali kalau mereka memiliki jabatan struktural atau fungsional. Tapi sekarang kalau fungsional dosen, ketika mau naik ke IV/A (Lektor Kepala), sudah harus S3.

  4. Bgmn pnyikapan ktika mjd PNS ada kwajiban premi bulanan utk ASKES PNS, dimana ada sejumlah uang yang kita bayarkan kpd PT ASKES shg kita dpt benefit berupa ditanggung dlm hal layanan kesehatan (sesuai plafon).Apakah tdk boleh dimanfaatkan atau ada catatan? syukron

  5. Itu fasilitas memang tanggung jawab pemerintah. Jadi askes boleh dipakai.

  6. PNS yang biasa-biasa saja, yang maksimal melaksanakan tugasnya sampai jam kerja terasa kurang sehingga sampai harus dibawa pulang ke rumah, dengan honor standar yang sudah ditentukan masuk kategori yang mana pak Fahmi?? tidak tega ngegayus, di atas Umar Bakri tapi jelas tidak bisa kerja seperti dokter spesialis atau dosen PTN…

  7. Ya kalau antara nge-gayus dan umar bakri, jadi “Umar Gayus” donk … he he … 🙂

Leave a Reply