Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
February 26th, 2013

Banjir, Persoalan Teknis hingga Ideologis

fahmi amhar

fahmi amhar

Fahmi Amhar, Peneliti Utama Geospatial Information Agency

Banyak orang berpikir bahwa banjir yang melanda Jakarta dan daerah lainnya hanya persoalan teknis semata. Namun ternyata bila ditelusur lebih dalam, ada faktor ideologis di dalamnya. Mengapa bisa seperti itu dan bagaimana masalah banjir ini bisa diatasi, berikut wawancara wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan Peneliti Utama Geospatial Information Agency  Prof Dr Ing Fahmi Amhar.

Dalam sebuah tulisan, Anda menyebut banjir ini terkait persoalan sistem sehingga tidak cukup ganti rezim tapi sistem harus ganti. Bagaimana sebenarnya?

Benar. Namun kalau didesak, sistem yang bagaimana atau pada level yang mana yang ingin diganti, banyak yang masih celingukan. Karena memang sistem itu berlevel-level.

Jadi penanganan banjir atau permasalahan lainnya, terkadang cukup mengubah salah satu levelnya saja tetapi ada juga yang harus diubah sampai ke level ideologis.

Bisa Anda rinci level-level tersebut?

Pertama, level praktis. Sistem level praktis itu di tataran pelaksana (the person behind the gun).  Misalnya, akan ada perubahan yang “sistemik” begitu diangkat gubernur baru yang gemar “blusukan” alias inspeksi mendadak ke tempat-tempat bermasalah, atau wakil gubernur yang telaten memelototi RAPBD untuk menghemat pos-pos anggaran yang tidak perlu.  Dampaknya sistemis, karena terus semua aparat ke bawah bekerja dengan benar, takut gubernurnya duluan sampai ke kantor atau ke TKP daripada dia, juga takut anggaran tahun mendatang dikurangi lagi atau bahkan dihapus, kalau target kinerjanya diragukan.

Kedua, level mekanis. Banyak hal yang mendukung penanggulangan banjir itu dapat dibuat mekanis (otomatis), sehingga memaksa orang mengikutinya.

Contohnya?

Pengawas infrastruktur yang patroli harus membawa perekam ber-GPS, kamera CCTV, pintu-air otomatis yang dapat naik/turun sendiri ketika debit air mencapi ketinggian tertentu, dan sebagainya.  Atau bantaran sungai diberi pagar dengan ketinggian tertentu sehingga warga tidak bisa lagi membuang sampah ke sungai.  Sebaliknya, mereka disediakan tempat sampah yang diangkut secara teratur, sehingga meninggalkan kebiasaannya membuat sampah ke sungai.  Ini dampaknya semua akan sistemis, sampai sistem mekanis ini rusak/dirusak.

Ketiga, level teknis. Sistem level teknis ini berupa standard operational procedure (SOP) yang diperintahkan oleh pejabat terkait, SOP agar seluruh petugas dinas PU rutin—misalnya seminggu sekali—memeriksa seluruh infrastruktur anti banjir (gorong-gorong, kanal, waduk, tanggul, pintu-air, pompa) dan mengisi checklist terkait yang harus dia pertanggungjawabkan, dan untuk itu, kompetensi petugas ini ditingkatkan dengan suatu diklat profesi, tunjangannya dinaikkan, tetapi kalau lalai akan diberi sanksi yang berat.

Keempat?

Level yuridis. Jika berbagai kebijakan itu dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, misalnya Undang-undang tentang Penataan Ruang yang diperketat, atau Perda tentang Insentif dan Disinsentif bagi masyarakat yang ikut menjaga infrastruktur anti banjir,  maka ini sudah level yuridis.  Perundangan ini yang akan menaungi sistem teknis, mekanis maupun praktis. Dalam sistem pemerintahan yang berlaku saat ini, ciri level yuridis ini adalah pembuatan atau perubahannya harus melibatkan banyak pihak, seperti DPR/DPRD atau beberapa kementerian.

Kelima, level politis. Ingin mengubah UU atau Perda itu perlu mengubah konstelasi politik.  Partai-partai yang mendukung perubahan harus dilobi agar mereka menghasilkan produk hukum yang diinginkan.  Proses politik ini juga tergantung sistem level politik yang ada, misalnya apakah dia strict pada pemilu yang mengikuti sistem proporsional atau sistem distrik, apakah untuk mengubah suatu UU cukup mayoritas sederhana atau harus dua pertiga jumlah kursi, dan lain sebagainya.

Keenam, level akademis. Kebijakan politis perlu dasar atau pembenaran secara akademis, demikian juga pembuatan hukum (yuridis).  Maka di level akademis ini, sebuah sistem juga harus “lulus”, kalau dia ingin legitimate dan sustain dalam jangka panjang.  Untuk mengganti sistem di level akademis ini berarti kita harus mengganti akademisinya, atau kita mengganti isi otak para akademisi yang sudah ada, dengan cara diskusi yang juga sangat melelahkan dan karena itu tidak mudah!  Revolusi di berbagai negara biasa didahului dengan perdebatan akademis puluhan tahun.

Ketujuh, level ideologis. Level akademis, apalagi dalam persoalan politik-ekonomi-hukum, sangat tergantung pada ideologi yang mendasarinya.  Apakah ideologisnya condong ke kapitalis, sosialis, atau campuran, atau bukan semuanya?  Kalau sistem ini tidak jelas ideologinya, maka ia akan sangat labil.

Bagaimana mengubah sistem di level ideologi?

Untuk mengubah sistem di level ideologi, mirip seperti di level akademis, yakni mengubah para ideolog, yakni tokoh-tokoh yang paling gencar meyakini, mendukung dan mengemban sebuah ideologi.  Mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam politik atau intelektual, yang faktanya diikuti oleh banyak orang, termasuk para pemegang kekuasaan.

Kalau banjir di Jakarta perubahannya harus dalam sistem apa saja?

Banyak yang harus berubah.  Perilaku masyarakat dan penguasa dalam soal tata ruang harus berubah.  Seharusnya daerah hulu dibiarkan jadi hutan lindung, tidak beralih fungsi jadi perkebunan sayuran, apalagi malah jadi vila dan lapangan golf.  Penguasa harus tegas menjaga tata ruang ini, tidak mudah ditekan oleh rakyat konstituennya yang membuat kebun sayur ataupun tergiur gratifikasi pengusaha pariwisata.

Di hilir, seharusnya bantaran sungai dibiarkan kosong agar mudah untuk merawat tanggul sungai atau mengeruk sungai sehingga tidak terus menerus terjadi pendangkalan.  Dan lagi-lagi penguasa harus tegas menindak sindikat yang terus memanfaatkan kemiskinan penghuni bantaran sungai itu.

Penguasa juga harus menaikkan kompetensi dan disiplin para petugas perawatan infrastruktur anti banjir, agar seluruh gorong-gorong, kanal, waduk, tanggul dan pompa seluruhnya berfungsi optimal.

Jadi cukup hanya sampai level teknis?

Tidak. Karena pelanggaran tata ruang baik di hulu maupun hilir terutama adalah disebabkan oleh sistem ekonomi kapitalisme, sehingga nyaris semua permasalahan diserahkan kepada pasar.  Akibatnya, mereka yang memiliki bekal awal minim, akhirnya kalah, menjual lahannya di kawasan hulu kepada investor, lalu pergi ke Jakarta, bekerja di sektor informal yang sangat kekurangan, dan akhirnya tinggal di bantaran sungai.

Jadi untuk banjir Jakarta, tidak hanya sistem teknis yang harus diperbaiki.  Tanpa sistem non teknis, maka perbaikan sistem teknis seberapa pun tidak akan cukup.  Dan yang non teknis ini ternyata berakar pada sesuatu yang ideologis, yaitu ekonomi yang terlalu diserahkan pada permainan pasar (kapitalis), dan kebijakan publik yang terlalu diserahkan kepada demokrasi, padahal dalam hal perlindungan lingkungan, pasar sering gagal berfungsi, karena nilai lingkungan tidak mudah dikonversi ke nilai uang. Demikian juga, opsi-opsi teknis yang memerlukan kepakaran tidak mungkin dipilih dengan  cara demokratis

Tidak bisakah kita harus meniru Belanda dalam mengatasi banjir ini, kok malah harus ganti sistem?

Ya. Sangat berbeda dengan negeri Belanda.  Di sana hanya ada masalah sistemis-teknis, yang non teknis sudah lama selesai.  Kita mungkin bisa saja meniru mereka baik dalam sistem teknis maupun non teknis atau bahkan ideologis.  Mungkin memang banjirnya nanti akan selesai.

Tetapi kalau kita menggunakan ideologi Belanda (sekuler, liberal), maka nanti akan muncul persoalan baru seperti hancurnya institusi keluarga, narkoba dan bunuh diri.  Karena itu, kalau memang harus ada perubahan di level ideologis, bagi negeri yang mayoritas Muslim ini ya tidak ada pilihan lain kecuali perubahan ke ideologi Islam.[]

Tags: , , ,

.

Leave a Reply