Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
February 26th, 2013

Ketika Khilafah Pindah Ibu Kota

Dr. Fahmi Amhar

Banjir besar yang melumpuhkan Jakarta baru-baru ini telah membuat wacana pemindahan ibu kota menghangat kembali.  Jakarta tidak saja terancam oleh bencana banjir yang kronis, tetapi juga oleh kemacetan yang semakin hari semakin menggerogoti sumberdaya energi dan waktu, sehingga kota metropolitan ini makin terasa tidak pantas berada di jajaran kota-kota kelas dunia.  Bagaimana jalannya pemerintah pusat tidak terganggu, bila ratusan ribu pegawainya tidak bisa masuk kantor akibat rumahnya tergenang, atau jalannya terputus akibat kebanjiran.

Selama ini gambaran kota modern yang ada di benak awam (termasuk sebagian besar pejabatnya) adalah kota dengan banyak gedung-gedung pencakar langit, mal, apartemen dan jalan-jalan tol layang.  Mereka jarang menghitung bahwa keberadaan infrastruktur yang efisien dan tahan bencana adalah justru kunci terpenting sebuah kota, apalagi itu ibukota negara, yang menjadi etalase negeri.  Banyak calon investor yang urung berinvestasi di Indonesia karena stres menghadapi kemacetan yang parah setiap hari di Jakarta, atau belum-belum sudah dikepung oleh banjir meski sudah di kawasan elite.

Karena itu wacana pemindahan ibukota tentu saja masuk akal.  Ibukota bisa dipindahkan ke “kota satelit” terdekat – semacam Putra Jaya dengan Kuala Lumpur di Malaysia, atau sama sekali ke satu kota yang baru – seperti Sydney ke Canberra di Australia, atau disebar ke beberapa kota sekaligus – seperti di Jerman yang meski kedudukan parlemen dan kanselir di Berlin, tetapi pusat finansial tetap di Frankfurt dan kedudukan yudikatif di Karlsruhe.

Yang pasti, pemindahan ibukota tetap memerlukan suatu perencanaan yang luar biasa.  Pemindahan itu harus optimal dari sisi kota yang baru dibangun, kota yang ditinggalkan, selama transisi, semua urusan pelayanan rakyat tidak boleh terganggu.  Lalu setelah pemindahan selesai, efisiensi pemerintahan harus meningkat.

Bagdad tahun 2003

Bagdad tahun 2003

Sejarah peradaban Islam mencatat sedikitnya empat kali perpindahan ibukota negara.  Namun alasan utama saat itu semua adalah politik.  Perpindahan pertama adalah dari Madinah ke Damaskus pada awal Bani Umayyah.  Damaskus saat itu sudah ibukota musim panas kekaisaran Byzantium.  Perpindahan kedua adalah saat kebangkitan Bani Abbasiyah dari Damaskus ke Baghdad.  Baghdad adalah kota yang dibangun baru, menggantikan Ctesiphon, ibukota Persia.  Perpindahan ketiga adalah pasca hancurnya Baghdad oleh serbuan Mongol, dan pusat Khilafah lalu dipindah ke Kairo.  Kairo sendiri sudah ada di delta sungai Nil itu sejak zaman Fir’aun.  Sedang terakhir adalah perpindahan dari Kairo ke Istanbul, ketika Khalifah terakhir Abbasiyah mengundurkan diri setelah melihat bahwa Bani Utsmaniyah lebih berkemampuan untuk memimpin dunia Islam dan mendakwahkannya ke seluruh dunia.  Adapun Istanbul telah berdiri lebih dari 1000 tahun karena dibangun oleh Kaisar Konstantin.  Dengan demikian, satu-satunya ibukota Khilafah yang praktis dibangun dari awal hanyalah Baghdad.

Menurut para sejarahwan perkotaan Modelski maupun Chandler, Baghdad di Irak memegang rekor kota terbesar di dunia dari abad-8 M sampai abad-13 M.  Penduduk Baghdad pada tahun 1000 M ditaksir sudah 1.500.000 jiwa.  Peringkat kedua diduduki oleh Cordoba di Spanyol yang saat itu juga wilayah Islam dengan 500.000 jiwa dan baru Konstantinopel yang saat itu masih ibukota Romawi-Byzantium dengan 300.000 jiwa.

Pada 30 Juli 762 M, Khalifah al-Mansur mendirikan kota Baghdad.  Al-Mansur percaya bahwa Baghdad adalah kota yang akan sempurna untuk menjadi ibukota Khilafah.  Al-Mansur sangat mencintai lokasi itu sehingga konon dia berucap, “Kota yang akan kudirikan ini adalah tempat aku tinggal dan para penerusku akan memerintah”.

Modal dasar kota ini adalah lokasinya yang strategis dan memberikan kontrol atas rute perdagangan sepanjang sungai Tigris ke laut dan dari Timur Tengah ke Asia.  Tersedianya air sepanjang tahun dan iklimnya yang kering juga membuat kota ini lebih beruntung daripada ibukota khilafah sebelumnya yakni Madinah atau Damaskus.

Namun modal dasar tadi tentu tak akan efektif tanpa perencanaan yang luar biasa.  Empat tahun sebelum dibangun, tahun 758 M al-Mansur mengumpulkan para surveyor, insinyur dan arsitek dari seluruh dunia untuk datang dan membuat perencanaan kota.  Lebih dari 100.000 pekerja konstruksi datang untuk mensurvei rencana-rencana, banyak dari mereka disebar dan diberi gaji untuk langsung memulai pembangunan kota.  Kota dibangun dalam dua semi-lingkaran dengan diameter sekitar 19 kilometer.  Bulan Juli dipilih sebagai waktu mulai karena dua astronom, Naubakht Ahvaz dan Masyallah percaya bahwa itu saat yang tepat, karena air Tigris sedang tinggi, sehingga kota dijamin aman dari banjir.  Memang ada sedikit astrologi di situ, tetapi itu bukan pertimbangan utama.  Batu bata yang dipakai untuk membangun berukuran sekitar 45 centimeter pada seluruh seginya.  Abu Hanifah adalah penghitung batu bata dan dia mengembangkan sistem kanalisasi untuk membawa air baik untuk pembuatan batu bata maupun untuk kebutuhan manusia.

Setiap bagian kota yang direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.  Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan.  Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.  Negara dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara, sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum.

Namun perencanaan kota juga memperhatikan aspek pertahanan terhadap ancaman serangan.  Ada empat benteng yang mengelilingi Baghad, masing-masing diberi nama Kufah, Basrah, Khurasan dan Damaskus, sesuai dengan arah gerbang untuk perjalanan menuju kota-kota tersebut.  Setiap gerbang memiliki pintu rangkap yang terbuat dari besi tebal, yang memerlukan beberapa lelaki dewasa untuk membukanya.

Tak heran bahwa kemudian Baghdad dengan cepat menutupi kemegahan Ctesiphon, ibukota Kekaisaran Persia yang terletak 30 kilometer di tenggara Baghdad, yang telah dikalahkan pada perang al-Qadisiyah tahun 637.  Baghdad meraih zaman keemasannya saat era Harun al Rasyid pada awal abad 9 M.

Tags: , , , ,

.

Leave a Reply