Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
April 22nd, 2013

Belajar Mengatasi Rasa Takut

scared-fahmi-amharSemua orang pernah mengalami rasa takut.  Tetapi dalam perkembangannya, rasa takut itu ternyata bermacam-macam alasan dan manifestasinya.

Setiap anak kecil, biasanya takut gelap.  Kadang itu juga karena ditakut-takuti orang dewasa yang mengasuhnya.  Gelap itu “ada setan”.  Kalau nakal nanti dikunci di gudang yang gelap.  Ini takut yang sifatnya mithycal.  Mungkin berfungsi mencegah anak nakal, tetapi sebenarnya tidak baik.

Anak yang pernah kepleset atau tangannya kegores benda tajam akan takut mengalaminya lagi.  Sakit.  Maka dia akan hati-hati.  Ini takut yang sifat fisikal-rasional.  Sepertinya positif, asal tidak lalu paranoid saja, misalnya anak jadi tidak berani jalan sendiri di kamar mandi atau tidak berani pegang pisau.

Anak juga biasanya takut ditinggal ibunya pergi terlalu lama.  Ini takut yang sifatnya relasional (hubungan personal).  Di masa dewasa, tidak ada orang yang tidak takut ditinggalkan orang yang dicintainya, baik kawan, pasangan atau anak.

Anak juga takut tidak kebagian oleh-oleh kalau ibunya pulang.  Ini takut yang sifatnya material.  Kelak kalau dewasa, orang takut tidak kebagian proyek, atau orang lain naik gaji dia tidak naik gaji sendiri.

Dan yang paling ditakuti anak adalah takut dimarahi kalau salah.  Akibatnya dia sering menyembunyikan kesalahan itu.  Ini takut yang sifatnya juridical (hukuman pelanggaran).  Dampaknya bisa dua: anak jadi hati-hati agar tidak salah, atau anak lalu belajar berbohong.  Misalnya, dia bangun kesiangan, sehingga kalau sholat shubuh sudah di luar waktunya.  Ketika ditanya, dia bisa saja berbohong, bahwa dia tadi pagi sudah sholat terus tidur lagi.  Karena dia tahu bahwa kalau ngomong apa adanya, dia bisa dimarahi, atau bahkan dihukum tidak boleh nonton kartun seminggu.  Kalau ini berlarut hingga dewasa, dia akan belajar untuk berpura-pura, hidup dalam sembunyi pencitraan.

Ketika sang anak sekolah, dia menghadapi beberapa rasa takut yang baru. 

Kepada gurunya, dia takut datang terlambat.  Takut tidak bikin PR.  Takut tidak mengenakan kostum seragam yang seharusnya.  Takut menjawab soal dengan jawaban yang tidak standard dari gurunya.  Akibatnya kreatifitas anak pelan-pelan akan terpasung.  Pada akhir masa sekolahnya, rata-rata anak akan takut pada ujian.  Apalagi ujian nasional.  Ini rasa takut yang sifatnya hierarchical, karena di sekolah, guru adalah boss, dan sekolah adalah laksana negara adikuasa.

Kepada teman-temannya, anak yang relatif lemah takut dibully, yaitu diancam akan dikucilkan oleh kawan-kawannya yang merasa kuat, atau bahkan diancam dengan kekerasan kalau tidak memenuhi “agenda kelompok”, misalnya iuran untuk makan-makan, bagi-bagi contekan, atau bersetiakawan dengan kawannya yang ada masalah dengan anak kelompok lain (dalam arti: berpartisipasi pada tawuran!).  Ini sifat takut yang sifatnya sosial.

Buntut kalau orang takut seperti ini akan terbawa sampai dewasa.  Dia akan sangat ketakutan kepada hierarki di organisasinya.  Dia takut mempertanyakan relevansi sebuat aturan, atau kompetensi atasannya.  Dia juga takut dirinya dikucilkan karena berbeda.  Padahal boleh jadi, orang itu memang berbeda karena dia juara!

Kalau anak harus pindah sekolah atau bahkan sekolah di kota lain, dia akan mengalami ketakutan berikutnya.  Ini rasa takut adaptasional.  Takut harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, orang yang baru, persoalan yang baru.  Mereka yang mampu melampaui fase ini akan relatif mudah nantinya menghadapi perkembangan zaman.

Kalau anak beranjak remaja atau dewasa, lalu terjun ke masyarakat, dia akan menghadapi rasa takut yang lain.
Ini sudah terkait takut yang bersifat tanggungjawab sosial.  Misalnya, anak takut menikah, karena takut mengecewakan calon istrinya, bahwa dia bukan manusia sempurna.  Atau takut mengimami jama’ah sholat, khawatir nanti kentut dan jama’ah bisa bubar.

Anda mau berbagi jenis takut yang lain?
Dan bagaimana cara mengatasinya?

Di atas semua ini, memang ada rasa takut yang unik.  Karena takutnya ini kepada sesuatu yang tidak kelihatan, tetapi diyakini ada, dan bukan mithical seperti takut gelap.  Misalnya takut ketinggalan sholat berjama’ah, takut termakan makanan yang haram, takut kelihatan auratnya, takut mati dalam keadaan bermaksiat, takut mati dalam keadaan masih meninggalkan utang, takut belum sempat memberikan nasehat pada orang yang seharusnya diberikan nasehat, dan sebagainya.  Ini saya kira takut taraf tertinggi, yakni takut yang sifatnya spiritual.  Sepertinya hanya takut yang terakhir ini yang tidak perlu diatasi, tetapi malah justru ditanamkan.

Tags: , , ,

.

Leave a Reply