Kecerdasan Spasial Ilmuwan Khilafah
Dr. Fahmi Amhar
Pada musim haji tahun ini, quota haji dari seluruh dunia dikurangi 20 persen karena di Mekkah, khususnya di seputar Masjidil Haram sedang ada pembangunan besar-besaran untuk meningkatkan kapasitas. Untuk thawaf, tahun ini lingkaran thawaf lantai 2 dan lantai 3 sudah dioperasikan. Bila saatnya tiba nanti, seluruh jamaah haji sudah bisa ditampung di ratusan kondominium yang berjajar di seputar masjid. Turun lift sudah langsung ke koridor ber-AC menuju masjid.
Tetapi sehebat apapun pembangunan di Tanah Suci, tetap saja ada batas yang tidak bisa dilalui. Ada tiga lokasi yang akan selalu terjadi penumpukan massa, yakni di Masjidil Haram (lingkar thawaf dan jalur sa’i), di padang Arafah, dan di Mina tempat jamarat.
Sekadar ilustrasi, karena “Haji itu Arafah”, sedangkan Arafah adalah suatu padang yang jelas di masa Nabi, maka kita mulai dari sini. Arafah punya luas 3,5 km x 3,5 km. Jadi luas Arafah itu adalah 12.250.000 meter persegi. Kalau orang disuruh duduk di shaf berdesakan, 1 meter persegi cukup untuk maksimum 3 orang. Jadi kapasitas maksimum Arafah 36.750.000 orang. Karena perlu ada tempat untuk koridor jalan atau pintu ke MCK (yang bisa ditaruh di bawah tanah), kita set saja maksimum 36 juta orang. Kalau untuk Mina dan Masjidil Haram, bisalah dibuat tingkat lagi, walaupun konstruksi yang sekarang cuma didesain maksimum 4 juta orang. Arafah tidak bisa dibuat bertingkat. Kalau bertingkat namanya bukan lagi “wukuf di Padang Arafah, tetapi wukuf di Gedung Arafah! Tentu akan diprotes banyak orang sebagai menyalahi syara’.
Kalau jama’ah sekitar 36 juta orang tadi, maka dengan jumlah populasi Muslim di dunia (saat ini) sekitar 1,8 milyar orang, maka quota per negara adalah 2/100 (saat ini 1/1000). Artinya kalau Muslim di Indonesia ada 200 juta orang, nantinya yang berangkat bukan 200 ribu, tetapi 4 juta orang. Jadi kalau mau mengulang, harusnya setelah 50 tahun! Ini berarti sudah peningkatan kapasitas 20 kali. Tinggal nanti harus dipikirkan bagaimana mengatur perjalanan ke sana dan pemondokan di sana!
Bukan suatu perkara yang mudah. Padahal, Mekkah dan waktu haji adalah tempat dan waktu terbaik bagi umat Islam untuk mengadakan pertemuan sedunia.
Sekarang mungkin masih sulit membayangkan bahwa pemerintah Saudi akan mengizinkan, atau bahkan menjadi sponsor konferensi tahunan sedunia para ahli komputer, para pakar halal food, para maestro karpet, para insinyur semen, para praktisi perbankan syariah, juga festival para muadzin? Konferensi ini bisa saja diadakan di Mekkah menjelang haji, dilaksanakan simultan di beberapa hotel terpisah, diikuti perwakilan dari setiap negeri Muslim. Di sana mereka berdiskusi tentang “state of the art” dari tiap bidangnya itu, juga tentang perkembangan hukum syara’ & ijtihad yang terkait. Jadi, jama’ah haji yang di Tanah Suci 40 hari itu pulang tidak hanya membawa “gelar Haji”, tetapi juga membawa banyak ilmu baru yang dibagi selama konferensi, contoh produk yang di dapat saat World-Expo, daftar relasi baru di seluruh dunia, dsb.
Insya Allah, pada saat Khilafah Rasyidah ke-II nanti, setiap tahun umat Islam selalu mengadakan serangkaian acara kelas dunia. Misalnya Muktamar Ulama’ Sedunia, Kongres Muslimpreneurs Internasional; Global Islamic Trade & Industrial Expo; World Muslim Scientists, Technologs & Intelectuals Symposia; International Islamic Sport & Culture Festivals; dan diakhiri dengan sebuah Konferensi Tingkat Tinggi antar Sultan/Wali wilayah Islam. Venue & Timingnya sangat jelas: di Mekkah & sekitarnya, pada musim haji.
Satu hal yang harus dimiliki: semunya perlu pengaturan ruang agar optimal secara spasial. Tapi memang jalan ke sana itu sukar dan mendaki.
Saat ini, kaum Muslim juga sering kelihatan kurang cerdas dalam soal lokasi. Tak jarang dua masjid terletak berdampingan, sedang pada saat yang sama ada satu kampung yang sangat jauh dari masjid, atau ukuran masjidnya sangat tidak memadai. Dalam bertanipun, tidak sedikit kaum Muslim yang menanam secara latah. Ketika harga suatu komoditas pertanian sedang tinggi, mereka ramai-ramai menanamnya, tanpa ilmu tentang apakah tanah itu optimal untuk jenis komoditas yang ditanam. Kalau ini dilakukan oleh petani kecil yang miskin dan tak pernah sekolah, mungkin kita paham. Tetapi bila ini dimobilisasi oleh pemerintah, tentu kita bertanya-tanya.
Dan kalau kita tanya para pelajar dan mahasiswa tentang nama-nama negeri Muslim, atau bahkan lokasi kota-kota di negeri mereka sendiri, kita kadang-kadang mengelus dada. Kalau mereka tidak tahu di mana lokasi dan batas-batas kedaulatan mereka, bagaimana mereka akan peduli kalau tanah-tanah mereka telah dijarah penjajah dan sumberdaya alamnya telah dihisap?
Padahal kaum Muslim generasi awal adalah kaum yang cerdas spasial, atau cerdas dalam mengenali dan memanfaatkan ruang. Mereka didorong untuk mengenali ruang tempat hidupnya. Dan lebih dari itu mereka ditantang mengenali ruang hidup bangsa-bangsa lain karena dorongan dakwah dan jihad. Allah SWT berfirman: “Sungguh telah berlaku sunnah Allah, maka berjalanlah kamu di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibat (perbuatan) orang-orang mendustakan ayat-ayat-Nya”. (QS. Al-Imran: 137).
Perintah ini telah membuat umat Islam di abad-abad pertama berupaya untuk melakukan ekspedisi. Mereka mulai menjelajah daratan dan mengarungi lautan untuk menyebarkan agama Allah. Jalur-jalur darat dan laut yang baru dibuka, menghubungkan seluruh wilayah Islam yang berkembang dari Spanyol di barat hingga Asia Tenggara di timur, dari Sungai Wolga di utara hingga lereng gunung Kilimanjaro di pedalaman Afrika.
Ekspedisi di abad-abad itu mendorong para sarjana dan penjelajah Muslim untuk mengembangkan ilmu-ilmu kebuman seperti geodesi dan geografi, atau di era modern disebut geospasial. Umat Islam memang bukan yang pertama menguasai ilmu bumi. Ilmu ini diwarisi dari bangsa Yunani, dari tokoh-tokoh seperti Thales dari Miletus, Herodotus, Eratosthenes, Hipparchus, Aristoteles, Dicaearchus dari Messana, Strabo, dan Ptolemeus. Salah satu buku karya Ptolomeus yang sudah diterjemahkan ke bahasa Arab, yaitu Almagest, adalah buku favorit yang dipakai sebagai pegangan kajian tafsir di Baghdad, ketika yang dibahas adalah surat al-Ghasiyah.
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan (Qs. 88:17-20)
Kerja keras para sarjana Muslim itu berbuah manis. Al-Biruni mampu menghitung keliling bumi lebih akurat dari yang pernah didapat Eratosthenes. Khalifah Al-Ma’mun memerintahkan para intelektualnya menciptakan peta bumi yang besar. Adalah Musa Al-Khawarizmi bersama 70 ahli lainnya membuat globe pertama pada 830 M. Dia juga menulis kitab Surah Al-Ardh (Risalah Bumi). Pada abad yang sama, Al-Kindi juga menulis sebuah buku berjudul “Tentang Bumi yang Berpenghuni”.
Pada awal abad ke-10 M, Abu Zayd Al-Balkhi mendirikan universitas khusus survei pemetaan di Baghdad. Pada abad ke-11 M, Abu Ubaid Al-Bakri dari Spanyol menulis kitab Mu’jam Al-Ista’jam (Eksiklopedi Kebumian) dan Al-Masalik wa Al-Mamalik (Jalan dan Kerajaan). Ini buku pertama tentang toponimi (nama-nama tempat) di Jazirah Arab. Pada abad ke-12, Al-Idrisi membuat peta dunia dan menulis Kitab Nazhah Al-Muslak fi Ikhtira Al-Falak (Tempat Orang yang Rindu Menembus Cakrawala). Kitab ini begitu berpengaruh sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Geographia Nubiensis.
Seabad kemudian, Qutubuddin Asy-Syirazi (1236–1311 M) membuat peta Laut Tengah, dan Yaqut Ar-Rumi (1179-1229 M) menulis enam jilid ensiklopedi bertajuk Mu’jam Al-Buldan (Ensiklopedi Negeri-negeri).
Penjelajah Muslim asal Maroko, Ibnu Battuta di abad 14 M memberi sumbangan yang signifikan dalam menemukan rute perjalanan baru setelah berekspedisi selama hampir 30 tahun. Penjelajah Muslim lainnya, yaitu Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok menemukan banyak rute baru perjalanan laut setelah berekspedisi tujuh kali dari tahun 1405 hingga 1433 M. Mereka juga mendata sebaran objek tematik yang diamatinya di atas peta. Muncullah antara lain geo-botani, untuk mencatat distribusi dan klasifikasi tumbuhan, atau geo-lingua untuk mencatat sebaran bahasa dan dialek.
Karena dorongan syariah, kaum Muslim generasi awal telah cerdas spasial, sehingga mereka lalu pantas diberi amanah menguasai negeri Barat dan Timur. Kapan kita akan secerdas mereka, atau lebih cerdas lagi?
Tags: kecerdasan spasial, spasial
Leave a Reply