Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘Analisis’ Category

Kapan Sesungguhnya Khilafah Berakhir ?

Wednesday, November 21st, 2012
Koran Inggris yang mengabarkan dibubarkannya Khilafah tahun 1924

Koran Inggris yang mengabarkan dibubarkannya Khilafah tahun 1924

Kapankah khilafah terakhir runtuh? Ketika Rasulullah wafat, ketika Ali bin Abi Thalib terbunuh, ketika Baghdad dihancurkan Tartar, atau ketika Dinasti Utsmaniyah runtuh tahun 1924 yang lalu? Bagi pengikut Wali al-Fatah –tokoh Hizbullah yang telah membentuk ‘Jamaatul Muslimin’ di Indonesia– juga pengikut Ahmadiyah, sekarang ini khilafah sudah ada. Khalifahnya adalah pemimpin spiritual mereka.

Sebagian kaum Arab nasionalis tak setuju khilafah runtuh 1924. Menurut mereka, khilafah telah tiada sejak Baghdad dihancurkan Tartar tahun 1258. Alasannya, pasca-Dinasti Abbasiyah, khalifah tidak lagi dari Quraisy. Sedangkan ada sebuah hadits yang berbunyi: ”Sesungguhnya urusan khilafah itu ada pada Quraisy”.

Sebagian umat Islam lain yang mendambakan negara sempurna juga tidak setuju. Menurut mereka, khilafah hanya bertahan sampai dengan terbunuhnya Khulafaur Rasyidin keempat, Ali bin Abi Thalib. Setelah itu adalah monarki dengan penguasa absolut turun-temurun yang diwarnai korupsi dan kezaliman. Sebagian kaum Syiah malah berpendapat, pasca-Rasulullah, kaum Muslimin telah meninggalkan ajarannya. Alasannya, para sahabat tak melaksanakan wasiat Nabi untuk menjadikan Ali sebagai khalifah penggantinya. Jadi negara Islam praktis hanya ada di masa Rasulullah.

Sedang kaum sekuler mengatakan Nabi tak pernah menjadi kepala negara, juga tak pernah mendirikan negara, apalagi negara Islam. Kalaupun khilafah pernah ada, tak lain hanyalah persekutuan spiritual yang tidak pernah dibatasi geografis.

Sedang kaum orientalis mengakui Nabi memang kepala negara, namun bukan negara Islam, melainkan negara sekuler. Hanya, kebetulan waktu itu yang berkuasa Muslim, sehingga bisa mewarnai sistem negara dengan Islam. Alasannya, dalam Piagam Madinah tercantum bahwa kaum Yahudi boleh menggunakan aturan-aturan mereka sendiri.

Demikianlah sejumlah pendapat yang intinya skeptis pada pendapat bahwa khilafah berakhir tahun 1924 lalu. Karena itu mereka juga skeptis untuk berkontribusi dalam proses penegakannya kembali.

Negara Rasulullah

Jadi, apa sebenarnya entitas yang dipimpin Rasul saat itu? Apakah RW, kota, atau negara? Atau Rasul hanya sekadar pemimpin informal/spiritual dalam sebuah negara?

Faktanya, pada masanya, Rasulullah telah melakukan berbagai aktivitas, baik spiritual seperti memimpin shalat; maupun politis seperti mengirim dan menerima duta negara asing; mengirim pasukan; melakukan perjanjian; mengangkat hakim, gubernur, dan panglima; menetapkan kebijakan publik, dan sebagainya. Apa ini bukan aktivitas seorang kepala negara, sekalipun negara itu adalah negara kota?

Faktanya, dulu maupun kini ada negara-negara berdimensi kecil. Kita mengenal negara kota seperti Monaco, Luxemburg, atau Republik San Marino. Beberapa negara besar di masa kini, awalnya juga hanya kota. RI bermula di Jakarta. Tanpa pengakuan penguasa daerah-daerah lain atas proklamasi Soekarno-Hatta, RI tak akan sebesar ini. Kalaupun batas RI adalah eks Hindia Belanda, maka Hindia Belanda juga dimulai dari Batavia, yang diperluas dengan politik imperialisme selama 350 tahun.

Faktanya, Madinah saat itu mirip negara kota yang merdeka, tak pernah ada di bawah dominasi kekuasaan asing. Makkah juga negara kota lainnya. Saat itu, ada sejumlah negara yang lebih besar, bahkan adikuasa, seperti Romawi yang berkuasa hingga Suriah, Jordania dan Afrika Utara; dan Persia di wilayah Irak dan Iran sekarang ini.

Masyarakat Madinah juga sebuah masyarakat yang khas. Saat Rasulullah hijrah, Islam sudah menjadi pemikiran (mafahim) dan perasaan (maqayis) dominan di Madinah –sekalipun belum semua penduduknya masuk Islam. Untuk menjadi masyarakat yang lengkap mereka tinggal membutuhkan aturan (nizham) yang dominan. Aturan ini tentu harus diterapkan seorang pemimpin yang memerintah mereka, dan mereka siap melindungi dan membantu pemimpin itu.

Kontrak sosial masyarakat Madinah dengan pemimpin itu, yaitu Rasulullah, terjadi saat Baiat Aqabah II. Baiat itulah momentum berdirinya negara-khilafah Islam. Ini mirip proklamasi 17 Agustus 1945. Jadi negaranya –sebagai wilayah dan masyarakat– memang sudah ada sebagai proses rasional, tapi khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, dituntun oleh wahyu. Dan sistem khilafah ini memang berbeda dari sistem kerajaan atau republik. Dia sistem yang khas.

Piagam Madinah juga lebih mirip sebuah Undang-undang Pakta Kerja Sama, baik intra-Madinah maupun antara Madinah dengan suku-suku Yahudi di sekitarnya. UU ini tetap mengacu kepada Islam, karena di banyak pasalnya ada kalimat ”dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya”. Ini adalah kalimat yang jelas-jelas tidak sekuler, tidak demokratis, tidak diktatur, melainkan Islami. Pada saat Perjanjian Hudaibiyah, Rasul sebenarnya justru mendapatkan pengakuan kedaulatan (de jure) dari negara Makkah. Ini mirip 23 Agustus 1949 tatkala RI diakui oleh Kerajaan Belanda. Jadi, Piagam Madinah ataupun Perjanjian Hudaibiyah bukanlah dalil untuk set-up sebuah negara, apalagi bila yang diinginkan adalah gambaran bahwa negara Rasul tersebut kompromistik.

Negara Rasul adalah sesuatu yang dihuni manusia. Tentu mereka juga ada yang tersalah dan berdosa. Hanya Rasul yang maksum. Meski demikian, itu tetap negara Islam, di mana sistem Islam berlaku. Ketika Rasul wafat, para sahabat tak segera mengurus jenazahnya, melainkan sibuk mencari penggantinya. Hanya Ali dan keluarga –sebagai keluarga dekat– yang memandikan dan mengafaninya. Tapi Ali juga menunda menyalatkan dan menguburkannya, hingga terpilih Abu Bakar sebagai khalifah. Penundaan ini, apalagi untuk jenazah Rasul, menunjukkan bahwa masalah khilafah lebih urgen daripada pengurusan jenazah.

Demikianlah para Khulafaur Rasyidin menerapkan Islam di dalam negeri, dan menyebarkannya ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad. Ketika Ali terbunuh dan Daulah Umayyah berdiri, lalu tampak ada pola seperti monarki. Tapi sesungguhnya itu pelanggaran yang tidak signifikan, tidak membuat bubarnya negara.

Dinasti Umayyah hanya menyalahgunakan salah satu metode penentuan khalifah, yaitu nominasi dari khalifah sebelumnya. Namun secara umum, sistem khilafah tetap berfungsi. Mungkin mirip dengan trik Soeharto untuk jadi presiden selama 32 tahun: rekayasa Golkar, pemilu, dan MPR. Kita tahu itu pelanggaran, namun RI tidak bubar karenanya. Apalagi sistem khilafah Islam tidak hanya soal suksesi, namun mencakup politik secara keseluruhan, juga ekonomi, hukum, pendidikan, dan sebagainya.

Imam Abu Yusuf menegaskan bahwa ciri-ciri negara Islam itu dua perkara. Pertama, hukum yang berlaku di negara itu adalah dari Islam semata. Kedua, kekuatan yang melindungi penerapan hukum tersebut semata-mata pada kaum Muslimin, sekalipun mereka tidak mayoritas. Faktanya, dua syarat itu terpenuhi hingga tahun 1924. Dan faktanya, banyak prestasi peradaban Islam yang dinisbahkan ke era ini.

Bagi bangsa-bangsa di dunia, negara khilafah tetaplah satu-satunya representasi kaum Muslimin yang dihormati, disegani, ditakuti, namun juga dimusuhi. Tidak seperti sekarang ini, di mana kaum Muslimin hanya dimusuhi, tapi tak lagi disegani, dihormati, apalagi ditakuti.

Memang, ada kalanya datang khalifah yang zalim atau aparat yang korup. Tapi masyarakat tahu, itu adalah pelanggaran hukum. Hukumnya sendiri digali dari Islam. Sementara sekarang, ketika khilafah tidak ada lagi, hukum digali tak hanya dari Islam, bahkan mayoritas hanya imitasi hukum-hukum warisan penjajah kafir.

Kehancuran Baghdad oleh Tartar juga tidak membubarkan khilafah. Di bagian-bagian lain negeri, sistem Islam tetap jalan. Dan tentang khalifah yang tidak lagi Quraisy, diterangkan oleh Ibnu Khaldun, bahwa Quraisy itu hanya syarat afdhaliyah dan kontekstual, karena dahulu suku paling berpengaruh di jazirah Arab adalah Quraisy, sehingga secara sosiologis, khalifah dari Quraisy akan mengurangi resistensi.

Dengan demikian jelaslah, bahwa negara khilafah Islam memang pernah ada, didirikan Rasulullah sendiri, dan telah berlangsung hingga tahun 1924. Adapun klaim pengikut Wali al-Fatah atau Ahmadiyah bahwa mereka telah memiliki khalifah, bertentangan dengan konsep khilafah yang rajih (kuat), yang menyatakan bahwa khalifah itu pemimpin baik spiritual maupun politis. Demikian juga para penguasa negeri-negeri Islam. Sekalipun mereka menyatakan Islam agama negara, UUD-nya adalah Alquran, atau berbentuk Republik Islam, selama mereka membatasi diri untuk bangsa tertentu, mereka juga belum bisa disamakan dengan khalifah.

Secara empiris, negara-negara di luar dunia Islam pasca 1924 tak pernah lagi merasa berhadapan dengan sebuah negara yang merepresentasikan umat Islam sedunia. Mereka hanya berhadapan satu-satu: dengan Iran, Saudi, Pakistan dan sebagainya. Mereka tidak lagi mendapatkan kaum Muslimin bersatu dalam suatu formasi ideologis. Jadi, memang sudah sejak tahun 1924 ini dunia menanti. (RioL)

www.swaramuslim.net (13 Mar 2006 – 10:00 am)

Belajar Jadi Investor Cerdas

Sunday, November 4th, 2012

Konon, dalam soal finansial, manusia itu pasti jatuh di setidaknya salah satu dari 4 kuadran: menjadi karyawan (employee), menjadi karyawan sendiri (self-employee), menjadi pengusaha, atau menjadi investor.

Sebagian besar orang jadi employee, dengan grade dari buruh tani, sopir angkot milik orang, sampai PNS, karyawan swasta, hingga yang pangkat tertinggi seperti Dirjen atau Presdir.  Semuanya employee.  Ada majikannya.  Ada gajinya.  Dan suatu saat akan dipensiun atau dipecat.  Sebagian besar lagi jadi self-employee, dengan grade dari tukang ojeg, pedagang asongan, tukang pijat, hingga penulis, artis, arsitek, dokter, programmer freelance, atau pengacara.  Cuma sedikit yang bisa jadi pengusaha.  Mereka inilah yang mencari penghasilan dengan membangun sistem bisnis dengan menggerakkan modal dan tenaga orang lain, sehingga kalau sudah running, bisa punya passive income.

Yang mau loncat mendapatkan passive income biasanya adalah investor.  Mereka tidak punya waktu, skill dan kesabaran untuk membangun sebuah sistem bisnis.  Sebagian dari mereka notabene employee atau selfemployee yang punya sedikit atau banyak kelebihan uang.  Mereka akan menyerahkan modalnya ke pengusaha, kemudian menunggu bagi hasil.  Sebagian kecil investor ini akhirnya mendapatkan bagi hasil yang lumayan, sebagian besar mendapatkan bagi hasil tetapi hanya sedikit lebih besar di atas bunga deposito, dan sebagian besar lagi kecele, investasinya berkurang atau bahkan raib sama sekali.  Sebagian karena investasi di tempat yang salah, sebagian karena ditipu mentah-mentah.

Sebagain peneliti dan dosen, saya seorang employee.  Sebagai PNS majikannya adalah pemerintah.  Sebagai dosen tidak tetap, majikannya berganti-ganti, kadang perguruan tinggi negeri A, kadang juga perguruan tinggi swasta B, dsb.

Sebagai penulis buku, saya seorang self-employee.  Alhamdulillah, buku saya laku, bahkan cukup laris.  Kalau itu saya terbitkan sendiri, mungkin saya juga pengusaha, walaupun tidak full-time.  Di Indonesia, ada aturan PNS tidak boleh bisnis.  Ada perkecualian untuk guru atau dokter.  Selain itu harus minta ijin Menteri Keuangan.  Wuiih …  Tapi tanpa diijinkan saja, sekarang banyak PNS bisnis tidak resmi, pakai nama istri, anak, keluarga besar dsb.  Bisnisnya masuk jadi rekanan kantor, atau jadi calo proyek, dan hasilnya banyak pengadaan barang dan jasa yang tidak objektif lagi.

Tetapi kalau jadi investor, sepertinya semua orang bisa dan boleh.  Asal ada uang.  Banyak atau sedikit relatif, tergantung invest di bisnis apa.

Paling gampang invest di properti, khususnya tempat kos-kosan.  Syaratnya: tempatnya dekat dengan perkantoran atau kampus.  Pangsanya, pegawai kantoran kelas menengah, atau mahasiswa yang cukup berduit.  Dari mana tahunya?  Makin mahal sekolahnya (misalnya Kedokteran, atau FE sekolah swata yang bergengsi) biasanya makin tebal koceknya.  Tetapi biasanya lokasi strategis untuk kos-kosan seperti ini sudah habis.  Kalau ada yang menawarkan take-over, sudah mahal sekali.  Coba kalkulasinya begini: tempat kos-kosan dengan 20 pintu, lokasi strategis, kamar mandi di dalam, ada tempat parkir, bisa ditawarkan pada kisaran harga Rp. 1 Milyar.  Kalau ini disewakan per pintu Rp. 500.000/bulan, dan full-occupied, maka penghasilan tahunan adalah Rp. 120 juta.  Maka dengan mengabaikan inflasi, Break Event Poin baru terjadi setelah 9 tahun.  Kalau kita mau tambah invest furniture dan pasang AC misalnya (otomatis juga naikin daya PLN), maka kamar bisa disewakan Rp. 1 juta/bulan atau bahkan lebih.  Jadi BEP bisa lebih singkat.  Mau lebih asyik lagi, buka sekalian layanan catering atau laundry.  Kita upah saja satu keluarga muda untuk maintainance kos-kosan tadi, sambil melayani laundry dan catering itu.  Tapi sekali lagi, lokasi harus strategis dan pangsa pasar yang baik.  Kalau dapatnya mahasiswa yang suka berkelahi, mabuk, atau bahkan narkoba, alamak!  Habis sudah reputasinya.  Bukan cuma uang kos yang jadi susah ditarik, tetapi juga penghuninya lama-lama bisa habis.

Banyak orang yang jualan training motivasi bisnis atau sedang menjaring investor, hanya bercerita KISAH SUKSES.  Padahal di dunia bisnis dapat dikatakan, untuk 1 kisah sukses, ada 10 kisah “gak jelas” (sukses belum, dibilang gagal juga tidak) dan 100 KISAH GAGAL.  Tetapi kisah gagal ini jarang sekali ditulis untuk ditarik pelajaran.  Makanya kegagalan yang sama terus saja terulang.  Di tulisan ini saya akan sedikit menunjukkan kisah-kisah gagal.  Walaupun secara keseluruhan saya tidak gagal.  Saya mendapat banyak ilmu, banyak teman, dan alhamdulillah, zakat maal saya dari tahun ke tahun ternyata terus meningkat, meskipun gaji saya sebagai PNS ya tetap segitu-segitu saja 🙂

Saya pernah mencoba invest pada rekan yang dapat proyek renovasi pasar.  Saya cuma ikutan 4 kios.  Semula sangat menjanjikan.  Tetapi ternyata lama-lama bermasalah juga.  Masalahnya ada yang terletak pada teenant (penghuni kios).  Ternyata ada penghuni yang merasa harga kios itu terlalu tinggi, dan menolak mencicilnya di atas harga yang menurutnya masih wajar, meskipun kami masih sedikit untung.  Dan di pasar itu, kadang-kadang yang berlaku logika kekuatan, bukan kekuatan logika, sehingga rekan saya yang menjadi principal dalam proyek renovasi itupun akhirnya keder juga (gak berani nagih).  Pada saat yang sama – dasar orang pasar – rekan saya tadi tiba-tiba tertarik ke proyek lain, sehingga uang saya yang masih dipegangnya langsung dipinjam untuk diinvestkan ke sana, tanpa konsultasi dulu.  Ternyata proyek lain itu macet.  Untuk mendapatkan kembali uang saya, saya harus melalui perjuangan yang cukup alot, karena rekan saya itu ternyata tidak takut sama hukum yang katanya buatan manusia.  Saya terpaksa memakai jurus, bahwa saya akan mengadukannya kepada Tuhan, karena saya merasa didholiminya.  Akhirnya setelah molor beberapa tahun, rekan saya itu akhirnya mengembalikan uang saya yang dipinjamnya.  Kalau dalam Rupiah akhirnya balik modal sih, dari Rp. 50 juta, balik Rp. 53 juta, tapi kalau dihitung inflasi ya tetap saja tekor.

Itu pelajaran pertama jadi investor cerdas: jangan mau uang bagi hasil dipinjam oleh pengelola.

 

Lalu saya mencoba invest warung sembako.  Ada teman yang pernah menjadi karyawan toko sembako milik orang.  Dia sudah kenal baik bisnis ini.  Nah, pada skema investasi ini, dia jadi pengelolanya.  Ternyata setelah jalan lumayan juga.  Investor dapat rata-rata Rp 2 juta per bulan dari modal Rp. 25 juta. Saya bisa memperkirakan, bahwa pengelola yang nisbahnya lebih tinggi, pasti dapat hasil yang juga lumayan saat itu.  Tapi suatu hari, rupanya dia tergoda untuk menjadi employee.  Mungkin karena merasa, ijazah S1-nya lebih terhargai, daripada jualan sembako yang tidak perlu ijazah.  Sekalipun gaji sebagai employee itu tidak sebesar penghasilan sebagai pengusaha.  Atau dia optimis bisa disambi.  Warung itu akhirnya dia serahkan pengelolaan hariannya ke iparnya.  Tapi rupanya iparnya tidak punya passion sebagai pengusaha.  Kinerja mulai turun.  Tapi dia rupanya juga tidak tega untuk memecat iparnya.  Takut mengganggu hubungan keluarga.  Akhirnya, di tangan iparnya itu warung semakin surut, sampai akhirnya bubar.  Hampir sama dengan pelajaran pertama.  Dari Rp. 25 juta, balik Rp. 28 juta setelah bertahun-tahun … sehingga kalau dihitung inflasi tetap tekor juga.

Ini pelajaran kedua: jangan ijinkan pengelola men-sub-kan tanggungjawabnya sebagai pengelola.

Kemudian saya ditawari invest wartel & warnet.  Awal tahun 2000-an, bisnis itu masih lumayan, karena pemilik Handphone belum sebanyak sekarang, dan belum banyak HP yang bisa dipakai internetan.  Tapi ini bisnis yang praktis paling gelap yang pernah saya alami.  Rp. 50 juta nyaris tidak kembali.  Sebenarnya mitra saya ini orang yang amanah, bahkan ustadz.  Tapi mungkin saking bersihnya hatinya, dia tidak curiga apa-apa ketika pesan komputer untuk warnet itu ke seseorang yang ternyata penipu.  Bahkan saking percayanya, ketika setor uang dia tidak minta tanda terima! — sampai akhirnya ternyata komputer itu tidak pernah dikirim.  Saya cuma bisa istighfar.  Akhirnya cuma yang wartel yang jalan.  Tentu saja, overhead menjadi tidak efisien.  Dan setelah jalan kurang lebih setahun, akhirnya semua ditutup.  Bisnis ini sudah digilas oleh teknologi Handphone yang makin murah.  Belakangan masih ada orang lain yang menyangka bisnis warnet masih menjanjikan dan mengajak invest.  Tapi saya sudah terlanjur mendengar, di banyak tempat lain ada saja investor warnet yang menderita kerugian yang lebih besar.  Dari kasus ini saya mendapat sekaligus dua pelajaran:

Pelajaran ketiga: masukkan dalam klausul aqad, bahwa investor menanggung kerugian bisnis, tapi bukan kelalaian pengelola yang tidak menjalankan praktek bisnis yang standar – misalnya setiap transaksi non tunai, wajib ditulis dan disaksikan!

Pelajaran keempat: hati-hati bila masuk ke bisnis yang sangat dipengaruhi perkembangan teknologi. 

Petualangan investasi saya berlanjut pada investasi karya cipta.  Ada dua mitra.  Yang satu mengajak invest pada buku yang akan ditulisnya.  Teorinya, buku itu kalau sudah terbit, royaltinya akan lumayan.  Sedang yang kedua invest untuk membuat VCD keislaman.

Pada proyek buku, nilai investasinya akan dipakai oleh sang penulis untuk pengadaan seperangkat komputer dan biaya hidup dia selama fokus menulis.  Hasilnya memang buku yang saya nilai sangat bagus dan menarik.  Tetapi rupanya logika penerbit bisa berbeda.  Meski buku-buku itu diterbitkan oleh sebuah penerbit nasional yang besar, tetapi rupanya di toko buku ditaruh pada rak yang kurang tepat, sehingga tidak selaris yang diharapkan.  Royalti 10% dari harga buku yang sekitar Rp. 30.000, kalau dikalikan oplag yang lazimnya di penerbit itu 5000 exemplar, mestinya cukup untuk balik modal.  Tapi mungkin memang penjualan tidak sampai sebanyak itu.  Faktanya kita juga tidak bisa mengontrol benar tidaknya laporan penerbit.  Atau mungkin di lapangan, buku itu dibajak habis-habisan oleh mereka yang tanpa pandang bulu berprinsip “Tidak ada copyright dalam Islam” – walaupun itu berarti mendholimi penulis dan investornya.  Pada bisnis ini modal hanya balik kurang dari 40%.  Sisanya saya niatkan di-shadaqahkan saja, tapi boleh tidak ya men-shadaqahkan sesuatu yang belum di tangan?  Ah, biarlah, yang jelas buku itu semoga bermanfaat luas.

Pelajaran kelima: kalau bisnis karya cipta, lebih baik terbitkan dan distribusikan sendiri, serta siap-siap mengantisipasi pembajakan.

Pada proyek VCD, risiko pembajakan bisa lebih besar lagi.  Karena itu distribusi harus lebih cepat lagi, agar sudah balik modal sebelum VCD dibajak orang habis-habisan.  Alhamdulillah, di sini mitra saya memang kafa’ah dan amanah.  Ini salah satu investasi saya yang cukup menguntungkan.  Sampai suatu saat, ada orang yang merasa keberatan dengan salah satu isi VCD tersebut.  Dia protes pada jama’ah tempat mitra saya bernaung.  Jama’ah meminta mitra saya mengedit bagian VCD itu.  Mitra saya rupanya bertahan, karena menurut persepsinya, isinya sudah benar.  Karena deadlock itu, jama’ahnya kemudian melarang VCD yang belum diedit itu beredar.  Mitra saya membalas dengan keluar dari jama’ah itu, berhenti membuat VCD, dan akhirnya investasi saya di bidang ini juga berhenti.

Pelajaran keenam: untuk karya cipta, cari mitra yang flexible, bersedia untuk memperbaiki apa yang bisa menghambat bisnis.

Kemudian ada tawaran investasi di suatu lembaga pendidikan.  Lembaga ini cukup memiliki nama nasional, dan cabangnya yang didirikan dengan sistem waralaba ada di mana-mana.  Ada teman yang sudah kerja di sana, dan diajak mendirikan waralaba baru.  Saya diajak.  Ternyata biaya investasi totalnya cukup besar, sehingga total investasi saya yang terasa sudah cukup besar itu nilainya hanya 10% !  Pada tahun-tahun pertama bagi hasil bagus.  Tetapi kemudian, konon pemilik merk mulai mengobral waralabanya.  Dari semula di satu kecamatan cuma boleh ada 1 waralaba, kemudian jadi seperti tidak dibatasi.  Akhirnya terjadi over-kompetisi antar cabang, padahal merk yang sama.  Akibatnya bagi hasil semakin kecil.  Dulu setahun bisa bagi hasil tiga kali, tetapi kini tinggal sekali.  Kondisi ini diperparah, karena pengelola cabang adalah juga pemodal yang memiliki saham sendirian lebih dari 60%, sehingga apa-apa nyaris bisa dia putuskan sendiri.  Pemodal yang lain kadang merasa dilewati begitu saja.  Bahkan laporan keuangan saja sudah lama tidak diberikan.  Setelah bertahun-tahun memang modal Rupiah sudah balik , laba bahkan sudah lebih besar dari bunga deposito atau inflasi, tetapi kalau diukur dengan harga emas, ternyata masih belum balik modal.  Kalau mau keluar juga ternyata nilai modal kita sudah susut cukup jauh, tinggal setengahnya.  Jadi buah simalakama.

Pelajaran ketujuh: kalau pengelola sekaligus juga pemodal yang dominan, akan susah mengawasinya.

Menjadi investor memang tidak mudah, terlebih kalau bidang investasinya tidak terlalu diketahuinya.  Lha yang diketahui dengan baik saja belum tentu beres.  Saya pernah diajak invest di bidang kuliner.  Sebenarnya kuliner termasuk yang tidak canggih-canggih amat, banyak ditulis di media bisnis, dan ada satu-dua tetangga atau famili kita yang punya pengalaman di bidang ini.  Pendapatan kotor hariannya ada di kisaran 100% dari modal bahan harian.  Kalau punya tempat, modal tidak usah besar.  Itulah yang saya pegang.  Tetapi setelah berjalan setahun (setahun adalah waktu minimal untuk kita mengevaluasi, apakah investasi kita berjalan sehat atau tidak), saya cuma bisa “meringis”.   Pengelolanya rupanya secara simultan mengelola berbagai jenis usaha, dan sepertinya ada bisnis lain yang lebih “joss”, sehingga bisnis kuliner ini dipegang sambil lalu.  Indikator pertama tampak dari laporan yang tidak pernah tepat waktu.  Kedua tampak dari rasio pendapatan kotor harian pada modal harian yang jauh dari kenormalan sebuah bisnis kuliner.  Kalau yang jadi alasan adalah faktor cuaca dan SDM, saya hanya bisa memahami kalau terjadi sebulan dua bulan.  Tapi ini konstan selama setahun.  Pasti karena salah kelola.  Boleh saja sih pengelola memegang berbagai jenis bisnis sekaligus, asalkan sudah punya sistem yang running, dan punya SDM yang mantap.  Tetapi kalau akuntansi standar saja baru belajar, dan SDM asal comot dengan training ala kadarnya, wah udah dech.  Yang bikin “nyesek” itu, setiap beberapa bulan, dia mengaku sudah harus menalangi kerugian dengan dana pribadi, dan minta ganti ke investor, karena  menurutnya, “kerugian kan ditanggung pemodal”.  Jumlahnya cukup besar.  Akhirnya beberapa kali saya terpaksa menambah modal, yang trend menurut laporan keuangannya berkecenderungan bakal tidak balik.  Tetapi kalau talangan dana pribadinya itu dikonversi jadi modal, lama-lama seluruh usaha akan diambil-alih olehnya.  Padahal kita tidak pernah bisa verifikasi, sebenar apakah yang dia bilang “rugi” itu, otomatis sebenar apakah dia telah “menalangi”.  Bisnis memang jadi susah kalau trust tidak dijaga dengan baik.

Pelajaran kedelapan: pengelola silakan mengurus berbagai jenis bisnis, asal sudah ada sistem yang running dan SDM yang mantap.

Tetapi ada yang lebih konyol lagi.  Ada lulusan D3 perikanan sebuah kampus pertanian top negeri ini yang membuat proposal bisnis budidaya lele.  Ini saya kira proyek yang sangat tidak canggih, tetapi bakal dipegang ahlinya.  Saya tidak ragu-ragu untuk invest.  Ada dua orang yang invest di dua proyek yang berbeda.  Yang seorang (si A) dengan aqad mudharabah (bagi hasil), yang seorang (si B) dengan aqad murabahah (membeli barang modal secara cicilan, jadi saya membelikan seluruhnya lalu dia mulai mencicil ke saya dengan harga setelah dimarkup).

Perkembangannya, setelah beberapa bulan, si-A tiba-tiba melaporkan bahwa dia akan menutup usahanya.  Dia mengembalikan modal saya ditambah bagi hasil.  Jadi lumayanlah.  Tetapi info yang belum saya verfikiasi (karena si A ini ada jauh di tempat lain), sebenarnya usahanya jalan terus, hasilnya bagus, tetapi dia memang tidak ingin berbagi dengan orang lain.  Jadi setelah bagi hasilnya lebih tinggi dari modal, dia kembalikan, seolah-olah itu utang.  Padahal mestinya saya kan dapat bagi hasil terus selama proyek itu masih jalan.

Pelajaran kesembilan: hati-hati dengan mereka yang kalau untung, merasa sudah cukup bila bagi hasilnya sedikit lebih tinggi dari bunga deposito, atau bahkan mengkonversi mudharabah jadi seakan-akan aqad utang.

Sedang perkembangan si B, rupanya diam-diam punya masalah dengan tempat kontrakannya.  Dia pindah dua kali, sambil membawa seluruh proyek lele itu. Ternyata ilmu teknisnya tidak diimbangi dengan sikap gentle, berterus terang baik kepada orang yang dikontraknya maupun kreditornya.  Ketika ada masalah lagi, dia bahkan lari bersembunyi ke desa asalnya !  Anggota keluarganya yang pernah memberi jaminan pribadi kepada saya sampai malu dan berkali-kali minta maaf atas kelakuannya.  Tapi ya sekedar minta maaf saja, karena mengganti uangpun dia tidak sanggup, padahal di sini aqadnya murabahah.  Jadi kalau si B rugi, itu bukan tanggung jawab saya, tetap saja barang saya harus dia bayar.

Pelajaran kesepuluh: hati-hati juga dengan mereka yang kalau rugi, ingin mengkonversi aqad murabahah jadi aqad mudharabah, sehingga tiba-tiba kreditornya harus ikut menanggung kerugiannya.

Bicara soal berbagai jenis aqad syari’ah seperti wadiah (titipan), murabahah (pembelian dengan cicilan), mudharabah (pemodalan) dan musyarakah (joint-venture), saya pernah juga invest pada suatu lembaga pembiayaan syari’ah.  Motivasinya sip, menghindarkan ummat dari riba dan aqad-aqad bathil lainnya.  Aqad mu’amalah yang bathil itu banyak, tidak cuma riba.  Di beberapa bank syari’ah, sebagian aqad-aqad bathil ini juga masih ada.  Mungkin yang salah bukan fatwa DSN-MUI, tetapi bagaimana mencocokkan fakta apa yang mau dihukumi dengan fatwa yang mana. Seharusnya syari’ah itu menjadi solusi yang tepat untuk problema yang tepat.   Nah untuk memberi jalan keluar, maka didirikanlah suatu lembaga pembiayaan dengan niat pertama 100% syari’ah.  Ada tiga orang yang bersama-sama menjadi pengelola.  Jumlah investor yang berhasil dihimpun cukup banyak, dan akhirnya lembaga ini bisa running.  Dalam kenyataannya, karena dana yang terkumpul tidak sampai hitungan M, maka yang bisa dibiayai juga baru kecil-kecilan saja, seperti beli laptop atau beli motor.  Skema yang dipakai nyaris hanya murabahah, dan yang dibiayai baru objek yang cicilannya maksimum 2 tahun.  Lebih dari itu kata orang Sunda lieur (capek) …  Realitanya, bagi hasil cukup lumayan.  Tetapi beberapa tahun kemudian terasa mulai ada masalah.  Ternyata tiga pengelola ini mulai kurang kompak.  Ada persoalan perbedaan waktu yang diluangkan, yang sebenarnya sudah diantisipasi dengan pembagian profit di antara mereka yang tidak sama, juga karena ada yang dianggap memiliki jasa di masa lalu (intangible asset) yang lebih besar.  Kemudian muncul juga beberapa perbedaan pemahaman fiqih, misalnya salah satu berpendapat bahwa memiliki rekening di bank konvensional itu haram sama sekali.  Akibatnya, beberapa debitor menjadi kesulitan dalam mencicil, karena rekening banknya yang dibuatkan oleh perusahaan tempatnya bekerja, adalah bank konvensional.  Akhirnya, usaha yang sebenarnya punya potensi cukup bagus ini bubar.  Yang repot, ketika berhenti, tidak otomatis urusan selesai, karena masih banyak uang investor yang sedang beredar di nasabah.  Ini juga salah satu perbedaan bisnis keuangan dengan bisnis yang lain.  Dua dari tiga pengelola sepakat membentuk lembaga baru, sambil mengurus pengembalian investasi lama, mereka mengajak investasi di lembaga baru.  Tapi sepertinya tidak semua investor tertarik.

Pelajaran kesebelas:  Untuk mengelola bisnis keuangan syari’ah, tidak cukup hanya bermodal ghirah Islam yang tinggi, tetapi perlu juga pemahaman proses bisnis sebuah lembaga keuangan yang lengkap, dan wawasan fiqih yang tepat untuk itu.

Sepertinya pengembaraan saya sebagai investor di belantara bisnis belum akan berakhir.  Selangkah demi selangkah saya mendapat banyak pelajaran.  Kadang-kadang memang uang belajarnya cukup mahal.  Saya mencoba mempercepat proses belajar itu, selain dengan mendengar dari mereka yang sudah lebih dulu jatuh bangun, membaca kisah-kisah sukses (dan tentunya juga kisah gagal – karena ini jarang sekali ditulis, maka saya tulis di sini), juga dengan mengamalkan pasal 280 Kitab Undang-Undang Sapi Betina he he … maksudnya ayat 280 QS Al-Baqarah:  “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. 2:280)”.  Saya merasa, dengan mengamalkan ayat ini, maka uang saya yang sepertinya telah hilang, itu justru kembali dan abadi.  Dan mereka yang berhutang itu, mungkin suatu saat akan bisa membayar utangnya, tetapi nilainya, setelah disedekahkan, tidak akan bisa mereka bayar lagi sampai kapanpun.

Setiap ada mantan mitra saya berikan pembebasan berdasarkan ayat itu, saya katakan padanya, agar kalau suatu saat dia sudah sukses berbisnis, jangan lupa sisihkan keuntungannya untuk membantu teman-teman lain pengemban dakwah yang sedang belajar berbisnis.  Alhamdulillah beberapa di antara mereka setelah sekian tahun ternyata sukses, walaupun ternyata jenis bisnisnya itu berbeda dengan yang dulu diia coba bersama saya.

Sebenarnya indikator investasi yang sehat itu tidak sulit: “bisnis sehat – cashflow sehat”.  Kalau cashflow berdarah-darah, pasti tidak sehat.  Tinggal dilihat, tidak sehatnya itu karena “pola makan yang tidak sehat” (dalam arti kelemahan pengelola), atau “cuaca yang sedang tidak bersahabat” (dalam arti kondisi external seperti pasar, kompetitor atau regulasi pemerintah), atau “ada penyakit genetis” (proses bisnisnya sendiri ada masalah, bisa syar’i, bisa teknologi, dll).  Tapi yang repot itu kalau pengelolanya memang cari penyakit (misalnya melakukan “perselingkuhan bisnis”).

Secara keseluruhan, dari berbagai cabang investasi yang pernah saya ikuti, dapat dibilang saya tidak rugi dalam Rupiah.  Bahkan alhamdulillah, zakat maal saya naik terus!  Kerugian di salah satu investasi, ternyata terkompensasi di investasi yang lain.  Benar juga nasehat “jangan taruh seluruh telor di satu keranjang”.  Tetapi memang secara keseluruhan, investasi baru menghasilkan sedikit di atas bunga deposito.  Masih terlalu kecil untuk ukuran bisnis sektor real.  Masih kalah dengan inflasi.  Apalagi bila dihitung dengan standar emas.  Kadang-kadang terpikir juga, “mending uangnya dibelikan emas saja, disimpan saja, toh harganya naik terus, sekalipun tiap tahun dikeluarin zakat, tetap saja perolehannya lebih besar”.  Tapi kalau seperti ini, saya tidak dapat ilmu, tidak tambah sahabat, juga tidak memberdayakan ekonomi, tidak membuka lapangan kerja, tidak menjadi jalan rezeki banyak orang, dsb

Jalan untuk menjadi pengusaha memang tidak mulus.  Menjadi investorpun juga tidak mulus.  Apalagi menjadi investor yang cerdas.  Ini baik di skala pribadi maupun skala negara.  Jangan heran, banyak BUMN merugi, atau sumbangannya pada APBN amit-amit kecilnya, karena negara sebagai investornya kurang cerdas.  Tapi tidak perlu heran, karena memang banyak orang yang malas mengikuti proses seperti ini, akhirnya terjebak pada investasi yang tidak syar’i, atau investasi bodong yang penuh tipu daya, yang meski di luar dibungkus dengan embel-embel syariah, bahkan aktornya konon juga pejuang syariah, tetapi investor yang sudah cerdas akan segera mengenali, bahwa bisnis semacam itu penuh kejanggalan.  Alhamdulillah, sedikit pengalaman saya di atas mampu melindungi saya dari beberapa kali tawaran investasi abal-abal seperti itu.  Alhamdulillah.

Belajar Sains Islam Bukan Saintifikasi Islam

Monday, October 29th, 2012

Banyak muslim yang sebenarnya bersemangat belajar apa saja kalau ada dorongan agama.  Termasuk belajar sains.  Tetapi kadang-kadang mereka membatasi sendiri rejekinya dengan belajar “SAINTIFIKASI ISLAM”, bukan Sains Islam.

Saintifikasi Islam adalah adalah upaya mencari dasar sains pada suatu pernyataan yang dianggap benar dalam Islam.  Pernyataan yang “taken for granted” sebagai kebenaran dalam Islam tentu saja adalah yang bersumber dari Qur’an dan Sunnah, baik itu mengenai suatu hal yang harus dipercaya atau suatu amal yang harus dilakukan.

Hal-hal yang harus dipercaya masuk dalam kategori aqidah.  Bila sumbernya adalah Qur’an atau hadits mutawatir, kemudian dalalahnya tidak multitafsir, maka ia masuk dalam dalil qath’i, yang wajib dibenarkan secara pasti.  Misalnya adalah:

– pernyataan bahwa di sekitar kita bersliweran malaikat, jin dan setan; malaikat rahmat tidak akan masuk rumah yang ada anjingnya, sholat shubuh dan ashar disaksikan oleh dua malaikat, di tengah pasangan pria-wanita bukan mahram yang berdua-duaan terdapat setan, dsb.

– pernyataan bahwa sebelum Nabi Muhammad, Allah mengutus banyak Nabi di berbagai tempat, masa, dan dengan berbagai mukjizatnya, misalnya Nabi Adam sebagai manusia pertama, Nabi Nuh disuruh membuat perahu, Nabi Musa pernah membelah Laut Merah, Nabi Sulaeman pernah berbicara dengan binatang, Nabi Isa pernah menghidupkan orang mati, dsb.

– pernyataan bahwa sebelum Nabi Muhammad, Allah telah menurunkan berbagai kitab suci, yang di dalamnya berisi ajaran tauhid dan mengabarkan akan kedatangan Nabi Muhammad.

– pernyataan bahwa alam semesta ini dulu diciptakan dan nanti alam semesta akan mengalami kiamat berikut tanda-tandanya, lalu setelah itu manusia akan dibangkitkan dan akan ditempatkan di surga atau di neraka.

Pernyataan-pernyataan di atas adalah hal-hal yang ada di luar dunia empiris, sehingga nilai kebenarannya sangat tergantung pada sejauh mana penerimaan seseorang pada dalil qath’i yang menjadi sumbernya.

Sedang hal-hal yang harus dilakukan termasuk amal baik dalam hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, maupun dengan manusia lain. Misalnya adalah:

– sholat Shubuh 2 rokaat, sholat Maghrib 3 rokaat, yang lain 4 rokaat

– sholat tahajud dll sebagai amalan sunnah.

– puasa di bulan Romadhon, dan beberapa jenis puasa sunnah.

– makan-minum yang halal dan thayyib, dan beberapa jenis makanan/minuman yang diharamkan.

– penggunaan busana yang menutup aurat.

– bentuk pergaulan laki-perempuan (pernikahan) yang disahkan.

– syariat wudhu dan mandi janabat.

– tatacara pengurusan jenazah.

– pengaturan ekonomi yang bebas riba, maisir, gharar dsb.

Nah, SAINTIFIKASI ISLAM berkutat pada masalah-masalah “sains” di balik semua pernyataan yang diasumsikan benar dalam Islam ini.  Jadi penelitian-penelitian di bawah ini masuk kategori saintifikasi Islam:

– penelitian mendeteksi kehadiran malaikat dengan Infrared, radiasi Gamma atau Neutrino, “dikontrol” dengan beberapa amalan & kondisi khusus; apakah benar pada ruangan yang diselenggarakan sholat shubuh berjamaah dapat dideteksi tanda-tanda kehadiran lebih banyak malaikat?

– penelitian menguji kebenaran pernah terjadinya mukjizat para Nabi, misalnya:

— pencarian footprint Adam & Hawa ketika turun dari surga,

— pencarian relik kapal Nabi Nuh,

— menganalisis berbagai proses terjadinya pembelahan laut Merah,

— membuktikan bahwa Firaun memang mati tenggelam di laut tapi jasadnya terselamatkan,

— mencari bekas 12 mata air Nabi Musa,

— mencari fossil hewan yang pernah berbicara dengan Nabi Sulaeman

— mencari gua Ashabul Kahfi dan mempelajari efek terowong waktu,

— mencari fossil mayat yang konon pernah dihidupkan Nabi Isa,

— mencari bekas bulan yang terbelah di masa Nabi Muhammad, dsb.

– penelitian manuskrip-manuskrip kuno yang diklaim sebagai Kitab Nabi Musa, Daud, Isa dsb.

– penelitian keberadaan “terompet Israfil”, pintu neraka dsb.

– penelitian EKG & EEG pada orang yang sholat khusyu’.

– penelitian fisiografis & psikografis pada orang yang sedang puasa.

– penelitian dampak jangka panjang pada konsumsi makanan haram (babi, bangkai, darah).

– penelitian kesakitan yang diderita ternak saat disembelih dengan cara syar’i dan non syar’i.

– penelitian dampak sosiologi dan ekonomi pada penggunaan busana muslimah.

– penelitian dampak khitan pada kesehatan reproduksi dan perkembangan psikologis.

– penelitian komparasi pada mereka yang polygami dibandingkan dengan yang non polygami.

– penelitian dampak wudhu & mandi janabat pada berbagai aspek kesehatan

– penelitian dampak beberapa jenis pengurusan jenazah (dikubur, dibakar, dibalsem, …).

– penelitian kondisi ekonomi pada beberapa tingkat suku bunga.

– penelitian tentang efektifitas mata uang tunggal berbasis emas/perak.

Penelitian-penelitian saintifik tentang hal-hal di atas selalu menarik (amazing) bagi kaum muslimin, sehingga bahkan kadang-kadang lupa menguji kebenaran sainfitiknya ketika kesimpulannya sudah seolah-olah mendukung dalil.  Banyak paper yang diklaim sebagai hasil penelitian orang Barat (non muslim) yang mendukung klaim kebenaran dalil itu, ketika ditelusuri ternyata tidak ditemukan.  Semua link mengarah ke situs-situs milik muslim sendiri, dan itupun bukan sebuah karya yang dapat dikategorikan penelitian ilmiah (yang harus memenuhi syarat transparan, replicable, consistence  dan explaining).  Ketika rujukan itu tidak ditemukan, sering penjelasannya hanya, “ada konspirasi untuk menutupi kebenaran Islam”.

Sebaliknya ketika hasil penelitian berlawanan dengan yang dikehendaki, misalnya bahwa “tidak ada perbedaan yang signifikan antara orang yang terbiasa mengkonsumsi babi dengan yang tidak”, maka tulisan ini cenderung dijauhi.  Ini contoh suatu bentuk “kepengecutan ilmiah”.  Seharusnya biarkan saja, toh nanti setiap riset akan diverifikasi dan direlatifkan oleh riset berikutnya, selama proyek “saintifikasi Islam” ini tidak menyedot energi utama ilmuwan muslim.

Yang benar adalah, meski riset-riset saintifikasi Islam ini “amazing”, tetapi dia sama sekali “not worth” (mengasyikkan, tetapi tidak ada manfaatnya), karena tidak akan mempengaruhi apapun pada nilai kebenaran dari pernyataan dalil yang harus diyakini maupun diamalkan.

Yang harus dipahami juga adalah, bahwa ada beberapa pernyataan di dalam Qur’an & Sunnah yang tidak masuk dalam dalil qath’i, karena dalalahnya multitafsir, sedang objeknya adalah dunia empiris, sehingga pantas bila diteliti secara saintifik.  Inilah yang masuk kategori SAINS ISLAM.  Misalnya persoalan:- apakah bumi yang mengitari matahari atau matahari yang mengitari bumi ?

– seberapa besar sebenarnya “langit dunia” itu ?

– seperti apa sesungguhnya mekanisme “air laut yang tidak tercampur” itu ?

– sejauh mana Habatussaudah bisa benar-benar “mengobati segala penyakit kecuali maut” ?

– bagaimana saja khasiat dalam jahe, sehingga disebut campuran minuman ahli surga ?

dsb.

Wallahu a’lam bis shawab