Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘SosPol’ Category

Mencari benang merah antara Absen-Honor-DP3-AK-Kinerja-NaikPangkat

Wednesday, January 20th, 2010

Apakah ada benang merah keterkaitan antara kehadiran (absen), perolehan honor tambahan selain gaji, Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3), Angka Kredit (AK), Kinerja dan Kenaikan Pangkat PNS?

Harusnya ada.  Tapi saya yakin banyak yang tidak, atau samar-samar.

Ada PNS yang banyak tidak masuk tanpa ijin, tapi DP3 selalu “baik”.
Ada PNS yang kinerjanya payah, tapi dalam daftar honor namanya selalu masuk.
Ada PNS (pejabat fungsional) yang banyak tidak masuk, kinerjanya payah, tapi DP3 selalu baik, Angka Kredit naik terus, dan karena itu naik pangkat terus.
Bahkan ada PNS yang dalam Daftar Urut Kepangkatan (DUK) menduduki peringat tinggi, tetapi tidak ada pejabat senior dalam Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) akan memilih dia untuk menduduki suatu jabatan struktural tertentu.

Kuncinya memang, banyak pejabat yang terlalu “berhati emas”.  Tetapi salah tempat.

PNS jarang hadir, atau hadir tapi absen doang (lalu mangkir entah kemana, minimal mentally), tetapi tetap dimasukkan dalam daftar honor, dengan alasan, “kalau tidak masuk nanti ada sisa anggaran, nanti dimarahin”, ya sudah, terpaksa dimasukkan dalam daftar honor, walaupun nanti ada “kebijakan khusus”, honor itu mau diserahkan 100% atau sebagian saja, demi “rasa keadilan”.

PNS kinerja payah tapi DP3 terpaksa diberi nilai “Baik”.  Alasannya, “kasihan, nanti kalau ada 1 nilai C, dia tidak bisa naik pangkat.  Kan boleh jadi tahun depan kinerjanya membaik”.  Kenyataannya, sampai pensiun tidak ada yang berani kasih nilai B.  Naik pangkat terus.  Dan kinerja pun tetap payah….

Kadang memang susah juga ya.  Ada PNS A yang kompeten dan potensial.  Tetapi kalau dikasih tanggung jawab, tidak dikerjakan.  Sedangkan PNS B kurang kompeten dan kurang potensial, dan karena itu tidak dikasih tanggung jawab.  Nah, Baiknya DP3 masing-masing dikasih apa?  Kalau A dikasih Baik, dan B dikasih cukup, A akan protes, koq B yang lebih payah dinilai lebih baik?  Sedangkan kita tidak bisa menilai Baik/Buruk seseorang yang tidak dikasih pekerjaan dan tanggungjawab.  Tetapi DP3 tetap harus diisi kan?

PNS kinerja payah, tapi bisa mengumpulkan Angka Kredit (jabatan fungsional).  Karena yang dilihat cuma ada dokumen yang dimasukkan dan dianggap memenuhi syarat AK .  Seberapa jauh kesahihannya, atau relevansinya, jarang diributkan.  Alasannya, “Kasihanlah, dia punya masalah, semoga ini bisa membantu meringankan penderitaannya”.  Setelah AK terkumpul, dan DP3 juga baik, ya naik pangkat lagi.  Dan di suatu titik membuat orang bingung.  Ini ada orang pangkatnya tinggi, tetapi kinerjanya payah, tidak ada orang mau memakai dia, tidak ada Baperjakat mau mengangkatnya jadi pejabat.  Koq bisa ya?

Masih banyak PR kita rupanya.
Dan perlu keberanian untuk bijaksana, dan perlu bijaksana untuk berani.
Mohon doanya.

FA.-

Hizbut Tahrir – sebuah analisis politik

Wednesday, January 20th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Hizbut Tahrir (“Partai Pembebasan”) adalah sebuah fenomena politik Indonesia
yang unik. Dari seratus lebih parpol yang mewarnai pentas nasional sejak reformasi 1998, HT
adalah “partai” yang barangkali tertua. Didirikan 1953 di Jordania, HT dari
awal menyebut dirinya partai politik, bukan sekedar gerakan dakwah.
Sifatnya yang kosmopolit dan internasional, membuat HT berada di mana-mana.
Di Indonesia HT eksis dengan legalitas sebagai organisasi massa dengan nama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Untuk memahaminya, berikut sekilas “yang unik” dari HT.

1. Da’wah Group – but also Political Party
HT adalah kelompok dakwah, yang diperintahkan menasehati siapa saja (QS
3:104), sedang yang paling berhak dinasehati itu adalah penguasa, yang
mengurusi segala masalah ummat (tanpa dibatasi). Maka dakwah seperti ini
bisa disebut aktivitas politik, dan kelompoknya bisa disebut partai politik.

2. Politics – but smart & make the people smart
Namun aktivitas politik HT adalah “high-politics” atau “smart and smarting
politics”. HT mendidik masyarakat agar sadar hak dan kewajiban islaminya,
sehingga mereka bisa mengawasi penguasanya, agar memerintah sesuai dengan
Islam. Bagi HT sudah cukup bahwa masyarakat bersama penguasanya berjalan
islami, tanpa harus berkuasa sendiri.

3. Political party – but extra parlementary
Meski HT adalah partai politik, namun HT memilih berjalan di luar parlemen.
Karena itu HT juga tidak berminat turut dalam Pemilu, sekalipun memiliki
massa yang banyak. Ini karena HT memandang, parlemen dalam sistem demokrasi
tidak sepenuhnya kompatibel dengan Islam, dan tidak akan mampu memberi jalan bagi
tegaknya Islam di manapun. Dan fakta sejarah di berbagai negara menunjukkan
bahwa perubahan yang revolusioner tidak pernah, tidak bisa dan tidak perlu
melalui jalan parlemen.  Meski demikian HT membolehkan seorang muslim yang memperjuangkan Islam via parlemen untuk muhasabatul hukkam (menasehati penguasa) atau untuk menguak hukum-hukum atau perilaku penguasa yang bertentangan dengan Islam.

4. Revolutionary – but start in the mind
Meski HT mengidamkan perubahan revolusioner, namun itu bukan revolusi (ala)
sosialis. Revolusi yang dicitakan adalah revolusi pemikiran.
Pemikiran-pemikiran busuk di masyarakatlah yang menjadi sebab busuknya
sistem dan rusaknya para penguasa. Karena itu pemikiran busuk ini harus
digantikan dengan pemikiran Islam yang cemerlang, yang pada saatnya akan
mencerahkan masyarakat, sehingga mereka mampu memilih penguasa yang
tercerahkan. Pemikiranlah yang akan menggerakkan perubahan – bahkan
revolusi – di segala bidang (QS 13:11).

5. Social Change – but not forget Individu
Meski HT memperjuangkan perubahan masyarakat, namun ini tidak didrop dari
atas, ataupun didongkrak dari bawah (individu-individu). Masyarakat tidak
sekedar himpunan individu, namun individu-individu yang berinteraksi dan
diikat pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Karena itu HT mendidik
secara individual para kadernya, seraya bersama-sama melakukan interaksi ke
masyarakat untuk merubah opini umumnya. Bila kader-kader itu kebetulan
memiliki power, sementara opini umum juga sudah kondusif untuk Islam, maka
perubahan sistem akan berjalan mulus. Selanjutnya sistem baru yang islami
ini akan memacu islamisasi lagi, tanpa harus membuat semua orang menjadi
kader.

6. Fundamental – but not dogmatic
Sebagai gerakan yang merindukan tegaknya syariat Islam yang diyakini
satu-satunya alternatif mengatasi krisis multi dimensi, HT dapat dibilang
ada di kubu “fundamentalis”, atau “revivialis”. Namun demikian, HT bukan
gerakan dogmatis. Bahkan untuk masalah aqidah saja (untuk pertanyaan:
mengapa mesti percaya pada Islam?), HT menggunakan metode rasional semata.
Karena itu oleh sebagian gerakan lain -juga di kubu fundamentalis – HT
pernah disalahpersepsikan sebagai neo-mu’tazilah. Dalam fiqh, HT menelusuri
dalil secara mendalam, tanpa terbelenggu keharusan mengikuti madzhab
tertentu.

7. Syariat Islam – but not just “Jakarta Charter”
Meski menyerukan penerapan syariat Islam, namun berbeda dengan lainnya, HT
tidak terjebak pada sekedar usaha memasukkan Piagam Jakarta ke amandemen UUD
45, atau pada jargon piagam Madinah. HT justru mengusulkan suatu rancangan
konstitusi baru yang seluruh pasalnya diambil dari Islam, dan memandang
piagam Jakarta maupun piagam Madinah baru sebagian kecil dari syariat itu
sendiri. HT memandang syariat Islam sebagai solusi integral
(politik-ekonomi-sosial-budaya-hankam). Karena itu syariat tidaklah sekedar
hukum (=sanksi) Islam, seperti hukum potong tangan bagi pencuri atau rajam
bagi pezina. Dalam masalah ekonomipun, ekonomi syariat tidak sekedar ekonomi
anti riba plus zakat, namun lebih jauh mulai dari paradigma, teori
kepemilikan, teori harga, peran negara dsb.

8. Islamic State – but not theocracy
HT memandang, suatu negara yang menjalankan syariat Islam, dan keamanannya
dijamin oleh kaum muslim, adalah negara Islam. Namun negara itu bukanlah
theokrasi yang dikuasai para padri yang memerintah atas nama Tuhan. Negara
Islam adalah negara dunia, yang dihuni orang sholeh maupun orang jahat,
muslim maupun bukan. Dalam negara Islam, meski kedaulatan ada pada syara’,
namun kekuasaan ada pada rakyat, sedang manfaatnya ditujukan ke seluruh
alam.

9. Unity of Umma – but not unity of party
Negara hanya tegak bila kaum muslim bersatu. Namun menurut HT, persatuan
ummat tidak berarti harus menyatukan partai. Keberadaan banyak partai itu
sunnatullah, karena memang ada banyak dalil yang bisa ditafsirkan beraneka.
Ketika ada khalifah, dialah yang memutuskan pendapat mana yang akan
dilegislasi dan mengikat semua orang, termasuk yang berbeda pendapat. Namun
ini hanya untuk persoalan kemasyarakatan. Dan pendapat yang berbedapun
boleh dipelajari. Inilah mengapa mazhab-mazhab fiqh tetap hidup, sekalipun
khalifah saat itu melegislasi pendapat satu mazhab saja.

10. Khilafah – but not just group leader
Dan tentang figur khalifah, HT memandang khalifah bukan sekedar pemimpin
jama’ah semacam yang ada pada Ahmadiyah atau Laskar Hizbullah. Namun
khalifah adalah kepala negara dan pemerintahan. Khalifah juga bukan jabatan
yang bisa diwariskan, karena ia semacam kontrak sosial. Adapun yang terjadi
di masa lalu, harus dikaji secara jernih, dan pula sejarah bukanlah dalil
hukum yang mengikat.

11. Orthodox – but with ijtihad
HT sangat teguh memegang dalil syara’. Namun demikian HT juga sangat peduli
pada ijtihad asal memenuhi syarat. Termasuk arena ijtihad yang subur adalah
konsep pembentukan dan kebangkitan masyarakat. Ini karena ulama terdahulu
tidak mewariskan sedikitpun kajian di sini, sebab saat itu tak ada yang
membayangkan bahwa khilafah Islam yang besar dan berperadaban tinggi bisa
runtuh.

12. Syura’ – but not democracy
HT membedakan syura’ dengan demokrasi. Proses pengambilan keputusan dibagi
tiga: (1) Untuk masalah hukum, syura dilakukan untuk memilih pendapat yang
terkuat argumentasinya – bukan terbanyak pendukungnya. (2) Untuk masalah
teknis, serahkan pada ahlinya, bukan pendapat mayoritas. (3) Yang
diserahkan pendapat mayoritas adalah hal-hal optional yang sama-sama mubah,
misalnya memilih pejabat yang paling akseptabel, setelah semua sama-sama
memenuhi syarat.

13. Radical – but not exclusive
Sebagai gerakan yang memperjuangkan perubahan yang mendasar, HT dapat
disebut gerakan radikal (radix = akar, mendasar). Namun HT jauh dari kesan
eksklusif. HT berbaur di masyarakat dan tidak berpretensi membentuk
perkampungan sendiri. Maka aktivis HT hanya bisa dikenali dari
pemikirannya, tidak dari lahiriahnya. Kalaupun wanita aktivis HT berjilbab,
itu bukan karena HT-nya, namun memang itu kewajiban Islam. Bahkan HT tidak
punya bendera. Bendera hitam bertulisan kalimat tahlil putih yang sering
dibawanya adalah bendera Islam. Dan ini boleh dibawa setiap muslim!

14. Substantive – but take also the symbols
HT memandang segalanya dari sudut hukum syara’, dan tidak dari dikotomi
substansi – simbol. Maka tak perlu menonjolkan satu dan mengabaikan
lainnya. Pengentasan kemiskinan atau pemberantasan KKN sama wajibnya dengan
menutup aurat atau sholat lima waktu. Keduanya harus didukung baik di
tingkat individu dan – bila perlu – di tingkat negara.

15. Jihad – but peaceful
HT mengakui bahwa jihad memiliki makna bahasa “usaha sungguh-sungguh”.
Namun syara’ telah memberi definisi spesifik, bahwa jihad adalah segenap
usaha mengatasi kekuasaan tirani asing yang merintangi dakwah secara fisik.
Jadi jihad tak hanya untuk mempertahankan diri, apalagi sekedar melawan hawa
nafsu. Sedang usaha mengoreksi penguasa / melenyapkan kemungkaran di negeri
Islam, tidaklah disebut jihad, melainkan dakwah atau nahi mungkar – dan ini
tidak dengan kekerasan, kecuali penguasa daulah Islam mengkhianati baiat
rakyatnya, yang mewajibkannya menerapkan Islam. Sedang usaha mendirikan
daulah Islam itu sendiri, sama sekali harus tanpa kekerasan. Rasulullahpun
saat di Mekkah, berjuang tanpa kekerasan, meski banyak pengikutnya disiksa.
Revolusi pemikiran tak bisa tidak selain dengan pemikiran juga, melalui
dialog, diskusi publik, media massa dsb.

16. Uncompromising – but no violence
Dalam aktivitasnya, HT tidak mengenal kompromi dalam masalah syara’,
sekalipun bagi gerakan lain itu adalah manuver politik. Namun sikap anti
kompromi ini tidak berarti HT pro kekerasan. Bahkan di Jakarta, HT mendapat
penghargaan Polda, sebagai penggelar demo paling tertib di Jakarta. Hal ini
karena HT memandang jalan raya sebagai milik publik dan haram menghalangi
orang untuk lewat. Selain itu HT melihat polisi hanya sebagai alat negara.
Dan preman, bahkan pelacur sekalipun bukanlah musuh, karena hakekatnya
mereka juga korban dari sistem yang tidak islami.

17. Liberating – but not liberal
Meski memperjuangkan syariat Islam, HT memilih nama universal “Hizbut
Tahrir” (Partai Pembebasan) – tanpa label “Islam”, karena ini mubah. Namun
pembebasan itu bukanlah liberalisme (bebas dari batasan apapun kecuali yang
bermanfaat baginya), melainkan pembebasan dari penghambaan pada sesama
manusia menjadi pada Allah saja.

18. Tolerance – but not pluralism
Dari pemahaman bahwa ada dalil-dalil syara’ yang bisa ditafsirkan berbeda,
HT toleran pada mereka yang masih punya “syubhatud dalil” (dalil tipis) yang
masih islami. Atas pemikiran dan aktivitas gerakan lain, HT berpendapat
bahwa gerakan lain itu islami, meski pendapatnya berseberangan dengan HT.

Namun tidak berarti HT setuju dengan doktrin yang mengharuskan kekuasaan
di-share ke kelompok dengan pemikiran yang berbeda-beda. Karena dalam
masyarakat tetap harus ada suatu pemikiran tunggal yang mempersatukan.

Untuk hukum yang menyangkut masyarakat luas (bukan soal Qunut atau rokaat
tarawih), mau tidak mau HT harus dan akan mengambil sikap untuk
memperjuangkan pendapat yang terkuat hujjahnya saja. Terhadap pendukung
pendapat islami lainnya, dikembangkan iklim dialog dan toleransi.

19. International – but work local
Sedari awal HT sadar bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Karena
itu, seluruh manusia pantas dijadikan sasaran dakwah. Maka HT ada di seluruh
dunia, juga di negara-negara Barat.

Dakwah memang harus dimulai dari entitas yang bisa diakses. Karena itu
prioritas dakwah tetap pada kaum muslim dulu. Dan karena bangsa Arab adalah
komponen muslim terbesar dengan ikatan emosional tertinggi, maka pada mereka
dakwah lebih intensif

20. Local – but not nationalism
Namun meski bekerja secara lokal, tidak berarti HT setuju dengan
nasionalisme atau patriotisme. Bahwa HT akan berdiri di garis depan bila
negerinya diserang orang-orang kafir, itu pasti. Namun ini bukan karena
merasa pengabdian tertinggi adalah pada bangsa dan negara, melainkan karena
HT yakin membela negeri Islam dari serangan orang-orang kafir adalah
kewajiban syara’.

HT berpikir lebih kosmopolit dan globalisasi, karena syara’ setiap bicara
tentang ummat Islam, tidaklah spesifik hanya untuk muslim di negeri tertentu
saja. Demikian juga, cita-cita mendirikan khilafah Islam sebagai cikal
bakal suatu “superstate” tidak tertuju hanya di wilayah teritorial tertentu
saja, melainkan di mana saja yang memang paling kondusif untuk itu, di
sanalah cita-cita itu akan mulai direalisasi. Tidak oleh HT, namun oleh
ummat yang telah berubah cara berpikirnya.

Referensi:

Abdul Qadim Zallum: Nizhamul Hukum
Hizbut Tahrir: Ta’rif Hizbut Tahrir
Taqiyyudin An-Nabhani: Mafahim Hizbut Tahrir

Ketika Sehat bukan Misteri

Wednesday, December 16th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Pelantikan Menteri Kesehatan yang baru pada KIB jilid-2 sempat menimbulkan kontroversi.  Pasalnya, yang terpilih justru orang yang luput dari media.  Apalagi ada cerita bahwa dia sempat dimutasikan oleh Menteri sebelumnya gara-gara membawa virus ke luar negeri tanpa ijin serta kedekatannya dengan NAMRU-2, lab angkatan laut AS yang bermasalah.

Namun ada pula pihak yang melihat dari sisi lain.  Selama ini Menteri Kesehatan selalu seorang “klinisi”, yakni dokter yang profesi sehari-harinya merawat orang sakit.  Sedang Menkes baru ini bukan klinisi, tetapi dokter yang sehari-harinya meneliti penyakit menular.  Seorang klinisi berdiri di hilir (kuratif).  Sedang peneliti penyakit menular berdiri di hulu (preventif) – mencegah orang sakit.

Kita tidak akan memperbicangkan sosok Menkes yang baru lebih jauh.  Tetapi kita akan melihat bahwa dalam sejarah peradaban Islam yang panjang, baik kegiatan preventif maupun kuratif sama-sama mendapat perhatian yang proporsional.

Rasulullah banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit.  Misalnya: menekankan kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengkonsumsi madu, susu kambing atau habatus saudah, dan sebagainya.

Namun Rasulullah juga menunjukkan persetujuannya pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal saat itu, seperti bekam atau meminumkan air kencing onta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam.  Beliau juga menjadikan seorang dokter yang dihadiahkan oleh Raja Mesir kepada dirinya sebagai dokter publik.  Lalu ada hadits di mana Rasulullah bersabda, “Antum a’lamu umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.  Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik penyerbukan di dunia pertanian, namun dipahami oleh generasi muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan.  Itulah latar belakang sehingga dalam beberapa abad kaum muslim benar-benar memimpin dunia di bidang kedokteran, baik secara preventif maupun kuratif, baik di teknologinya maupun manajemennya.

Muslim ilmuwan pertama yang terkenal berjasa luar biasa adalah Jabir al Hayan atau Geber (721-815 M).  Beliau menemukan teknologi destilasi, pemurnian alkohol untuk disinfektan, serta mendirikan apotik yang pertama di dunia yakni di Baghdad.  Banu Musa (800-873 M) menemukan masker gas untuk dipakai para pekerja pertambangan dan industri sehingga tingkat kesehatan para pekerja dapat diperbaiki.  Muhammad ibn Zakariya ar Razi (865-925 M) menemukan kemoterapi.  Kemudian bersama-sama Tsabit bin Qurra dan Ibn al Jazzar juga menemukan cara awal penanganan disfungsi ereksi.

Sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermik, yang dengannya dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata!  Pada kurun waktu yang sama, Abu al-Qasim al-Zahrawi menemukan plaster adhesive untuk mengobati luka dengan cepat.  Penemuan ini sangat membantu pasukan Islam di medan jihad.  Al-Zahrawi juga mengembangkan berbagai jenis anastesi dan alat-alat bedah, yang dengannya antara lain dapat dilakukan operasi curette untuk wanita yang janin dalam kandungannya mati.

Pada 1037 Ibnu Sina menemukan thermometer, meski standarisasinya baru dilakukan oleh Celcius dan Fahrenheit berabad-abad kemudian.  Ibnu Sina juga sangat dikenal karena bukunya Qanun fi-at-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan (pharmacopoeia) yang nyaris menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18.

Semua penemuan teknologi ini tentunya sia-sia bila tidak diaplikasikan.  Aplikasi ini hanya akan berhasil bila masyarakat semakin sadar hidup sehat, pemerintah membangun fasilitas umum pencegah penyakit dan juga fasilitas pengobatan bagi yang terlanjur sakit.  Kemudian para tenaga kesehatan juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas, bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.

Adalah menarik untuk mencatat bahwa di daulah Islam, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana.  Tak heran bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik.

Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar Razi, Ibn al Jazzar dan al Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, yang di perkotaan padat penduduk akan berakibat kota yang kumuh.  Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan.

Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya.  Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya.  Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.

Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit, sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan.  Meski demikian, negara membangun rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah.  Bahkan, pada tahun 800 M di Bagdad sudah dibangun rumah sakit jiwa yang pertama di dunia.  Sebelumnya pasien jiwa hanya diisolir dan paling jauh dicoba diterapi dengan ruqyah.

Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya.  Namun pada hari keempat, bila terbukti mereka tidak sakit, mereka akan disuruh pergi, karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari.

Banyak individu yang ingin berkontribusi dalam amal ini.  Negara memfasilitasi dengan membentuk lembaga wakaf (charitable trust) yang menjadikan makin banyak madrasah dan fasilitas kesehatan bebas biaya.  Model ini pada saat itu adalah yang pertama di dunia.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi pertama-tama urusan masing-masing untuk menjaga kesehatan.  Namun urusan sehat juga tidak direduksi hanya sekedar pada kebiasaan mengkonsumsi madu atau habatus saudah.  Ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi kedokteran, jauh di atas bekam, madu atau habatus saudah (yang di abad-21 ini kembali diagungkan sebagai Thibbun Nabawi).