Dr. Fahmi Amhar
Siapapun yang pernah merasakan hidup di bawah penguasa yang tiranik, sewenang-wenang, serta buta dan tuli pada penderitaan rakyat, tentu sepakat bahwa pemerintahan diktator otoriter seperti itu harus dihentikan, dilawan dan dicegah agar jangan pernah muncul kembali.
Di dunia, ada beberapa tipe diktator. Ada diktator aristokrasi, yakni diktator para bangsawan. Hukum dibuat hanya untuk melindungi kepentingan bangsawan yang seakan-akan pemilik negara seluruhnya. Kemudian ada diktator teokrasi, yaitu diktator para pendeta. Mereka menciptakan hukum dengan hawa nafsunya, namun diklaim bahwa itu adalah ilham dari Tuhan. Mereka juga mengklaim dirinya tidak bisa salah (maksum). Lalu ada diktator militer, yang memerintah dengan asas “yang kuat menguasai yang lemah”. Dan dalam negara, siapa yang lebih kuat dari angkatan bersenjata?
Demokrasi dicitrakan di Barat sebagai anti tesis dari diktatur, dan memang begitu sejarahnya. Manusia cenderung untuk melakukan pembagian dikotomis: besar-kecil, baik-buruk, benar-salah, demokratis-diktatur. Jarang yang memikirkan pihak di tengah, yang tidak besar maupun kecil, yang tidak dapat disifati baik-buruk (karena bukan persoalan etika), yang tidak dapat disifati benar-salah (karena bukan persoalan logika). Demikian juga, jarang yang berpikir adanya sistem kekuasaan yang bukan demokratis namun juga bukan diktatur.
Maka setelah 32 tahun diperintah rezim Soeharto yang otoriter, anti kritik dan korup, masyarakat menyambut gembira reformasi yang ditandai sejumlah perubahan demokratis. Demokrasi dipahami dengan adanya keterbukaan yang akan mencegah korupsi, dengan kebebasan dari rasa takut untuk berpendapat, berdemonstrasi, membangun media massa, membentuk partai, hingga mencalonkan diri menjadi presiden.
Sejumlah aktivis Islam yang di era Orde Baru harus mendekam di penjara karena vocal mengritik Soeharto maupun yang harus bergerak di bawah tanah, sejak era Reformasi tidak ragu-ragu lagi untuk bergerak terbuka. Muncullah berbagai partai-partai baru, baik yang berasas Islam maupun Pancasila. Mereka berkompetisi memperebutkan kepercayaan rakyat via Pemilu. Mereka mencoba berjuang melalui koridor yang diberikan demokrasi, yaitu mendirikan partai, melakukan kaderisasi dan sosialisasi, ikut pemilu, meraih kursi di parlemen, jabatan kepala daerah atau bahkan presiden, kemudian memodifikasi peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan syariat Islam.
Sejauh ini, itu adalah teori yang dinilai cukup meyakinkan, karena selama ini TNI/POLRI terbukti netral. TNI/POLRI mendukung siapapun yang terpilih di negeri ini. Maka kemudian negeri ini disebut sebagai negeri muslim dengan demokrasi terbesar di dunia, dan negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia dilihat dari jumlah populasinya (setelah India dan AS).
Simplifikasi
Namun semua itu ternyata hanya simplifikasi. Orang menganggap mudah (simple) sesuatu yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Ketika demokrasi hanya diartikan sebagai tangga meraih kekuasaan: partai, pemilu, parlemen, maka demokrasi ini oleh para ideolog demokrasi, dianggap hanya prosedural, belum substansial. Apalagi ketika tujuan akhir dari proses ini adalah untuk menegakkan syariat Islam. Sebagian kalangan liberal menilai, cara ini adalah cara Hitler, sang pemimpin NAZI yang berkuasa di Jerman dari tahun 1933-1945 dan menyeret Jerman dalam malapetaka Perang Dunia II. Hitler meraih kekuasaannya dalam proses pemilu yang demokratis. Masa awal pemerintahannya diisi dengan politik pembangunan yang sangat populis (“setiap keluarga Jerman mendapatkan satu pekerjaan, satu rumah dan satu mobil”), sehingga pada pemilu berikutnya dia meraih mayoritas mutlak. Ini kemudian digunakannya untuk merubah konstitusi Jerman sedemikian rupa sehingga dapat dinilai justru membunuh asas-asas demokrasi itu sendiri (yaitu politik diskriminasi dan bahkan pemusnahan bagi para lawan-lawan politiknya). Karena itu tak heran bila kalangan liberal tetap curiga bahwa prosedur demokrasi di tangan para aktivis Islam suatu hari nanti akan dipakai untuk membunuh demokrasi itu sendiri.
Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa prosedur demokrasi ini tidak selalu mulus. Minimal ada empat hal yang menjadi hambatan:
Pertama, bagaimana meraih kemenangan suara terbanyak, ketika suara rakyat jelata yang pendidikannya rendah dan awam terhadap politik sama beratnya dengan para politikus yang cerdas? Bagaimana berkompetisi dengan partai lain yang benar-benar mengandalkan keawaman massa? Kita melihat bahwa pada pemilu 1999 dan 2004, suara pendukung tokoh reformasi Amin Rais dan partainya tidak sebanyak suara ke tokoh dan partai yang lain, yang sebenarnya tidak punya citra reformasi yang kental! Mengapa? Salah satu alasannya: mesin keuangan mereka tidak sekuat kompetitornya.
Kedua, pihak yang mendapat suara terbanyak, tidak otomatis akan didukung dalam segala sikap politiknya. Ini berlaku juga bagi partai yang ingin menegakkan syarat Islam via jalur demokrasi. Akibatnya, partai Islam yang terpilih tidak otomatis akan dibela para pemilihnya itu ketika mereka dalam kesulitan, sebagaimana kasus FIS di Marokko atau Refah di Turki. Pada tahun 1991, FIS memenangkan 188 dari 231 kursi parlemen Aljazair. Tetapi kemudian militer yang direstui Perancis menganulir pemilu dan menangkapi para pemimpin FIS. Tahun 1996 partai Refah yang memenangkan pemilu di Turki bahkan telah memerintah dengan Najmudin Erbakan sebagai perdana menteri. Namun pada 1997 terjadi kudeta militer dengan alasan Refah memiliki agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi. Pada 1998, Mahkamah Agung Turki menyatakan Refah menjadi partai terlarang. Pada kedua kejadian ini, mayoritas para pemilih ternyata memilih bersikap pasif (diam)!
Ketiga, pemegang kekuasaan yang sesungguhnya di negara manapun adalah siapa yang dapat mengendalikan kekuatan bersenjatan (militer). Pengendali ini bisa tokoh informal yang tidak duduk di kekuasaan, bisa pula kekuatan asing. Merekalah yang hakekatnya mampu melakukan apapun, termasuk membekukan konstitusi. Ini terjadi di negeri-negeri yang pernah merasakan kudeta. Siapapun yang memenangkan pemilu, baik dengan jujur maupun curang, tidak akan mampu berbuat apa-apa bila militer tidak netral atau tidak bersama mereka. People power yang sebesar apapun juga hanya akan berhasil bila militer mendiamkannya.
Untuk melakukan kudeta, bagi militer adalah cukup mudah. Cukup merebut pusat-pusat komunikasi, menahan rumah para politisi termasuk memutus semua alat komunikasinya, lalu mengumumkan di televisi bahwa telah terjadi kondisi darurat. Untuk melakukan semua ini hanya dibutuhkan sekitar 1000 orang tentara. Inilah yang terjadi di Thailand tahun 2006.
Keempat adalah hambatan konstitusi. Di beberapa negara, sekulerisme menjadi harga mati yang ditanam dalam konstitusi. Segala upaya apapun yang akan menggoyang asas ini, dapat dinyatakan melanggar konstitusi oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Di UUD 1945 hasil Amandemen para hakim konstitusi ini diberi kewenangan menguji undang-undang apapun terhadap UUD, menyatakan presiden telah mengkhianati negara karena melanggar konstitusi hingga dapat dimakzulkan, membubarkan suatu partai yang agendanya dianggap bertentangan dengan konstitusi, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Karena itu, pada negara-negara sekuler, selain para komandan militer, posisi para hakim konstitusi adalah strategis yang harus dijaga agar tetap ditangan orang-orang sekuler.
Jebakan Demokrasi
Jalan untuk menegakkan syariah pastilah bukan jalan yang mudah dan ringan, tetapi jalan yang sukar dan mendaki. Namun manusia memang secara naluriah lebih cenderung mencari jalan yang mudah dan ringan. Benarkah kata Qur’an:
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. (QS Al-Balad [90]: 10-11)
Demokrasi dengan one-man one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah. Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan. Yang termudah adalah dengan menjual “sesuatu” yang gampang diterima oleh massa. Terkadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya “sembako murah” atau citra “bersih”), terkadang berupa public-figure seperti da’i kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer, dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti bantuan uang atau materi lainnya. Semua hal mudah ini jelas berakibat lunturnya ideologi partai. Para pemilih bahkan tim sukses pun tidak lagi melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak di benak mereka. Mereka terpaku pada yang “gampang diterima massa”.
Demokrasi prosedural juga memberikan waktu yang terbatas pada siapapun yang terpilih. Para legislator dan kepala daerah umumnya hanya diberi waktu lima tahun. Setelah itu kartu akan dikocok ulang. Khusus para kepala daerah bahkan hanya dapat dipilih ulang sekali saja. Waktu lima tahun tentulah bukan waktu yang cukup untuk perubahan dalam skala ideologi. Revolusi di manapun membutuhkan masa transisi cukup panjang yang biasanya dirasakan cukup berat. Rasulullah yang merevolusi kaum Muhajirin dan Anshar pun dalam sepuluh tahun pemerintahannya dapat dikatakan era transisi, ditandai dengan puluhan perang yang harus mereka alami. Tentu saja tidak mudah untuk mengukir tonggak keberhasilan dalam lima tahun dan menunjukkannya ke para pemilih agar mereka memperpanjang mandatnya. Karena tidak mudah ini, maka dalam masa lima tahun itu terjadilah politik pragmatisme, yakni mengejar kemanfaatan jangka pendek. Dibuatlah berbagai aturan yang dapat memperkokoh kedudukan partai, baik dari segi dana, SDM maupun organisasi. Upaya ini dapat berasal dari pundi-pundi lembaga yang dikuasainya (legislatif, eksekutif, yudikatif) maupun dari unsur-unsur eksternal seperti bantuan dari pihak swasta ataupun bantuan non pemerintah dari Luar Negeri. Semuanya tentu ada kompensasinya. Tidak heran bahwa banyak partai yang semula sangat sederhana, tiba-tiba jadi memiliki gedung kantor yang megah lengkap dengan fasilitas kendaraan mewah dan perlengkapan lainnya setelah kadernya ada yang duduk di parlemen atau pemerintahan.
Dan ketika mereka telah duduk di pemerintahan, tampaklah bahwa ada 1001 persoalan bersamanya. Ada aturan-aturan yang saling menopang dan membelit, yang tidak dapat diubah satu persatu begitu saja. Kadang-kadang seorang menteri atau kepala daerah berpikir bahwa jika suatu aturan dibuat di instansinya, maka dia dapat berinisiatif untuk merubah atau bahkan mencabutnya. Namun ternyata, banyak aturan yang terkait dengan peraturan lain, atau bahkan terkait dengan perjanjian internasional.
Contoh: aturan bunga bank (yang sudah difatwa haram oleh MUI). Kalau suatu kepala daerah ingin membuat perda, misalnya hanya bank-bank dengan sistem syariah yang boleh beroperasi di daerahnya, pasti akan digugat oleh bank-bank konvensional dengan alasan persaingan usaha, dan perda tersebut pasti akan kalah saat Judicial Review, karena menyalahi Undang-undang. Dan kalau Menteri Keuangan bersama Gubernur BI akan mensyariahkan Undang-undang perbankan, pasti digugat oleh IMF, Bank Dunia dan WTO, sebab Indonesia punya kesepakatan-kesepakatan internasional bidang moneter dan perdagangan. Hal ini juga terjadi dalam perkara pertanahan, pertambangan, kehutanan, pendidikan, hukum pidana, hukum perdata, dan sebagainya. Adanya globalisasi makin mempersulit posisi tersebut. Kalau bukan disentil oleh IMF, Bank Dunia atau WTO, kita akan didemo oleh LSM-LSM asing, atau diberitakan miring oleh jaringan pers internasional. Para aktivis syariah akan distempel fundamentalis, radikal, dan teroris!
Hanya revolusi yang dapat mendobraknya, namun revolusi adalah jalan yang mendaki dan sukar. Tidak banyak yang berani menanggung resikonya. Walhasil banyak dari politisi yang masuk dalam legislatif atau eksekutif ini yang menyerah pada situasi, suka tidak suka jadi terlibat dalam sistem perundang-undangan yang tidak lagi melihat halal-haram. Padahal sistem perundang-undangan semacam itu hakekatnya adalah sistem kufur. Akhirnya karena mereka tidak sanggup lagi mengubahnya, mereka menyatakan kondisi saat ini sebagai kondisi darurat. Mereka akan mengatakan bahwa masih lebih baik mereka yang duduk, bukan politisi sekuler yang kejam, bukan pula diktator korup.
Kita tidak ingin mengatakan bahwa para aktivis partai Islam tersebut telah terjebak. Mereka berjuang, dan tidak dinafikan bahwa sebagian dari mereka betul-betul berjuang dengan ikhlas, mengorbankan harta, waktu, tenaga dan pikirannya. Kita menyebut fenomena di atas adalah jebakan sebagaimana seorang prajurit yang gagah berani di medan perang dapat juga tanpa sengaja terkepung pada medan penuh ranjau yang sangat sulit, sehingga dia dengan sadar memutuskan untuk memilih jalan yang dalam pertimbangannya ranjaunya paling sedikit.
Jalur Alternatif
Namun kalau dipikir jernih, ada cara yang lebih aman secara syar’i, meskipun tentu saja lebih sukar. Tidak ada “nikmatnya demokrasi” di sana, karena jalan ini tidak menjanjikan jabatan, tidak menjanjikan “perubahan” yang cepat ataupun segala indikator duniawi lainnya.
Jalan itu adalah jalur yang ditempuh Rasulullah, melalui dakwah ideologis baik ke level akar rumput maupun ke level elit. Di Makkah, hanya level akar rumput yang dapat diakses, itupun dalam 13 tahun hanya berhasil merekrut sekitar 100 orang. Namun di Madinah, dalam setahun, hampir seluruh lapisan elit dapat dipegang, sehingga revolusi berjalan mulus. Tentu saja revolusi ini hanya akan tercatat dengan tinta emas sejarah bila dapat dipertahankan. Dan itu tergantung kesiapan akar rumput menanggung beban revolusi. Namun Rasulullah telah memberikan contoh yang luar biasa bagaimana proses yang alami ini dapat berlangsung manusiawi dan sempurna.
(dari Seminar Pertanian di Unpad Jatinangor, 21 Feb 2009)
Dr. Fahmi Amhar
Ada dua pertanyaan seputar dunia pertanian: (1) Kalau dunia pertanian Indonesia telah berhasil swasembada beras, apakah itu keberhasilan Departemen Pertanian? (2) Kalau kita telah swasembada beras, adakah kita aman dari krisis global? Apapun jawaban anda pada dua pertanyaan itu, marilah kita menelaah lebih jauh persoalan.
Pertanian membutuhkan lahan, air, dan infrastruktur. Tanpa lahan di mana kita menanam? Tanpa air tidak ada kehidupan. Dan tanpa infrastruktur seperti jalan atau pasar, hasil panen sulit dijual. Dan keseluruhan aspek ini karena menyangkut ruang, diatur dalam UU 24 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Tanpa wawasan pertanian yang cukup, dapat saja di era otonomi daerah ini seorang gubernur atau bupati mengalokasikan suatu ruang untuk peruntukan yang tidak ramah pertanian atau bahkan rajin menukar peruntukan dari sektor pertanian ke sektor yang lebih komersil, misalnya real estat atau industri.
Masalah lahan juga masalah pertanahan. Sebagian besar petani kita adalah petani penggarap yang tidak punya tanah, atau memiliki lahan sangat sempit atau marginal yang tidak mencukupi untuk menopang kehidupannya. Ada UU Pokok Agraria, namun UU ini kini terdesak dengan UU Penanaman Modal yang membolehkan investor asing mendirikan usaha dengan memperoleh Hak Guna Usaha hingga 95 tahun. UU PM ini sedang di-judicial review di Mahkamah Konstitusi. Masalahnya, tanah memang sudah menjadi objek investasi spekulatif, sedang petani kita karena keterbatasan ilmu sering terjerat pada rentenir dan ujung-ujungnya tanahnya digadaikan untuk bayar utang.
Pertanian membutuhkan sumber daya manusia (SDM). Merekalah yang akan bertani. Mereka perlu dibekali di dunia pendidikan, disuluhi agar selalu segar dengan teknologi terkini dan dimotivasi agar cerdas pasar dan cerdas politik. Tanpa cerdas pasar, para petani ini akan selalu diakali oleh para tengkulak. Dan tanpa cerdas politik, para petani ini tidak akan mengenal mana pemimpin dan mana sistem yang lebih ramah pertanian.
Pertanian juga membutuhkan teknologi. Teknologi ini mulai dari teknik persiapan lahan, perbenihan, perpupukan, pemberantasan hama, pascapanen (pergudangan, pengemasan) hingga teknologi untuk mengetahui perkembangan pasar maupun teknologi pertanian itu sendiri, yaitu e-agro. Teknologi ini menyangkut pemuliaan tanaman (termasuk dengan rekayasa genetika), teknologi traktor, kultur jaringan, teknologi pupuk dan pestisida organik, penyebaran pupuk dan pestisida yang presisi (precission agriculture) hingga teknologi pergudangan dengan energi matahari yang diatur komputer. Namun semua teknologi ini jika tidak cerdas, kemungkinan juga sulit digunakan karena dilindungi UU Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Dan terakhir tak kalah pentingnya adalah Sosial Ekonomi. Ekonomi Pertanian harus dipandang sebagai rantai pasokan (Supply Chain). Tanpa kontrak supply chain dari petani ke end-user, pola tanam petani tidak sustainable (berkesinambungan), sehingga harga pun dapat mudah dimainkan, baik di pasar tradisional maupun di Bursa Komoditas Berjangka. Masalah sosial ekonomi juga menyangkut persoalan kredit pembiayaan, masalah bea masuk, peran Bulog dan sebagainya. Dari sisi pemerintah, distribusi hasil pertanian semestinya juga dapat dimonitor ke seluruh Indonesia.
Dari sini tampak bahwa keberhasilan pertanian adalah buah sinergi dari berbagai struktur yang lain. Demikian pula kegagalannya adalah buah dari kegagalan berbagai sistem yang lain.
Bagaimana pertanian akan berhasil kalau tidak ada sawah baru yang dicetak, justru malah tanah produktif dialih fungsi atau cuma dijadikan objek spekulasi? Masalah pertanahan adalah lingkup tugas BPN. Masalah Tata Ruang di daerah adalah urusan Bappeda.
Bagaimana pula pertanian akan berhasil kalau air kini sudah menjadi komoditas ekonomi setelah adanya UU Sumber Daya Air? Masalah irigasi adalah lingkup tugas Departemen PU.
Bagaimana pula pertanian akan berhasil kalau pendidikan gagal mencetak petani yang unggul? Ribuan alumni Fakultas Pertanian sekarang justru bekerja jauh dari dunia pertanian, sampai ada anekdot bahwa IPB sekarang telah menjadi “Institut Pleksibel Banget”, bisa menyiapkan orang ke segala profesi, dari bankir sampai ustadz, tapi tidak menjadi petani? Bagaimana pula setelah adanya UU BHP sehingga kampus pertanian top ini justru semakin sulit dimasuki oleh anak-anak petani? Ini semua lingkup tugas Departemen Pendidikan.
Bagaimana pertanian akan maju kalau para peneliti yang terkait pertanian hidup kembang kempis dengan “anggaran penghinaan”? Persoalan riset adalah tugas Kementrian Riset dan Teknologi.
Bagaimana dengan pupuknya? Pabrik pupuk di Aceh berhenti karena ketiadaan pasokan gas. Gas kita justru dijual ke Cina. Ini tugas siapa? Departemen ESDM!
Sedang tentang rantai bisnis terkait pertanian adalah urusan Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, BULOG, Otoritas Bursa dan Otoritas Moneter.
Jadi tidak tepat bila swasembada beras diklaim sebagai keberhasilan Departemen Pertanian.
Lagi pula masih perlu dilihat, berapa lama swasembada itu akan bertahan? Setahun? Kita baru meraih swasembada beras, belum meraih ketahanan pangan.
Padahal krisis global yang kini terjadi akan berdampak jauh lebih parah dari krisis moneter tahun 1997. Harga pangan dunia sebelumnya sudah sempat meroket. Impor pangan jadi mahal. Padahal kita masih belum swasembada terigu, jagung, daging dan sebagainya.
Kini, ekspor produk pertanian anjlog. Resesi dunia membuat permintaan produk kita di Luar Negeri turun drastis. Petani yang menanam produk khusus ekspor (seperti sawit, coklat atau kakao) merugi. Mereka terancam bahkan tidak bisa makan, karena tidak punya uang untuk beli beras yang konon telah swasembada itu, sementara di lahannya mereka tidak lagi punya tanaman yang dapat dimakan.
Jadi kesimpulannya: kita belum aman dari krisis. Kita membutuhkan solusi yang komprehensif. Solusi yang tidak ego-sektoral. Solusi yang fundamental. Ibarat kendaraan yang akan melewati medan sulit, kita tidak hanya mencari sopir yang lebih baik, namun juga kendaraan yang lebih baik. Solusi kapitalisme selama ini terbukti gagal. Solusi dari syariat Islam wajib dikaji lebih mendalam.
Di sebuah komplek perumahan PNS tinggallah empat orang anak, sebut saja namanya Lalas Simalas, Eep Episien, Ran Aturan, dan Aam Amtenar.
Suatu hari, Ibu-ibu mereka sepakat untuk makan martabak. Karena itu setiap ibu menyuruh anaknya beli martabak dan membekali mereka masing-masing dengan uang Rp. 50.000,-.
Lalas dari awal sebenarnya tidak begitu selera dengan martabak. Dia lebih suka KFC atau McDi. Tapi karena didesak-desak ibunya, ketika sudah cukup malam akhirnya dia keluar juga, namun sayangnya semua penjual martabak sudah kehabisan. Akhirnya dia pulang dan mengembalikan uang Rp. 45.000. Dia hanya pakai Rp. 5000 untuk sekali naik ojeg pp.
Eep sudah tahu martabak special yang sangat enak di warung dekat pasar. Harganya Rp. 25.000. Ongkos ojeg ke sana pulang pergi Rp. 5000,- Eep memutuskan naik sepeda, beli martabak special, kemudian menyerahkan martabak special itu ke ibunya beserta uang kembalian Rp. 25.000,-
Ran Aturan tahu martabak special harganya cuma Rp. 25.000. Tapi daripada uangnya sisa banyak, dia gunakan sekalian untuk beli bakso dan es campur kesukaannya di warung sebelah martabak, sambil nunggu martabaknya jadi. Dia hanya minta agar bonnya disatukan dengan martabaknya. Pulang ke ibunya, dia serahkan martabak special dan uang kembalian Rp. 5000,- Katanya harga martabaknya Rp. 40.000. Kemudian di dapur dia berbagi bakso + es campurnya dengan adiknya.
Aam sebenarnya juga sudah tahu warung martabak special itu. Namun dia perlu pergi beberapa kali. Yang pertama katanya buat survei untuk membandingkan berbagai jenis martabak yang ada di pasar. Pulang laporan dulu. Lalu pergi lagi untuk memastikan spesifikasi dan harganya. Pulang laporan lagi. Baru ketiga kalinya dia pergi untuk membeli martabak itu. Kali ini ia minta ditemani adiknya. Dia bagian beli, adiknya bagian yang membawa. Masing-masing sewa ojeg sendiri. Total dia perlu sewa ojeg empat kali pp. Ketika dia pulang ke ibunya, dia hanya menyerahkan martabak biasa yang Rp. 10.000-an. Tidak ada uang kembalian karena tiap kali naik ojeg katanya habis Rp. 10.000
Keempat anak itu tidak tahu, kalau ibu-ibu mereka sering ketemu dalam arisan. Jadi ibu-ibu itu tahu berapa harga martabak special atau tarif ojeg yang riel. Apa komentar ibu-ibu mereka?
Ibunya Lalas (bernada kesal): Anakku ini jika sudah punya prinsip, susah. Bakatnya jadi demonstran.
Ibunya Eep: Anakku gak bakat jadi birokrat, jadi PNS-pun sepertinya susah. Ntah mau jadi apa dia ?
Ibunya Ran: Anakku berbakat jadi birokrat. Dapat meraih target dan masih untung lagi.
Ibunya Aam: Oh Anakku lebih berbakat jadi birokrat. Daya serap anggarannya 100%!
Tiga puluh tahun kemudian:
Menteri Keuangan mengeluhkan daya serap APBN Kabupaten Anu yang bupatinya adalah Lalas. Sudah November, ada proyek infrastruktur di sana yang belum juga dimulai. Konon karena kemauan bupati yang aktivis suatu parpol ini berseberangan dengan DPRD yang didominasi parpol lain.
Eep jadi pengusaha sukses. Dia sempat menjadi salah satu pembayar pajak terbesar. Meskipun krisis ekonomi melanda, perusahaan Eep tetap bertahan karena efisien. Ketika ada Pilkada, Eep diminta maju oleh banyak orang sebagai calon independen, dan terpilih. Akhirnya Eep dikenal orang sebagai Bupati yang gigih melakukan reformasi birokrasi. Pemerintahannya bergaya enterpreneur, pelayanannya prima dan index pembangunan manusia di daerahnya meningkat pesat.
Ran juga menjadi bupati di suatu daerah, tetapi sepertinya index pembangunan manusia selama pemerintahannya masih seperti tiga puluh tahun yang lalu. Yang berubah cuma rumah Ran yang kini tampak megah, mobilnya yang mewah dan dan anak-anaknya yang bisa kuliah di Luar Negeri.
Aam jadi bupati juga, setelah sebelumnya lama jadi birokrat. Tetapi kemudian ia berurusan dengan KPK, karena selama jadi birokrat biasa memarkup anggaran, seakan-akan seisi dunia tutup mata.