Anis Hariri <anishariri@gmail.com> wrote:
> Kalau mengenai kebijakan kenaikan BBM, saya tidak
> yakin karena SBY tertipu juga.
> Berani membuat kebijakan tidak populer tentu saja
> tidak main-main apalagi setahun lagi sudah pemilu.
> Kalau mau, sebenarnya BBM tidak perlu dinaikkan,
> tinggal membuat utang baru, beres.
> Populer, nanti Presiden penggantinya yang ngelunasin
> atau naikin BBM, atau kalau kepilih lagi baru dinaikin.
Di dalam buku “Future Schock” Alvin Toffler diceritakan bahwa motivasi orang melakukan sesuatu di dunia ini selalu dapat dikembalikan kepada 3M – MIND (Keyakinan – lepas dari soal salah atau benar), MONEY (imbalan – lepas dari soal halal atau haram), dan MUSCLE (paksaan – lepas dari soal memang takut atau ditakut-takuti).
Kalau orang tersebut adalah pejabat / penguasa, kemudian perbuatannya dinilai dari sisi rasional ada yang tidak logis, ternyata kembalinya juga 3M tadi.
Misalnya, ada pejabat yang menjual gedung asset negara dengan harga 10 Milyar, padahal menurut taksiran independen, asset itu minimal berharga 100 Milyar, maka ada 3 kemungkinan:
– MIND (keyakinan – yang jelas tidak rasional, misalnya, kalau itu dari sisi ekonomi dia yakin begini, “Ya kalau dihargai mahal ya tidak laku …”,
atau dari sisi mistik, “Gedung ini fengshui-nya jelek, jual saja”).
– MONEY (imbalan – yang ini juga tidak rasional dari sisi makro, tetapi bisa saja mikro, misalnya ada imbalan politik “yang beli itu perusahaan yang komisarisnya adalah keluarga partai yang diperlukan dalam pilkada mendatang”, atau imbalan ekonomi “nanti bila gedung itu dijual lagi, dia dapat bagian minimal 30%”).
– MUSCLE (ancaman – dia diancam oleh kekuatan yang lebih dia takuti, apakah itu preman lokal “Awas kalau tidak dikasih anakmu bisa pulang-pulang tidak utuh!”, atau preman global “Kami bisa membuat negaramu lebih merana drpd Irak!”).
Formula 3M ini sangat efektif untuk menebak suatu perkara yang tidak rasional, yang umumnya koruptif. KPK sangat tertarik kalau ada hal-hal seperti ini. Dan formula 3M ini kalau dibahasakan lokal bisa disingkat “KPK” juga, yaitu KEYAKINAN (mind), POLITIK koruptif (money), dan KETAKUTAN (muscle).
Jadi, kembali ke soal kenaikan harga BBM, kenapa SBY-JK memilih langkah yang secara rasional-politik mestinya tidak dilakukannya, bisa jadi “KPK” juga. Dia yakin dengan aliran neoliberalis yang mendominasi tim ekonominya. Dia bisa juga memakai pertimbangan POLITIS (sayangnya bukan dari sisi kerakyatan namun dari sisi korporasi – yang ini pasti menguntungkan dalam jangka panjang), atau ada KETAKUTAN terhadap tekanan-tekanan global.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Dari zaman dulu, hampir setiap manusia ingin mengamati lingkungan sekitarnya. Setiap raja ingin memantau baik kondisi fisik maupun sosial wilayah kekuasaannya. Ketika dunia memasuki era ruang angkasa tahun 1950-an, impian itu mulai menjadi kenyataan. Sejak itu sudah ribuan satelit buatan yang diluncurkan ke orbit atau bahkan ke bulan dan planet-planet lain. Meski semula menjadi dominasi dunia militer, lambat laun teknologi pemantauan bumi menjadi kebutuhan sehari-hari. Dunia penerbangan, pelayaran dan pertanian tak bisa lepas dari ramalan cuaca yang sebagian besar datanya berasal dari satelit cuaca. Dunia bisnis properti juga semakin akrab memakai citra satelit beresolusi tinggi. Kemudian sejak beberapa tahun yang lalu, citra satelit bahkan dapat diakses semua orang lewat internet, sejak Google membuat layanan earth.google.com yang gratis.
Tak heran bahwa di tanah air, muncul obsesi memiliki satelit pemantau (surveillance satellite) sendiri untuk memantau seluruh penjuru Nusantara. Dengan satelit ini diharapkan pelanggaran wilayah laut oleh kapal-kapal asing, baik penyelundupan maupun penangkapan ikan secara liar (illegal fishing), pembalakan hutan (illegal logging), penambangan liar (illegal mining) hingga bencana alam, kecelakaan transportasi dan kerusuhan dapat dimonitor secara terus menerus.
Pertanyaannya, masuk akalkah impian ini? Bagaimana sebenarnya sistem pengawasan melalui satelit saat ini?
Teknologi Satelit
Bila kita bicara satelit, kita mengenal setidaknya enam jenis satelit. Yang paling awal adalah satelit untuk tujuan mempelajari ruang angkasa. Inilah satelit pertama yaitu SPUTNIK yang diluncurkan Uni Soviet tahun 1959, juga satelit stasiun ruang angka internasional (International Space Station ISS) yang sekarang menjadi tempat kerja sejumlah astronot Amerika, Eropa, Rusia dan Jepang.
Yang kedua adalah satelit telekomunikasi, sebagai contoh adalah satelit Palapa yang dibeli Indonesia pada 1970-an dan sudah disusul berbagai generasi. Satelit jenis inilah yang faktanya paling populer. Di beberapa kalangan, bila bicara satelit, yang dimaksud adalah antena parabola penerima siaran televisi yang dipancarkan dari satelit.
Yang ketiga adalah satelit navigasi, yang kini semakin populer dengan semakin murahnya harga sistem penentu posisi global (Global Positioning System, GPS) yang mengandalkan satelit yang dipasang militer AS namun dapat dipakai kalangan sipil di seluruh dunia dengan akurasi lebih rendah.
Yang keempat adalah satelit militer yang dibekali dengan senjata laser. Inilah proyek star wars Ronald Reagan, presiden Amerika tahun 1980-an di era Perang Dingin.
Yang kelima adalah satelit pemantau langit atau satelit astronomi, misalnya pembawa teleskop “Hubble”, radio-astronomy “Hyparchos” atau pemantau matahari “Soho”.
Dan yang terakhir adalah satelit pemantau bumi, sesuai missi NASA yang beralih dari misi ke planet lain ke “Mission to Planet Earth”. Dan inilah yang akan dibahas pada tulisan ini.
Satelit Pemantau Bumi
Sebelumnya perlu diketahui bahwa untuk memantau bumi, satelit harus terbang pada ketinggian orbit tertentu. Makin jelas objek yang ingin dipantau, makin rendah orbit itu. Namun makin rendah orbitnya, area cakupannya makin sempit, dan kunjungan ulang (revisit) pada daerah yang sama makin lama. Ini sesuatu yang saling bertentangan dengan keinginan kita. Kita maunya melihat seluruh nusantara, detil, dan terus menerus sepanjang waktu.
Satelit pemantau cuaca global seperti Meteosat, harus dipasang pada orbit geostasioner pada ketinggian 36000 Km di atas permukaan bumi. Satelit ini praktis diam di atas satu titik dan dapat melihat sepertiga permukaan bumi terus menerus. Namun titik elemen gambar (pixel) yang terlihat sangat kasar (sekitar 8 km x 8 km). Satelit cuaca ini dapat memantau pergerakan awan, namun tidak bisa melihat kapal induk apalagi mobil.
Satelit yang agak lebih detil, misalnya NOAA, ada pada orbit kutub setinggi 870 Km dan pixel 1 km x 1 km. Satelit ini biasanya dipakai untuk mengenali gunung es atau titik api (hotspot) pada kebakaran hutan. Namun untuk kehalusan seperti itu, NOAA sudah tidak geostasioner lagi. Dia mengelilingi bumi sehari beberapa kali untuk selalu dapat memantau daerah yang sedang siang hari. Akibatnya tempat yang sama baru dilintasi ulang setelah 101-102 jam (4 hari).
Untuk pemantauan sporadis, cukup banyak data satelit yang dapat kita beli, seperti LANDSAT dari NASA yang lazim dipakai Departemen Kehutanan untuk memantau perubahan landcover terutama kawasan hutan. Satelit ini terbang pada orbit setinggi 185 Km dengan revisit tiap 16 hari. Besar pixelnya adalah 30 x 30 m.
Selain LANDSAT ada juga satelit SPOT dari Perancis, Aster dan ALOS dari Jepang, dan IKONOS serta Quickbird dari Amerika. Saat ini satelit sipil yang pixelnya paling halus adalah Quickbird, yakni 60 cm x 60 cm. Sebuah mobil akan kelihatan cukup jelas pada satelit ini. Namun tempat yang sama baru akan dikunjungi lagi kurang lebih setelah dua bulan!
Semua satelit di atas memiliki sensor optis, yang bilamana permukaan bumi tertutup awan atau asap mereka tidak mampu menembusnya. Oleh sebab itu sangat sulit untuk memantau suatu daerah terus menerus, karena selain kunjungan ulang baru setelah 4-60 hari, juga ada kendala awan atau asap.
Yang mampu tembus awan adalah satelit dengan sensor radar, misalnya Radarsat (Canada), ERS (Eropa), ALOS-Palsar (Jepang) dan TerrasarX (Jerman). Citra radar ini membutuhkan SDM dengan kemampuan interpretasi yang lebih canggih, karena sifat-sifatnya sangat berbeda dengan citra optis biasa.
Namun baik sensor optis maupun radar, semuanya tidak akan mampu memantau permukaan nusantara secara terus menerus sekaligus. Mereka harus senantiasa mengelilingi bumi, sehingga rata-rata suatu lokasi di nusantara baru dapat dicitra ulang paling cepat 4 hari sekali. Adapun bila akan dicitra seluruhnya, masih akan memerlukan waktu minimal 3-4 bulan karena kemampuan teknis satelit yang masih terbatas.
Menuju Kemandirian Satelit.
Untuk wilayah Nusantara, sistem pengawasan terus menerus yang ada hanyalah dari satelit cuaca internasional (Meteosat, NOAA-AS, atau FengYun-Cina). Penerimaan data satelit ini dilakukan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Mereka menerima data ini dalam suatu kerjasama ilmiah, di mana BMG atau LAPAN wajib membiayai sendiri perawatan sistem penerima data dan membagi hasil analisisnya ke komunitas internasional.
Untuk Landsat atau SPOT, LAPAN pernah menggunakan sistem sewa tahunan (sekitar US$ 1 juta untuk Landsat). Setelah itu LAPAN berhak menjual data Landsat yang diterimanya (yaitu hanya atas wilayah Indonesia) kepada pihak ketiga.
Untuk citra satelit lainnya (Ikonos, ALOS, TerrasarX, dsb), biasanya dilakukan by project (kasus), scene by scene. Ada yang didapatkan dalam kerjasama ilmiah, namun pada umumnya suatu scene citra dibeli secara komersial (Ikonos sekitar US$ 26 / Km2 dan minimal US$ 2000, ALOS-avnir sekitar ¥ 5 / Km2 dan minimal ¥ 25000, sedang TerrasarX sekitar € 2.5 per km2, minimal 1 scene seluas sekitar 1800 Km2). Bila pengguna di dalam negeri semakin banyak dapat kita hitung berapa devisa yang harus dikeluarkan untuk impor citra satelit resolusi tinggi.
Kalau kita asumsikan daerah darat dan laut nusantara yang akan dipantau itu seluas 5 juta Km2, maka pencitraan dengan TerrasarX minimal sekali setahun akan menghabiskan dana € 12,5 juta atau Rp. 175 Milyar. Namun citra TerrasarX yang tembus awan ini mesti dilengkapi dengan misalnya ALOS atau IKONOS untuk beberapa analisis. Kalau diasumsikan wilayah perkotaan kita adalah 10% daratan Indonesia harus “disapu” dengan I
oleh Fahmi Amhar
Saya jelas orang yang pernah diuntungkan dengan keberadaan Soeharto sebagai Presiden Indonesia selama 32 tahun
Ketika saya kecil, saya pernah diajak ibu saya untuk ikut antri beras. Tahun 1970 masih banyak kebutuhan pokok yang susah. Tetapi Repelita-1 telah merubah pemandangan itu. Antri sembako baru terjadi lagi pasca Reformasi 1998.
Lalu sayapun masuk SD. Rezim Soeharto begitu perhatian pada hal-hal kecil, sehingga anak SD-pun sudah dikenalkan pada Gerakan Pramuka, pada Senam Pagi Indonesia Indah (SPII), pada Ejaan Yang Disempurnakan, pada Kurikulum 75 (yang belakangan disempurnakan lagi beberapa kali) dan pada Cerdas Cermat. Wis pokoknya, dari Sabang sampai Merauke, ada keseragaman pola, yang tidak tentu jelek. Kalau dikerjakan sepenuh hati, Pramuka nyatanya bikin anak jadi mandiri dan bisa memimpin, tapi kalau tidak, ya sekedar capek disuruh baris kayak tentara. SPII juga kalau tenanan bikin badan segar dan sehat. Kurikulum 75, yach tergantung gurunya sih. Tapi guru pada saat itu relatif masih dihormati, tidak seperti sekarang, guru makin nelangsa. Cerdas Cermat dari level bawah ke atas sampai nasional, cukup mampu membuat anak-anak punya semangat kompetisi, bersaing sehat menjadi yang terbaik.
Di SMP saya bahkan sempat kecipratan beasiswa Supersemar, yang sekarang diributkan itu. Kontes siswa teladan juga sempat diikutkan, tetapi orang seperti saya jelas tidak terpilih, lha wong pramukanya jeblog, dan prestasinya kurang bisa diteladani … he he …
Era Soeharto juga melahirkan berbagai tradisi baru yang cukup sehat, misalnya Lomba Karya Ilmiah Remaja yang diadakan LIPI. Wah waktu itu bangga banget, terpilih jadi finalis LKIR LIPI, diundang ke Taman Mini, beramah tamah dan salaman dengan Presiden Soeharto. Lha siswa SMAN 1 Magelang berapa orang yang pernah salaman sama Presiden? Sayang yang motret rada bahlul, masak motretnya dari belakang.
Dan itu belum cukup. Soeharto juga memiliki Menteri Ristek yang jadi idola semua anak sekolah: BJ Habibie. Dan Habibie punya program yang berani: nyekolahin anak-anak ingusan lulusan SMA ke Luar Negeri! Dan beberapa alumni SMAN 1 Magelang ini ada yang beruntung ikut terkirim, termasuk saya …
Wah, lha kalau nggak ada Presiden Soeharto, barangkali nggak ada Menristek Habibie, barangkali nggak ada cerita teman-teman yang ke LN, lha gimana, wong sekolah di dalam negeri saja saya pasti akan ngos-ngosan, koq ke LN. Mimpi apa?
Jadi, kalau egois begini, pastilah, Soeharto itu jasanya pol bagi saya …
Sayangnya di dunia ini, tidak hanya hidup orang-orang yang mendapatkan jasa dari Soeharto.
Saya bertemu dengan orang-orang yang pernah dijebloskan ke “pesantren Nabi Yusuf” (maksudnya penjara!), tanpa proses pengadilan, hanya karena mereka ini ustad yang menyitir beberapa ayat Qur’an – yang konon kalau kedengaran Soeharto (atau Soedomo) akan dicab subversif. Tak heran, tahu-tahu besoknya dijemput babinsa, dibawa ke koramil, dan masuk hotel prodeo. Tapi mungkin kelompok ini masih harus berterima kasih sama Soeharto. Karena di penjara mereka justru dihormati. Dan di penjara, mereka ada yang justru sempat menghafalkan Qur’an, membaca ribuan buku, bahkan menulis buku, dan keluar dari penjara tampak jauh lebih “sakti”.
Saya juga merasakan penataran P4, wah entah total berapa ratus jam. Di SMP dapat, di SMA dapat lagi, di ITB dapat lagi, keterima beasiswa OFP dapat lagi. Termasuk ikut regu Cerdas Tangkas P4, sampai juara se Magelang, tapi sebenarnya lebih cocok disebut lomba “Robot Tangkas”, karena kami benar-benar menjawab seperti robot, bahkan jawaban sudah bisa keluar sebelum pertanyaan dibaca seperempatnya ….
Lebih lucu lagi ada pembekalan KBG (Keluarga Besar Golkar). Sebagai karyasiswa di LN, kami diundang ke KBRI untuk pembekalan menghadapi pemilu, dan seperti biasa pemilu baru sukses bila golkar menang! Sejak jadi mahasiswa, dan agak “nek” dengan situasi dagelan di tanah air, saya nekad mbolos dari pembekalan di KBRI itu. Anehnya, meski sama sekali absen, saya tetap dapat piagam sebagai “peserta pembekalan KBG terbaik!”. Coba, apa tidak ruar biasa …
Jangan-jangan memang jasa Soeharto bagi banyak orang adalah jasa-jasa semu. Laporan Asal Bapak Senang sudah biasa di masa itu, “Laporannya sesuai petunjuk Bapak Presiden”, apalagi pers tidak bebas mengungkap kenyataan. Kalau berani mengungkap siap-siap saja dibreidel seperti Sinar Harapan, Tempo dan Detik, atau di-Udin-kan. Pekerja kalau vocal siap-siap di-Marsinah-kan …
Orang sering menganggap, zaman Soeharto semuanya lebih enak, stabil, sembako murah, sekolah murah dan sebagainya.
Namun lupa, atau buta, bahwa kondisi susah sekarang ini akibat Soeharto juga.
Yaitu ketika dia membuka keran utang. Lama-lama Utang LN jadi parah sekali. Bunga berbunga. Setiap bayi yang lahir di Indonesia, langsung menanggung utang minimal Rp. 7 juta! Dia juga yang mempersilakan perusahaan-perusahaan asing masuk, diberi konsesi tambang atau hutan, sampai beberapa puluh tahun ke depan, yang entah reformasi sudah jilid berapa, situasi ini belum berubah.
Ini belum termasuk sepak terjang anak-anak dan kroninya. Tahun 1990-an dia membuat BPPC, dan Tommy punya hak monopoli cengkeh. Akibatnya investasi kakak saya yang menanam 800 pohon cengkeh dan siap panen, musnah seketika. Pohon cengkehnya akhirnya ditebang saja dan dijual kayunya.
Belum dagelan dengan proyek-proyek kroni. Ada dana reboisasi untuk membuat pemetaan dengan radar atau pembukaan lahan gambut 1 juta hektar. Supaya tidak kelihatan norak, dana itu dimasukkan ke suatu departemen atau LPND. Tetapi tendernya sudah diatur, pokoknya yang dapat harus Bob Hasan atau Tommy. Ya berjasa juga sih, paling tidak untuk memperkaya para kroni itu dan para begundalnya …
Lagipula, tidak fair juga melihat harga-harga di masa itu dibandingkan harga sekarang. Saat saya SD tahun 1970-an, harga semangkuk bakso hanya Rp. 25,- Tahun 1986, harga semangkuk bakso yang sama Rp. 500,- dan sekarang tahun 2008 harganya Rp. 5000,-. Kuncinya ada pada inflasi, bukan pada Soeharto atau siapa … Memang sih, Soeharto berjasa juga, menjaga inflasi tetap 1 digit, tidak 2 atau 3 digit seperti di Turki atau Yugoslavia …
Yang membuat kita merasa bertambah miskin adalah, karena pertumbuhan penghasilan kita tidak sebesar inflasi. Tahun 1986, gaji PNS baru masih sekitar Rp. 100.000,- jadi setara dengan 200 mangkuk bakso. Yach cukup lah untuk hidup sebulan, kalau makan cukup bakso 90 mangkuk. Separuhnya buat ngontrak rumah dan ongkos transport, yang saat itu juga bus kota masih Rp. 200,-
Sekarang, PNS baru bergaji Rp. 1 juta, tetapi dengan bakso semangkuk Rp. 5000, gaji tadi juga hanya setara 200 mangkuk! Bus kota juga sekarang Rp. 2000,- Pembangunan dapat dikatakan berjalan di tempat. Padahal sumber daya alam kita sudah banyak yang terkuras, hutan kita sudah banyak yang dibotakin, dan utang kita makin banyak. Kita habis waktu … Umur kita makin tua ….
Kalau orang menunjuk kroni-kroni dan begundal Soeharto yang membuat Indonesia makin runyam, kenapa ya, orang tidak menunjuk para punakawan Soeharto yang membuatnya pernah dianggap “berjasa” – setidaknya untuk saya.
Bagaimanapun seorang Presiden tidak akan sempat mengurus yang detil. Tugas dialah untuk menghimpun orang-orang hebat di sekitarnya, untuk membantunya mewujudkan sesuatu yang hebat, dengan memberinya visi yang hebat. Jadi ya tanggungjawabnya juga, kalau ternyata, orang-orang di sekelilingnya itu justru para pecundang, yang membuat Indonesia jadi negara pecundang kayak sekarang.
Di antara pecundang itu ada yang sudah mendahului Soeharto. Bahkan ada yang bilang, di akherat sana, Soeharto pasti bisa membentuk Orde-Baru-II. Di sana ada wakil presiden, ada menteri, ada pangab, cukup lah pokoknya.
Tapi masih banyak juga yang berkeliaran di sekitar kita, dan sok lebih reformis dari orang-orang yang sebelum Soeharto lengser selalu dilecehkan dan diintimidasi.
Dan suatu hari nanti, kita pasti akan “menyusul” Soeharto juga.
Koq sudah mau nyusul Soeharto, amalnya sudah cukup apa?