Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘SosPol’ Category

Munculnya Diktator Liberal

Wednesday, June 21st, 2006

Tulisan ini dimuat di Media Indonesia, 15 Juni 2006.

Muncul keheranan ketika membaca tulisan Saiful Mujani “Kelompok Islam Anarkis” (Media Indonesia 12/06/2006). Tulisan itu jauh dari karya seorang peneliti yang mestinya teliti dan berimbang, tetapi lebih merupakan suatu bentuk propagative-provocation (provokasi yang terus disebarkan dan diulang-ulang) yang akhir-akhir ini gencar dilakukan teman-teman dari kalangan yang menamakan diri Islam Liberal. Meski salah, lama kelamaan hal itu akan membentuk memori kolektif, dan akhirnya dianggap seolah-olah benar. Seperti kata Hitler, “kebohongan seribu kali akan bisa menjadi kebenaran”.

Karena para penebarnya memiliki akses media, maka propaganda provokatif itu berlangsung massif. Namun kita cemas, alih-alih mencerahkan rakyat. Kelak mereka akan gigit jari, karena bisa terjadi sebaliknya, meminjam pepatah Arab: al-kadzdzab la yushaddiquhu wa lau kana shadiqan (para pembohong itu pada akhirnya omongannya tidak akan dianggap benar, sekalipun sesekali mereka benar).

Kita sadar, bahwa propaganda terkait dengan anarkisme kelompok Islam itu mempunyai tujuan akhir: pembubaran, pembekuan atau pelarangan ormas-ormas yang dicap melakukan anarkisme. Propaganda ini sedang menciptakan atmosfir yang kondusif bagi lahirnya kebijakan negara. Atmosfir yang kondusif itu akan digunakan sebagai justifikasi (pembenaran). Karena setiap kebijakan harus ada justifikasinya, baik logis maupun tidak. Nah, inilah yang terus-menerus digalang sampai tujuannya tercapai. Sayang kalau hal itu dibangun di atas kebohongan publik – apalagi oleh orang-orang yang mungkin pantas disebut intelektual.

Kasus Purwakarta, yang diidentikkan dengan insiden pengusiran Gus Dur, sengaja diperalat untuk mengadu-domba elemen-elemen Islam, meski pihak-pihak yang terlibat secara terbuka telah membantah adanya insiden itu. Sehari setelah kasus tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia telah melakukan klarifikasi (25/05/2006), diikuti pernyataan bersama MUI, sejumlah ormas dan kepolisian (26/05/2006), bahkan pada akhirnya Gus Dur sendiri (27/05/2006), yang intinya menyatakan bahwa kasus pengusiran itu tidak ada. Tetapi, tetap saja isu pengusiran dan anarkisme tersebut terus dihembuskan. Mobilisasi massa pun dilakukan atas nama pembelaan terhadap Gus Dur, bahkan disertai dengan tuntutan, dari sekedar minta maaf sampai pembubaran.

Bahkan, kemudian Pancasila dan NKRI dinyaringkan lagi, setelah sekian lama seperti “hilang” dari wacana publik. Mereka tampil bak pahlawan kesiangan, atasnama Pancasila dan NKRI, menuduh lawan-lawannya sebagai anti Pancasila dan membahayakan NKRI. Dengan mengulang-ulang propaganda ini, mereka terus memprovokasi penguasa untuk memberangus kebebasan lawan mereka.

Munculnya Diktator Liberal

Propaganda provokatif dengan kebohongan itu, diakui atau tidak, adalah bentuk kekalahan intelektual para pejuang kebebasan. Mereka tidak bisa lagi beragumentasi secara logis dan sehat. Maka, bahasa ototlah yang mereka gunakan: pembubaran dan pembekuan, yang kesemuanya menggunakan tangan besi penguasa. Pelan-pelan mereka telah bermetamorfosis menjadi Diktator Liberal, Diktator yang mengatasnamakan kebebasan.

Aneh, dalam mengusung freedom of speech (kebebasan berbicara), di satu sisi mereka sampai berani menghina al-Qur’an, Nabi, kesucian agama, dan menolak syariat Islam, dengan tameng demokrasi dan kebebasan, tapi di sisi lain, ketika orang lain menyuarakan penerapan syariat Islam, dan bahkan membuat UU dan perda dengan mengambil sumber syariat Islam, langsung dituduh bertentangan dengan demokrasi, Pancasila, UUD 45, memecah belah NKRI, dan tuduhan yang terkesan asal-asalan lainnya.

Sejujurnya, mana pasal / ayat UU di negeri ini yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Mana pasal / ayat UUD 45 yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Mana sila-sila Pancasila yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Jadi kalau tidak ada, untuk apa ngotot seraya membohongi publik, dengan mengatakan bahwa penerapan syariat Islam jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, UU dan seterusnya. Apakah ini sikap yang intelektual?

Karena itu jangan tuduh orang lain yang menyuarakan aspirasinya untuk menerapkan syariat Islam dengan tuduhan melanggar hukum. Bukankah, UU dan perda-perda syariah itu lahir dari proses demokrasi? Ataukah demokrasi itu hanya untuk kepentingan kapitalis belaka, dan bukan untuk yang merindukan Islam? Kalau memang demikian, jangan klaim bahwa demokrasi itu kompatibel dengan Islam. Dan, jangan salahkan, kalau orang Islam meyakini, bahwa demokrasi itu hanya alat penjajahan, bertentangan dengan Islam dan justru untuk memberangus kemuliaan Islam.

Maka, kalau atas nama demokrasi kebebasan menyampaikan aspirasi, berekspresi dan berserikat dibenarkan UU, keliru kalau kemudian ketika HTI, MMI, FPI atau PKS menyampaikan aspirasi dan mewacanakan sistem alternatif, baik ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, politik dalam dan luar negeri yang berbasis syariah, sebagai wacana publik, kemudian disebut melanggar konstitusi. Konstitusi yang mana? <>Kalau logika itu dipakai, maka tak perlu lagi ada jurusan syariah, madrasah dan pesantren yang mengajarkan syariah, karena wacana syariah, sebagai wacana alternatif, dianggap melanggar konstitusi. Bedanya, HTI, MMI, FPI dan PKS mewacanakan syariah secara terbuka di ruang publik, melalui khutbah, buletin, majalah, koran, radio, televisi, dan internet sementara jurusan syariah, madrasah dan pesantren mewacanakannya di ruang-ruang kelas, dan sifatnya terbatas. Itu saja.  Ataukah propaganda ini memang untuk membendung Islamisasi, yang sering kali disebut Talibanisasi, Arabisasi, dan sebagainya itu?

Tuduhan bahwa HTI dengan konsep Khilafahnya akan menghancurkan NKRI itu juga terlalu mengada-ada. Kalau mau jujur, siapa yang mengingatkan rakyat negeri ini ketika Timor Timur akan merdeka? Siapa yang mengingatkan potensi lepasnya Aceh dan Papua saat ditandatanganinya Perjanjian Helsinki? Siapa yang mengingatkan bahaya masuknya militer asing, dengan kedok bantuan kemanusiaan di Aceh, dan menyerahkan urusan Aceh kepada pihak asing, melalui AMM? Siapa yang memprotes lepasnya Blok Cepu ke tangan Exxon-Mobil, memprotes UU Sumber Daya Air, yang menyebabkan rakyat negeri ini tidak lagi memiliki “tanah-air”? Kita harus akui, bahwa saat itu, HTI membuktikan diri kesetiaannya pada negeri ini dengan menyebar puluhan ribu booklet tentang hal itu serta menggalang aksi damai di Jakarta dan beberapa kota, tanpa mereka sok Pancasilais, demokrat, dan seterusnya.

Sayang, mereka yang mengklaim sebagai pejuang demokrasi, HAM, Liberal, Pancasilais, konstitusional, justru berdiam diri dengan penjualan aset negara kepada asing, membiarkan martabatnya diinjak-injak dengan menerima donasi dari negara-negara penjajah, dan tidak menunjukkan dukacita sedikitpun, saat ekonomi kita hancur, budaya kita tergadai dan peradaban kita tenggelam dari kancah dunia.

Indahnya Ukhuwah Islamiyah

Thursday, June 1st, 2006

Makalah ini disiapkan sebagai pengantar untuk Kajian Al-Muhajirin, Cagak – Gunungputri, Bogor. 14 April 2002.
Pendahuluan

Dunia ini penuh masalah. Masalah ini ada yang bersifat internal maupun external, ada yang bersifat lokal maupun global. Banyak orang mengeluhkan “keterasingan dalam keramaian” (masalah internal). Orang juga mengeluhkan berbagai krisis yang ada saat ini: ekonomi yang makin “mencekik”, keamanan yang makin rawan, pendidikan yang amburadul, politik yang korup, dsb. (masalah external). Masalah ini terjadi di Indonesia (Ambon, Poso, Aceh, Papua), di dunia kaum Muslimin (Palestina, Afghanistan, dll), dan juga di dunia (krisis lingkungan hidup global, krisis utara-selatan dsb).

Sering terbersit dalam hati banyak orang, mengapa tidak tersisa rasa “kesetiakawanan” antara elit politik dengan rakyatnya yang menderita, antara para konglomerat dengan orang-orang melarat, antara negeri Islam yang kaya migas (Emirat, Kuwait) dengan yang miskin (Bangladesh, Afghanistan) dan antara negara-negara maju (USA, Eropa, Jepang) dengan negara-negara terbelakang.

Semua “dibiarkan” menghadapi nasibnya sendiri-sendiri. Yang sudah diuntungkan oleh “taqdir”, merasa bukan tugasnya untuk peduli dan berbagi, bahkan merasa bahwa yang kurang beruntung itu tidak berpotensi apa-apa untuk diajak bersama-sama menyongsong masa depan yang lebih cemerlang.

Keadaan seperti ini adalah ciri-ciri keruntuhan suatu peradaban, betapapun besar peradaban itu. Ibnu Khaldun dalam “Muqaddimah”-nya menyimpulkan bahwa era kebesaran peradaban besar seperti Mesir atau Romawi Kuno, bahkan Daulah Abbasiyah, berakhir ketika ikatan semangat kesetiakawananan yang menyatukannya mulai memudar. Penulis modern seperti Paul Kennedy pun menyimpulkan hal yang sama. Benarlah firman Allah:

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (suatu mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Qs. 17:16)

Pertanyaannya sekarang: ikatan kesetiakawanan seperti apa yang bisa mengatasi itu semua? Bagaimana menumbuhkannya dan merawatnya agar tidak memudar dan kemudian dilupakan?

Macam-macam Ukhuwah

Ikatan kesetiakawanan disebut juga “ukhuwah”.

Di dunia dikenal beberapa jenis “ukhuwah”.

Secara alami, manusia akan membuat suatu ikatan dengan manusia-manusia lain yang sering berinteraksi dengannya. Maka tidak heran bahwa ikatan yang terkecil adalah ikatan kekeluargaan. Ikatan ini bisa berkembang menjadi ikatan kesukuan/kebangsaan (ukhuwah ashobiyah).

Ikatan yang lain terjadi karena kesamaan domisili, yang dalam cakupan yang luas menjadi ikatan setanah-air (ukhuwah wathoniyah).

Sering pula suatu ikatan muncul karena kesamaan minat atau kepentingan yang perlu diperjuangkan, sebagaimana tampak dalam banyak perkumpulan dan perserikatan (ukhuwah maslahatiyah).

Dan ada pula ikatan karena kecenderungan spiritual yang sama, tanpa suatu sistem untuk urusan non spiritual (ukhuwah ruhiyah bi ghoiri nizham).

Keempat jenis ukhuwah di atas memiliki cacat yang serius. Mereka bersifat emosional, temporal dan reaktif, sehingga tidak akan proaktif mengantisipasi tantangan yang bersifat global dan jangka panjang.

Bahkan ikatan-ikatan itu memiliki efek samping yang berbahaya. Ukhuwah ashobiyah telah menjadi akar penjajahan dan peperangan antar bangsa, atau setidaknya egoisme / egosentrisme nasional. Dan pada level terbatas ia adalah akar nepotisme (pemanfaatan hubungan kekerabatan untuk melawan hukum).

Ukhuwah wathoniyah telah menyulut tawuran antar kampung atau sekolah. Memang bila suatu negeri diserang dari luar, warga negeri itu akan setiakawan. Namun bila serangan itu hilang, kesetiakawanan itu akan terreduksi ke tingkat yang lebih rendah, bahkan sampai ke kampung atau sekolah.

Ukhuwah maslahatiyah akan hilang bila kepentingan bersama itu tidak aktual lagi. Inilah arti “tidak ada teman abadi, yang ada hanya kepentingan abadi”.

Demikian juga ukhuwah ruhiyah bi ghoiri nizham. Suatu kelompok pemeluk agama tertentu, bisa jadi setiakawan sepanjang menyangkut urusan ritual atau sentimen-sentimen agama. Namun begitu masuk urusan kehidupan bermasyarakat, tiadanya sistem yang mengatur kehidupan bermasyarakat yang plural, membuat ikatan ini tidak produktif. Ini yang membuat bangsa-bangsa Eropa berabad-abad saling berperang meski mereka sama-sama Nasrani, dan demikian juga saat ini di antara negeri-negeri Islam atau partai-partai Islam yang justru centang perenang, bukannya mensinergikan kekuataannya, namun justru saling mengeliminir satu sama lain.

Bila demikian Ukhuwah Islamiyah itu apa?
Ukhuwah Islamiyah Mabda’iyah

Ikatan yang tidak emosional dan mampu menembus batas-batas ruang dan waktu serta tidak sekedar merupakan reaksi sesaat atas suatu kejadian adalah ikatan ideologis (mabda’iyah). Mabda adalah suatu pemikiran yang mendalam dan menyeluruh, yang di atasnya bisa dibangun suatu sistem (nizham) yang lengkap untuk mengatasi berbagai masalah hidup manusia, menjelaskan cara pelaksanaannya dan memelihara serta mengemban ide tersebut.

Islam adalah salah satu mabda’ itu. Dengan demikian ukhuwah Islamiyah adalah ikatan karena mabda’ Islam, karena diterimanya ideologi Islam, karena diterapkannya sistem Islam – dan bukan sekedar ikatan antar pemeluk Islam yang emosional, temporer dan reaktif saja.

Inilah rahasia, mengapa ikatan ini bisa lintas batas. Islam begitu mudah diterima oleh segala bangsa, di segala lokasi, di segala waktu, dan lebih dari itu, ia produktif. Sejarah Islam telah menunjukkan bahwa pada saat ukhuwah ini masih terjaga dengan baik, peradaban emas Islam diemban bersama-sama oleh bangsa-bangsa dari tepi Atlantik sampai perbatasan Cina, dari ujung Kaukasus sampai ujung Sahara, dari yang berkulit putih sampai yang berkulit hitam, dari yang bermata sipit sampai yang berambut pirang. Bahkan tak cuma muslim saja yang bangga menjadi pemanggulnya. Banyak dari tokoh peradaban Islam yang sejatinya adalah non muslim, namun mereka berkarya untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin.

Peradaban Islam ini baru runtuh ketika ukhuwah Islamiyah mabda’iyah digerogoti virus-virus dari ukhuwah jenis lain, yang disebarkan oleh musuh-musuh Islam pada saat tubuh ummat Islam sedang lemah karena kendurnya dakwah dan jihad.
Menanam dan Merawat Ukhuwah

Menumbuhkan Ukhuwah Islamiyah bukanlah hal yang mudah. Ukhuwah tidak bisa dibeli atau dibuat secara instant (biarpun dengan do’a), namun ia harus ditanam hati-hati dengan pemikiran (tsaqafah) Islam yang jernih; lalu dipupuk, disiram dan dijaga dari hama dengan amal-amal Islam yang tulus dalam kerangka sistem Islam.

Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (Pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu’min. Dan Yang mempersatukan hati mereka. Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. 8:62-63)

Contoh pemikiran Islam yang terbukti telah mampu menumbuhkan ukhuwah pada dimensi global adalah semangat egaliter dalam Islam:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Qs. 49:13)

Sedang contoh amal Islam yang diajarkan untuk merawat ukhuwah dari hari ke hari misalnya:

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Qs. 41:34)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Qs. 49:11)

Masih banyak amalan-amalan praktis sehari-hari yang diajarkan Rasulullah yang mampu menanam dan merawat ukhuwah, dan menjadikan manusia merasakan sejuknya ukhuwah Islamiyah. Yang jelas, ukhuwah ini baru akan produktif menjawab segala masalah bila kita jadikan sistem Islam sebagai al-miqyas (tolok ukur) dalam segenap amalan kita, baik yang sifatnya individual maupun sosial.

Wallahu ‘alam bis shawab.

Bacaan Lanjut

Abdullah Nashih Ulwan: Merajut Keping-keping Ukhuwah. CV Ramadhani, 1989.

Fauzy Sanqarith: Taqarrub ilallah thariqut-taufiq. Daarun Nahdlah al Islamiyah, Beirut. 1997.

Ibnu Khaldun: Muqaddimah, Penerjemah: Ahmadie Thoha, Pustaka Firdaus, 2001.

Paul Kennedy: The Rise and Falls of Great Powers. Random House, New York, 1987.

Penulis adalah alumnus Vienna University of Technology, Austria; dan saat ini aktif sebagai Peneliti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Cibinong; Aktivis Pusat Studi dan Khazanah Ilmu-ilmu Islam, Bogor; dan Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina, Jakarta.

Menggagas Arsitektur Syari’ah

Thursday, June 1st, 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Pecinta aristektur
Berbicara arsitektur Islam, orang sering teringat pada bangunan-bangunan peninggalan sejarah keemasan Islam, dari ujung Barat (Cordoba di Spanyol) melewati  Istanbul di Turki, Samarkand di Asia Tengah, hingga ke ujung timur seperti di Ternate di Indonesia.  Yang sering menjadi titik perhatian adalah bangunan seperti masjid atau yang serupa (Masjid Cordoba, Aya Sofia, Masjid Sultan Ahmet), namun juga sekolah (Al-Azhar) dan istana (Topkapi Palace).

Dalam era modern, arsitektur Islam diasosiasikan dengan arsitektur gaya timur tengah lengkap dengan lengkung-lengkung bak sebuah masjid dan hiasan kaligrafi di sekujur dinding.

Namun bila kita cermati, apa yang menonjol di atas belum memberikan secara lengkap makna di balik istilah “arsitektur Islam” – yang semestinya adalah suatu rancang bangunan yang didasari oleh aqidah Islam dan memenuhi norma-norma dalam syari’at Islam.

Ini berarti, tujuan dibuatnya bangunan itu adalah comply atau sesuai dengan tujuan syari’ah atau maqashidus syari’ah, yakni: melindungi jiwa, harta, keturunan, agama, akal, kehormatan, keamanan, dan negara.

Untuk itu perlu dibahas secara singkat dalam tulisan ini, bagaimana suatu arsitektur yang bisa memenuhi maqashidus syari’ah tersebut.

Arsitektur yang melindungi Jiwa

Suatu bangunan harus mampu melindungi seseorang dari berbagai potensi yang mengancam jiwa, seperti:

– ancaman cuaca, termasuk banjir; artinya arsitektur suatu rumah dapat disebut islami bila penghuninya bisa merasa tenang tidak akan kebanjiran tiba-tiba tatkala mereka tidur nyenyak.  Kekuatan atap dan saluran air hujan cukup untuk menghadapi hujan terlebat.  Dan idealnya rumah tersebut memang di lokasi bebas banjir.  Namun manakala lokasi itu memang rawan banjir, maka harus dipikirkan mekanisme teknis untuk menangkalnya – misalnya dengan rumah panggung, rumah ponton, atau rumah yang dilengkapi pompa otomatis.
– bencana alam seperti gempa dan tsunami; hampir sama dengan ancaman cuaca, artinya konstruksi rumah tersebut harus dibuat tahan gempa dan tsunami.
– risiko kebakaran; artinya bangunan itu dibuat dengan bahan-bahan tahan api, atau dengan alat-alat pendeteksi dini kebakaran, pemadam api otomatis atau jaringan listrik yang bebas overload dan berrisiko hubungan pendek yang memicu kebakaran.
– ancaman hama dan binatang buas; ini artinya desain rumah itu sedemikian rupa sehingga tidak perlu ada binatang tak diundang masuk dan berrisiko kesehatan, mulai dari srigala, ular, tikus hingga ke lalat atau nyamuk.  Untuk yang terakhir ini bisa menggunakan jaring kasa atau tanaman spesial yang mampu menghalau serangga.
– ancaman polusi, baik yang berasal dari luar maupun dalam; artinya polusi udara dari luar tidak masuk ke dalam, dan pada saat yang sama udara kotor di dalam (terutama dari dapur) dapat berganti dengan udara segar – perlu sistem ventilasi yang baik, yang sewaktu-waktu dibutuhkan dapat dibuka-tutup dengan cepat.  Sementara itu bahan-bahan yang digunakan dalam konstruksi (termasuk cat) juga harus yang ramah lingkungan dan ramah kesehatan.

Pendek kata arsitektur di sini berupaya agar bangunan benar-benar aman dan sehat.

Arsitektur yang melindungi Harta

Suatu bangunan harus mampu melindungi harta penghuninya, baik langsung maupun tak langsung.  Melindungi langsung telah jelas, yakni tidak memberi kesempatan tanga jahil untuk usil; sedang tak langsung artinya bangunan itu dirancang sedermikian rupa sehingga hemat dalam pemanfaatan dan pemeliharaannya.  Dia hemat energi, karena letak ruang-ruangnya juga optimal dalam mendukung fungsi bangunan, serta optimal menggunakan cahaya alam atau udara segar, tak perlu banyak lampu atau AC.  Kalaupun menggunakan lampu listrik atau AC akan dipilih yang hemat energi.

Arsitektur yang melindungi Kehormatan

Suatu bangunan harus memiliki tempat privacy, di mana berlaku syari’at yang berbeda dengan tempat yang mudah diakses (dilihat / dimasuki) publik.  Pada tempat inilah wanita tidak wajib mengenakan jilbab atau kerudung.  Dengan demikian kehormatan mereka terjaga.  Artinya keberadaan pagar, dinding luar atau bentuk dan jenis jendela menjadi penting.

Pada ruang privat inipun, ada kamar yang terpisah antara suami istri dengan anak-anaknya, dan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, sehingga masing-masing dapat tumbuh normal sesuai syari’at tentang ijtima’.  Ada pula ruang untuk menampung tamu atau anggota keluarga yang boleh aurat wanita lain di dalam rumah itu.  Pada rumah yang cukup besar, pemisahan ini bisa sampai pada ruang rekreasi dalam rumah, misalnya kolam renang.

Pada masa lalu – di istana para bangsawan, daerah para wanita ini sering disebut “harem” – yang arti sesungguhnya adalah kawasan yang tidak boleh dimasuki sesuka hati oleh lelaki yang bukan mahram.

Arsitektur yang melindungi Keturunan

Terkait dengan di arsitektur yang melindungi kehormatan adalah arsitektur yang melindungi keturunan.  Anak-anak harus dapat dibesarkan secara islami dan sehat dalam rumah itu.  Ada ruang yang cukup agar anak-anak dapat bermain, berkreasi dan mengembangkan seluruh potensinya, baik kognitif, afektif maupun psikomotoriknya.  Pada area yang cukup luas, perlu untuk membuatkan semacam ruang anak (Kidsroom) tempat dia berlatih seperti melukis, bernyanyi, menari, olahraga, komputer, eksperimen sains dan sebagainya.  Setidaknya setiap anak mendapat tempat belajar yang nyaman dan kondusif.

Selain itu, harus dirancang sedemikian rupa sehingga kemungkinan kecelakaan di dalam rumah karena terguling di tangga atau terbentur sudut runcing dapat dihindari.

Arsitektur yang melindungi Agama

Agama adalah hal yang terpenting untuk diwariskan pada anak.  Ini artinya kehidupan religius harus benar-benar ada di rumah.  Jangan jadikan rumahmu kuburan – kata Nabi – dirikan sholatlah sunat di rumah.  Secara arsitektoris sebaiknya ada tempat khusus untuk taqarrub (ritual agama), seperti tempat meditasi, yaitu mushola berikut tempat wudhunya.  Mushola ini bisa untuk sholat berjama’ah, taddarus atau diskusi agama.  Di dalam mushola pula bisa ditaruh perpustakaan buku-buku agama.  Bahkan bila mushola ini cukup besar bisa untuk aktivitias pengajian bersama tetangga.

Selain ruang khusus seperti ini, suasana di rumah juga bisa dibuat lebih melindungi agama dengan menaruh kaligrafi atau pesan-pesan moral.

Arsitektur yang melindungi Akal

Setelah arsitektur menguatkan sisi nafsiyah dengan suasana religus, maka fungsi rumah perlu untuk juga menguatkan akal.  Jadilah rumah yang cerdas dan mencerdaskan.  Mirip dengan fungsi sebelumnya, di sini perlu ada ruang untuk mengembangkan diri dan meningkatkan ilmu di mana orang merasa nyaman belajar atau meningkatkan wawasannya.  Hal itu bisa berupa ruang multimedia (ada TV, internet, …) atau perpustakaan, atau sekedar ruang baca dan belajar.  Suasana belajarpun perlu dipupuk dengan memasang hiasan-hiasan dinding yang merangsang berpikir.

Arsitektur yang melindungi Keamanan

Secara umum sebuah bangunan harus mampu memberikan rasa aman, baik dari yang mengancam jiwa, harta, kehormatan, keturunan agama, maupun akal.  Karena itu perlu ada beberapa konsep keamanan yang harus dipikirkan.  Pada umumnya konsep yang telah banyak dimengerti adalah keamanan jiwa dan harta.  Namun kalau hanya konsep ini saja yang diterapkan, maka rumah akan menjadi benteng.  Amannya hanya dari gangguan eksternal.  Sebaiknya memang konsep ini mengintegrasikan juga yang lain.  Rumah jadi aman luar dalam.  Di dalam tidak ada resiko pada kehormatan, keturunan, agama maupun akal.

Arsitektur yang melindungi Negara

Melindungi negara harus dibangun dari bawah., dari kerukunan antar tetangga.  Mereka satu sama lain akan saling melindungi.  Ini artinya, arsitektur harus sedemikian rupa sehingga tidak mengisolir rumah dari tetangganya.  Justru seharusnya, arsitektur membuat antar tetangga bisa akrab, saling menyayangi sehingga timbul ukhuwah.  Fungsi ini harus bisa terpenuhi tanpa berbenturan dengan fungsi lainnya (misalnya fungsi melindungi kehormatan).

Kesimpulan

Bangunan berarsitektur syari’ah dapat diringkas sebagai:

– didesain tahan banjir, gempa, kebakaran, hama maupun polusi.
– hemat energi, dalam pemakaian / pemeliharaan.
– Penghuni wanita memiliki ruang privat yang hanya boleh dimasuki mahram; ruang sendiri untuk suami istri, anak lelaki dan anak wanita.
– Memiliki ruang main anak, dan dirancang agar kecelakaan di dalam rumah minimum.
– Memiliki ruang khusus taqarrub (mushola) dan suasana penuh pesan moral.
– Memiliki ruang untuk mengembangkan diri dan meningkatkan ilmu / wawasan, seperti  perpustakaan atau ruang multimedia.
– Memberi rasa aman baik di luar maupun di dalam.
– Didesain akrab dengan tetangga.

Inilah prinsip-prinsip arsitektur syariah.  Sekilas memang pada ruang dengan lahan luas, hal-hal ini relatif lebih mudah dipenuhi.  Namun demikian, dengan pemikiran yang seksama, sebenarnya ruang berlahan sempit pun dapat pula disiasati sehingga seluruh fungsi maqashidus syariah itu bisa terpenuhi.