Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal
Kemarau panjang telah tiba. Hujan sudah lama tak turun. Ini saat yang tepat bagi orang-orang yang ingin merenovasi atap rumahnya. Ini musim orang hajatan, dari khitanan sampai acara 17-Agustusan. Namun ini juga musim petani menjerit. Waduk-waduk irigasi telah menampakkan dasarnya. Puluhan ribu hektar sawah kini telah kering. Di beberapa daerah, ibu-ibu dan anak-anak terpaksa mencari air berkilometer jauhnya.
Di Malaysia dan Singapura, ini juga musim asap. Asap yang datang dari hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan, yang entah sengaja dibakar untuk membuka lahan, atau terbakar sendiri saking keringnya. Saluran inframerah dari citra satelit NOAA menampakkan ratusan “hot-spot” – ini bukan istilah fasilitas akses internet wireless di café-café, tapi benar-benar “titik-titik panas”, artinya dalam satu pixel NOAA yang berdimensi sekitar 1×1 Km itu diduga ada api atau bara api.
Identifikasi NOAA ini memang masih cukup kasar. Dia hanya membedakan bahwa di suatu cakupan 1×1 Km panasnya melebihi suatu nilai threshold tertentu yang ditetapkan. Bila nilai ini diturunkan, tentu saja akan lebih banyak hot-spot yang bermunculan. Tentu saja tidak semua hot-spot ini benar-benar kebakaran hutan. Suatu industri yang banyak memiliki mesin-mesin kalor, atau pusat kemacetan transportasi pun akan teridentifikasi sebagai hot spot.
Karena itu data hot spot harus digabung dengan data lain, yang menunjukkan bahwa tempat itu seharusnya tidak “hot”. Tempat itu bukan daerah industri atau transportasi. Daerah itu hutan, yang semestinya sejuk. Adanya hot spot menunjukkan sesuatu yang tidak beres. Namun pixel NOAA yang amat kasar (1×1 km) masih mensisakan banyak pekerjaan rumah. Dengan helikopter tentu saja luasan itu tidak banyak artinya. Namun bagi polisi hutan yang berjalan di darat, tentu memerlukan energi yang cukup tinggi untuk benar-benar menemukan sumber kebakaran. Ini baru menemukan, belum memadamkannya.
Dengan areal hutan kita yang sangat luas (lepas dari soal sebagian kini tinggal belukar, hutannya sendiri sudah habis dijarah), tentu tidak mudah bagi siapapun untuk dapat mengatasi kebakaran hutan dengan cepat. Akan terlalu banyak daerah-daerah yang sangat sulit dijangkau. Oleh karena itu memang lebih baik adalah tindakan preventif.
Tindakan preventif ini kalau ingin efektif harus melibatkan masyarakat lokal. Selama ini para penjarah hutan juga melibatkan masyarakat lokal. Masyarakat lokal sering bertindak jangka pendek karena iming-iming (uang, minuman keras, cewek) dari para pengusaha hitam. Karena itu masyarakat lokal perlu diberdayakan, diberi fasilitas pendidikan bermutu yang terjangkau, diberi infrastruktur agar nilai tawar mereka di pasar meningkat sehingga mereka terbebas dari kemiskinan struktural yang membelitnya, serta dilindungi dari ancaman pengusaha hitam yang tak jarang menteror mereka dengan senjata.
Hal yang mirip sebenarnya diperlukan dalam mengatasi kekeringan yang meluas ini. Para petani kita selama ini memang termarjinalkan. Berbagai kebijakan politis belum berpihak pada mereka. Pada saat panen raya, pemerintah justru impor beras. Namun pada musim paceklik seperti sekarang, belum kelihatan solusi yang ditawarkan pemerintah.
Sebenarnya, pemerintah bisa melakukan pemetaan terhadap lahan pertanian, untuk dapat diketahui jenis-jenis kesulitan yang dihadapi setiap lahan secara rinci. Dengan pemetaan itu akan diketahui areal yang rawan kekeringan, atau sebaliknya rawan banjir, juga daerah dengan kelerengan tertentu yang berarti lebih sulit pengerjaannya dan rawan longsor, lalu daerah pertanian terpencil yang akses infrastrukturnya masih sangat terbatas, dan seterusnya.
Dalam skala yang lebih detil – dan ini pernah diaplikasikan pada beberapa perkebunan sawit dengan luas ratusan ribu hektar, pemetaan ini bisa sampai pada level kondisi kesehatan tiap tanaman, sehingga kebutuhan air, pupuk dan pestisida dapat dipenuhi secara optimal. Inilah yang dikenal dengan istilah precision farming.
Dengan pemetaan ini, maka dapat diketahui secara tepat jenis dan besaran subsidi yang mesti diberikan pemerintah kepada petani. Tidak selalu subsidi berupa pupuk atau alat pertanian itu tepat.
Pemetaan ini juga mestinya efektif untuk tindakan preventif terhadap kekeringan. Suatu lahan yang diperkirakan akan kering, dapat segera dikonversi ke tanaman yang lebih tahan kekeringan.
Pemetaan seperti ini akan mengurangi dampak kekeringan, namun belum mengatasi korban yang berjatuhan. Di situlah kembali ditunggu peran negara. Pada negara sebesar Indonesia ini, tentu kemungkinannya kecil bahwa seluruh negeri terkena kekeringan. Sepertinya negara perlu mengalokasikan “dana perimbangan bencana” yang tetap dipegang pemerintah pusat, namun dihitung per daerah sesuai potensi bencananya, dan baru dicairkan bila bencana telah terjadi.
Jangan sampai, bencana yang terus ada ini dijawab pemerintah dengan kata-kata, “Pos bencana alam sudah habis” – namun pemerintah tetap punya pundi-pundi untuk membayar gaji ke-13 para pejabat, untuk studi banding ke luar negeri serta untuk kegiatan-kegiatan lain yang manfaatnya untuk masyarakat luas justru kurang jelas.
Tulisan ini dimuat pula pada situs www.hizbut-tahrir.or.id
Dr. Fahmi Amhar
Dosen Pascasarjana Univ. Paramadina
Secara bersamaan, dua tulisan tokoh liberal dimuat di Media Indonesia (20/6/2006), menanggapi tulisan Ismail Yusanto (14/6/2006) dan tulisan saya (15/6/2006). Saya berusaha berempati memahami alur pikir mereka.
Secara ringkas Luthfi Assyaukanie menegaskan bahwa demokrasi yang benar adalah demokrasi tanpa kata sifat, yakni demokrasi seperti yang diterapkan di negara-negara maju, menjadi ukuran lembaga-lembaga internasional dan PBB, yang lalu oleh pakar kontemporer disebut “demokrasi liberal”. Sedang model-model lain pada dasarnya justru ingin membunuh demokrasi. Bahkan Lutfi secara khusus menyebut kata sifat yang menempel pada demokrasi itu sebagai “ideologis” atau “demagogis”.
Saya bertanya-tanya, mengapa untuk demokrasi yang diterima adalah “demokrasi tanpa kata sifat”, namun untuk Islam, yang diterima adalah “Islam dengan kata sifat”. Rupanya bagi Lufhfi, Islam apa adanya – sebagaimana yang diwahyukan Allah dalam Qur’an dan dicontohkan pelaksanaannya oleh Nabi Muhammad – itu belum cukup. Dia memerlukan dalil suplemen dari Bernard Lewis yang juga tidak dipersoalkan apakah shahih apa tidak.
Saya juga keheranan, mengapa dia begitu “beriman” dengan demokrasi ala negara-negara maju, ala AS, Perancis, Israel dan PBB, padahal begitu jelas kemunafikan dari negara atau lembaga ini. Atau memang demokrasi itu harus begitu: munafik? Demokrasi AS adalah dari rakyat AS, oleh rakyat AS, untuk rakyat AS. Soal rakyat Afghanistan, Irak atau Palestina binasa, itu bukan topik yang perlu didiskusikan. Yang jelas aksi perang melawan terorisme George W. Bush sudah diamini oleh rakyat AS secara demokratis, buktinya terpilih kembali, dan diberi anggaran oleh Kongres AS. Mungkin benar bahwa demokrasi itu sendiri adalah ideologi.
Penolakan menempel kata sifat untuk demokrasi itu tentu saja juga akan berbenturan dengan “demokrasi Pancasila”, yang konon adalah arah atau ideologi dari NKRI. Jadi sekarang siapa ini yang jelas-jelas tidak ingin Pancasila menjadi arah bagi demokrasi kita? Apakah seseorang yang berideologi Pancasila lalu mustahil menjadi demokrat?
Di bagian lain Luthfi menegaskan bahwa Islam yang menolak demokrasi adalah islam yang sempit, yang tak mau berubah, yang selalu memposisikan dirinya bertentangan dengan Barat, dipenuhi prasangka-prasangka buruk tentang dunia modern, dan yang kelelahan karena selalu sibuk mencari-cari kesalahan orang lain. Sedang yang cocok dengan demokrasi liberal adalah Islam liberal.
Kenapa pertanyaan ini tidak ditujukan sebaliknya? Kalimat tadi bisa direformulasikan begini: “Demokrasi yang menolak Islam adalah demokasi yang sempit, yang tak mau berubah, yang selalu memposisikan dirinya bertentangan dengan Islam, dipenuhi prasangka-prasangka buruk tentang dunia Islam, dan yang kelelahan karena selalu sibuk mencari-cari kesalahan orang Islam”. Ini kenyataannya lebih jelas, dan faktanya saat ini ada negara adikuasa yang mensupport propaganda liberalisme di dunia Islam, perang melawan “teroris Islam”, termasuk membiayai LSM-LSM liberal, agar menjadi komprador mereka dalam mengeruk kekayaan negeri-negeri Islam.
Sedangkan Ahmad Fuad Fanani mengklaim bahwa setelah fatwa MUI 2005 tentang haramnya Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme (“Sipilis”), kelompok radikal semakin mendapat angin untuk memaksa orang mengikutinya. Masyarakat juga sudah resah dengan aksi-aksi ganyang maksiat FPI. Dia tulis juga, tuduhan bahwa Islam liberal menghina Al-Qur’an, Nabi dan Syariah itu mengada-ada. Syariah bukan sekedar perda syariat, dan pernyataan “Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler” adalah bukti penolakan penerapan syariat Islam.
Saya melihat Ahmad mencoba melepas konteks dari “aksi-aksi radikal”. Kalau sedikit jeli, aksi-aksi itu baru terjadi setelah penegak hukum tidak berbuat apa-apa melihat pelanggaran hukum, bahkan terkesan melindungi. Di NKRI ini masih ada KUHP yang melarang aliran sesat atau kemaksiatan seperti perjudian dan pelacuran. Anehnya, kalau anarkisme ini tidak terkait Islam – seperti kasus-kasus pilkada – kalangan liberal sibuk mencarikan apologi dengan mengajak melihat konteks.
Bahwa Islam Liberal menghina Qur’an, Nabi dan Syari’at itu fakta, rapi terdokumentasi dalam buku ataupun situs mereka. Saya tidak ingin menggeneralisir bahwa semua kalangan liberal setuju. Namun ucapan seperti “Selamatkan Indonesia dari Syariah” atau “Syariah itu sebaiknya dibakar saja, ganti dengan sekuler”, itu bukan mengada-ada, itu real diucapkan tokoh-tokoh liberal. Sayang kolom opini ini terbatas untuk memuat bukti-bukti itu.
Bahwa syariah bukan sekedar perda syariah, tentu saya setuju. Fakta juga dalam perda-perda itu, syariah hanya pada naskah akademis, bukan dalam konsiderans. Namun kalau dinyatakan bahwa “Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler” adalah bukti penolakan penerapan syariat Islam, itu ngawur. Dalam Sistem Hukum Nasional, sumber hukum Indonesia itu ada tiga: hukum Islam, hukum adat dan hukum Belanda. Dalam Dekrit 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD1945 juga tegas disebutkan bahwa Piagam Jakarta itu menjiwai UUD1945. Konsep khilafah dari HTI juga setahu saya bukan negara agama (theokrasi). Khilafah itu negara manusia, pimpinannya dipilih oleh rakyat, bukan pendeta, cuma hukum-hukumnya digali dari Quran dan Sunnah. Contohnya ada. Negara yang dipimpin Nabi Muhammad itu bukan negara homogen, di dalamnya juga ada banyak non muslim. Malah justru kalimat itu tegas, kita bukan negara sekuler. Artinya, paham liberal yang sekuler itu harus ditolak.
Namun di bagian akhir Ahmad secara tak langsung mengakui bahwa HTI adalah kelompok yang peduli pada bangsa, meski banyak juga yang lain mengerjakan. Alhamdulillah.
Inkonsistensi
Sudah cukup lama saya merasa Islam Liberal penuh kontradiksi. Di satu sisi mereka menuduh kelompok radikal sebagai literalis, namun di sisi lain justru mereka yang literalis saat menyalahkan ide negara yang konon tidak ada dalilnya di Qur’an.
Di satu sisi mereka menolak RUU APP dengan alasan memasuki ranah privat (padahal yang ingin dilarang adalah ketelanjangan di tempat publik), tetapi di sisi lain mereka mendukung UU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga – padahal ranahnya lebih privat.
Kesimpulan saya sementara, menjadi liberal itu sangat mudah. Kita tinggal konsisten pada satu hal saja, yaitu: inkonsistensi. Ibarat main bola, liberalisme adalah terjun ke piala dunia sambil terus menerus merubah aturan permainan, juga letak gawang dan besar lapangan.
Tak heran, jutaan orang yang hingga beberapa tahun yang lalu merasa tercerahkan dengan Islam liberal – mungkin termasuk saya – merasa mengalami “kelelahan spiritual” yang serius. Islam liberal tidak memuaskan secara intelektual maupun menenangkan secara emosional-spiritual. Maka tak heran juga, bila sekarang ini justru di kalangan kelas menengah ke atas, kajian-kajian Islam non liberal laku keras. Orang mencari lagi spiritualitas yang mendukung etos kerja, atau tasawuf yang membangkitkan. Bukan liberalisme yang berserah diri pada penjajah.
Mainstream Islam negeri ini adalah kembali kepada “Islam tanpa kata sifat”. Dari Kongres Umat Islam Indonesia 2005, Fatwa MUI, Munas NU dan Muktamar Muhammadiyah, semua mengikuti trend itu. Apakah dengan itu berarti ada radikalisasi Islam di Indonesia?
Jika hal ini akan membuat kita lebih cepat menuju terciptanya masyarakat yang adil, makmur, bermartabat dan benar-benar merdeka, apa salahnya?
dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 21 Juni 2006.
oleh Dr Ing Fahmi Amhar
PEKAN pertama gempa di Yogyakarta tempo hari, banyak korban mengeluhkan bahwa “pemerintah adanya seperti tidak ada”. Meski bantuan masyarakat cepat mengalir dari segala penjuru tanah air, namun bantuan itu seakan tertumpuk di beberapa instansi, sementara korban yang datang minta bantuan dihadapkan pada birokrasi yang berbelit. Agak aneh juga, sepertinya aparat tidak tahu bahwa di banyak tempat, seluruh rumah rata dengan tanah, termasuk rumah Pak RT, Pak RW atau Pak Kades sendiri.
Di Porong Sidoarjo, kejadian seperti ini terulang. Meski lumpur panas yang bercampur gas racun asam sulfida (H2S) dan mengandung phenol sudah keluar sejak beberapa minggu yang lalu, perhatian elite negeri ini justru ke soal ormas-ormas Islam radikal yang konon suka anarkhis, termasuk ‘anarkhis pemikiran’, sehingga membahayakan Pancasila dan NKRI. Padahal sejak Soeharto lengser delapan tahun lalu, sepertinya rakyat sudah kurang tertarik lagi pada tema ‘awang-awang’ yang jarang ada contoh dan kenyataannya seperti itu. Bagi mereka, solusi riil masalah sehari-hari jauh lebih mendesak. Termasuk pertolongan untuk ribuan orang di Sidoarjo yang sawah atau pabriknya terendam lumpur sehingga masa depan mereka tidak menentu.
Rupanya di kalangan birokrasi, kebiasaan proaktif ini masih langka. Padahal menurut Stephen Covey dalam buku yang bestseller dunia, ‘The Seven Habits of Highly Efective People’, proaktif adalah kebiasaan pertama yang harus dibangun sebelum kebiasaan-kebiasaan yang lain. Proaktif adalah pilihan seseorang, apakah dia akan menyerah pada kondisi eksternal yang tidak dia kuasai (takdir), atau dia berbuat maksimal dalam peluang-peluang yang masih tersisa baginya.
Andaikata pemerintah kita proaktif, begitu gempa besar terjadi, akan segera dia kerahkan TNI untuk membantu mengatasi keadaan. Lupakan sementara soal dwifungsi TNI. Bagaimanapun juga, di negeri ini TNI adalah organisasi yang paling rapi, berfasilitas terlengkap serta amat terlatih menghadapi situasi darurat seperti perang, dan ini bisa dimanfaatkan untuk mengatasi bencana.
Andai pemerintah kita proaktif, begitu Pemkab Sidoarjo tidak sanggup mengatasi lumpur panas dalam 3×24 jam, semestinya tanggungjawab itu langsung diambil alih pemprop dan begitu pemprop juga tidak bisa mengatasi dalam 3×24 jam, pemerintah pusat segera ambil alih. Mereka tidak perlu menunggu laporan berulang di media massa – yang itupun kadang masih dikilah, “Belum dapat laporan resmi”. Mereka juga tidak perlu menunggu ada konflik horizontal antar-warga yang saling berebut tanggul. Kalau mereka dalam 3×24 jam juga tak sanggup mengatasi keadaan, mereka wajib segera memanggil ahli-ahli perminyakan dunia yang biasa mengatasi semburan liar. Semburan liar, apakah itu minyak mentah atau gas, bukanlah barang baru di dunia perminyakan. Retakan bumi bisa saja membuat suatu pengeboran berantakan. Tentu saja PT Lapindo Brantas tidak sengaja membuat keonaran ini. Dia hanya berada di tempat yang salah pada saat yang salah dan bereaksi salah. Mestinya, setiap perusahaan yang diberi izin eksploitasi migas, memang sudah teruji memiliki pengetahuan dan fasilitas untuk menghadapi kondisi terburuk, termasuk semburan liar. Ini yang harus diteliti oleh BP Migas, KLH beserta kepolisian. Jadi jangan cuma mau enaknya saja dikasih ‘sumur emas hitam’.
Andaikata pemerintah kita proaktif, isu-isu semacam ini tidak perlu baru dibahas setelah bencana di pelupuk mata. Dia harus diantisipasi jauh-jauh hari. Itu saat ketika para peneliti berseminar ilmiah. Itu juga saatnya mereka sharing data, tanpa menunggu diminta. Apalagi bila itu data milik publik, yang pengadaannya dibiayai pajak. Data BMG, BPS, Bakosurtanal, LAPAN, LIPI, Geologi, dan sebagainya, itu sebaiknya tidak dianggap Rahasia Negara atau Rahasia Instansi. Itu data milik publik. Dengan teknologi internet sekarang ini, menyajikan data itu kepada publik sebenarnya sangat sederhana, bahkan kalau — maaf — belum dianggarkan sewa host sendiri, bisa nebeng pada situs-situs blog gratis yang daya tampungnya Giga Bytes, jadi tidak perlu biaya tinggi. Asal ada niat. Asal proaktif.
Dan andaikata kita semua – rakyat ini – proaktif, kita tentu tidak cuma bisa berdiam diri sambil mengumpat pemerintah. Kita bisa terlibat dalam aksi-aksi sosial – yang karena keterbatasan kita tentunya hanya sementara – dan kita juga bisa ‘ngithik-ithiki’ agar para pejabat pemerintah ikut proaktif. Kalau mereka tidak berani karena katanya “itu wewenang pejabat di atasnya”, kita bisa cross-check apa betul tafsiran mereka itu. Jangan-jangan hanya karena mereka malas, emoh proaktif. Kalau memang ada aturan yang keliru, ini bisa kita gugat, kita bikin clash action, kita bawa ke Mahkamah Agung atau ke Mahkamah Konstitusi, dan kita libatkan media. Di era reformasi ini sudah banyak yang seperti ini yang berhasil.
Proaktif adalah kebiasaan dalam diri kita. Tepatlah, kalau Allah berfirman “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Qs 13 – Ar Ra’ad:11).