Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘SosPol’ Category

SISTEM LEVEL APA YANG INGIN DIGANTI? — Ganti Orang Ganti Sistem

Tuesday, April 24th, 2012

SISTEM LEVEL APA YANG INGIN DIGANTI?

Banyak kalangan menilai bahwa berbagai kemunduran dan kerusakan di negeri ini sudah sangat sistemik.  Oleh karena itu tidak cukup hanya ganti orang, tetapi juga ganti sistem.  Persoalannya, kalau didesak, sistem yang bagaimana atau pada level yang mana yang ingin diganti, banyak yang masih celingukan …

Soalnya, ganti orang terkadang otomatis ganti sistem.  Bukankah yang menentukan itu pada akhirnya juga orang?  Istilah kerennya “Not the gun but the man behind the gun” ?   Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya ingin sekedar me-refresh beberapa pengertian sistem dan leveling sebuah sistem itu.

Sesuatu disebut SISTEM kalau ia merupakan “is a set of interacting or interdependent components forming an integrated whole”.  Karena itu sebuah sistem itu (1) memiliki struktur yang terdiri dari komponennya, (2) memiliki pola perilaku (behavior) yang mengolah suatu input menjadi output tertentu secara konsisten, (3) memiliki interkonektifitas bagaimana bagian-bagian sistem saling berhubungan, dan (4) mungkin memiliki beberapa fungsi atau kelompok fungsi.

Dengan pengamatan yang serius, dalam kehidupan ini ternyata dapat diidentifikasi 5 jenis level sistem:

1. Level Praktis – yakni sistem di tataran pelaksana.  Pada umumnya ini cukup lokal.  Misalnya, seorang Kepala Sekolah membuat aturan – kadang tidak tertulis – misalnya seluruh siswa wajib memakai seragam batik tiap Jum’at, atau seluruh siswa wajib menabung di sekolah, atau ada iuran untuk pengadaan AC, atau siswa yang terlambat kena denda Rp. 1000/menit, dsb.  Sebaik apapun tujuannya, semua ini akan berakibat sistemik tetapi hanya pada siswa di sekolah itu.  Kalau ada siswa yang keberatan karena berbagai alasan, mereka pantas protes ke Kepala Sekolah.  Kalau Kepala Sekolah ngeyel, lalu orang tua siswa yang berpengaruh lapor ke Dinas, lalu sang Kepala Sekolah dimutasi, dan Kepala Sekolah penggantinya mencabut beberapa aturan itu, maka dampak sistemik itu juga akan berubah.

2. Level Mekanis – yakni sistem yang sudah dimekaniskan.  Pintu lintasan kereta api atau mesin ATM adalah contoh sistem yang sudah dibuat mekanis.  Pengguna jalan atau pemilik rekening mau tidak mau wajib tunduk.  Sekalipun ada pengguna jalan yang tergesa-gesa untuk suatu persoalan kemanusiaan yang urgen, dia tidak bisa menerobos palang pintu kereta api.  Demikian juga, sekalipun pemilik rekening punya uang 1 Milyar, tetapi kalau quota menarik uang dari ATM dibatasi Rp. 10 juta perhari, ya hanya segitu saja yang bisa dia tarik, tidak ada toleransi.  Untuk mengubah sistem di level mekanis ya harus ke otoritas yang memprogramnya/mengoperasikannya.

3. Level teknis – yakni sistem tatacara kerja yang sudah dibuat prosedur operasional baku (Standard Operating Procedure, SOP).  Misalnya SOP pembukaan rekening bank – yang di bank konvensional pasti akan diberikan bunga.  Atau SOP penerimaan mahasiswa PTN – yang calon mahasiswa akan dikenakan uang pangkal sesuai tingkat penghasilan orang tuanya.  SOP ini sebagian juga dimekaniskan (seperti dalam kasus rekening Bank), tetapi sebagian tidak, sehingga bisa dimainkan.  Namun yang jelas sistem level teknis hanya bisa diubah oleh otoritas yang berwenang, dalam kasus tadi Pimpinan Bank atau Pimpinan PTN ybs.

4. Level juridis – Keberadaan sistem teknis kadang-kadang karena dipayungi atau bahkan diperintahkan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.  Misalnya, Peraturan Bank Indonesia atau UU Perbankan, atau UU Sistem Pendidikan Nasional.  UU Perbankan mengijinkan bank dengan sistem bunga atau sistem syariah (dual-system).  UU Sisdiknas mendorong peran serta masyarakat dalam pendidikan, yang diterjemahkan dengan kebolehan membuat sekolah swasta, atau kebolehan sekolah negari menarik iuran dari peserta pendidikan dengan sepersetujuan komite sekolah.  Andaikata peraturan perundang-undangan ini tidak membuka keran sistem bunga, atau keran iuran, ya pasti sistem pada level teknisnya tidak mungkin ada — walaupun mungkin akan muncul persoalan lain, misalnya tidak ada lagi orang mau nyimpan uang di Bank, atau mutu sekolah menjadi merosot sekali …  Apapun yang terjadi, level juridis ini biasanya diputuskan tidak oleh satu pihak tetapi banyak pihak, misalnya DPR bersama Pemerintah (Presiden beserta Kabinet).

5. Level politis – Perundang-undangan apapun tergantung pada sistem politis sebuah negara.  Yang dimaksud misalnya konstruksi NKRI, UU45 berikut seluruh amandemennya, adanya lembaga-lembaga seperti DPR, Presiden, MK, BPK dll berikut kewenangannya, juga eksistensi partai-partai politik.  Mengapa Presiden bisa terkunci oleh DPR meski dia dipilih langsung, ini semua adalah sistem di level politis.  Hasilnya tidak bisa langsung ke level praktis, karena pasti melalui juridis, teknis, mekanis dan praktis.  Tetapi jelas level politis ini sangat strategis, dan untuk mengubahnya juga tidak sederhana.  Di Indonesia yang bisa mengubah sistem politis hanya MPR, itupun setelah melalui proses politik yang panjang dan melelahkan.

Di atas level politis ini ada 3 suprasistem lagi, yaitu:

6. Level akademis – Kebijakan politis perlu dasar (atau pembenaran) secara akademis, demikian juga pembuatan hukum (juridis).  Maka di level akademis ini, sebuah sistem juga harus “lulus”, kalau dia ingin legitimate & sustain dalam jangka panjang.  Untuk mengganti sistem di level akademis ini berarti kita harus mengganti akademisinya (kalau punya stock :-)), atau kita mengganti isi otak para akademisi yang sudah ada, dengan cara diskusi yang juga sangat melelahkan –  dan karena itu tidak mudah!  Revolusi di berbagai negara biasa didahului dengan perdebatan akademis puluhan tahun.

7. Level ideologis – Level akademis, apalagi dalam persoalan politik-ekonomi-hukum, sangat tergantung pada ideologi yang mendasarinya.  Apakah ideologisnya condong ke kapitalis, sosialis, atau campuran, atau bukan semuanya?  Kalau sistem ini tidak jelas ideologinya, maka ia akan sangat labil.  Untuk mengubah sistem di level ideologi, mirip seperti di level akademis, yakni mengubah para ideolog, yakni tokoh-tokoh yang paling gencar meyakini, mendukung dan mengemban sebuah ideologi.  Mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam politik atau intelektual, yang faktanya diikuti oleh banyak orang, termasuk para pemegang kekuasaan.

8. Level filosofis – Level ideologis ini hanya akan dipegang oleh orang-orang yang memiliki idealisme.  Jadi ujung-ujungnya memang kembali ke orang lagi.  Tetapi di sini yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki pengaruh besar, bisa pemimpin politik atau “guru bangsa”.  Repotnya, pada level ini ada juga tokoh-tokoh yang sebenarnya miskin idealisme, tetapi bekerja karena kepentingan (interest) atau tekanan (intrik).  Untuk dua jenis mahluk terakhir ini kita tidak ada gunanya bicara ideologi, tetapi harus kita tanamkan dulu kepada mereka keimanan, iman pada akherat, iman kepada qadha & qadar, rejeki dan ajal.  Tentu saja pada para idealist, tetapi ideologinya masih sekuler, kita juga wajib menyampaikan jalan menuju keimanan pada mereka.

Jadi, mari jangan loncat logika … ketika ada jalan rusak, atau sekolah reyot, kita langsung ingin mengganti sistem di level yang tertinggi … jangan-jangan itu cukup level praktis saja, karena Kepala Dinas PU atau Kepala Sekolahnya malas atau korup.

Salam.

Minyak Tetap Milik Rakyat

Friday, March 2nd, 2012

wawancara Eksklusif dengan Dr.-Ing. Fahmi Amhar
(Ketua Lajnah Maslahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia 2008-2009)
sumber : Majalah Islam Al-wa’ie.No 92TahunVIII 1-30 April2008

Pengantar:

Setiap kali terjadi kenaikan harga, kita diributkan dengan harga BBM. Sebagian pihak menyebut pengelolaan minyak oleh negara yang tidak benar turut andil terhadap mahalnya BBM. Jika ini benar, dimana letak kesalahannya? Lalu bisakah syariah mengatasi persoalan seputar BBM ini? Dr.-Ing. Fahmi Amhar memaparkan pendapatnya seputar masalah di atas berikut ini melalui wawancara dengan Redaksi.

Mengapa setiap kali terjadi kenaikan harga minyak dunia kita selalu diributkan dengan masalah harga BBM?

Begini. Sebagian dari BBM yang kita pakai itu ada yang harus diimpor. Tahun 1990, seluruh sumur minyak di negeri ini mampu menghasilkan 1,46 juta barel minyak mentah perhari, sedangkan konsumsi dalam negeri cuma 0,61 juta barel. Ingat, penduduk kita saat itu baru sekitar 160 juta orang. Kita pernah kecipratan booming minyak dari tahun 1970-an. Makanya kita jadi anggota OPEC, organisasi negara-negara pengekspor minyak.

Lalu banyak sumur-sumur minyak kita yang makin tua, kering, atau mesin-mesinnya tidak efisien lagi sehingga sekarang minyak yang dihasilkan cuma sekitar 920 ribu barel/hari; sedangkan konsumsi dalam negeri, akibat pertumbuhan penduduk dan naiknya tingkat industrialisasi, sudah lebih dari 1,2 juta barel/hari. Tahun 2007 kita memang masih mengekspor minyak mentah sekitar 390 ribu barel/hari, tetapi ini hanya taktik dagang, karena kualitas minyak mentah kita lebih baik, karena yang kita impor lebih besar, yakni 665 ribu barel/hari. Sejak tahun 2004 kita sudah menjadi neto importir. Jadi, sebenarnya memang sudah tidak layak kita ada di dalam OPEC.

Menurut sistem yang dipakai sekarang, sebenarnya SDA, khususnya minyak, itu milik siapa?

Dalam UU yang ada di negeri ini, minyak itu secara filosofis-yuridis tetap milik rakyat, yang secara teknis dikonsesikan kepada para pemegang PSC, dan secara ekonomis dibagihasilkan: PSC sekian, negara sekian. Bagian negara ini yang kemudian didistribusikan oleh Pertamina yang mendapat hak melakukan PSO (Public Service Obligation).

Produksi minyak negeri ini dikelola oleh swasta, kebanyakan swasta asing, dengan skema PSC (Production Sharing Contrac) atau kontrak bagi hasil. Bisa dijelaskan, seperti apa praktiknya?

PSC ini diberikan untuk mencari (explorasi) cadangan hidrokarbon di area tertentu sebelum berproduksi secara komersial. PSC berlaku untuk beberapa tahun, bergantung pada syarat kontrak serta penemuan minyak dan gas dalam jumlah komersial dalam suatu periode tertentu, meskipun pada umumnya periode ini dapat diperpanjang melalui perjanjian antara kontraktor dan BP Migas. Kontraktor pada umumnya diwajibkan untuk menyerahkan kembali prosentase tertentu dari area kontrak pada tanggal tertentu, kecuali jika area tersebut terkait dengan permukaan lapangan tempat minyak dan gas. telah ditemukan.

Mengapa ada sistem ini? Pada awal republik ini kemampuan modal dan teknologi Pertamina masih rendah, padahal minyak dibutuhkan, dan booming minyak di dunia harus dimanfaatkan. Pemerintah lalu mengundang perusahaan minyak asing untuk terjun berinvestasi di Indonesia dengan modal dan risiko mereka sendiri. Reward-nya adalah mereka diberi konsesi bagi hasil.

Lalu apa konsekuensinya terhadap penyediaan dan harga minyak (BBM) untuk rakyat?

Konsekuensinya ada tiga: (1) Jika tim Pemerintah yang melakukan negosiasi tidak benar-benar dapat menaksir potensi kandungan minyak itu dengan akurat sehingga dari awal tidak mampu menghitung porsi bagi hasil yang fair. Walhasil, proporsi bagi hasil dalam kontrak sudah tidak adil dari awal. (2) Sebelum bagi hasil dilaksanakan, PSC mengurangi dulu dengan apa yang disebut biaya pemulihan (cost recovery). Konsepnya, ini adalah biaya real yang dikeluarkan PSC sejak dari explorasi hingga produksi. Namun, bisa saja PSC sangat royal dalam meminta cost-recovery ini. Kita tahulah “standar gaya hidup” di dunia perminyakan. Jadi kesannya, cost recovery ini biasa di di-mark-up. Akibatnya, porsi yang dibagihasilkan otomatis lebih kecil. (3) Berapa angka real produksi hanya diketahui PSC. Negara tidak memiliki akses langsung, walaupun secara teoretis dapat menyewa auditor independen, tapi ini jarang dilakukan. Jadi, angka real produksi ini sebenarnya rawan dimanipulasi.

Lalu apa hubungannya hal itu dengan harga minyak (BBM) yang dibeli oleh rakyat?

Jika minyak untuk konsumsi dalam negeri lebih banyak diimpor maka harganya secara langsung ditentukan oleh pasar dunia. Sekarang ini hampir 275 ribu barel/hari yang kita impor. Kalikan saja dengan harga sekitar 100 US$/barel. 1 barel itu sekitar 150 liter. Jadi, harga minyak mentah itu seliternya sudah 66 sen dolar atau Rp 6000,-. Kalau sudah diolah menjadi BBM tentu harganya akan lebih tinggi.

Sebenarnya kalau yang dihitung dengan harga dunia ini cuma yang diimpor, kenaikan harga untuk total BBM dalam negeri tidak terlalu besar. Kalau kita hitung, biaya mencari, mengambil, mengolah dan mendistribusikan menjadi BBM itu hanya US$ 34/barel (seperti tahun 2004). Itu artinya hanya Rp 2.040,-/liter. Dengan sekitar 1/4 BBM impor berharga pasar dunia, harga BBM mestinya hanya sekitar Rp 3400/liter. Sekarang kan jauh lebih dari itu, karena semua BBM dihargai sesuai dengan pasar dunia dulu, baru kemudian yang dijual ke masyarakat disebut mendapat subsidi.

Bagaimana strategi pricing (penetapan harga) BBM yang dipakai Pemerintah saat ini dan bagaimana konsekuensinya terhadap harga BBM untuk rakyat?

Pemerintah menetapkan harga BBM dengan berbagai pertimbangan. Pertama: acuan harga pasar dunia. Harga ini diterapkan pada kapal-kapal atau pesawat asing yang mengisi BBM di sini. Namun, jika harga di dalam negeri jauh lebih rendah dari pasar dunia maka itu akan memicu penyelundupan. Ini terjadi pada masa lalu ketika ketika masih surplus minyak. Sekeras apapun pengawasan, tetap saja keuntungan dari penyelundupan yang begitu besar memacu kongkalikong para penyelundup dan aparat.

Kedua: acuan kemampuan masyarakat. Pertamina sebagai operator PSO berkewajiban menyediakan BBM dengan harga sama di seluruh SPBU di seluruh Indonesia. Jadi, sejak dulu konsumen di Jakarta, misalnya, membeli BBM lebih mahal daripada biaya produksinya, karena mesti “mensubsidi” konsumen di Jayapura, misalnya.

Ketiga: pertimbangan ekonomi. Sejak kenaikan harga minyak dunia, Pemerintah memberlakukan dua jenis harga: satu harga untuk industri yang mengikuti harga minyak dunia; satu harga untuk rakyat, yang disubsidi. Adanya dua jenis harga di dalam negeri ini juga menimbulkan penyimpangan: BBM untuk rakyat dijual untuk industri.

Lalu bagaimana peran UU Migas dalam hal BBM dan harga jualnya kepada rakyat?

UU no 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi itu dikeluhkan banyak pihak sehingga diadukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam risalah keputusan MK no 002/PUU-I/2003 dapat dibaca bahwa yang diadukan para pemohon mencakup aspek legalitas formal hingga material. Pada sisi material, UU itu dinilai sangat liberal sehingga mengancam pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, mengancam daya saing industri nasional, hingga memunculkan potensi disintegrasi. MK menolak uji formal tetapi mengabulkan sebagian uji material sehingga sebagian pasal-pasal UU itu tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Apakah syariah Islam bisa menyelesaikan problem BBM itu?

Tentu. Memang masih banyak pendetilan yang harus dilakukan. Namun, beberapa hal bisa dijelaskan di sini. Misalnya, ketika syariah menetapkan bahwa minyak adalah kekayaan milik umum. Karena itu, syariah juga menetapkan bahwa industri yang mengelolanya adalah industri milik umum. Namun, karena tidak mungkin industri ini dikelola langsung oleh rakyat, maka negaralah yang berkewajiban untuk mengelolanya. Dengan demikian, negara juga mempunyai kewajiban untuk menyediakan biaya explorasi hingga distribusi.

Jika dana APBN negara tidak cukup untuk membiayai semuanya tadi, maka negara bisa mendorong rakyat yang mampu, khususnya kaum Muslim, untuk berpartisipasi, bisa dengan sistem pinjaman atau pemberian cuma-cuma.

Kasus serupa pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., ketika di Madinah kekurangan pasokan air, dan satu-satunya sumber air yang ada di Madinah dikuasai oleh seorang Yahudi. Nabi saw. menawarkan kepada para Sahabat, “Siapa yang mau membeli sumur untuk memenuhi kebutuhkan kaum Muslim dari tangan Yahudi itu, maka dia mendapatkan imbalan surga?”

Mendengar itu, Utsman ra. segera mengajukan diri. Dibelilah sumur itu. Namun, orang Yahudi tersebut tidak mau menjual sumur tersebut semua-nya, tetapi hanya mau menjual separonya saja. Sehari untuk mereka, sehari untuk kaum Muslim. Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan kaum Muslim, Rasul saw. pun ingin agar sumur tersebut dibeli semua. Kembali lagi Utsman membelinya, meski untuk itu harus dibayar berapapun harganya. Akhirnya, sumur itu pun jatuh ke tangan kaum Muslim, dan problem kekurangan pasokan air itu pun bisa diatasi. Sumur itu hingga kini masih ada di Madinah, yang dikenal dengan Bi’r ‘Utsman.

Syariah juga telah mengajar-kan agar tidak terjadi pemborosan, dengan mekanisme yang unik. Andai saja, pasokan BBM dari dalam negeri kurang, dan harus dibeli dari pasar dunia, kemudian dijual lebih murah dengan subsidi, maka negara juga bisa membuat mekanisme agar distribusinya adil, sehingga masyarakat mampu memenuhi kebutuhannya dengan layak.

Syariah tentang pengembangan iptek juga harus diterapkan, agar umat Islam makin menguasai semua teknologi yang dibutuhkannya, sehingga tidak bergantung pada teknologi yang ditawarkan korporasi asing. Pada abad-21 ini makin tampak bahwa pemilik teknologi akan dapat mendikte pasar dan pada akhirnya mendikte politik. Pada sisi lain, syariah diterapkan agar efisiensi energi dapat dinaikkan, tidak ada pemborosan, sehingga kebutuhan energi dapat ditekan.

Terakhir, syariah untuk mempersatukan seluruh Dunia Islam dalam satu Kekhilafahan harus diterapkan. Jika negeri-negeri Islam penghasil minyak bersatu maka di dalam negeri tidak akan ada kelangkaan BBM. Produksi minyak mentah Dunia Islam tahun 2004 total sekitar 9,2 miliar barel/tahun atau 25 juta barel/hari. Kalau ini dibagi populasi, didapat angka 3,2 liter perorang perhari. Sekadar pembanding, di Indonesia saat ini yang penggunaan energinya belum efisien, konsumsi BBM masih sekitar 0,82 liter perorang perhari.

Ketika syariah diterapkan, bagaimana dengan perusahaan-perusahaan minyak swasta, khususnya asing?

Dengan logika di atas, perusahaan minyak jelas merupakan milik umum, yang dikelola sepenuhnya oleh negara. Hanya perusahaan inilah yang berhak mengelolanya. Tidak boleh ada privatisasi pada sektor ini, baik kepada swasta asing maupun domestik.

Karena itu, langkah yang bisa dilakukan pertama kali, ketika Khilafah berdiri, adalah: semua kontrak dengan pihak swasta dibatalkan. Sebab, semuanya tidak dilakukan berdasarkan ketentuan syariah. Setelah itu, jika negara membutuhkan, negara bisa membuat kebijakan, dalam sektor mana perusahan-perusahaan swasta, khususnya domestik tersebut, bisa beroperasi.

Adapun terkait perusahaan swasta asing, harus dilihat negara asal perusahaan tersebut. Jika negara kafir mu’ahad, maka peluang beroperasinya perusahaan tersebut masih dimungkinkan, selama dianggap tidak mengancam kepentingan negara. Adapun negara kafir harbi sama sekali tidak diizinkan untuk beroperasi.

Seandainya nanti dalam sistem Islam, rakyat harus membayar harga BBM, seperti apa strategi pricing yang sebaiknya digunakan?

Harus dipahami, misi negara adalah melayani kebutuhan rakyat, bukan bisnis ataupun dagang. Jika pandangan seperti ini dimiliki Pemerintah, Pemerintah tidak akan pernah berpikir mencari untung dari penjualan minyak domestik. Kalaupun negara harus menetukan harga, maka ketentuan tersebut dipatok sesuai dengan biaya yang dikeluarkan hingga minyak tersebut sampai ke tangan mereka.

Alternatif kedua, bisa saja negara menetapkan harga lebih dari biaya yang telah dikeluarkan sebagai sumber pendapatan negara, agar bisa membiayai pembangunan fasilitan umum, dan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat yang lainnya; baik kebutuhan pribadi, seperti sandang, papan dan pangan, maupun kebutuhan sosial, seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan. Dengan begitu, negara mempunyai cukup dana untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya.

Kalaulah alternatif kedua ini ditempuh, dan tentu dengan tingkat akuntabilitas negara yang tinggi, maka saya kira masyarakat tidak akan merasa dizalimi. []

Audit Komprehensif Era Khilafah

Saturday, January 28th, 2012

Dr. Fahmi Amhar

Pemerintah SBY jilid II ini konon meletakkan Reformasi Birokrasi sebagai prioritas pertama program-programnya.  Ini karena aparat birokrasi pemerintahan adalah ujung tombak jalan tidaknya semua kebijakan politik.  Mungkin orang sudah capai dengan janji-janji, apalagi terkait pemberantasan korupsi dan pengentasan kemiskinan.  Birokrasi yang tidak proaktif jemput bola melayani rakyat, tidak transparan cara kerjanya serta tidak terukur prestasinya, menjadi sandungan yang serius bagi suatu negara, siapapun pemimpinnya, apapun ideologinya.

Seorang pemimpin – apalagi pemimpin tertinggi sebuah negara – memiliki tugas mulia untuk memberi arah yang jelas bagi birokrasi di bawahnya, mengoptimasi segala sumberdayanya (dan negara adalah pemilik terbesar sumberdaya, baik itu SDM, organisasi, alat, asset maupun keuangan), menerapkan SOP sekaligus memberi teladan, hingga mengawasi bahwa semua berjalan “on the track”.  Tugas terakhir itu adalah tugas pengawasan (audit).  Yang diaudit tentu saja cukup komprehensif, yaitu mutu layanan, biaya layanan (agar tidak mahal atau boros) dan kecepatan layanan (agar rakyat tak hilang kepercayaan yang biasa terjadi bila layanan tidak memuaskan).

Ternyata tugas terakhir ini sangat penting, sebab ini mirip muara sebuah “sungai birokrasi”.  Dunia industri sepertinya bahkan sudah “mengenali” lebih awal dengan menerapkan standar ISO-9000 untuk manajemen mutu.  Banyak juga peneliti yang lalu usul agar reformasi birokrasi mengacu juga ke ISO-9000.

Apakah orang percaya, bahwa sebuah negara dapat bertahan berabad-abad tanpa pengawasan yang baik?  Tentu tidak.  Demikian juga dengan Daulah Khilafah yang pernah jaya berabad-abad.

Kalau kita meneliti fragmen-fragmen sejarah, ternyata audit sudah dikerjakan oleh Rasulullah sendiri.  Sebelum mengangkat para pejabatnya, Rasulullah pernah menguji sejauh mana hafalan Qur’an mereka.  Kandidat yang hafal surat Al-Baqarah dan Ali-Imran mendapat score lebih tinggi, mungkin karena kedua surat ini sarat berisi hukum, sehingga ada jaminan bahwa pejabat tersebut mengerti benar “SOP” yang akan diterapkannya.  Nabi juga pernah mengaudit kualitas tepung di pasar.  Ternyata tepung itu kering di atas, tetapi basah di bawah.  Dan itu menurut Nabi bisa jatuh ke delik penipuan konsumen.

Abu Bakar juga mengaudit sendiri pelaksanaan syariat zakat.  Dan ketika ada suatu kaum berkilah untuk menolak membayar zakat, Abu Bakar menindaknya dengan tegas.  Umar bin Khattab lebih ketat lagi dalam soal pengawasan.  Dia sering menyamar lalu berkeliling negeri melihat apakah masih ada warga yang belum terlayani aparat birokrasinya.  Umar juga kadang-kadang menguji integritas seseorang dengan pura-pura mengajak kolusi, seperti ketika beliau pura-pura ingin membeli domba dari seorang gembala.  Dan dia juga benar-benar menghitung harta seluruh pejabatnya di awal dan akhir periode jabatannya.  Setiap kelebihan yang tidak bisa dijelaskan secara syar’i, akan disita.  Umar bahkan memberi sanksi pada seorang gubernur Mesir, ketika anak si gubernur menzhalimi rakyat kecil.  Alasan Umar: si anak ini tidak berani zhalim bila ayahnya bukan pejabat, dan sayang ayahnya ini tidak mengawasi anaknya.

Khilafah juga menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat, sehingga rakyat yang cerdas akan selalu mengawasi penguasa.  Sejak masa Khulafaur Rasyidin, para sahabat tak pernah canggung dan takut mengkritik para Khalifah.  Umar yang terkenal kesederhanaan dan keadilannya pun tak luput dari sikap kritis sahabat yang tak mau mendengarnya sebelum menjelaskan, darimana bajunya yang tampak lebih panjang dari rata-rata.  Sampai Umar menjelaskan, bahwa bajunya disambung dengan milik anaknya, yang dikasihkan kepadanya.

Pada masa selanjutnya, audit seperti ini tidak lagi sekedar mengandalkan intuisi seorang pemimpin, tetapi sudah melibatkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, serta diterapkan di hampir semua bidang pelayanan publik.

Mungkin cabang ilmu yang paling cepat dipakai untuk audit adalah matematika.  Kitab al-Jabar wal Muqobalah dari al-Khawarizmi (780-850 M), bukanlah buku ilmiah yang berat, tetapi buku praktis bagi banyak orang.  Pedagang, petani, staf baitul maal, bahkan para hakim bisa dengan cepat menguji hitung-hitungannya menggunakan cara yang terjamin akurasinya.  Lahirlah cikal bakal akuntansi.  Maka pedagang bisa dengan cepat mengaudit para pegawainya yang bertransaksi di Syams atau Yaman.  Petani bisa mengaudit klaim penggunaan air atau pupuk.  Staf baitul maal lebih mudah menguji proposal pembagian zakat dari suatu kaum.  Dan para hakim bisa cepat menghitung waris secara adil.

Cabang ilmu kedua yang terpakai untuk audit adalah geografi.  Peta-peta yang mulai mendapatkan bentuk standar sejak masa Ahmed ibn Sahl al-Balkhi (850-934 M), Abu Rayhan al-Biruni (973-1048 M), Muhammad al-Idrisi (1100–1165 M) dan seterusnya, memudahkan para kepala daerah untuk mengawasi perkembangan wilayah di daerahnya.  Posisi, distribusi dan kondisi wilayah yang dihuni lebih mudah dilihat, sehingga berapa jumlah aparat yang ditempatkan, hingga berapa jumlah zakat yang dapat ditarik, lebih mudah diperkirakan dengan akurat.

Cabang ketiga, mungkin ilmu kimia.  Sejak Jabir ibn Hayyan (715-815 M) memperkenalkan metode ilmiah dalam percobaan material, menjadi semakin mudah bagi para pandai besi untuk menguji kemurnian logam mulia, atau bagi insinyur sipil untuk menguji apakah semen yang dipakai untuk membangun jembatan memang pada kualitas kekuatan yang ditetapkan.  Metode analisis dalam ilmu kimia juga berguna untuk mengetahui apakah sebuah makanan memiliki resiko kesehatan, atau apakah sebuah lahan layak ditanami tanaman tertentu, atau cocok untuk dibangun hunian atau bahkan rumah sakit.

Tidak cuma prosesnya.  Sumber Daya Manusianyapun diuji untuk menjamin kualitas layanan.  Di bidang kesehatan, para tabib di masa khalifah Harun al-Rasyid secara teratur diuji kompetensinya.  Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya.  Mereka juga harus membuat rekam medis, sehingga setiap ada kejadian yang serius bisa dilacak bagaimana awal mulanya.

Bahkan pada saat peperangan, beberapa panglima muslim mengaudit sendiri kualitas persenjataan serta kesiapan pasukan.  Sebelum merebut Konstantinopel, Sultan Mehmet II yang kemudian bergelar al-Fatih bahkan menanyai langsung intensitas dan kualitas ibadah anggota pasukannya, karena Rasulullah telah mengatakan bahwa Allah hanya akan membuka kota itu bagi pasukan yang terbaik – tentu tidak hanya yang terbaik senjata fisiknya, tetapi juga kualitas spiritualnya.

Ilmuwan Kimia mengaudit mutu barang di lab