Ini adalah sebuah pertanyaan klasik yang ditujukan kepada aktivis gerakan dakwah yang dalam setiap kesempatan selalu bicara yang terkait politik: Mengapa tidak bergabung dengan parpol saja, lalu masuk parlemen?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 5 hal yang harus diluruskan:
1. Tentang POLITIK.
Bagi sebagian besar orang, politik adalah permainan kekuasaan. Oleh karena itu, tempatnya adalah di Parpol, Parlemen, atau di Pemerintah, bukan di masjid! apalagi di jalanan!
Sayangnya mereka keliru!
Sholat memang sebuah ibadah. Masjid juga tempat ibadah. Tetapi melakukan upaya agar semua muslim bisa sholat pada waktunya, agar masjid juga tersedia dalam jumlah, kapasitas dan kualitas yang cukup di tempat-tempat publik (terminal, mall, kantor pemerintah), maka itu adalah aktivitas politik! Aktivitas politik adalah fardhu kifayah. Dan jumlah fardhu kifayah itu bila dihitung-hitung, sesungguhnya melebihi jumlah fardhu ain. Termasuk fardhu kifayah adalah mengupayakan adanya air bersih, ada listrik, ada jalan, ada sekolah, ada fasilitas kesehatan, ada pengelolaan sampah, ada sarana transportasi publik, ada petugas keamanan, ada layanan informasi kesempatan kerja, dsb. Dan mengupayakan itu semua adalah aktivitas politik!
2. Tentang ORGANISASI POLITIK.
Bagi sebagian besar orang, partai politik adalah satu-satunya kendaraan untuk aktivitas politik. Itu benar manakala yang dimaksud adalah untuk mendudukkan orang-orang di Parlemen atau Kekuasaan secara legitimate (LEGITIMASI politik). Tetapi fungsi dari parpol menurut teori seharusnya tidak cuma itu, tetapi juga EDUKASI politik, ADVOKASI politik, AGREGASI politik, dan REPRESENTASI politik. Rakyat perlu diedukasi agar tahu hak-hak dan kewajiban mereka dalam bermasyarakat dan bernegara. Bila mereka dizalimi, atau dalam posisi lemah berhadapan dengan pihak yang lebih kuat ataupun penguasa, maka harus ada advokasi bagi mereka. Oleh karena itu mereka harus dapat dikumpulkan (diagregasi) dengan suatu platform dan tujuan yang sama. Dan karena itulah, mereka dapat menunjuk seorang atau beberapa wakil yang representatif untuk mewakili mereka. Ini adalah fungsi-fungsi organisasi politik. Kalau melihat fungsi-fungsi ini, maka aktivitas politik ternyata juga bisa dilakukan dalam skala kecil oleh sebuah LSM, atau dalam skala yang lebih besar oleh Ormas. Ormas itu bisa berbasis profesi (seperti Ikatan Dokter Indonesia), berbasis kepemudaan (seperti KNPI), ataupun berbasis agama (seperti HTI). Anehnya, justru parpol-parpol di Indonesia saat ini hanya eksis menjelang agenda legitimasi politik (yaitu pemilu), dan mereka nyaris abai terhadap 4 aktivitas yang lain (edukasi, advokasi, agregasi dan representasi). Akibatnya, mereka jadi bahan banyolan dari rakyat di bawah.
3. Tentang DEMOKRASI
Bagi sebagian besar orang, demokrasi hanyalah pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil. Ini sebenarnya hanya demokrasi prosedural. Hakekat demokrasi bukan itu, tetapi “kedaulatan bersumber dari [keinginan] rakyat”. Kalau rakyatnya senang minum bir seperti di Jerman, keluarlah UU yang melegalkan produksi dan peredaran miras. Kalau rakyatnya mentolerir narkoba seperti di Belanda, keluarlah UU yang melegalkan narkoba secara terbatas. Kalau rakyatnya menganggap pernikahan sejenis itu bukan masalah seperti di Swedia, keluarlah UU yang melegalkan pernikahan sejenis. Dan kalau rakyatnya setuju untuk menyerbu negara lain seperti di AS (dengan agresinya ke Irak dan Afghanistan), maka keluarlah UU-APBN yang membiayai serbuan itu, serta terpilihnya kembali presiden yang menginginkan agresi. Jadi, demokrasi tidak bisa mencegah malapetaka seperti ini. Kalau persoalannya bersumber dari tingkat kesadaran masyarakat, dan orang diminta optimis, bahwa bila masyarakatnya terdidik secara islami, maka mustahil demokrasi akan menghasilkan keputusan UU yang fatal seperti itu, maka berarti lebih tepat kita berjuang untuk memberi penyadaran masyarakat, bukan berjuang untuk bertarung di pentas demokrasi! Tanpa didahului dengan upaya penyadaran masyarakat, maka proses demokrasi di negeri-negeri Islam tidak akan menjadikan Islam sebagai pemenang. Bahkan di negeri yang Islam menang pun, kalau militernya belum sadar, militer masih bisa mengintervensi demokrasi. Partai FIS di Aljazair, meraih 88% kursi dalam pemilu 1992, tapi lantas militer membatalkan pemilu. Partai Refah di Turki, meraih mayoritas suara dan ketuanya (Erbakan) menjadi Perdana Menteri, tapi tak lama kemudian militer mengkudetanya dengan tuduhan membahayakan konstitusi sekuler, sekalipun Erbakan ketika dilantik sudah bersumpah akan membela konstitusi Turki yang sekuler. Dan Partai Hamas di Palestina yang menang pemilu, juga akhirnya hanya dapat berkuasa di sebagian kecil wilayah Palestina yang merupakan basis massa pendukungnya. Jadi terus jalan apa yang bisa dilakukan untuk melakukan perubahan?
4. Tentang PERUBAHAN
Bagi sebagian besar orang, perubahan otomatis akan terjadi ketika seseorang yang shaleh terpilih menjadi penguasa. Mereka menyangka, masyarakat hanyalah kumpulan dari individu-individu. Jadi ketika individu-individu itu sholeh, otomatis masyarakatnya akan sholeh. Mereka keliru!
Sebuah gedung terdiri dari batu, besi, semen, kayu dan kaca. Tetapi kumpulan itu semua tidak otomatis menjadi gedung. Bahan bangunan itu perlu ditata atau diatur dengan suatu pola sedemikian rupa agar menjadi gedung.
Demikian juga masyarakat. Kumpulan orang sholeh itu perlu ditata dan diatur agar menjadi sebuah masyarakat yang sholeh. Mereka ditata dengan suatu pemikiran dan perasaan kolektif (atau kita sebut opini umum atau KULTUR), dan diatur dengan suatu peraturan yang disepakati (atau kita sebut STRUKTUR). Kultur dan Struktur ini bersama-sama disebut SISTEM. Perubahan kultural dilakukan melalui aksi-aksi pembentukan opini, sedang perubahan struktural dilakukan melalui kontak-kontak kepada tokoh-tokoh kunci masyarakat. Kalau kedua hal ini bisa berjalan seiring, maka perubahan itu pasti akan terjadi. Tapi kongkritnya bagaimana?
5. Tentang CONTOH KONKRIT
Tidak usah jauh-jauh menyebut contoh dari Eropa Timur (jatuhnya Komunisme) atau Afrika Selatan (tumbangnya rezim Apartheid), di Indonesia tahun 1998 Soeharto amat sangat berkuasa. Pemilu pun menghasilkan “konsensus nasional” di MPR yang melanggengkan kekuasaan Soeharto. Tapi dua bulan kemudian, opini publik di akar rumput berbalik mendesak Soeharto turun. Sementara itu para tokoh kunci kekuasaan (Pimpinan DPR/MPR, Pimpinan TNI, Para Menteri) pun akhirnya mengamini desakan itu, atau netral, atau menolak bekerjasama dengan Soeharto lagi. Jadilah Soeharto lengser. Hanya saja, people-power seperti ini terbukti kemudian tidak solid, karena common-enemy mereka hanya person Soeharto. Selanjutnya dalam agenda reformasi, ternyata mereka tidak fokus, pijakannya tidak sama, serta kepentingan lain-lain.
Tetapi bisa kita bayangkan, bahwa suatu hari nanti, setelah kondisi ekonomi makin buruk, sementara panutan pemerintah ini yaitu AS & Eropa juga makin hancur terkena krisis ekonomi global yang akhirnya juga menyeret Jepang, Cina dan India, maka suatu hari Presiden meminta para tokoh nasional untuk berkumpul. Mereka terdiri dari para Pimpinan TNI, para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara (MA, MK, DPR, DPD), para Menteri strategis, Gubernur BI, Jaksa Agung, Ketua KPK, para pimpinan Parpol, Tokoh Intelektual, Tokoh Agama, Tokoh Pengusaha, Tokoh Media dll.
Presiden lalu curhat, “Saya kemarin saat kunjungan ke Amerika bertemu seorang pengusaha kelas dunia. Kami berdiskusi, dan saya terkejut ketika dia bilang bahwa ekonomi Amerika ini tak lama lagi akan tenggelam. Dia menyarankan agar kita menengok pada jalan alternatif. Dan tadi malam, saya bermimpi bertemu almarhum eyang saya, seorang Kyai Kharismatis di masa Perjuangan Kemerdekaan dulu. Dia menasehati saya agar menegakkan syariat Islam di negeri ini, karena itu adalah amanat perjuangan kemerdekaan, ini kalau kita tidak ingin kapal Indonesia ini ikut tenggelam, sementara saya sekarang nakhodanya. Bagaimana pendapat Saudara-saudara?”
Maka tokoh paling senior di forum itu, yang kebetulan menjabat Ketua MPR mengatakan, “Saudara Presiden, akhir-akhir ini saya melihat bahwa yang disuarakan oleh gerakan-gerakan syariah dan khilafah sejak tahun 2000 itu barangkali benar. Persoalannya, kita selama ini terlalu angkuh dengan kedudukan kita. Dan perlu Saudara Presiden ketahui, di akar rumput partai saya, yang meskipun sebuah partai nasionalis dan demokratis, semakin hari saya rasakan semakin banyak yang mendesak agar elit partai mendukung penerapan syariah & khilafah. Saya jadi memberanikan diri untuk bertanya kepada Ketua MUI, Ketua Muhammadiyah, Ketua NU dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, apa benar kalau kita terapkan syariah dan khilafah itu nilai-nilai luhur Pancasila akan lebih mudah terwujud?”
Ternyata 4 orang yang ditanya itu semua menganggunk-angguk tanda setuju.
Seorang tokoh media yang paling berpengaruh bicara, “Sebenarnya selama ini memang aktivitas gerakan syariah dan khilafah makin luas mendapat dukungan. Mereka bergerak di tataran akademis maupun di tengah masyarakat. Jumlah pendukung aksi pro syariah di jalan-jalan mencapai puluhan ribu orang di hampir 500 kota di Indonesia. Tetapi kami kalangan media memang selama ini kurang menayangkan karena jarang ada insiden di aksi-aksi itu. Tidak ada news”.
Gubernur BI menambahi, “Saya kemarin diskusi panjang dengan ajudan saya yang ternyata sangat cerdas, dan saya kini semakin yakin bahwa dengan sistem moneter syariah kita tidak perlu repot lagi menjaga nilai tukar mata uang ataupun menghitung nilai suku bunga yang tepat”.
Ketua KPK menimpali, “Saya juga berapa waktu yang lalu diyakinkan dalam diskusi terbatas bidang hukum bahwa dengan sistem syariah yang komprehensif maka pencegahan dan penindakan korupsi akan jauh lebih efektif”.
Tiba-tiba Panglima TNI angkat bicara, dengan suaranya yang khas, berat dan berwibawa, “Saudara Presiden, saya yakin, kalau Saudara, dengan sepersetujuan MPR, sepakat agar kita mengubah tata negara kita menjadi Negara Khilafah dan menerapkan syariat Islam di dalam dan di luar negeri, saya yakin, kemampuan kita dalam menjaga kedaulatan NKRI akan makin meningkat, bahkan mungkin, beberapa wilayah kita yang telah lepas seperti Timor-Leste, atau selama ini terancam separatis seperti Aceh dan Papua, akan justru menjadi yang pertama mendukung Negara Khilafah itu. Oleh karena itu, kami pimpinan TNI – dan saya yakin juga Saudara Kapolri – akan siap berbaiat kepada Saudara sebagai Khalifah, dan kami siap membela Anda dalam menerapkan syariat Islam, lebih dari membela anak dan istri kami sendiri”.
Semua terkesiap. Tetapi seorang tokoh PGI (Persatuan Gereja Indonesia) yang hadir menimpali, “Kami warga Kristen, termasuk yang di Indonesia Timur, sebenarnya selama ini banyak berinteraksi dengan gerakan pro syariah khilafah itu, dan sudah hilang keraguan kami, bahwa penerapan syariah itu justru akan melindungi kami dari aksi-aksi anarkis seperti selama ini”.
Seorang tokoh pengusaha nasional nyeletuk, “Kami para pengusaha nasional, juga yakin, bahwa kekuatan industri kita, sumberdaya alam kita, dan pasar dalam negeri kita, cukup kuat bila sewaktu-waktu karena keputusan ini ada embargo atau sanksi internasional” .
Menteri Ristek menambahkan, “Pengalaman Iran dengan embargo yang dijatuhkan Amerika sejak revolusi Islam dulu justru positif. Embargo justru meningkatkan kemandirian dan kreatifitas anak bangsa. Kata Presiden Ahmadinejad, embargo justru berkah terbesar bagi Iran. Karena embargo, Iran justru mampu membangun sendiri PLTN-nya serta wahana ruang angkasa tanpa bantuan asing”.
Akhirnya wajah Presiden menjadi cerah. Dia lalu mengatakan, “Kalau demikian halnya, saya minta blocking space kepada seluruh pimpinan media, besok jam 10 pagi, kita akan akan proklamasikan berubahnya negeri ini menjadi Daulah Khilafah di depan Sidang Istimewa MPR. Mohon pimpinan MPR mempersiapkan segala sesuatunya. Nanti saya minta Menteri Hukum beserta Mensesneg untuk segera merumuskan apa saja yang dianggap perlu dalam proses konversi dan transisi dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Apakah masih ada yang tidak setuju?” Ternyata tidak ada satupun yang berani tunjuk tangan. “Apakah semua setuju?” tanya Presiden kembali meyakinkan. Semua tunjuk tangan.
Begitulah, akhirnya di negeri antah berantah itu Khilafahpun berdiri tegak, dibela oleh rakyatnya di bumi, dan didoakan oleh mereka yang ada di langit.
** proses perubahan revolusioner mirip seperti ini terjadi di negara-negara Blok Timur pada tahun 1991, dan di Afrika Selatan tahun 1994. Pemilu yang dilakukan sesudahnya di sana hanya melegitimasi keinginan kuat untuk merubah sistem yang sudah terjadi sebelumnya.
Definisi Kebangkitan
Kalau kita bicara tentang kebangkitan sebuah bangsa, maka kita harus menetapkan dulu apa definisi kebangkitan itu dan apa indikator sebuah bangsa dikatakan telah bangkit, maju, kuat dan mandiri, juga sebaliknya kapan bangsa itu itu disebut bangsa yang gagal, terbelakang, lemah dan pengekor.
Pertama-tama kita bisa menggunakan definisi yang relatif berlaku umum.
Bangkit berarti bangun dari suatu kondisi yang dianggap memiliki kemampuan lebih rendah, misalnya dari posisi berbaring ke duduk, dari duduk menjadi berdiri, dan dari berdiri menjadi berjalan atau berlari. Dalam konteks sosial-politik, bangkit adalah berubah dari posisi “mati” (statis) menjadi “hidup” (dinamis) secara sosial politik.
Dari sisi kualitas, bangkit menuju hidup ini ada tiga tingkatan (level), yaitu:
level-1: bergerak ke arah yang positif (self-build), tidak merusak diri sendiri (self-destroy);
level-2: melakukan sesuatu yang ada hasilnya (produktif) yang tidak habis sekali pakai;
level-3: memberikan sesuatu yang kontributif ke orang banyak atau di masa sesudahnya.
Untuk ukuran sebuah bangsa, bangsa yang statis adalah bangsa yang sepenuhnya tergantung kepada bangsa lain, baik dalam perkara mempertahankan hidupnya, menjaga martabatnya, maupun mewujudkan cita-citanya. Kehidupan maupun keamanannya ada di tangan bangsa lain. Mungkin bahkan untuk pangan, air dan energi harus disupply atau disubsidi bangsa lain. Hukum yang berlaku dan siapa penguasa yang menjalankan hukum itu sepenuhnya juga ditentukan bangsa lain. Dan tentu saja, apa saja yang dianggap baik yang perlu diperjuangkan sebagai cita-citanya juga diberikan oleh bangsa lain yang menguasainya tersebut. Bangsa tersebut menjadi “bangsa robot”, meski mungkin memiliki kemajuan material yang tinggi seperti adanya konstruksi pencakar langit, pabrik-pabrik, perkebunan, pertambangan besar, atau penggunaan teknologi transportasi atau informasi yang canggih. Tetapi semua kemajuan material ini dirancang asing, dioperasikan di bawah supervisi asing dan keuntungannya juga paling banyak dinikmati oleh asing.
Sebuah bangsa dikatakan keluar dari kondisi statisnya ketika dia mulai merintis memiliki kemauan dan kemampuan sendiri untuk mempertahankan kehidupannya, menjaga martabatnya dan mewujudkan cita-citanya. Proses inilah yang sering disebut perjuangan kemerdekaan. Persoalannya, sejauh mana kualitas “merdeka” setelah bangkit tersebut?
Sebuah bangsa dapat dikatakan telah bangkit level-1 ketika setelah merdeka dia benar-benar bergerak positif, kondisinya tidak sama atau makin buruk dengan sebelumnya. Tetapi kalau setelah “merdeka” kemudian terjadi perang saudara, ekonomi memburuk, pendidikan tidak lagi berjalan, dan di jalanan berlaku hukum rimba, maka level-1 inipun tidak tercapai. Baru setelah level-1 tercapai, bangsa itu dapat meraih level-2 atau -3.
Level-2 adalah ketika kebangkitannya itu memberinya kemampuan untuk produktif, menghasilkan sendiri SDM cerdas berkualitas, membuat sendiri fasilitas produksi yang mampu membuatnya mandiri, sekalipun belum lebih maju dari capaian material yang dimiliki negara lain. Intinya bukan kualitas capaian materialnya, tetapi bahwa itu dirancang sendiri, dioperasikan sendiri dan keuntungannya lebih untuk mereka sendiri.
Pada level-3, mereka benar-benar dapat memberikan kontribusi ke luar, bahkan ke masa sesudahnya. Kontribusi ini tergantung visi yang diembannya, bisa positif bisa negatif. Mereka bisa membebaskan atau memajukan bangsa lain, bisa pula menjajah bangsa lain.
Peta Kebangkitan Dunia
Kalau kita proyeksikan ke dunia saat ini, ada bangsa-bangsa yang statis misalnya sejumlah negeri jajahan Inggris, Perancis, Rusia atau Amerika. Irlandia Utara adalah jajahan Inggris dan Puerto Rico adalah negeri di Caribia jajahan Amerika Serikat. Sekalipun di sana ada kemajuan material, tetapi faktanya bangsa itu adalah bangsa “robot”. Mereka tergantung total oleh politik negara penjajahnya.
Sebagian negara jajahan pernah bergolak menuju kemerdekaan, misalnya Chechnya di Rusia, atau Irlandia Utara di Inggris. Meski negeri tersebut sudah dimasukkan sebagai provinsi penuh dari negara penjajahnya, dan rakyatnya dianggap memiliki hak yang sama dengan rakyat di provinsi lain, tetapi mereka tetap merasa tidak puas karena merasa memiliki martabat dan cita-cita yang berbeda. Hal yang mirip pernah terjadi di Nusantara saat menjadi sebuah koloni Negeri Belanda, dengan adanya seorang gubernur jenderal yang memerintah Hindia-Belanda.
Lalu ada bangsa-bangsa merdeka level-1 yang sudah berangsur-angsur bergerak ke arah positif, seperti Vietnam atau Malaysia. Walau mungkin belum semaju Malaysia, Indonesia dapat dikatakan juga sedang menuju level-1, dengan indikator bahwa sejak merdeka secara umum hampir tak ada lagi perang saudara yang berkepanjangan, walaupun masih ada bentrokan kecil-kecilan atau separatis di daerah rawan konflik seperti di Papua. Ekonomi Indonesia juga secara umum tidak lagi memburuk dengan cepat, pangan atau energi masih relatif mudah diperoleh, walaupun cenderung makin mahal, dan utang negara semakin besar. Pendidikan bisa berjalan walaupun masih ada jutaan rakyat yang kesulitan mengaksesnya. Dan di jalanan juga hukum sedikit banyak bisa berjalan, walaupun ada mafia peradilan.
Tetapi kebangkitan di Indonesia dapat dikatakan gagal mencapai level-2. Level-2 dapat dikatakan telah diraih oleh negara-negara maju seperti Skandinavia, Switzerland atau juga negara berkembang seperti China atau India, bahkan oleh negara yang lebih kecil seperti Iran atau Venezuela. China dan India dalam tiga dekade terakhir dapat dikatakan berhasil mentransformasi masyarakatnya menjadi cerdas dan mandiri. Mereka berhasil merancang sendiri banyak hal terkait teknologi dan industri, mengoperasikannya sendiri, dan mereguk keuntungannya sendiri. Meski produk mereka belum sekaliber negara-negara adidaya, tetapi mereka sudah tidak akan melemah oleh suatu embargo, bahkan mereka mulai disegani di kancah global.
Karena Indonesia gagal meraih kebangkitan level-2, maka tentu saja gagal meraih level-3. Level-3 saat ini dimiliki oleh negara-negara adidaya atau mantan adidaya seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, mungkin ditambah Jepang atau Jerman. Umat Islam hanya memiliki negara level-3 di masa lalu, yakni Daulah Khilafah.
Pada masa Orde Lama, Soekarno ingin dengan cepat mentransformasi Indonesia yang baru saja merdeka menuju kebangkitan level-3. Secara politik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno berusaha tegak tidak mengekor politik negara adidaya saat itu. Tetapi fakta di lapangan, jangankan level-3, level-1 pun saat itu belum tercapai. Memang tentara penjajah tidak lagi bercokol di Indonesia, tetapi perang saudara saat itu masih berkecamuk di mana-mana. Inflasi sangat tinggi, harga-harga meroket, dan rate-pendidikan sangat rendah.
Pada masa Orde Baru, Soeharto belajar dari pengalaman Soekarno, mencoba membangun Indonesia secara terrencana dan berkelanjutan. Soeharto bahkan membangun berbagai industri strategis seperti PT IPTN, PT PAL, PT PINDAD dsb. Sayangnya, mayoritas ekonom dan teknokrat yang direkrut Soeharto kurang mandiri, sehingga mengikuti arahan nyaris total dari asing. Ini tampak pada kebijakan utang luar negeri, pembuatan berbagai instrumen hukum yang lebih pro kapitalis (kurang pro UKM), serta kebijakan politik yang lebih represif. Semua ini ditambah lagi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang justru ditunjukkan secara mencolok oleh keluarga presiden. Akibatnya kebangkitan level-1 pun justru ditinggalkan lagi. Di akhir kekuasaan Soeharto, ekonomi dengan cepat memburuk dimulai dari krisis moneter menjadi krisis ekonomi, dan krisis multi dimensi, termasuk perang saudara yang meluas di Aceh, Ambon, Poso dll, Industri strategis yang telah disiapkan ditelantarkan kembali, dan ribuan SDM cerdas yang pernah dididik ramai-ramai hengkang ke luar negeri.
Orde Reformasi sempat memberikan harapan. Krisis ekonomi sementara dapat diatasi. Perang Saudara dapat diredam. Tetapi liberalisasi yang membonceng reformasi justru membuat kebangkitan level-1 saja semakin sulit didekati kembali. Berbagai perundangan yang dibuat di era reformasi justru membuat negeri ini makin “ramah” (baca: “dikuasai“) investor asing. Akibatnya kesempatan kerja makin berkurang, semakin banyak rakyat yang kehilangan daya beli dan di sisi lain rakyat semakin tidak terurus oleh para petualang politik yang naik ke kekuasaan (legislatif dan eksekutif) melalui proses demokrasi yang sarat permainan uang.
Faktor Ideologi
Di dunia, ada bangsa dengan ideologi yang bermacam-macam berhasil bangkit hingga level-3. Amerika bangkit dengan kapitalisme. Soviet dulu bangkit dengan sosialisme. Yang membedakan hanya pada level-3 ini kontribusi seperti apa yang dihasilkan oleh bangsa itu.
Faktanya, dua ideologi itu menebar kerusakan di luar negeri. Penjajahan, exploitasi sumber daya alam, dan penggunaan tenaga kerja yang nyaris seperti budak menjadi menu sehari-hari. Sosialisme bahkan dalam jangka panjang tidak berhasil mempertahankan keberlangsungan negara Soviet. Dan sekarang kapitalisme sedang menjadikan Amerika diujung tanduk.
Indonesia mengklaim menjadikan Pancasila sebagai ideologi kebangkitannya. Namun ada yang terlupa, bahwa Pancasila sebenarnya baru sekedar falsafah, belum berupa ideologi yang lengkap. Karena itu, dalam prakteknya, Pancasila bisa ditarik-tarik ke arah sosialis seperti di masa Orde Lama, ke arah kapitalis seperti di masa Orde Baru, atau ke arah kapitalis-liberal seperti di era Reformasi.
Hanya ideologi intelektual yang sehat dan secara rinci menunjukkan tak cuma tentang cita-cita tetapi juga jalan yang terang untuk meraih cita-cita itu, yang akan mampu mengantar Indonesia kepada kebangkitannya, tak hanya level-1, tetapi hingga level-3. Ideologi seperti itu ada dalam Islam. Dan pengalaman empiris dari sejarah menunjukkan bahwa itu hanya akan terjadi bila kita meraih cita-cita itu melalui kendaraan berupa Daulah Khilafah yang akan menerapkan seluruh paket sistem syariah.
Dengan ideologi Islam, visi kebangkitan sangat jelas, yaitu sampai mampu mewujudkan umat terbaik yang mampu menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah (QS 3:110). Tugas ini memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya takut kepada Allah saja dan taat kepada semua yang diperintahkan syari’ah. Selanjutnya kebangkitan level-1, 2, 3 akan terwujud dengan sendirinya seiring dengan penerapan syariah yang kaffah dan istiqomah.
Untuk konteks Indonesia, faktor ideologi ini juga akan berpengaruh pada seberapa cepat kebangkitan akan diraih. Karena 85% rakyat Indonesia adalah muslim dan berbagai survei menunjukkan mereka masih memiliki ikatan emosional dan spiritual Islam yang tinggi, maka sudah seharusnya ideologi yang dipakai untuk membangkitkan adalah ideologi Islam.
Inilah rahasia kenapa kebangkitan level-1 pun tidak sepenuhnya kita raih, karena kita lengah tidak menggunakan ideologi Islam sebagai ideologi kebangkitan. Hanya dengan ideologi Islam, maka tak cuma kebangkitan level-1 yang akan kita raih, tetapi juga level-2 dan level-3.
Dalam konteks materialisme seperti pada bangsa Barat, kualitas suatu bangsa memang diukur dari produk peradaban (teknologi, industri, seni, arsitektur, dll). Namun dalam konteks Islam, ukuran yang standard adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma’ruf nahi munkar kelas dunia. Itulah kebangkitan yang kita dambakan.
KISAH ADIK HARAM SANG PELACUR
oleh Fahmi Amhar
Ada pecundang bernama Atheisme.
Prinsip hidupnya: agama adalah candu!
Dia juga anak haram sejarah, yang marah ketika ajaran agama dijadikan alat penindas oleh kekuasaan negara, sementara para pemimpin agama menjadikan agama hanya obat penenang bagi kaum dhuafa.
(* andaikata negara/umara membangkitkan rakyat dengan solusi kaffah dari ahli agama/ulama, tentu gak begini jadinya *).
Atheisme merasa kesal dengan solusi dari kakak haramnya, pelacur dunia bernama Sekulerisme (http://www.facebook.com/messages/100000837346075#!/notes/fahmi-amhar/lima-anak-haram-sang-pelacur/10150760314486921?comment_id=21939289¬if_t=like), yang dalam prakteknya terlalu didominasi oleh anaknya yang ke-empat yaitu Kapitalisme.
Karena itu tak heran Atheisme kemudian bertekad juga memiliki lima anak yang semua dididiknya agar bersaing dengan anak-anak Sekulerisme.
Anak pertama bernama Sosialisme.
Nama aslinya Marxisme. Prinsip hidupnya adalah: segala sesuatu hanya materi, yang berkembang sesuai dengan evolusi. Dia sangat percaya dengan teori evolusi Darwin, bahkan dikembangkannya lagi untuk memahami fenomena masyarakat. Tetapi kemudian dia lebih sering dipanggil Sosialisme, karena belakangan prinsip hidupnya: “apapun harus menjadi milik bersama, termasuk kebahagiaan dan kekuasaan”, karena kebersamaan adalah proses akhir dari evolusi material. Sosialisme adalah keniscayaan sejarah setelah Kapitalisme.
Anak ini sangat dominan dalam keluarga, karena dialah penyemangat dan penopang utama saudara-saudaranya. Baginya merampok milik pribadi orang-orang kaya, lalu membagi-baginya ke kalangan bawah adalah sebuah perbuatan mulia.
Sosialisme memiliki anak haram: Nasional-Sozialisme (Nazi) dan Baathisme.
Anak kedua bernama Komunisme.
Nama aslinya adalah Otokrasi.
Prinsip hidupnya: “Suara partai adalah suara rakyat”. Kedaulatan hukum itu ada pada partai, karena partai adalah pemimpin rakyat, penyambung lidah rakyat, pembela hak-hak rakyat, dan pejuang kepentingan rakyat sehingga penguasa wajib menjalankan keputusan partai. Kekuasaan ditentukan dengan pemilihan di antara kader partai, sehingga pers harus dikontrol partai. Kalau partai memandang pelarangan tempat ibadah atau penghapusan asset pribadi sebagai hal yang lebih bermanfaat, maka akan keluar pula hukum yang mendasarinya. Satu-satunya yang dianggap benar adalah keinginan partai, hari ini, di negeri ini. Karena partai juga terdiri dari manusia-manusia yang terbatas wawasannya, maka Otokrasi bisa saja menelurkan keputusan yang kontradiktif, yang secara langsung atau tak langsung bisa menghancurkan masa depannya sendiri, atau rakyat / lingkungan negeri lain.
Karena pengaruh kakaknya (Sosialisme) begitu kuat, belakangan dia merubah namanya menjadi Komunisme.
Kemudian dia punya beberapa anak haram, ada yang beraksen Rusia, Cina, Afrika maupun Indonesia.
Anak ketiga bernama Despotisme.
Prinsip hidupnya: “karena kami yang berkeringat, maka harus kami yang berkuasa”. Ruang publik harus didominasi dan diperintah oleh satu kelompok yang sepaham saja. Bahkan di dalam kelompok ini tidak boleh ada faksi-faksi ataupun pendapat yang berbeda. Pembangunan akan efektif kalau satu bangsa satu tujuan, satu metode, satu partai dan satu pemimpin. Karena itu, Despotisme memandang, tidak dikehendaki ada partai-partai oposisi di dalam masyarakat. Sebenarnya Despotisme ini tidak terlalu peduli ajaran kakaknya Sosialisme ataupun ibunya Atheisme. Jadi dia bisa juga berkawan dengan Ayah Haramnya dari Agamawan maupun dari Sepupu Haramnya Kapitalisme.
Belakangan Despotisme melahirkan anak-anak haram: yaitu Authoritarianisme dan Totaliterisme.
Anak keempat bernama Fasisme.
Prinsip hidupnya: “jangan biarkan mereka bebas, karena masyarakat perlu dipimpin (oleh Sosialisme)”. Karena itu, Fasisme mencabut berbagai kebebasan, baik itu kebebasan berbicara, beribadah, berserikat maupun berusaha. Semua harus dipimpin oleh seorang pemimpin besar yang “tercerahkan” dan “dicintai rakyat”.
Fasisme melahirkan anak-anak haram seperti Stalinisme dan Maoisme.
Anak kelima bernama Internasionalisme.
Nama lengkapnya: Proletarian-Internasionalisme.
Prinsip hidupnya: Dunia ini akan paling aman, paling adil dan paling makmur kalau diberintah oleh kaum proletar dengan ajaran Sosialisme. Karena prinsipnya ini, maka Internasionalisme mengekspor revolusi dan ide kakak-kakaknya ke seluruh dunia. Penyebaran ini tentu saja dilakukan secara militer, tetapi sayangnya, anak kelima ini justru mati paling awal di medan sejarah.
Belakangan kakak-kakaknya juga kehilangan arah, dan akhirnya berselingkuh dengan anak-anak Sekulerisme.
Di Cina, Komunisme akhirnya berselingkuh dengan Kapitalisme. Dunia politik tetap Komunisme, tetapi ekonomi Kapitalisme.
Sedang di Eropa, Demokrasi mau incest dengan adiknya yaitu Kapitalisme sekaligus berselingkuh dengan Sosialisme, menjadi “Kapitalisme berwawasan Demokrasi dan Sosial”.
Sedang di beberapa negara berkembang, Kapitalisme berselingkuh dengan Despotisme. Jadinya sumber daya ekonomi benar-benar diserahkan pasar, tetapi pemerintahan sangat otoriter, meskipun dilegalkan dengan pemilu.