Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Belajar “Mensyukuri Langit” Setiap Hari

Monday, October 8th, 2012
Tata Surya

Fisika dan Astronomi

Bagi kami yang mencintai dunia fisika dan astronomi – sehingga relatif akrab dengan keduanya –  tiap hari adalah bersyukur.  Seperti hari ini.

Observatorium Remanzacco merelease berita melintasnya Asteroid-2012-TV pada Minggu 7 Oktober 2012 pukul 22:04 WIB  (http://www.sott.net/article/252047-Close-Approach-of-Asteroid-2012-TV).  Asteroid yang berdiameter 40 meter itu melintas hanya sejauh 255.000 km dari Bumi, alias lebih dekat ketimbang jarak Bulan ke Bumi (yang besarnya 384.000 km).  Titik terdekat permukaan Bumi dengan asteroid pada saat itu adalah Selandia Baru. Saat melintas dekat tersebut, Asteroid 2012 TV melesat dengan kecepatan 15 km/detik alias 54.000 km/jam.

Dari beberapa batu meteor yang pernah ditemukan, diduga keras bahwa asteroid terdiri dari elemen besi.  Sebuah bola berdiameter 40 m berbahan besi (massa jenis 7,8 kg/liter) akan memiliki massa sekitar 263 juta ton.  Bila sebagian besar menguap karena gesekan dengan atmosfir atas, dan hanya sepersejuta yang jatuh menghantam bumi, maka materi yang tersisa itu masih pula 263 ton.  Namun dengan kecepatannya yang dahsyat, bola besi “sekecil” itu masih pula memiliki energi kinetik lebih dari 29 ribu Giga Joule. Dibandingkan dengan energi dalam bom atom Hiroshima yang “hanya” 15 kiloton TNT (15 x 4,18 Giga Joule), maka energi asteroid itu masih senilai 472 bom atom Hiroshima.

Allah Maha Pengasih dengan menjadikan asteroid itu hanya “lewat”, tidak “singgah” di bumi.  Hingga kini, kemungkinan asteroid menghantam bumi sangat kecil, mungkin sekali setiap sejuta tahun.  Kejadian terakhir adalah di Tunguska Rusia 30 Juni 1908.  Batu besi yang menghantam bumi itu kira-kira berdiameter 45-70 meter.  Energinya setara dengan 10 megatons TNT atau 666 bom atom Hiroshima.  Allah Maha Pengasih dengan menjatuhkan “batu neraka” itu di daerah tanpa penduduk.  Apa jadinya jika batu itu dijatuhkannya di tempat-tempat yang kita cintai?  Allah yang Maha Memiliki lebih pantas kita cintai.  Bahwa batu itu tidak mencelakakan Anda hari ini, adalah sebuah peringatan, bahwa Allah masih menginginkan Anda menjalani rencana-Nya yang lain!  Rencana itu adalah jalan sesuai syariah-Nya.  Mari kita jalani rencana-Nya itu dengan sepenuh hati, bahwa apa yang Dia kehendaki, adalah yang terbaik dalam hidup kita.

Astronomi Islam tak sekedar Hisab & Rukyat

Saturday, January 17th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

 

Tahun baru hijriyah sering menjadi alasan untuk mengadakan seminar tentang kalender Islam, yang ujung-ujung terkait dengan astronomi Islam.  Hal ini karena dalam kalender Islam, ada hari-hari penting yakni awal Ramadhan, awal Syawal dan awal Zulhijjah yang dikaitkan dengan suatu peristiwa astronomis, yakni tampaknya bulan sabit baru di langit, atau disebut hilal.  Pengamatan atas hilal aktual disebut rukyatul hilal.  Sedang perhitungan kapan hilal kemungkinan terlihat disebut hisab.  Dan keduanya adalah aktivitas astronomi yang mau tak mau harus dilakukan sendiri oleh kaum muslim.  Karena itu astronomi Islam sering direduksi menjadi persoalan hisab dan rukyat.  Kalau pun ada tambahannya, maka itu adalah tentang penentuan arah kiblat dan jadwal sholat sehari-hari.

Apakah benar itulah seluruh astronomi Islam?  Ternyata tidak.  Andaikata astronomi Islam hanyalah yang terkait persoalan ibadah mahdhoh (sholat, puasa, haji), maka semua aktivitas tersebut sudah dapat terpenuhi pada zaman Nabi, ketika umat Islam belum memiliki seorangpun yang pantas disebut sebagai astronom.  Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa peradaban Islam telah melahirkan ratusan astronom besar, yang menciptakan ratusan teknik pengamatan berikut alat-alat pengamatannya, ratusan rumus dan metode perhitungan, ratusan jenis tabel almanak astronomi dan kepada dunia mewariskan ribuan bintang-bintang yang hingga kini masih diberi nama dengan nama-nama Arab – bahasa yang pernah sangat dominan di dalam dunia astronomi.

Pada awalnya, umat Islam mewarisi astronomi dari bangsa-bangsa yang telah ditaklukannya, yaitu bangsa Mesir kuno, Yunani, Persia dan India.  Namun umat Islam telah memurnikan astronomi dari “saudara tirinya” yaitu astrologi (ilmu meramal nasib dengan perbintangan).  Dalam literatur Arab awal, ilm-al-Nujum  (ilmu bintang) digunakan baik untuk astronomi maupun astrologi.  Pemisahan yang tegas baru dilakukan oleh Abu al-Rayhan al-Biruni pada abad-11.  Kajian astrologi ditolak oleh para ilmuwan muslim, termasuk al-Farabi, ibn al-Haytham, ibnu Sina dan ibnu Ruysd.  Alasannya, astrologi adalah sesuatu terpengaruh pandangan hidup, bukan sesuatu yang empiris (diamati secara sistematis dari fakta alam).

Astronomi berkembang oleh kebutuhan penjelajahan kaum muslim baik dalam rangka perburuan ilmu ke negeri-negeri yang jauh (seperti Tiongkok) maupun untuk menjawab tantangan jihad fi sabilillah.  Pada saat itu, rival utama di dunia adalah Kekaisaran Romawi yang memiliki angkatan laut yang kuat di Laut Tengah.  Untuk melawan angkatan laut diperlukan pula angkatan laut.  Untuk menentukan posisi dan arah di tengah lautan diperlukan navigasi dengan astronomi.  Makin teliti seorang navigator mampu menentukan posisinya di tengah laut dengan pengamatan matahari, bulan atau bintang, makin akurat mereka dapat menghitung waktu yang diperlukan untuk menuju sasaran, dan berapa logistik yang harus dibawa tanpa memberati kapal.

Dalam astronomi, karya astronom Mesir/Yunani kuno Ptolomeus, terutama dalam kitab Almagest, dan karya astronom India kuno Brahmagupta, telah dikaji dan direvisi secara signifikan oleh astronom muslim.  Tabel astronomi dari Al-Khwarizmi dan Maslamah bin Ahmad al-Majriti merupakan sumber informasi penting bagi para pemikir Eropa, ketika astrologi telah dicemooh.

Pada abad-11 para astronom muslim telah mempertanyakan sistem Ptolomeus yang menjadikan bumi sebagai pusat alam semesta (geosentris) dalam model astronominya.  Ibn al Haytsam yang menemukan ilmu optika dan membuat teleskop menunjukkan fenomena perjalanan planet Venus dan Mars yang tidak mungkin dijelaskan dengan model geosentris.  Tokoh-tokoh seperti al-Biruni, al-Battani, Ibnu Rusyd, al-Balkhi, al-Sijzi, al-Qazwini dan al-Shirazi telah mendiskusikan model Non-Ptolomeus yang heliosentris dengan orbit elliptis, yang belakangan diadopsi menjadi model heliosentris oleh Nicholas Copernicus dan Johannes Keppler.  Argumentasi Copernicus tentang rotasi bumi sama persis dengan yang diajukan oleh Nasir-ud-Dian al Tusi dan Ali-al-Qusyji beberapa abad sebelumnya.  Karena mereka beraktivitas di Maragha, maka pendapat ini sempat disebut “Madzhab Maragha” atau bahkan “Revolusi Maragha sebelum Rennaisance”.

Kontribusi lain dari astronom muslim seperti al-Biruni adalah teori bahwa galaksi Bimasakti adalah kumpulan dari gugusan bintang yang berdiri sendiri, yang pergerakannya lepas dari bumi ataupun matahari.

Astronom muslim juga mengembangkan berbagai alat pengamatan, baik yang besar untuk dipasang di observatorium bintang, maupun yang kecil untuk dibawa dalam perjalanan, misalnya yang disebut “astrolabium”.

Ja’far Muhammad bin Musa bin Syakir menemukan fakta bahwa benda-benda langit terkena hukum-hukum fisika yang sama dengan bumi.  Ibn al-Haytsam mendapatkan bahwa “lapisan langit” tidaklah padat seperti kepercayaan orang hingga saat itu, dan bahkan langit lebih tipis dari udara.  Penemuan-penemuan inilah yang beberapa abad kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Isaac Newton.

Namun yang terpenting dari kontribusi umat Islam adalah metodologi.  Astronomi telah dipisahkan dari filsafat, yang meski tampak logis namun berawal dari aksioma atau postulat yang boleh jadi tidak didasarkan pada realitas empiris yang lengkap.  Astronom muslim menggunakan metode pengamatan empiris serta analisis matematika untuk menghasilkan rumusan umum yang dapat dipakai untuk prediksi yang sangat akurat.  Suatu prediksi astronomi yang telah dibangun dari analisis data pengamatan yang akurat dan lama, misalnya prediksi gerhana matahari, hampir tidak mungkin meleset.  Prediksi ini hanya perlu dikoreksi oleh pengamatan yang lebih akurat lagi.

Pada masa keemasan Islam, banyak orang kaya ataupun penguasa yang ingin menorehkan namanya dalam keharuman ilmu.  Mereka melakukan wakaf dalam bentuk mensponsori pembangunan suatu observatorium, lengkap dengan para astronomnya untuk melakukan riset.  Hasilnya adalah suatu tabel almanak astronomi yang paling mutakhir dan akurat di zamannya.  Tabel itulah yang akan dibawa-bawa oleh para pelaut dan mujahidin menembus batas cakrawala dunia Islam, menemukan tempat-tempat baru yang perlu disampaikan risalah Islam atas mereka, juga untuk selangkah lebih maju dari para pelaut penjajah yang selalu mengintai kelemahan dan kelengahan kaum muslim.

Sekali Lagi Tentang Ru’yat & Hisab

Friday, September 21st, 2007

Makalah untuk Roundtable Discussion tentang Konsep Hilal
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Yogyakarta 23-24 September 2007

oleh

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional

Secara konseptual, baik ru’yatul hilal (praktis) mapun hisab (teoretis) adalah dua sisi mata uang yang sama – keduanya tidak akan bertentangan bila sama-sama dilakukan dengan benar.  Oleh karena itu saya melihat perdebatan hisab vs ru’yat itu tidak perlu.

Konsep ru’yatul hilal memiliki sandaran syar’i yang kokoh.  Perintahnya adalah ”telah terlihat hilal”, bukan ”telah masuk waktunya”.  Inilah perbedaan pokok perintah yang terkait dengan puasa, dan perintah yang terkait dengan sholat.

Namun perbedaan yang terjadi selama ini sebenarnya bukan hanya hisab vs ru’yat, tetapi juga hisab vs hisab (buktinya untuk 1 Syawal nanti Muhammadiyah berbeda dengan Persis), ru’yat vs ru’yat (buktinya di Kab. Kuningan ada yang memulai puasa hari Rabu 12 September 2007, konon karena ru’yat mereka berhasil melihat hilal), dan bahkan ru’yat matla terbatas vs ru’yat global (Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab lainnya).

Pada tulisan ini saya tidak ingin fokus ke soal fiqihnya an sich, meskipun bahan-bahan pada saya cukup banyak.  Saya akan membahas sisi fakta saja.  Biasanya para fuqoha dalam memutus perkara fikih harus paham betul faktanya dulu, baru mencarikan dalil syar’i yang tepat untuk fakta itu.

Faktor Kunci Keberhasilan Ru’yatul Hilal

Ru’yatul Hilal, agar sukses, harus memenuhi tiga kriteria – saya menyebutnya kriteria ABC:

A – Astronomi, yakni bulan telah (1) ijtima’; (2) wujud / di atas ufuk; dan (3) tingginya telah mencapai minimal yang terbukti seara ilmiah.   Syarat A ini semua bisa dihitung oleh hisab falakiyah (astronomi).  Dalam kritera bulan telah ijtima’ (A-1) dan wujud (A-2), hitungan para astronom pada umumnya tidak berbeda.  Namun untuk tinggi minimal (A-3), yang ada selama ini (misal 2 derajat) adalah angka hisab pada saat ada kesaksian yang diterima, atau kadang-kadang hanya taksiran kasar, bukan diukur dengan teodolit.  Kesaksian ini secara hukum (syar’i) sah, tetapi secara ilmiah belum memenuhi obyektivitas.  Fakta hilal yang terrekam foto setahu saya belum pernah terjadi pada ketinggian 2 derajat apalagi kurang atau umur bulan kurang dari 20 jam (www.icoproject.org).  Kalau syarat A-3 ini dipenuhi, kemungkinan perbedaan hisab (teoretis) dengan ru’yat (praktis) akan sangat minimum.

B – Baiknya pengamat dan lingkungan pengamatan.  Pengamat harus sehat, tidak memiliki gangguan penglihatan, serta terlatih melihat hilal; sedang lingkungan pengamatan (ke ufuk Barat)) tidak boleh terganggu oleh pepohonan, gedung-gedung, gunung ataupun sumber cahaya lain.  Syarat B ini tidak dapat dihitung tetapi dapat dipersiapkan.  Termasuk persiapan yang bagus adalah pengamatan pada pos observasi bulan yang didesain khusus seperti di Pelabuhan Ratu (di atas bukit dan menghadap ke laut lepas)  dan penggunaan alat-alat optis-elektronis, misalnya teropong yang dilengkapi kamera digital berresolusi tinggi.  Foto digital yang didapat bisa diolah dengan pengolah citra untuk memisahkan cahaya bulan dari cahaya latar yang pada umumnya jauh lebih cerah dan panas (dari matahari).  Namun saya kira ada juga orang yang menolak penggunaan alat seperti ini dengan alasan ru’yatul hilal adalah ibadah yang tauqifi (harus dilaksanakan persis seperti di zaman Nabi).  Orang seperti ini juga mungkin akan menolak penggunaan loud speaker pada saat khutbah Jum’at.

C – Cuaca.  Seberapapun tinggi dan umur hilal, kalau cuaca mendung, maka hilal tidak terlihat.  Cuaca ini tidak dapat diperhitungkan maupun dipersiapkan.  Kalau ini terjadi ya sesuai hadits nabi: ”Genapkan 30 hari!” – kecuali kalau kemudian ternyata di daerah lain hilal berhasil diru’yat.

Adanya syarat ABC ini membuat kapan 1 Ramadhan / 1 Syawal / 9 Zulhijjah tidak bisa dipastikan jauh-jauh hari seperti halnya hari peribadatan agama lain.  Namun kita harus yakini bahwa tentu ada wisdom di balik itu dari Allah swt.

Kalender Hisab bisa berbeda-beda

Sementara itu Hisab memang diperlukan untuk, bahkan oleh mereka yang memegang pendapat bahwa Ru’yat wajib dan tak tergantikan oleh Hisab.  Kenapa?  Ru’yat hanya akan dilakukan pada tanggal 29 bulan sebelumnya!

Ru’yat Ramadhan hanya akan dilakukan tanggal 29 Sya’ban.  Kita tak perlu berkilah bahwa seharusnya awal Sya’bannyapun harus diru’yat …. Nanti tidak akan ada habisnya …  Yang jelas, kapan tanggal 29 ini, sudah tertera di kalender.  Dan ini hasil hisab!

Namun rupanya, kalender hasil hisab ini bisa berbeda-beda oleh 3 faktor:

  1. Faktor rumus perhitungan.  Rumus-rumus hisab pada kitab-kitab tua dibuat sederhana (karena juga pada masa itu belum ada komputer), sehingga untuk menghitung gerhana saja bisa meleset hampir 2 jam!  Tetapi pada umumnya sekarang orang menggunakan rumus astronomi modern yang mengacu kepada The Astronomical Almanach, the Royal Navy Nautical Almanach, atau bahkan rumus-rumus yang dipakai oleh dua buku itu sudah dimasukkan kedalam software.  Minimal hasilnya untuk menghitung ijtima’ akan sama, mungkin beda satu menit karena faktor pembulatan.
  2. Faktor titik sentral perhitungan (markazul falakiyah).  Hisab untuk menghitung wujudul hilal mau tidak mau akan menghitung waktu terbenam bulan dan matahari, dan ini sangat tergantung dilihat dari posisi mana?  Oleh karena itu, perbedaan titik sentral akan mempengaruhi hasilnya.  Penggunaan titik sentral di Indonesia Barat akan berbeda dengan titik sentral di Indonesia Timur, apalagi dengan di luar negeri.  Untuk penggunaan kalender hijri yang berlaku internasional, sebaiknya titik sentralnya adalah Makkah, agar klop dengan ritme ibadah haji.
  3. Faktor kriteria masuk tanggal.  Katakanlah rumus dan titik sentral sama, tetapi kalau kriteria masuk tanggal beda, maka hasilnya pada kondisi kritis bisa beda.  Contohnya: Muhammadiyah & Persis.  Mereka menggunakan rumus dan titik sentral yang sama, namun Muhammadiyah memakai 0 derajat, Persis 2 derajat.  Ketika tinggi hilal saat matahari terbenam katakanlah 1 derajat, bagi Muhammadiyah besok sudah tanggal 1, bagi Persis besok tanggal 30 (istikmal).

Usulan untuk mempersatukan

Oleh karena itu menurut saya, untuk mempersatukan masalah perbedaan awal dan akhir Ramadhan, yang harus dilakukan adalah

  1. Menyamakan persepsi kriteria hisab kalender.  Faktor kriteria masuk tanggal sebaiknya mengacu kepada imkanur ru’yat yang sudah terbukti secara ilmiah.  Bukan ijtima’ (baik qobla ghurub maupun qabla fajr) ataupun wujudul hilal!  Kalau wujudul hilal, maka bila tinggi bulan masih sangat rendah, pasti akan berbeda terus dengan metoder ru’yat praktis.  Sedang bila kriterianya imkanur ru’yat, maka perbedaan dengan ru’yat praktis hanya tinggal masalah cuaca.
  2. Menyamakan persepsi tentang kriteria ru’yat praktis yang boleh diterima.  Ini adalah masalah kesaksian.  Selain syarat administratif yaitu bahwa saksi harus seorang muslim yang adil, syarat ABC juga harus dimasukkan untuk menghindari kesalahan kesaksian.  Artinya, syarat A: laporan harus diberikan pada daerah yang memang sudah memungkinkan, dan pada jam yang memungkinkan (bukan pada jam yang masih / sudah mustahil bulan dirukyat); syarat B: laporan harus diberikan oleh seseorang yang terbukti sehat dan tidak terganggu penglihatannya, juga dari tempatnya melihat ke arah ufuk barat tidak ada penghalang yang serius; syarat C: terbukti di daerah tersebut tidak ada mendung atau hujan yang menghalangi ru’yat praktis.
  3. Menyamakan persepsi tentang berita ru’yat dari cakupan yang lebih luas dari wilayah Indonesia.  Indonesia sebaiknya menjalin kerjasama dengan negeri-negeri Islam lainnya untuk menyamakan kedua persepsi di atas, sehingga baik kalender maupun laporan ru’yat dari sesama negeri Islam bisa memiliki kualitas yang sama.  Dengan demikian bisa dihindari kejadian bahwa di Indonesia sebenarnya antar ormas dan pemerintah sudah sama, tetapi ada sekelompok orang yang mengikuti berita ru’yat dari Timur Tengah. Ini sekaligus untuk mengantisipasi kejadian di mana di seluruh Indonesia hilal tidak terlihat karena faktor cuaca (misalnya saat musim penghujan), tetapi di Malaysia, Pakistan atau Saudi hilal terlihat.  Maka mestinya kita bisa menggunakan hasil ru’yat negeri lain tersebut.  Tentu saja kalau kriteria B di sana sendiri tidak benar (seperti yang selama ini sering terjadi, ada laporan ru’yat padahal di sana juga hilal masih belum wujud), maka kita di Indonesia tidak wajib mengikutinya.

Demikianlah, semoga sumbang saran ini dapat membawa ke arah persatuan dan kesatuan ummat, sehingga ummat dapat menikmati indahnya kebersamaan memulai dan mengakhiri Ramadhan.

Penulis menyelesaikan studi geodesi dan remote sensing pada Vienna University of Technology Austria (PhD tahun 1997).  Menekuni masalah hilal sejak 1989, ikut berkontribusi dalam pembuatan software kalkulasi bulan MAWAAQIT (bersama Dr. Khafid).