Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Astronomi Islam

Thursday, August 30th, 2007

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
 
(tulisan ini dimuat di tabloid Suara Islam edisi no. 28, minggu I-II September 2007)
 

Setiap awal atau akhir Ramadhan selalu terjadi perdebatan tentang teknik penentuannya.  Di Indonesia yang hangat adalah perdebatan kalangan ”ahli hisab” yang diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis, dan”ahli ru’yat” yang diwakili NU.  Ahli hisab meyakini bahwa masuknya bulan dalam kalender hijri tidak perlu lagi diamati, cukup dihitung saja, karena perhitungan astronomi dinilai sudah sangat akurat.  Sebaliknya ahli ru’yat menilai bahwa meski hisab sudah amat akurat, namun kesaksian empiris adalah disyariatkan.  Jadi kalangan NU juga tidak sependapat bila mereka dituduh tidak menguasai hisab.  Mereka menggunakan hisab untuk menseleksi laporan ru’yat yang bisa diterima dari yang tidak – mirip yang dilakukan para ulama hadits untuk menilai kesahihan sebuah hadits.  Jadi, kalangan NU yakin pahala mereka dua kali, karena memakai hisab dan ru’yat sekaligus.  Meski demikian ada juga ahli ru’yat yang sama sekali mengesampingkan hisab, dengan alasan, bisa saja Allah memperjalankan bulan dan matahari di luar yang telah dihitung oleh manusia, sebagaimana kelak menjelang hari kiamat, Allah akan membuat matahari terbit dari Barat.  Pendapat terakhir ini, meski menggunakan dalil yang benar, namun diaplikasikan secara kontraproduktif, karena ada pernyataan Allah di QS Yunus ayat 5:

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)….

Tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu yang tidak teratur menjadi alat penghitung waktu.

Di sisi lain, kalangan ahli hisab sendiri tidak sepakat tentang kriteria hisab yang digunakannya, meski mereka sama-sama menggunakan metode hisab dari astronomi modern.  Contoh: Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal yaitu bulan 0 derajat atau lebih di atas ufuk pada saat matahari terbenam.  Sedang Persis menggunakan kriteria 2 derajat.  Untuk 1 Syawal 1428H mendatang, persoalan kriteria ini menjadi kritis.  Pada hari Kamis 11 Oktober 2007, posisi hilal di Jakarta adalah 0.15 derajat (jadi sudah masuk kriteria Muhammadiyah, tapi belum masuk kriteria Persis).  Walhasil, Muhammadiyah akan berhari-raya pada Jum’at 12 Oktober 2007.  Sedang Persis dan para ahli ru’yat akan berhari-raya pada Sabtu 13 Oktober 2007, mengingat hilal setinggi itu masih mustahil dapat diru’yat.  Bulan terbenam hanya 2 menit setelah matahari terbenam, sementara kecerahan matahari yang hampir sejuta kali kecerahan hilal tentu menghalangi terlihatnya hilal.

 

 

 

Peta ketinggian hilal pada saat Maghrib di tiap tempat pada hari Selasa 11 September 2007

 

 


Peta ketinggian hilal pada saat Maghrib di tiap tempat pada hari Kamis 11 Oktober 2007.

Perhatikan bahwa bentuk garis kalender berbeda dengan sebulan sebelumnya.
Ini terjadi karena perubahan posisi lintang ekliptik bulan dan matahari.

 

 

Bagaimana dengan di Timur Tengah?  Menurut hisab hilal di sebagian besar negara Timur Tengah justru masih negatif.  Ini karena posisi bulan saat ini agak ke selatan.  Dengan demikian, menunggu ru’yat global dari kawasan itu sebenarnya sulit.  Hanya Amerika Selatan yang berpeluang meru’yat Kamis sore, itupun kalau cuaca mendukung.

Masalahnya, masih ada kriteria hisab lain.  Di masyarakat, termasuk di Timur Tengah, beredar pula kalender dengan kriteria ”ijtima’ qabla fajr” (konjungsi sebelum fajar) atau ”ijtima’ qabla ghurub” (konjungsi sebelum maghrib).  Pada Kamis 11-Oktober-2007, ijtima’ (atau miladul hilal) terjadi pada pukul 05:01 waktu GMT, atau pukul 08:01 waktu Makkah.  Ini artinya terjadi sebelum Maghrib di tempat tersebut, sehingga otomatis hari Jum’at sesudahnya masuk tanggal 1 (Syawal).  Kriteria ini populer berabad-abad, karena mudah dan praktis.  Perhitungan tinggi hilal di atas ufuk jauh lebih rumit dari itu.  Memang jelas bahwa kriteria ijtima’ qabla ghurub dapat bertabrakan dengan ru’yat empiris.  Namun justru di sinilah sering muncul laporan ru’yat yang seakan-akan sengaja dibuat untuk melegitimasi kriteria itu.  Secara ilmiah ini tentu tertolak, meski secara hukum dapat disahkan, selama ada yang berani bersaksi.

Lebih aneh lagi adalah kriteria ijtima’ qabla fajr.  Untuk kasus awal Ramadhan, ijtima’ terjadi pada Selasa 11 September 2007 pukul 12:44 GMT, atau pukul 19:44 WIB.  Jakarta tentu saja sudah Isya’, sehingga pada saat Maghrib mustahil ada laporan ru’yat.  Namun menurut kriteria ijtima’ qabla fajr, hari Rabu masuk tanggal 1, karena ijtima’ tadi terjadi sebelum fajar hari Rabu, yaitu pukul 04:40 WIB.  Celakanya, orang-orang yang ingin melegitimasi kriteria hisab ini, dapat mendasarkan keputusannya pada laporan seolah-olah hilal dapat diru’yat pada Selasa sore itu, padahal Selasa sore itu ijtima’ belum terjadi.

Idealnya memang para ahli berkumpul, merundingkan kriteria hisab yang didasarkan pada penelitian ru’yat empiris yang dapat diterima secara ilmiah (ada bukti foto / video), kemudian otoritas Islam yang dapat diterima sedunia (Khalifah) mengumumkan spesifikasi ru’yat yang benar, dan itu dilakukan dalam kampanye secara global.

Namun lepas dari itu, sesungguhnya astronomi Islam tidak sekedar aktual untuk urusan awal-akhir Ramadhan, atau jadwal sholat dan arah qiblat semata.  Kalau sekedar ini, umat Islam di masa Nabi juga sudah bisa melakukannya dengan baik, karena mereka orang-orang padang pasir yang akrab dengan langit, di saat dunia belum kenal listrik, kompas dan jadwal sholat.  Kaum muslim di masa lalu berburu ilmu astronomi ke Mesir, Romawi, Persia, India bahkan Cina, untuk sesuatu yang lebih besar.  Mereka belajar astronomi untuk menentukan posisi kapal laut dengan akurat, karena musuh-musuh mereka, terutama Romawi, sangat kuat armada angkatan lautnya.  Padahal Allah berfirman dalam QS Al-Anfaal:60

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. …

Karena paradigma astronomi Islam adalah untuk jihad, maka astronomi dikembangkan dengan sangat produktif.  Orang tidak menggunakan astronomi untuk berdebat soal ru’yat atau hisab yang tak menghasilkan apa-apa.  Saat itu ada khalifah yang berwenang memutus perkara kapan awal dan akhir Ramadhan yang dipakai negara.

Pada masa kejayaan Islam, astronomi menjadi salah satu sains dan teknologi primadona. Ahli-ahli mekanik dan optik bekerja bersama menghasilkan instrumen astronomi (seperti sextant) yang makin teliti.  Para hartawan belum merasa kaya jika belum shadaqah jariyah berupa observatorium beserta astronomnya.  Para Sultan mengabadikan dirinya dalam bentuk proyek penyusunan almanak astronomi yang akan dipakai untuk bernavigasi di laut berabad-abad.  Almanak ini pula yang belakangan dipakai Columbus menemukan benua Amerika, dan kapal Spanyol mencapai Filipina.

Sementara itu, ilmu ramalan bintang (astrologi) pelan-pelan tersisih, seiring dengan makin rasionalnya umat Islam, dan makin teguhnya keimanan mereka.

Dalam konteks sekarang ayat QS al-Anfaal:60 itu mestinya mengilhami kaum muslim untuk berusaha keras menguasai astronomi beserta teknologi antariksa saat ini, termasuk mengembangkan pesawat dan satelit-satelit ruang angkasa.  Dengan satelit-satelit di antariksa dapat dilakukan banyak hal seperti observasi bumi guna memetakan sumber daya alam, telekomunikasi dan siaran televisi antar benua, penentuan posisi global secara teliti, pengamatan objek langit terjauh yang bebas awan, percobaan ilmiah pada kondisi bebas gravitasi, hingga pengembangan senjata canggih berbasis antariksa (”starwars”).  Namun sejarah menunjukkan bahwa perkembangan astronomi dan teknologi antariksa selalu memerlukan peran negara yang kuat.  Umat Islam di masa lalu memiliki negara Khilafah.Bangsa Barat sekarang memiliki negara Amerika Serikat.

Jadi andaikata umat Islam menghendaki lagi unggul dalam astronomi dan teknologi antariksa, sudah selayaknya negara Khilafah yang dulu memperkuat mereka itu ditegakkan kembali.  Dan sudah selayaknya pula, kalau nanti negara itu membangun stasiun antariksa, stasiun ini tidak hanya dimanfaatkan untuk penentuan awal dan akhir Ramadhan, namun yang jauh lebih besar dari itu.

Menghitung Saat Astronomis dalam Perjalanan Udara

Tuesday, July 18th, 2006
Dr.-Ing. Fahmi Amhar

Abstrak

Pengalaman mencari-cari waktu sholat yang tepat selama perjalanan udara yang panjang atau bertanya-tanya mengapa kalau terbang dari Indonesia ke Eropa malamnya terasa lebih lama, sedang dari Eropa ke Indonesia siangnya terasa lebih lama, akan dicoba dijawab dalam tulisan singkat ini.

Permasalahan

Dalam perjalanan udara jarak jauh, seorang muslim sering bertanya-tanya kapan dia harus menunaikan sholat atau berbuka puasa. Waktu-waktu sholat ditentukan oleh saat astronomis, misalnya terbit dan terbenamnya matahari. Dalam kondisi diam di sebuah tempat, saat-saat astronomis ini cukup mudah dikenal. Katakanlah, di sebuah tempat adalah matahari terbit pukul 6 pagi, dan terbenam pukul 18 sore. Namun dalam perjalanan udara, sering terjadi berangkat pukul 24 malam, namun setelah 12 jam perjalanan ke arah Barat, sampai di tujuan pukul 6 pagi. Akibatnya terjadi kebingungan, kapan waktu Shubuh di perjalanan tersebut tiba – menurut jam yang bisa dibaca oleh sang penumpang. Selain masalah saat momen astronomisnya sendiri (seperti untuk jadwal sholat), hitungan saat astronomis juga dibutuhkan untuk menentukan kurun astronomis, misanya mengetahuai berapa lama malam atau siang yang akan dialami selama perjalanan.

Di beberapa pesawat, di monitor televisi kadang-kadang ditampilkan tiga jenis waktu, yaitu waktu di tempat berangkat (destination time), waktu di tempat tujuan, dan waktu lokal di bawah tempat pesawat aktual sedang berada. Hanya saja, waktu lokal ini agak sulit dihitung dari awal, dan pula terpengaruh oleh zonasi waktu.

Karena itu diperlukan rumus-rumus yang lebih mudah dipaai.

Metodologi

Untuk mencari rumus-rumus yang diperlukan, kita berangkat dari beberapa penyederhanaan terlebih dulu, sebelum nanti ditarik ke bentuk yang lebih universal.

Pertama-tama kita gunakan bumi yang berputar sempurna, dan kita perhatikan suatu gerakan hanya seakan-akan di sepanjang katulistiwa. Gerakan yang berbeda akan dicari proyeksinya di katulistiwa dan di lintang paralel terdekatnya.

Bumi berputar pada porosnya 24 jam sehari. Karena keliling bumi adalah 40000 km, maka laju sebuah titik di permukaan bumi di katulistiwa adalah 40000/24 = 1666 kph. Angka ini selanjutkan akan disebut dengan ve.

Sebuah pesawat dalam posisi diam di bandara, juga akan memiliki kecepatan sama dengan bumi di bawahnya, yaitu ve.

Namun ketika pesawat terbang, dia memiliki suatu kecepatan relatif terhadap bumi, yaitu vr.

Walhasil pesawat itu memiliki kecepatan absolut terhadap suatu titik astronomis yaitu va. di mana berlaku: va.= ve + vr

Karena dalam penyederhanaan ini ve konstan, maka cukup dianggap 1, sedang vr maupun va ditulis dalam perbandingannya dengan ve. Dan faktor untuk menghitung lama suatu kurun waktu f adalah = 1 / va.

Maka kemudian bisa kita buat tabel berikut ini:

 

vr va f Tafsir
1. -2 -1 -1 Saat astronomis pesawat mundur 1 jam tiap jamnya; pesawat berangkat pukul 6 pagi, setelah 2 jam terbang, sampai tujuan pukul 4 pagi.
2. -1 0 ~ Saat astronomis pesawat tetap; kalau berangkat pukul 6 pagi, sampai di tujuan masih pukul 6 pagi, berapapun lama terbang.
3. -0.5 0.5 2 Saat astronomis pesawat setengah dari di luar. Pesawat berangkat pukul 6 pagi, setelah dua jam terbang, sampai tujuan baru pukul 7 (bukan 8).
4. 0 1 1 Pesawat diam di tempat, saat astronomis pesawat sama dengan semula.
5. 0.5 1.5 0.67 Saat astronomis pesawat 1.5 kali dari di luar. Pesawat berangkat pukul 6 pagi, setelah dua jam terbang, sampai tujuan sudah pkl 6+1.5*2 = 9.
6. 1 2 0.5 mirip dengan atas.
7. 2 3 0.33 mirip dengan atas.

 

v vr negatif adalah saat pesawat ke arah Barat

v |vr | > 1 berarti pesawat bergerak dengan kecepatan melebihi kecepatan rotasi bumi.

Jam yang ditunjukkan adalah jam yang dipakai oleh penumpang pesawat, artinya jam yang belum diubah sejak dari tempat keberangkatan.

Aplikasi (untuk pesawat yang terbang nonstop)

(1) Menentukan saat sholat di pesawat

Bila seseorang berangkat ke Barat (misalnya dari Jakarta ke London) naik pesawat berkecepatan
vr = 833 kph atau -0.5 ve maka akan didapatkan va = 0.5 (atau f = 2).

Bila ia berangkat pukul 00:00, sedang di tempat keberangkatan Shubuh adalah pukul 04:30, maka waktu Shubuh di pesawat menjadi:

pkl = 00:00 + (04:30 – 00:00) * 2 = 09:00.

Sebaliknya bila ke timur dengan kecepatan yang sama, berangkat pukul 00:00 dari London, maka akan didapatkan va = 1.5 (atau f = 0.667) maka waktu Shubuh di pesawat menjadi:

pkl = 00.00 + (04:30 – 00:00) * 0.667 = 03.00.

 

(2) Menghitung lama malam/siang

Bila seseorang ada di katulistiwa, rata-rata lama siang atau malam sekitar 12 jam. Dalam perjalanan ke Barat (Jakarta – London) yang akan ditempuh dalam 15 jam dengan pesawat berkecepatan vr = 833 kph atau -0.5 ve maka didapatkan va = 0.5 (f = 2) atau siang/malam di pesawat menjadi 12 * 2 = 24 jam.

Artinya, bila seseorang berangkat pukul 20, yang berarti malam baru berlalu 2 jam, maka minimal dia masih akan mengalami malam selama 20 jam. Bila perjalanannya cuma 15 jam, maka yang akan dilihatnya adalah malam terus!

Dan memang, dia akan tiba di London pukul 11 WIB (waktu Jakarta) tapi masih pukul 04 GMT (waktu London). Namun kalau dia berangkat pukul 8 pagi, yang dilihatnya juga akan siang terus, dan sampai di London masih pukul 16 sore waktu London.

Sebaliknya bila ke timur dengan kecepatan sama, va = 1.5 (f = 0.667) maka siang/malam di pesawat menjadi 8 jam saja. Bila berangkat pukul 20, maka meski malam baru berlalu 2 jam, sisanya tinggal 6 jam. Sisa perjalananannya yang masih 9 jam akan dirasakannya siang hari. Inilah yang sering dirasakan penumpang Indonesia yang terbang dari Eropa. Namun tentunya akan berbeda bila berangkat dari Londonnya adalah siang hari.

 

(3) Contoh-contoh Extrem

Bila ada pesawat yang dapat ditumpangi terus berhari-hari tanpa harus mendarat, dan pesawat itu memiliki kecepatan sama dengan ve, maka bila diarahkan ke Barat, pesawat itu praktis tidak akan pernah melihat peristiwa astronomis berubah. Kalau matahari terbit ya terbit terus. Karena itu, bila mengelilingi dunia, setiap melewati garis tanggal internasional, dia harus lompat kalender, meskipun tidak pernah menyaksikan selain matahari terbit.

Contoh lainnya adalah pesawat supersonik yang terbang ke Barat dengan kecepatan melebihi ve. Maka bisa saja nanti dia berangkat dari Paris pukul 7 pagi, namun sampai NewYork pukul 6.

Pengembangan Lanjut

Pada realitasnya, lintasan pesawat selalu memilih jalur terpendek atau yang disebut geodesic. Untuk itu semua hitungan sederhana di muka bisa dikembangkan lagi.

Yang tidak sederhana adalah hitungan momen peristiwa astronomisnya sendiri, yang berbeda untuk lintang yang berbeda.

Untuk itu muncul sebuah ide untuk memadukan antara chip GPS untuk mendapatkan posisi koordinat dan waktu universal (UT) aktual serta memasukkannya ke program perhitungan jadwal sholat semacam Mawaaqit, Jadwal dsb. Idealnya alat ini bisa ditanam di dalam alat GPS handheld (asal masuk softwarenya), atau laptop (dengan GPS-card), ponsel, PDA atau mungkin lebih baik dalam sebuah jam tangan agar tetap boleh dipakai di pesawat. Kendalanya mungkin soal penerimaan sinyal GPS dalam ruang tertutup di dalam pesawat, namun hal ini mungkin relatif mudah diatasi para ahli elektronik.

Referensi:

Bretterbauer (1991): Grundzuege der Geodaetischen Astronomie. Vorlesungmanuskript an der TU Wien.

Khafid, et al (1999): Pemetaan Garis Tanggal Kalender Islam. Prosiding FIT ISI 1999: 31-42.

Amhar (2000): Mengenal Kontribusi Astronomi dalam Survei dan Pemetaan Kontemporer, Presented paper Kolloqium di Observatorium Bosscha, 9 Sep 2000, Prosiding Seminar Geomatika 23-24 Nov 2000: 62-65

Kehadiran Mars

Tuesday, May 30th, 2006

Tulisan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Sabtu 30 Agustus 2003.

Pada 27 Agustus pukul 17.00 WIB, planet Mars berada di posisi terdekat dengan bumi, yaitu 55,6 juta km atau selisih radius orbit kedua planet ini. Karena periode revolusinya tidak sama, biasanya jarak keduanya berkisar 101-378 juta km.

Berdasarkan hitungan yang memasukkan semua komponen gangguan yang dikenal hingga kini, peristiwa seperti ini amat langka, yaitu setiap 73 ribu tahun. Sedangkan hitungan yang lebih sederhana menyatakan peristiwa ini terjadi setiap 63 ribu tahun.

Terserah hitungan mana yang mau dipakai. Yang jelas, bagi sebagian besar manusia, fenomena langit yang langka sering dihubungkan dengan peristiwa yang bakal terjadi. Apalagi nama Mars artinya “Perang” dalam Mitos Yunani. Dan planet ini diiringi dua bulan, yaitu Deimos (Teror) dan Fobos (Takut). Apakah ini sesuai dengan perang global melawan terorisme yang sedang dipromosikan oleh Amerika Serikat? Atau tanda akan makin banyaknya teror yang menebar rasa takut, sehingga kita perlu Undang-Undang Anti Teror yang lebih represif ala ISA? Atau justru AS dan ISA itu sendiri yang menebar rasa takut di dunia, seperti dibuktikannya di Iraq, Afghanistan dan Palestina?

Tapi astrologi semacam ini sebenarnya tinggal “hobby” sejumlah orang yang tidak memiliki aktivitas yang cukup bermutu dengan fenomena langit. Empat belas abad silam, Nabi Muhammad saw memperingatkan bahwa fenomena langit tidak berhubungan dengan kelahiran atau kematian seseorang, juga keberuntungan dan bencana. Alkisah saat itu terjadi gerhana matahari bertepatan dengan meninggalnya Ibrahim, putera Nabi. Namun beliau tidak justru memanfaatkan fenomena itu sebagai tanda kenabian, misalnya dengan berkata, “Tuh lihat, kalau aku bukan nabi, mana mau matahari sampai berduka atas kematian puteraku …”.

Tidak. Nabi justru memerintahkan agar manusia berlomba untuk melakukan penyelidikan langit dan bahkan perjalanan ruang angkasa. Sejarah mencatat, bahwa di abad pertengahan, kaum muslimin tidak canggung untuk mengkaji al-Qur’an dengan “tafsir” buku Almagest karya astronom Mesir kuno, Ptolomeus. Mereka lalu membawa perkembangan signifikan di astronomi, yang berdampak luas di bidang pemetaan, pelayaran serta teknologi pendukungnya, optika, mekanika dan matematika.

Sepintas astronomi memang “dunia awang-uwung”, yang asyik ditonton, tapi jauh dari realita sehari-hari. Memang bila wahana pengintai Mars, seperti yang diluncurkan AS (Spirit dan Opportunity) serta Eropa (Beagle 2) saat ini dimaksudkan untuk merintis koloni di Mars, maka itu benar-benar mimpi.

Namun toh missi ruang angkasa selalu memberi dampak, sadar ataupun tidak. Teknologi remote sensing, semula untuk memetakan planet lain tanpa manusia. Kini, teknologi itu kita gunakan untuk memantau cuaca dan membantu menata sumber alam kita, agar tidak terus menerus didera kekeringan seperti sekarang.

Jadi, bila ada dampak kedatangan Mars bagi Kehidupan Kita, itu bukanlah “Mission to Mars” itu sendiri, namun “Mission to Earth”. Planet kita tercinta, pinjaman anak cucu kita.