Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
July 18th, 2006

Menghitung Saat Astronomis dalam Perjalanan Udara

Dr.-Ing. Fahmi Amhar

Abstrak

Pengalaman mencari-cari waktu sholat yang tepat selama perjalanan udara yang panjang atau bertanya-tanya mengapa kalau terbang dari Indonesia ke Eropa malamnya terasa lebih lama, sedang dari Eropa ke Indonesia siangnya terasa lebih lama, akan dicoba dijawab dalam tulisan singkat ini.

Permasalahan

Dalam perjalanan udara jarak jauh, seorang muslim sering bertanya-tanya kapan dia harus menunaikan sholat atau berbuka puasa. Waktu-waktu sholat ditentukan oleh saat astronomis, misalnya terbit dan terbenamnya matahari. Dalam kondisi diam di sebuah tempat, saat-saat astronomis ini cukup mudah dikenal. Katakanlah, di sebuah tempat adalah matahari terbit pukul 6 pagi, dan terbenam pukul 18 sore. Namun dalam perjalanan udara, sering terjadi berangkat pukul 24 malam, namun setelah 12 jam perjalanan ke arah Barat, sampai di tujuan pukul 6 pagi. Akibatnya terjadi kebingungan, kapan waktu Shubuh di perjalanan tersebut tiba – menurut jam yang bisa dibaca oleh sang penumpang. Selain masalah saat momen astronomisnya sendiri (seperti untuk jadwal sholat), hitungan saat astronomis juga dibutuhkan untuk menentukan kurun astronomis, misanya mengetahuai berapa lama malam atau siang yang akan dialami selama perjalanan.

Di beberapa pesawat, di monitor televisi kadang-kadang ditampilkan tiga jenis waktu, yaitu waktu di tempat berangkat (destination time), waktu di tempat tujuan, dan waktu lokal di bawah tempat pesawat aktual sedang berada. Hanya saja, waktu lokal ini agak sulit dihitung dari awal, dan pula terpengaruh oleh zonasi waktu.

Karena itu diperlukan rumus-rumus yang lebih mudah dipaai.

Metodologi

Untuk mencari rumus-rumus yang diperlukan, kita berangkat dari beberapa penyederhanaan terlebih dulu, sebelum nanti ditarik ke bentuk yang lebih universal.

Pertama-tama kita gunakan bumi yang berputar sempurna, dan kita perhatikan suatu gerakan hanya seakan-akan di sepanjang katulistiwa. Gerakan yang berbeda akan dicari proyeksinya di katulistiwa dan di lintang paralel terdekatnya.

Bumi berputar pada porosnya 24 jam sehari. Karena keliling bumi adalah 40000 km, maka laju sebuah titik di permukaan bumi di katulistiwa adalah 40000/24 = 1666 kph. Angka ini selanjutkan akan disebut dengan ve.

Sebuah pesawat dalam posisi diam di bandara, juga akan memiliki kecepatan sama dengan bumi di bawahnya, yaitu ve.

Namun ketika pesawat terbang, dia memiliki suatu kecepatan relatif terhadap bumi, yaitu vr.

Walhasil pesawat itu memiliki kecepatan absolut terhadap suatu titik astronomis yaitu va. di mana berlaku: va.= ve + vr

Karena dalam penyederhanaan ini ve konstan, maka cukup dianggap 1, sedang vr maupun va ditulis dalam perbandingannya dengan ve. Dan faktor untuk menghitung lama suatu kurun waktu f adalah = 1 / va.

Maka kemudian bisa kita buat tabel berikut ini:

 

vr va f Tafsir
1. -2 -1 -1 Saat astronomis pesawat mundur 1 jam tiap jamnya; pesawat berangkat pukul 6 pagi, setelah 2 jam terbang, sampai tujuan pukul 4 pagi.
2. -1 0 ~ Saat astronomis pesawat tetap; kalau berangkat pukul 6 pagi, sampai di tujuan masih pukul 6 pagi, berapapun lama terbang.
3. -0.5 0.5 2 Saat astronomis pesawat setengah dari di luar. Pesawat berangkat pukul 6 pagi, setelah dua jam terbang, sampai tujuan baru pukul 7 (bukan 8).
4. 0 1 1 Pesawat diam di tempat, saat astronomis pesawat sama dengan semula.
5. 0.5 1.5 0.67 Saat astronomis pesawat 1.5 kali dari di luar. Pesawat berangkat pukul 6 pagi, setelah dua jam terbang, sampai tujuan sudah pkl 6+1.5*2 = 9.
6. 1 2 0.5 mirip dengan atas.
7. 2 3 0.33 mirip dengan atas.

 

v vr negatif adalah saat pesawat ke arah Barat

v |vr | > 1 berarti pesawat bergerak dengan kecepatan melebihi kecepatan rotasi bumi.

Jam yang ditunjukkan adalah jam yang dipakai oleh penumpang pesawat, artinya jam yang belum diubah sejak dari tempat keberangkatan.

Aplikasi (untuk pesawat yang terbang nonstop)

(1) Menentukan saat sholat di pesawat

Bila seseorang berangkat ke Barat (misalnya dari Jakarta ke London) naik pesawat berkecepatan
vr = 833 kph atau -0.5 ve maka akan didapatkan va = 0.5 (atau f = 2).

Bila ia berangkat pukul 00:00, sedang di tempat keberangkatan Shubuh adalah pukul 04:30, maka waktu Shubuh di pesawat menjadi:

pkl = 00:00 + (04:30 – 00:00) * 2 = 09:00.

Sebaliknya bila ke timur dengan kecepatan yang sama, berangkat pukul 00:00 dari London, maka akan didapatkan va = 1.5 (atau f = 0.667) maka waktu Shubuh di pesawat menjadi:

pkl = 00.00 + (04:30 – 00:00) * 0.667 = 03.00.

 

(2) Menghitung lama malam/siang

Bila seseorang ada di katulistiwa, rata-rata lama siang atau malam sekitar 12 jam. Dalam perjalanan ke Barat (Jakarta – London) yang akan ditempuh dalam 15 jam dengan pesawat berkecepatan vr = 833 kph atau -0.5 ve maka didapatkan va = 0.5 (f = 2) atau siang/malam di pesawat menjadi 12 * 2 = 24 jam.

Artinya, bila seseorang berangkat pukul 20, yang berarti malam baru berlalu 2 jam, maka minimal dia masih akan mengalami malam selama 20 jam. Bila perjalanannya cuma 15 jam, maka yang akan dilihatnya adalah malam terus!

Dan memang, dia akan tiba di London pukul 11 WIB (waktu Jakarta) tapi masih pukul 04 GMT (waktu London). Namun kalau dia berangkat pukul 8 pagi, yang dilihatnya juga akan siang terus, dan sampai di London masih pukul 16 sore waktu London.

Sebaliknya bila ke timur dengan kecepatan sama, va = 1.5 (f = 0.667) maka siang/malam di pesawat menjadi 8 jam saja. Bila berangkat pukul 20, maka meski malam baru berlalu 2 jam, sisanya tinggal 6 jam. Sisa perjalananannya yang masih 9 jam akan dirasakannya siang hari. Inilah yang sering dirasakan penumpang Indonesia yang terbang dari Eropa. Namun tentunya akan berbeda bila berangkat dari Londonnya adalah siang hari.

 

(3) Contoh-contoh Extrem

Bila ada pesawat yang dapat ditumpangi terus berhari-hari tanpa harus mendarat, dan pesawat itu memiliki kecepatan sama dengan ve, maka bila diarahkan ke Barat, pesawat itu praktis tidak akan pernah melihat peristiwa astronomis berubah. Kalau matahari terbit ya terbit terus. Karena itu, bila mengelilingi dunia, setiap melewati garis tanggal internasional, dia harus lompat kalender, meskipun tidak pernah menyaksikan selain matahari terbit.

Contoh lainnya adalah pesawat supersonik yang terbang ke Barat dengan kecepatan melebihi ve. Maka bisa saja nanti dia berangkat dari Paris pukul 7 pagi, namun sampai NewYork pukul 6.

Pengembangan Lanjut

Pada realitasnya, lintasan pesawat selalu memilih jalur terpendek atau yang disebut geodesic. Untuk itu semua hitungan sederhana di muka bisa dikembangkan lagi.

Yang tidak sederhana adalah hitungan momen peristiwa astronomisnya sendiri, yang berbeda untuk lintang yang berbeda.

Untuk itu muncul sebuah ide untuk memadukan antara chip GPS untuk mendapatkan posisi koordinat dan waktu universal (UT) aktual serta memasukkannya ke program perhitungan jadwal sholat semacam Mawaaqit, Jadwal dsb. Idealnya alat ini bisa ditanam di dalam alat GPS handheld (asal masuk softwarenya), atau laptop (dengan GPS-card), ponsel, PDA atau mungkin lebih baik dalam sebuah jam tangan agar tetap boleh dipakai di pesawat. Kendalanya mungkin soal penerimaan sinyal GPS dalam ruang tertutup di dalam pesawat, namun hal ini mungkin relatif mudah diatasi para ahli elektronik.

Referensi:

Bretterbauer (1991): Grundzuege der Geodaetischen Astronomie. Vorlesungmanuskript an der TU Wien.

Khafid, et al (1999): Pemetaan Garis Tanggal Kalender Islam. Prosiding FIT ISI 1999: 31-42.

Amhar (2000): Mengenal Kontribusi Astronomi dalam Survei dan Pemetaan Kontemporer, Presented paper Kolloqium di Observatorium Bosscha, 9 Sep 2000, Prosiding Seminar Geomatika 23-24 Nov 2000: 62-65

Tags: ,

.

Leave a Reply