Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Belajar Jadi Profesor “GUN”

Thursday, February 23rd, 2012

Belajar Jadi Profesor “GUN”

Pada akhir 2011, Presiden RI telah menandatangani  Perpres 94/2011 yang secara perlahan tapi pasti akan mengubah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG).  Ini terjadi setelah munculnya UU no 4/2011 tentang Informasi Geospasial yang disahkan bulan April 2011. Berikut adalah wawancara hasil wawancara eksklusif dengan Prof. Fahmi.

Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar adalah salah seorang anggota tim kecil yang berada di belakang pematangan UU IG sejak tahun 2007.  Dia adalah profesor riset pertama di Indonesia di bidang sistem informasi spasial, profesor riset ke-2 di Bakosurtanal dan ke-310 yang dikukuhkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).  Pada saat pengukuhannya pada 11 Agustus 2010, Fahmi Amhar yang lahir pada 15 Maret 1968 ini baru berusia 42 tahun, sehingga dia menjadi profesor riset termuda yang pernah dikukuhkan LIPI.

Prof. Fahmi, apa sebenarnya cita-cita UU-IG yang nanti akan menjadi tugas BIG?
Intinya adalah “GUN” – Geospasial Untuk Negeri.  Ini juga tema besar yang dicanangkan Dr. Asep Karsidi, Kepala Bakosurtanal – dan sekarang sekaligus Kepala BIG di masa transisi – dalam peringatan 42 tahun Bakosurtanal tanggal 17 Oktober 2011 lalu.

Apa maksud “Geospasial Untuk Negeri” itu?
Dalam hemat saya GUN dapat disingkat dalam tiga motto: “Geospasial untuk seluruh wilayah Indonesia”, “Geospasial untuk seluruh urusan Indonesia” dan “Geospasial untuk seluruh rakyat Indonesia”.

Apa artinya “Geospasial untuk seluruh wilayah” ?
“Geospasial untuk seluruh wilayah Indonesia” artinya kita punya kewajiban menyediakan Informasi Geospasial Dasar tentang seluruh wilayah Indonesia, dari ibu kota hingga pulau-pulau terluar, dari puncak gunung hingga dasar laut di landas kontinen, dan dari yang skalanya untuk tingkat nasional (skala kecil) maupun yang sesuai untuk tingkat RT (skala besar).

Kalau “Geospasial untuk seluruh urusan”?
“Geospasial untuk seluruh urusan Indonesia” artinya kita punya kewajiban menjadikan informasi geospasial mendukung selesainya seluruh urusan kita secara lebih efektif dan efisien, dari urusan pemerintahan hingga urusan wisata keluarga, dari urusan eksekutif hingga legislatif dan judikatif, dari urusan yang menghasilkan banyak duit seperti peta untuk optimasi lokasi investasi hingga yang menguras duit seperti penanggulangan bencana atau kemiskinan.

Wah menarik, bagaimana dengan yang ketiga?
“Geospasial untuk seluruh rakyat Indonesia” artinya kita punya kewajiban menjadi informasi geospasial ini dapat diakses oleh segala lapisan masyarakat, dari anak pra sekolah hingga manula, dari petani hingga eksekutif, dari atlit olimpiade hingga kaum diffabel (penyandang cacat).  Ini artinya, kita harus mengemas informasi geospasial dalam berbagai bentuk, termasuk ke dalam budaya pop, dalam sinetron, dongeng anak-anak, hingga souvenir.

Prof, kira-kira berapa lama Geospasial Untuk Negeri ini akan menjadi realitas?
Saya kira ini perjalanan panjang.  Kita juga harus mengapresiasi apa yang telah ditempuh bangsa ini hingga hari ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.  Yang jelas, kita harus punya indikator, kita mau kemana, dan kita sampai di mana.  Setiap saat kita evaluasi, bahkan setiap lima tahun mungkin perlu ada perubahan kebijakan nasional dengan produk perundang-undangan bila dianggap perlu.

Oya iya Prof, ini pertanyaan agak pribadi, sebenarnya sejauh mana perjuangan anda meraih gelar tertinggi (sebagai Profesor)?
Sebenarnya saya merasa belum pantas dan belum pingin jadi profesor.

Hah, koq bisa?
Publikasi internasional saya belum banyak.  Hingga pengukuhan, saya belum pernah diberi amanah secara formal untuk membimbing calon Doktor.  Belum menulis banyak buku teknis.  Belum menghasilkan penemuan yang layak paten dan komersial.  Dan yang terpenting ini: saya belum botak, ubanan dan pelupa ha ha ha …

Jadi ternyata jadi Profesor itu tidak muluk-muluk?
Justru itu rahasia yang ingin saya buktikan.  Mau tahu?

Apa itu?
Untuk jadi Profesor riset itu perlu angka kredit kumulatif 1050.  Dari jumlah ini, 80% harus unsur utama, jadi kira-kira 840 lah.  Pendidikan jenjang S3 sudah menghasilkan 200.  Jadi karya tulis ilmiah harus 640.  Kalau tulisan kita masuk jurnal nasional terakreditasi, itu dapat 25.  Kalau prosiding konferensi nasional, itu dapat 10.  Jadi kalau kita secara teratur bisa masuk ke 4 prosiding dan 1 jurnal per tahun, pasti dapatlah, dalam 10 tahun meraih angka kredit yang dibutuhkan.  Tentu saja kalau nulisnya rame-rame, ya perlu lebih banyak tulisan lagi.  Intinya saya telah membuktikan bahwa dalam 10 tahun saja itu bisa koq jadi profesor, bukan sulap bukan sihir bukan KKN ha ha ha …  Tapi tentu saja ini tak lepas dari lingkungan yang kondusif di Bakosurtanal selama ini.  Saya tak akan bisa begini kalau tidak ada senior-senior yang memberi kemudahan dan juga tantangan, jika tak ada rekan-rekan tempat diskusi dan bekerjasama, dan jika tak ada bawahan yang membantu baik secara langsung maupun dengan doa.

Prof. Fahmi menyelesaikan Doktornya di Vienna University of Technology, Austria, pada tahun 1997, berarti pada usia 29 tahun.  Dia berangkat ke Austria pada tahun 1987 dengan beasiswa dari Kementerian Riset dan Teknologi yang saat itu dipimpin oleh B.J. Habibie.  Setelah pada 1993 meraih gelar “Diplom Ingenieur” di bidang Geodesy & Geomatics Engineering, dia mendapat beasiswa dari Austrian National Science Foundation untuk menempuh jenjang Doktoral.

Tapi Prof, tadi anda mengatakan anda merasa belum pantas jadi Profesor, tapi apa yang lalu menggerakkan anda untuk “mau” jadi Profesor?
Sebenarnya, tahun 2007 angka kredit kumulatif saya sudah lebih dari 1050, dan saya sudah menempati jabatan fungsional Peneliti Utama IV/e.  Tapi saat itu, peraturannya, yang boleh orasi pengukuhan profesor hanya yang pangkat PNS-nya sudah IV/e.  Baru pada tahun 2009 secara resmi aturan itu diubah oleh LIPI dan Badan Kepegawaian Negara, sehingga semua yang sudah Peneliti Utama IV/e, sekalipun pangkatnya belum IV/e, boleh orasi, asalkan dia S3.  Bahkan yang sudah Peneliti Utama IV/e itu hanya diberi waktu 2 tahun untuk orasi pengukuhan profesor.  Kalau tidak, ya nanti hak orasinya hangus.  Makanya ya saya buru-buru orasi lah, daripada hangus … Maka jadilah saya profesor.

Oh jadi sebenarnya anda sudah layak menjadi profesor pada tahun 2007?
Ya kalau menurut aturan LIPI-BKN tahun 2009 itu begitu.

Wah kalau begitu anda sebenarnya meraih derajat Profesor pada usia 39 tahun.  Perasaan anda gimana, jadi profesor semuda ini?
Biasa saja.  Kalau dibandingkan dengan banyak profesor lain di Indonesia, insya Allah saya gak jelek-jelek amat … ha ha ha.  Lagi pula, teman-teman saya sekolah di Austria dulu juga ada beberapa yang sudah jadi Profesor.  Wolfgang Wagner dan Norbert Pfeifer yang satu lab dengan saya dulu masing-masing jadi profesor pada usia 32 dan 35 tahun.  Di Indonesia, Prof. Firmansyah dari FE-UI jadi profesor pada usia 37 tahun.  Memang profesor di perguruan tinggi ukurannya agak beda.  Mereka cukup angka kredit kumulatif 850.  Dan unsur utamanya bukan cuma penelitian, tetapi juga pengajaran dan pengabdian masyarakat (tridarma perguruan tinggi).  Tapi intinya, bukan usia yang menentukan, tetapi karya dan kontribusi.  Dan saya menyadari, sepertinya kontribusi saya belum apa-apa.

Bisa ceritakan proses anda menjadi peneliti?
Saya itu hobby meneliti sejak SMP.  Selama SMA saya tiga kali meraih juara Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI [tahun 1984, 1985 dan 1986].  Saya mendirikan Kelompok Ilmiah Remaja.  Sejak menjadi Doktor, saya juga mereview beberapa jurnal nasional dan internasional.  Saya juga aktif di berbagai organisasi profesi ilmiah.  Bahkan saya pernah jadi acting president dari TC-VI International Society of Photogrammetry & Remote Sensing.

Hasil riset anda yang termanfaatkan apa saja?
Saya banyak melakukan optimasi proses pemetaan digital dan pembangunan sistem informasi spasial.  Tahun 1997 begitu pulang saya terlibat intensif dengan salah satu megaproyek Bakosurtanal saat itu, yaitu proyek digital mapping.  Saya melakukan otomatisasi dalam proses penyelesaiannya, sehingga pekerjaan yang mestinya perlu 25 orang dengan 25 komputer selama 1 bulan, cukup dikerjakan oleh 5 komputer selama 2 minggu non stop. Lalu saya banyak terlibat dalam standardisasi proses-proses pemetaan.  Tanpa standard tak ada kualitas, dan tanpa peta yang berkualitas tak ada sistem informasi spasial yang handal.  Bayangkan kalau sistem informasi ini dipakai untuk manajemen kebencanaan!  Saya juga terlibat dalam banyak hal di luar teknis perpetaan seperti membuat juknis jabatan surveyor pemetaan, membuat modul-modul diklat, menyusun harga satuan pokok, menyusun RPP Tingkat Ketelitian Peta untuk Rencana Tata Ruang, hingga menyusun RUU Informasi Geospasial yang baru disahkan DPR 5 April 2011 lalu.  Saya berusaha agar semua ini memiliki landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tahun 2007-2010 Fahmi menjadi Kepala Balai Penelitian Geomatika Bakosurtanal, yang hingga saat itu merupakan satu-satunya unit resmi litbang di Bakosurtanal, meskipun peneliti juga tersebar di unit kerja yang lain.

Anda pernah di struktural, apa yang anda rasakan?
Di struktural itu, gagasan kita bisa kita terapkan, tentunya terbatas dalam lingkup yang kita kendalikan.  Kalau peneliti belaka kan paling hanya bisa usul.  Di struktural kita bisa alokasikan sumberdaya baik orang maupun anggaran.  Namun di sisi lain, saya terkadang miris juga dengan pertanggungjawaban moral.  Kadang masih jauh antara harapan dengan kenyataan.  Kalau dari sisi penelitian sebenarnya tidak masalah mengatakan bahwa penelitian ini hingga bulan Desember belum selesai karena beberapa kendala, mungkin tiga bulan lagi baru kelar.  Tapi secara anggaran harus dinyatakan selesai, karena kalau tidak selesai, dana tidak dapat ditarik sama sekali, hangus, jadi kalau begini, yang akan menyelesaikan tiga bulan ke depan juga tidak akan dapat dibayar.  Dilematis.

Jadi anda lebih suka tidak di struktural?
Kalau hanya melihat tunjangan, tunjangan peneliti utama lebih tinggi dari tunjangan Kepala Balai (Eselon 3) saat itu.  Mungkin lain kalau strukturalnya setingkat Eselon 2 atau Eselon 1 ha ha ha …  Mengutip Prof Syafii Maarif [mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah], gaji profesor saat ini masih “gaji penghinaan” ha ha ha …  Tapi mudah-mudahan segera akan berubah.  Di Perguruan Tinggi gaji+tunjangan profesor sekarang sudah lebih tinggi dari eselon-1.  Tapi sebaiknya kita berorientasi pada output dan outcome saja.  Soal penghasilan itu sudah ada yang ngatur … ha ha ha …

Anda tidak tertarik bekerja di Luar Negeri saja?
Tahun 1989 sewaktu masih mahasiswa saya pernah kerja di suatu biro engineering di Austria.  Tahun 1990 saya bahkan pernah kerja sebagai programmer dalam suatu proyek GIS [Geographic Information System] di IBM Vienna.  Gajinya 250 Schilling atau sekarang sekitar 25 Euro per jam.  Saya kira sampai sekarang pun gaji segitu masih lumayan.  Padahal dulu saya masih mahasiswa, sekarang profesor ha ha ha …Tetapi hidup ini kan tidak cuma mengejar nilai materi.  Ada nilai ethical, sosial atau bahkan spiritual.  Dan saya merasa kehadiran saya di Indonesia bermanfaat untuk lebih banyak manusia dibanding kalau saya tetap di Luar Negeri.  Tetapi saya tidak memandang negatif teman-teman yang tetap di Luar Negeri.  Banyak di antara mereka yang ternyata juga punya kontribusi besar untuk Indonesia dan dunia, yang mungkin kalau mereka di sini malah tidak bisa.  Sedangkan di sisi lain, banyak juga lulusan Luar Negeri yang berada di Indonesia tetapi justru menjadi benalu bagi masyarakat, misalnya jadi koruptor.

Apa yang paling membahagiakan anda?
Kalau saya dapat menginspirasi para guru dan anak-anak muda agar mereka menjadi orang-orang yang berpikir, syukur-syukur menjadi ilmuwan, bahasa Qur’annya menjadi “ulil albab”.  Tetapi lebih bahagia lagi kalau dapat menginspirasi orang yang punya kekuasaan, sehingga mereka memutuskan kebijakannya dengan adil.  Bahasa Nabi, adilnya umara itu lebih utama dari sholat malam 70 tahun …

Itulah makanya anda juga mengajar?
Ya, saya mengajar di Pasca IPB dan Undip, dulu juga di Universitas Paramadina dan Universitas Muhammadiyah.  Oleh LIPI dan Diknas saya juga sejak kira-kira sepuluh tahun terakhir dipercaya sebagai juri beberapa lomba ilmiah, seperti Lomba Karya Ilmiah Remaja, Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia, National Youth Inventor Award dan Lomba Penelitian Ilmiah Remaja. Saya menulis buku dan mengembangkan training untuk meningkatkan kecerdasan dan kreativitas ilmiah berbasis spiritual (Technoscience Spirituality Quotient).  Dan selain itu saya banyak menjadi pembicara seminar dalam berbagai topik kemasyarakatan, umumnya tentang pendidikan atau riset, tetapi kadang juga tentang ekonomi atau politik, karena realitanya pendidikan atau riset itu subordinat dari sistem ekonomi atau politik yang ada.

Mengapa anda tidak masuk dunia politik saja?
Berpolitik tidak harus masuk parpol kan?  Membaca buku itu aktivitas akademik.  Tetapi berupaya agar semua anak bangsa bisa membaca, itu adalah aktivitas politik.  Itu terkait dengan menciptakan iklim membaca yang kondusif, menyediakan bacaan bermutu yang mudah diakses dan sebagainya.  Demikian juga dengan dunia riset.  Dunia riset di negeri ini jauh dari kondusif.  Peneliti sehebat apapun tidak boleh mendapatkan insentif lebih dari Rp. 50 juta setahun, karena setiap peneliti hanya boleh lembur maksimum 4 jam / hari, dan honornya perjam untuk profesor adalah Rp. 50.000.  Itu semua masih dipotong pajak ha ha ha …  Saya bahkan membayangkan, kalau Thomas Alva Edison [penemu lampu listrik] hidup di sini, tentu dia tidak lolos masuk peneliti.  Demikian juga dengan Bill Gates [pendiri Microsoft] yang bukan sarjana.  Albert Einstein [penemu fisika relativitas] mungkin bisa jadi peneliti, tapi paling pangkatnya mentok di IV/B ha ha ha …
Riset kita di kancah internasional masih “ngisin-isini” (bikin malu).  Kita senangnya jadi tangan di bawah, menerima dana hibah atau utangan atau training.  Pengalaman saya jadi counterpart proyek dengan utang Luar Negeri, itu isi kontraknya didikte oleh mereka.  Kita boleh saja mencoreti item yang sudah kita kuasai, tetapi harga totalnya atau besaran utangnya ternyata tetap.

Anda sudah Profesor berarti sudah “di garis aman”
Siapa bilang?  Kalau di Perguruan Tinggi mungkin ya, kalau profesor riset, itu tiap dua tahun harus melakukan maintainance, setor angka kredit sekian.  Kalau tidak tercapai, ya gelar profesornya dicopot.  Apa gak malu itu?  Tetapi lebih dari itu, seorang profesor dituntut lebih oleh masyarakat.  Dia tak harus sekedar mumpuni, tetapi juga harus “bunyi”, menyuarakan kebenaran dan melawan kedhaliman.

Cita-cita anda yang belum tercapai?
Saya kira kita semua punya beberapa jenis cita-cita.  Ada cita-cita abadi, yaitu masuk surga.  Ada cita-cita jangka panjang, menengah dan pendek.  Cita-cita jangka pendek itu seperti “jadi sarjana” atau “jadi profesor”.  Sangat egoistik.  Ukurannya apa yang diterima diri pribadi.  Kalau jangka menengah dan panjang tak bisa lagi sekedar menerima, tetapi harus memberi.  Saya punya cita-cita jangka menengah agar Geospasial Untuk Negeri benar-benar terwujud dalam sepuluh tahun ke depan.  Terus saya punya cita-cita jangka panjang agar dalam dua puluh lima tahun ke depan kita memiliki kontribusi universal yang signifikan, mungkin bahasanya “Geospasial rahmatan lil ‘alamien”.  Boleh kan?

Persisnya seperti apa?
Tantangan ke depan akan semakin global.  Perubahan iklim, kemudahan arus barang jasa dan informasi antar bangsa, tetapi juga kejahatan transnasional, semua membutuhkan wisdom yang kelas dunia, dan juga tools – termasuk informasi geospasial – yang kelas dunia. Saya masih ingin ikut menyaksikan, karya dan perjuangan ilmuwan-ilmuwan Indonesia itu bermanfaat bagi manusia sejagad hingga berabad-abad kemudian, seperti al-Khawarizmi yang membuat aljabar atau al-Biruni yang memberi dasar-dasar ilmu bumi modern.  Ilmu yang bermanfaat akan menjadi investasi yang tidak akan putus sekalipun kita mati. Saya juga ingin mencetak kader-kader ilmuwan lebih banyak, karena guru yang hebat itu adalah guru yang mampu membuat muridnya lebih hebat dari dirinya. Semoga Allah masih memberi saya panjang usia.

Ah Prof. Fahmi, anda masih muda, tetapi terima kasih atas wawancaranya yang sangat inspiratif.

Oleh: Agung Teguh Mandira
(http://www.bakosurtanal.go.id/bakosurtanal/belajar-jadi-profesor-gun/)

PENANGGULANGAN BENCANA; Persoalan Fokus, Organisasi dan Anggaran

Sunday, November 7th, 2010

Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Bakosurtanal

Indonesia adalah supermarket bencana.  Belum selesai longsor di Wasior Papua teratasi, Gunung Merapi meletus, Gempa dan tsunami terjadi di Mentawai, dan Jakarta justru tenggelam dalam banjir.  Sebenarnya, bencana (hazard) tidak harus menjadi malapetaka (disaster) selama kapasitas teknis maupun manusia di dalamnya cukup untuk mengantisipasinya.  Curah hujan yang tinggi tidak akan menjadi malapetaka bila sistem drainase bagus.  Longsor dan Gunung Meletus dapat dihindari dengan mengevakuasi atau memindahkan permukiman secara permanen ke daerah aman.  Gempa bisa dihadapi dengan bangunan tahan gempa.  Tsunami bisa diantisipasi dengan sistem peringatan dini dan pelatihan (tsunami drill) yang teratur.

Tetapi meski telah memiliki UU no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan telah dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tapi kapasitas bangsa ini dalam menanggulangi bencana nyaris belum banyak berubah.  Akibatnya upaya-upaya mengatasi bencana ini dikeluhkan banyak pihak masih jauh dari optimal.  Memang upaya penanggulangan bencana adalah juga tanggungjawab masyarakat – dalam bentuk edukasi dan gotong royong, namun tidak disangsikan bahwa pemerintah memiliki kemampuan yang paling besar.  Pemerintah memiliki organisasi yang paling besar.  Ada empat juta PNS dan setengah juta lebih anggota TNI dan POLRI.  Pemerintah juga memiliki APBN dalam orde Trilyun.  Ini semua jauh di atas seluruh LSM bersama-sama.

Penulis melihat ada tiga hal yang perlu lebih diperhatikan secara serius oleh Pemerintah agar upaya-upaya penanggulangan bencana ini ke depan lebih optimal.

Pertama masalah fokus.  Fokus ini nanti akan mempengaruhi pola organisasi dan anggaran.  Tidak pelak lagi, yang namanya bencana tidak bisa direncanakan seperti pesta pernikahan.  Oleh sebab itu, banyak pihak tidak sabar, dan akhirnya hanya fokus dalam tanggap darurat saja.  Padahal penanggulangan bencana memiliki setidaknya tiga siklus: pencegahan – tanggap darurat – pemulihan.  Selama tidak ada kejadian yang memerlukan tanggap darurat, seharusnya ada upaya-upaya permanen untuk pencegahan.  Memeriksa secara teratur sistem drainase, menguji kehandalan pencatat pasang surut, hingga melatih semua PNS, pelajar dan mahasiswa secara teratur dan sistemik untuk tanggap darurat – sesuai tipe bencana yang mungkin dihadapi di daerah itu, adalah contoh-contoh upaya pencegahan.

Kedua masalah organisasi.  Karena fokus penanggulangan bencana hanya pada tanggap darurat, tak heran bahwa organisasi BNPB ataupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hanya diisi dengan personel dan peralatan ala kadarnya.  Mereka lebih mengandalkan pada personil yang dipinjam dari instansi lain seperti dari Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, bahkan hingga BPPT atau Bakosurtanal dalam bentuk Tim Satuan Respon Cepat (SRC) atau Taruna Siaga Bencana (TAGANA).  Teorinya, personil pinjaman ini sudah sepakat siap dikerahkan sewaktu-waktu ada bencana.  Kenyataan di lapangan tidak semudah itu.  Kadang-kadang anggota SRC ataupun TAGANA sedang menghadapi tugas pokok sehari-hari di instansinya.  Dan tidak selalu mudah untuk setiap saat meninggalkan tugas pokoknya tersebut dan dikerahkan ke daerah bencana.  Apalagi kalau sudah menjelang akhir tahun, di mana tugas-tugas menumpuk dan harus ada laporan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan di depan auditor, yang tentu saja hanya akan menilai kinerja berdasarkan tupoksi tiap instansi.  Organisasi yang kurang fokus ini juga menyebabkan rekrutmen personel BNPB atau BPBD belum berdasarkan kompetensi – atau bahkan sertifikasi.  Personel PNS limpahan dari instansi lain masih ada yang “personel sisa”, bukan personel terbaik yang tahan banting.  Dari sisi organisasi ini, harus diakui bahwa TNI memiliki organisasi dan personel terlatih yang paling siap melakukan tanggap darurat.

Ketiga masalah anggaran.  Bencana terjadi tidak mengikuti tahun anggaran.  Serapan anggaran untuk penanggulangan bencana tidak dapat linier seperti proyek-proyek normal.  Misalnya ada aturan Kementerian Keuangan yang mengharuskan tgl 15 Desember sudah “saldo besi”.  Bagaimana bila bencana terjadi setelah tanggal itu, seperti tsunami Aceh 26 Desember 2004 lalu?  Aturan umum dalam penyerapan anggaran yang linier membuat institusi yang menyiapkan SRC dan TAGANA tidak bisa berbuat banyak ketika bencana terjadi di penghujung tahun.  Ini menjadi lebih rumit ketika masih ada egoisme sektoral, sehingga banyak kantor BNPB / BPBD yang hingga kini masih numpang dan juga di lokasi yang kurang nyaman untuk didatangi.

Mudah-mudahan Pemerintah, dapat melihat persoalan ini secara jernih, sehingga kendala fokus, organisasi, anggaran, dan egoisme sektoral dapat diurai, korban bencana dapat lebih cepat ditolong dan masyarakat secara umum dapat ditingkatkan kapasitasnya menghadapi bencana.

Strategi Marketing Informasi Spasial

Sunday, January 3rd, 2010

Dr.-Ing. Fahmi Amhar

Peneliti Teknologi Pemetaan Digital Bakosurtanal

Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong

Telp/fax. 021-87901254  email: famhar @telkom.net

 Abstrak

Strategi marketing menurut Hermawan Kartajaya (one of “Marketing Guru”, who shaped the world of marketing) dapat dringkas dalam 9 prinsip.  Prinsip-prinsip ini ternyata bisa diterapkan dalam berbagai aplikasi, baik di perusahaan besar, BUMN, jasa konsultasi, professional, bahkan hingga sampai ke personal (misalnya bagi seseorang yang ingin menjalani satu karier tertentu). 

Pada tulisan ini 9 prinsip itu dicoba diterapkan untuk meningkatkan “daya jual” kemampuan penyediaan data, informasi dan solusi spasial dari dunia data spasial, khususnya Bakosurtanal.

 

Gambar 1. Sketsa model 9 prinsip dalam marketing

 

Prinsip 1 – 3: Explore MIND SHARE

 

Prinsip-1 (mapping strategy) : Segmentation
– View Your Market Creatively

Bagi suatu institusi publik LPND seperti Bakosurtanal, market mereka adalah masyarakat.  Masyarakat ini dari sisi latar belakang ada yang telah melek peta (data spasial) dan ada belum (map illiteracy); yang melekpun ada yang telah menggunakan produk Bakosurtanal ada yang belum.  Dari sisi respon terhadap produk, ada yang negatif, positif dan netral.  Dari sisi sosiologis didapatkan berbagai latarbelakang:  dari aspek kelembagaan (Bappeda, Dinas, BUMN, swasta, akademik, LSM), finansial (kurang, rata-rata, mampu), pendidikan (rendah, rata-rata, tinggi), lingkungan (rural, urban, metro), budaya (tradisional, modern, liberal), serta kedekatan kepada peta (jauh, standar, kental).

Apa yang perlu dibidik oleh Bakosurtanal khususnya dan dunia data spasial umumnya secara spesifik?  Mungkin di suatu tempat, prioritas ditujukan ke Bappeda, sementara di tempat lain ke mahasiswa atau LSM. 

Ibaratnya kita tidak boleh melihat semua pihak sebagai hutan, namun sebagai pohon, yang masing-masing bisa berbeda.  Maka kita perlu kelompokkan yang karakternya kurang lebih sama – agar diakses dengan “bahasa” yang sama, atau oleh person dengan karakter sama.  Kita juga akan tahu sikap dan perilaku yang tepat ketika berinteraksi dengan tiap segmen itu, sehingga marketing akan sampai, tidak belum-belum sudah ditolak, hanya karena ketaksesuaian metode pendekatan komunikasi kita, misalnya karena bahasa yang kita gunakan terlalu teknis, terlalu “spasial” – belum empati kepada calon konsumen.

 

Prinsip-2 (fitting strategy) : Targeting
– Allocate Your Resources Effectively

Karena kita memiliki sumberdaya yang terbatas, baik dari sisi jumlah orang, waktu maupun dana, maka mau tak mau harus ada skala prioritas.  Inilah targeting.  Mana yang akan kita bidik duluan, meski tidak berarti melalaikan segmen yang lain.

Sebelumnya kita mesti melihat dulu di mana potensi dan kekuatan kita.  Target memang sedikit banyak tergantung pada kompetensi kita.  Kita harus memastikan bahwa pada segmen yang kita tuju itu kita mempunyai possibility yang besar untuk diterima.  Kalau kita menyapa target itu, dan kemudian timbul respon atau diskusi, maka itu berarti kita akan mendapatkan kemajuan.  Namun sebagaimana sniper, kita memang perlu mengalokasikan waktu, tenaga dan pikiran, terutama untuk target utama kita.  Baru sisanya untuk target berikutnya.

 

 

 

Gambar 2. Posisi Bakosurtanal (sebagai company) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

 

 

 

Dalam hal ini, Hermawan memberi ide analisis TOWS – kebalikan dari SWOT (lihat gambar-2).  Dalam TOWS ini, yang dilihat pertama-tama adalah Threat (tantangan).  Tantangan muncul dari 3C (Customer, Competitor dan Change). 

Customer memiliki permintaan yang beraneka ragam (dari mulai keinginan membuat peta yang setiap rumah kelihatan, sampai yang satu kabupaten bisa muat dalam selembar untuk ditaruh di meja rapat). 

Competitor meliputi berbagai institusi yang mengklaim diri mampu menyediakan data hingga solusi spasial dengan cepat (LAPAN, BPPT, Perguruan Tinggi, swasta) selain “clasic competitor” (Dittop-AD, Dishidros-AL, BPN, DKP). 

Change meliputi perubahan-perubahan teknologi (hadirinya 4S – GPS, GIS, RS dan e/m-BussinesS), regulasi (UU Akses Informasi, UU Perlindungan Konsumen, RUU Rahasia Negara) dan perubahan sosial budaya yang inkremental (seperti penggunaan PDA dan GPS yang makin luas).

Namun tantangan inipun diimbangi dengan Opportunity – peluang menjadikan Bakosurtanal sebagai content-provider berbagai jenis location based service.  Walaupun kita juga tahu bahwa untuk itu masih ada banyak Weakness (kelemahan) yang masih harus diatasi, terutama SDM yang benar-benar cakap manajemen dan melek informatika. 

Namun kita tetap harus berbesar hati dengan apa yang telah dimiliki, terutama data yang begitu besar dengan kualitas terbaik yang mencakup seluruh Indonesia, juga dengan SDM yang berpengalaman dan berpendidikan tinggi.  Selain juga jangan dilupakan posisi quasi-monopolistik yang masih ada, serta intangible assets berupa jaringan kerjasama yang telah dirintis selama ini.

 

Prinsip-3 (being strategy) : Positioning
– Lead Your Customers Credibly

Kalau kita mendatangi suatu lembaga dan menawarkan produk atau jasa kita, mereka akan bertanya, siapakah kita ini? 

Karena itu agar aktivitas Bakosurtanal ini menancap dengan baik di dada customer, maka Bakosurtanal harus kredibel di mata customernya.  Kredibilitas ini akan didapat ketika orang percaya bahwa kita ini unik dan membuktikan keunikan itu dengan produk dan jasa yang berkualitas nomor satu.  Bahkan Bakosurtanal tidak hanya siap dengan produk unik sebagai sekedar komoditas, namun juga siap dengan produk yang memuaskan, bahkan memberi “sensasi” dan solusi. Kalau perlu tunjanglah hal itu dengan track-record selama ini, agar positioning itu kuat dan kita memang punya kredibilitas untuk itu.

Positioning bukan sesuatu yang bisa didapat dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan dan dipupuk dengan differentiating dan branding.

 

 

 

 

Gambar 3. Produk yang unik dan “beda” dan relevan pada kebutuhan pengguna

 

 

Prinsip 4-6: Engage MARKET SHARE

 

Prinsip-4 (core tactic) : Differentiation
– Integrate Your Content and Context

Dalam berlomba-lomba bersama para “competitor”, kita harus menentukan kuat di mana dan mendiferensiasi di content atau context.  Paling tidak satu dari ini harus beda dengan competitor.  Akan lebih baik kalau content memang informatif, akurat atau berkualitas, dan context juga cantik, sistematik, pokoknya menarik orang untuk menyimak.

Content dan context harus terintegrasi dengan baik.  Karena kita bergerak dalam informasi spasial ya contentnya harus spatially.  Dan karena kita mass data provider – bukan sekedar riset, atau malah presentasi belaka – ya contextnya harus benar-benar memberikan apa yang dibutuhkan orang dalam mengatasi problemnya, bukan sekedar wacana ilmiah atau seminar tiada akhir (lihat gambar-3).

 

Differentiation of Bakosurtanal

 

We don’t make any map,
but 3D-topographic map

We don’t map just a garden or a city,
but national wide

We don’t map for specific purpose,
but for all purposes

We don’t offer just map,
but spatial data infrastructure

We are not just a mapping institute,
but also a “university of mapping”

We are not just a spatial data factory,
but we do also advance research in spatial data

We are not the only or the first in mapping,
but we are the most experienced in Indonesia

 

 

 

Prinsip-5 (creation tactic) : Marketing Mix
– Integrate Your Offer and Access

Marketing mix meliputi 4P yakni Product, Price, Place dan Promotion.  Dalam merancang marketing mix ini kita harus kembali pada diferensiasi.  Kita mau different di bidang apa?  Kita misalnya ingin menjadi provider infrastruktur data spasial, maka orang harus mengingat kita sebagai penyedia yang paling ahli atas infrastruktur data spasial.  Kita harus bicara mengenai data spasial dengan segenap aspeknya.  Apapun persoalannya, harus kembali ke infrastruktur data spasial yang dalam tataran praktis baru akan sempurna bila diimplementasikan oleh semua stakeholder.  Jadi diferensiasi harus diingat dulu agar tidak salah arah.

Kemudian kita harus susun product, price, place dan promotion agar cocok dengan diferensiasi tadi.  Produk kita jelas yakni infrastruktur data spasial, mulai dari titik-titik kontrol, data gaya berat, pasut, foto-foto udara, peta dasar rupabumi dan wilayah cetak maupun digital dalam berbagai formatnya, gasetir toponimi, hingga ke berbagai atlas. 

Pricenya adalah apa yang perlu diberikan oleh customer?  Secara makro, masyarakat adalah customer yang membayar Bakosurtanal melalui mekanisme pajak dan APBN.  Sedang secara mikro, berbagai pihak membeli data, informasi atau solusinya secara langsung dalam bentuk PNBP.

Gabungan antara product dan price ini disebut Offer.  Offer adalah apa yang kita tawarkan kepada orang.  Kita punya “servis”.  Kita juga memasang “harga”.

Selain itu kita juga harus bisa diakses melalui place dan promotion.  Kita bisa diakses lewat channel mana?  Kalau orang mau produk ini, dia harus kemana?  Bagaimana kita bisa diakses juga sebaiknya direncanakan, misalnya melalui suatu website, kartunama standar yang lengkap dengan nomor telepon atau HP. 

 

Prinsip-6 (capture tactic) : Selling
– Build Long-term Relationship with Customer

Kita harus berani melakukan selling, tapi jangan hard selling atau menjual secara frontal.  Tapi kalau terlalu pasif juga salah.  Jadi ”seling is about art”.

Kita bisa menjual feature selling dengan menjual apa yang kita ada, benefit selling dengan menjual manfaat yang akan didapat customer bila “beli” kita.  Namun yang terbagus adalah menjual solusi.

Ini artinya, jangan terpaku pada PNBP dari penjualan data.  Andaikata seluruh data atau peta habis terjual pun, revenuenya tidak akan menutup investasi (yang untungnya ditanggung negara melalui APBN).  Produk pemetaan tidak seperti produk industri rekaman.  Investasi satu nomor lembar peta dapat mencapai Rp. 100 juta; sementara berapa exemplar peta yang akan terjual dengan harga Rp. 30.000/hardcopy atau Rp. 500.000/softcopy? 

Karena itu lebih baik bermain pada benefit-selling.  PNBP bisa didapat dari customization, memberikan solusi pada pengguna, termasuk juga memberikan update atau training. Dan untuk memperluas pasar ini, tidak ada salahnya untuk mencoba membagikan data secara gratis (pada segmen pasar tertentu), dan kemudian melihat peluang bisnis derivatifnya.  Jadi rugi (sedikit) pada feature selling namun untung banyak di benefit selling.

Setelah itu kita harus terus menjaga relationship dengan pelanggan.  Hubungan ini berlanjut terus, meski pelanggan sudah (pernah) membeli kita.

Kita bisa mengingatkan pelanggan dengan suatu newsletter atau mailing-list yang menginformasikan produk baru kita atau kemungkinan update data yang mereka miliki.  Kita perlu mengadakan semacam “Bakosurtanal User Meeting” secara teratur sehingga hubungan dengan customer terus berlanjut.

 

 

Prinsip 7-9: Execute HEART SHARE

 

Prinsip-7 (value indicator) : Brand
– Avoid the Commodity-Like Trap

Jangan anggap nama sekedar nama.  Nama itu penting dan orang harus mengetahui asosiasi apa yang melekat dengan nama kita.  Kita punya kewajiban membangun brand kita sendiri, baik sebagai individu professional maupun sebagai “kru Bakosurtanal”.  Walau awalnya adalah secara “kecil-kecilan” hanya di forum-forum “klasik” seperti Bappeda (Tata Ruang) atau Tata Pemerintahan (Tata Batas), tapi harus meningkat sehingga juga merambah ke dunia bisnis atau infotainment (informasi yang dikemas sebagai entertainment), sehingga makin banyak yang mengenal kita.  Menulis di media, tampil di acara publik, atau muncul di televisi adalah salah satu usaha melakukan branding.

Setelah itu jaga nama baik kita.  Jangan sampai kita keseringan mengumbar janji tapi tidak mampu memenuhinya (promise under delivery). 

Lebih baik kita rugi materi, tidak apa asal jangan sampai nama kita jatuh.  Sekali nama tercemar, kerugiannya akan lebih besar daripada yang diperkirakan.

 

 

Brand image Bakosurtanal

 

Spatial information

Sistematics – Nationwide

Quality – Accurate

 

 

Prinsip-8 (value enhancer) : Service
– Make Service as Your Way of Life

Dalam tingkatan intelektual, ilmu-ilmu servis memang harus dipelajari dengan baik, bagaimana memperlakukan orang yang butuh pelayanan, bagaimana melakukan orang dengan empati, bagaimana menghadapi orang yang tidak tahu namun sok tahu, dan sebagainya.

Namun kita juga harus belajar mengenali mood kita sendiri, dan mengindentifikasi mood orang lain.  Dengan ini kita bisa menyesuaikan servis kita secara tepat, dengan empati yang lebih besar.

Dan supaya pelayanan menjadi mantap, kita harus berusaha menganggap servis sudah menjadi tugas kita di dunia.  Artinya, bagi staf Bakosurtanal, jangan sampai mencurahkan perhatian kepada masalah pemetaan hanya dilakukan ketika ada tugas saja atau ketika ada kompensasi materi (UPK) saja.  Di sinilah perlunya spiritual commitment, sehingga aktivitas marketing akan makin bersifat spiritiual.

 

Prinsip-9 (value enabler) : Process
– Improve Your Quality, Cost and Delivery

Menjadi terkenal atau memberikan servis yang baik tidak cukup, tetapi harus diperhatikan bahwa kita memberikan servis yang sesungguhnya.  Dan ini sebuah proses.  Di dalam segala proses ini kualitas harus dijaga, cost harus efisien dan bisa diberikan tepat waktu.  Ada tiga proses, yaitu : 1) proses pekerjaan kita sehari-hari; 2) proses menangani keluhan atau permintaan “pelanggan”; dan 3) proses penciptaan suatu servis baru yang kreatif.

Demikianlah, Branding yang baik ini akan menaikkan Positioning Bakosurtanal, sehingga posisi tawarnyapun akan jauh lebih baik dari sebelumnya.

 

 

 

Gambar 4. Spiral peningkatkan posisi suatu institusi dengan marketing yang tepat

 

 

Daftar Pustaka:

Kartajaya, H. (2004): Marketing Your Self.  Markplus.

Agustian, A.G. (2001): ESQ Power.