Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Beyond 5-Stars-preneur

Saturday, July 28th, 2012

Prof. Dr. Fahmi Amhar

Bagaimana menjadi pengusaha sukses, itu sebenarnya sangat sulit ditularkan melalui pendidikan ataupun training.  Kata orang-orang “sakti”, ilmu pengusaha itu adalah salah satu dari ilmu-ilmu yang tidak bisa diajarkan, tetapi harus diraih sendiri dengan sebuah “laku prihatin” di “rimba- ekonomi”.  Konon hanya dua dari sepuluh orang yang melintasi rimba tersebut yang selamat dan hanya satu di antara seratus mereka yang benar-benar menjadi “sakti”.

Karena itu, setelah seseorang akhirnya berhasil mengatasi berbagai kesulitan seperti marketing, memperoleh pemasok, mendapat SDM yang amanah dan kafaah, menjaga cash-flow, membuat sistem dan lika-liku administrasi lainnya, akhirnya berhak diberi bintang.  Mereka yang akhirnya usahanya bisa running sendiri, menghasilkan passive-income yang cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya, tanpa dia habis waktu di dalamnya, itu kecerdasan finansialnya (FQ) sudah di atas 2.  Dia telah terangkat dari sekedar posisi “kemandirian finansial” (FQ=1) menjadi “kebebasan finansial” (FQ >= 2).  Tetapi bintang yang pantas diberikan baru satu!  Dia baru menjadi “1-Star-preneur” – berapapun omzet atau laba yang diterimanya!

Kenapa?  Karena dengan perjalanan waktu, perkembangan teknologi dan perubahan sosial-politik, apa yang semula tampak bisnis yang menguntungkan, suatu saat bisa berubah drastis.  Karena itu, seorang pengusaha harus mampu terus menghasilkan inovasi.  Inovasi ini bisa pada jenis produknya, kualitasnya, kemasannya, bisa pula pada teknik pemasarannya, sasaran konsumennya, model bisnisnya, dan sebagainya.  Inovasi harus menjadi budaya usaha.  Hanya dengan inovasi ini, perusahaan akan terus berlayar di “samudra biru”, dan terhindar memasuki arena “samudra merah” yang berdarah-darah.  Hanya pengusaha yang inovatiflah yang pantas mendapat 2 bintang, “2-Stars-preneur”.

Namun inovator manapun suatu saat akan tua dan mati.  Di negeri ini, masih sedikit usaha yang mampu bertahan hingga generasi ketiga.  Anak-anak pengusaha biasanya tidak memiliki semangat juang dan passion seperti orang tua mereka.  Demikian juga para tokoh-tokoh kunci di usaha itu.  Karena itu merupakan kehebatan tersendiri bagi pengusaha yang terus menginspirasi orang lain, mulai dari keluarganya, anak-buahnya, stakeholdernya, sampai orang-orang yang tidak mengenalnya secara langsung.  Mereka semua terus terinspirasi, bahkan melahirkan pengusaha baru.  Inilah pengusaha yang pantas mendapat 3 bintang, “3-Stars-preneur”.

Tadi dikatakan bahwa terkadang landscape sosial-politik di masa depan bisa berubah drastis, dan itu mau tak mau akan berpengaruh di dunia usaha.  Tak ada yang bisa meramal masa depan, tapi kita bisa berusaha agar masa depan ada dalam pengaruh kendali kita – setidaknya sebagiannya.  Caranya adalah dengan mengintegrasikan berbagai aspek dalam dunia bisnis kita.  Kita terlibat dalam aktivitas kenegarawanan.  Bisnis memang suatu aktivitas ekonomi, tetapi ikut terlibat dalam upaya agar iklim bisnis di negeri ini ke depan makin kondusif, itu adalah aktivitas politik.  Karena itu seorang pengusaha harus melek berbagai isu nasional, seperti isu-isu green-business, isu-isu good-corporate governance, hingga isu-isu shariah-business.  Kalau dia lalu melakukan pengembangan usaha yang mengintegrasikan ini semua, apalagi aktivitasnya memang berskala nasional, maka tiba saatnya dia mendapat 4 bintang, “4-Stars-preneur”.

Tapi, yang namanya dunia kini sudah menjadi desa global.  Krisis finansial di Amerika dan Eropa, ancaman perang di Teluk Persia, hingga memanasnya semenanjung Korea, cepat atau lambat akan berpengaruh pada dunia bisnis di tanah air.  Memahami konteks politik internasional kini, dan mengambil sikap sebagai warga negara yang semestinya independen, akan menjadikan kita pengusaha yang pantas diperhitungkan di kancah internasional, apalagi bila bisnis kita memang tidak lagi disekat-sekat oleh batas-batas negara.  Untuk pengusaha seperti ini kita pantas memberikannya 5 bintang, “5-Stars-preneur”.

Apakah masih ada yang lebih tinggi lagi?  Ternyata ada!

Seorang yang telah mendapatkan 5 bintang pun, sedikit banyak masih menjadikan profit atau pertumbuhan asset sebagai indikator kemajuan usahanya.  Fakta juga menunjukkan bahwa baik di Timur maupun Barat, banyak 5-Stars-preneur yang tidak tergantung pada jenis usaha, lokasi usaha, agama maupun orientasi politiknya.

Tetapi ada memang pengusaha yang sedari awal memiliki agenda tertentu.  Dia tidak sekedar ingin menjadi pengusaha sukses dengan keuntungan berlimpah, tetapi dia ingin membawa agenda perubahan yang mendasar pada masyarakat.  Misalnya, dia ingin melihat masyarakat yang bebas atau demokratis, yang menjadikan selera publik sebagai acuan tanpa harus “terbelenggu” agama tertentu.  Pengusaha yang seperti ini dikatakan pengusaha yang ideologis – lepas dari soal kita setuju atau tidak dengan ideologi yang diyakininya.  Mereka ini adalah pengusaha dengan 6 bintang.  Pengusaha kelas dunia seperti John-Rockefeller adalah contoh legendaris seorang 6-Stars-preneur.

Tetapi di atas itu masih ada satu tingkatan lagi.  Seorang pengusaha yang tidak hanya menatap dunia yang dapat terlihat dengan matanya, tetapi juga dunia yang tidak kasat mata.  Mereka meyakini apa-apa yang berasal dari sebuah sumber yang hanya terjangkau dengan iman.  Itulah pengusaha muslim sejati.  Iman seorang pengusaha muslim mewajibkannya untuk berpikir rasional dan menjauhi segala syirik dan mitos.  Sebagai muslim, dia tidak akan menggunakan cara-cara irrasional, seperti mengenakan jimat atau percaya kepada hari-hari baik/sial.  Dia semata-mata menggunakan cara-cara yang ilmiah, sebelum menyerahkan hasilnya kepada Allah swt.  Dia tahu bahwa Allah akan memberikan yang terbaik baginya, mungkin tidak sekarang, mungkin tidak berujud manfaat material, tetapi juga intelektual, emosional, sosial, dan spiritual.  Pada saat yang sama, dia akan memotivasi diri dengan ajaran-ajaran Islam untuk memberi manfaat kepada orang ramai, juga terinspirasi oleh berbagai ayat yang akan membuatnya inovatif.  Ajaran Islam tentang “amal yang tak terputus ketika mati” akan mendorongnya untuk memaksimalkan wakaf berbagai fasilitas umum, berbagi ilmu ke orang banyak, juga menginspirasi sebanyak mungkin manusia agar mengikuti langkah suksesnya.  Dia juga terlibat dalam aktivitas politik agar syariah Islam bisa tegak di negeri ini, agar tak cuma iklim bisnis semakin kondusif, tetapi juga konsumen makin cerdas, terlindungi serta meraih berbagai kemuliaan.  Pandangannya juga tak hanya berhenti di batas negara, tetapi mendunia.  Islam sedari awal adalah sebuah ajaran global untuk rahmat seluruh alam.  Dan untuk itulah, dia terlibat dalam sebuah perjuangan yang ideologis untuk menegakkan Khilafah.  Inilah pengusaha muslim yang pantas mendapat 7 bintang “7-Stars-preneur”.  Semoga Anda salah satu di antara merreka!

Shariah Compliance Indicators untuk Restoran

Thursday, July 7th, 2011

Dr. Fahmi Amhar
Kontributor  Lajnah Khusus Pengusaha HTI

Saat ini isu syariah sedang naik daun, walaupun masih terbatas di dunia perbankan dan asuransi. Untuk tataran  praktis,  penting  dikembangkan  suatu  set indikator  seberapa  syariah  (shariah  compliance) sebuah entitas bisnis, terutama yang terkait langsung dengan konsumen publik, seperti perhotelan, restoran atau tempat kerja.  Berbagai organisasi keislaman (seperti MUI, NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia) dapat mendorongnya dengan edukasi publik dan mulai memberikan penghargaan (award) kepada mereka yang telah secara sungguh-sungguh berusaha mensyariahkan entitas bisnisnya di tengah pusaran arus kapitalisme sembari menjadi bagian penegakan kembali syariah secara menyeluruh.

Berikut  ini  adalah  sekelumit  gagasan  untuk  mencoba mencari indikator syariah untuk restoran.

Dalam bisnis restoran, yang dilihat adalah lima aspek yang bersifat mutlak.  Artinya kalau salah satu aspek itu gagal, maka restoran tersebut sama sekali gagal mendapatkan ‘sertifikat’ shariah  compliance.    Di  tiap  aspek  itu  ada  poin-poin  yang semakin dipenuhi maka semakin tinggi nilai yang didapatkan.

1. Bisnis inti
– Semua makanan yang dijual harus memenuhi kategori halal. Yang mendapat nilai tertinggi adalah bila telah mendapatkan sertifikat halal dari MUI. Di sinilah, MUI harus menyosialisasikan sertifikasi halal berbiaya rendah atau gratis ke pemilik usaha kecil dan menengah.
– Setiap makanan yang dijajakan harus memiliki spesifikasi yang jelas (seperti bahan baku, daerah asal, kalori) dilengkapi foto dan harga.
– Makanan yang dihidangkan dan cara menyiapkan semuanya memenuhi syarat-syarat higienis.

2. Pelayanan/komunikasi dengan pelanggan
– Ringkasan jenis makanan dan harga sudah dipajang di luar restoran sehingga calon pembeli sudah mengetahuinya sebelum masuk restoran.
– Pemilik dan pelayan restoran mengenakan busana sopan yang menutup aurat.
– Pemilik dan pelayan restoran menunjukkan akhlaqul karimah, seperti salam, senyum, memberikan informasi yang dibutuhkan, dan melayani komplain secara santun.
– Pelayan membacakan ulang pesanan pelanggan untuk konfirmasi ordernya.
– Musik atau tontonan yang mengiringi tidak bertentangan dengan islam; boleh saja musik instrumental klasik atau tradisional yang tidak terasosiasikan dengan maksiat.
– Perabotan yang dipakai untuk menghidangkan tidak mengandung bahan yang diharamkan, seperti emas atau perak.
– Konsumen diberi kesempatan mengecek akurasi tagihan sebelum pembayaran dilakukan.
– Diberikan tanda terima setelah pembayaran.
– Disediakan  media  untuk  memberikan  feedback  atas pelayanan yang diberikan.

3. Lingkungan usaha
– Nyaman, bebas dari asap rokok.
– Lukisan atau foto-foto yang dipajang di restoran tidak mempromosikan maksiat/mengandung pornografi atau bertentangan dengan Islam.
– Memiliki  tempat  duduk  yang  terpisah,  seperti  female-corner, men-corner, dan family corner.
– Memiliki toilet bersih yang dapat mencegah najis menyebar ke mana-mana.
– Memiliki  mushala  atau dekat dengan  mushala  berikut tempat wudhu yang layak.
– Memiliki tempat parkir yang aman dan tidak menyebabkan macet.

4. Hubungan dengan hak-hak publik
– Tidak merampas hak-hak umum (misalnya mencuri/mencantol listrik atau badan jalan).
– Tidak  melakukan  pembukuan  ganda,  dan  menolak membuat struk fiktif.
– Memiliki sarana penetral limbah, sehingga limbahnya (termasuk asap) tidak menggangu sekitarnya.
– Memiliki jam usaha yang jelas yang diridhai tetangga sekitarnya
– Pada siang hari di bulan Ramadhan tetap boleh dibuka secara terbatas, untuk melayani pembeli dari kalangan yang tidak wajib puasa, seperti wanita haid/nifas, orang sakit, musafir atau non muslim.

5. Hubungan pemilik usaha dengan pekerja
– Kontrak kerja dengan karyawan jelas, mencakup hak dan kewajiban,  serta  reward  &  punishment  sesuai  syariat  yang diridhai kedua belah pihak.
– Jam kerja karyawan diatur untuk memenuhi haknya bersama keluarga.
– Setiap karyawan mendapat giliran kesempatan untuk shalat dan istirahat pada waktunya.
– Pada saat shalat Jumat, hanya karyawati atau pegawai non Muslim yang tetap dinas, sedang karyawan Muslim akan shalat Jumat.  Kalau jumlah ini tidak memadai, maka restoran akan ditutup pada saat shalat Jumat.

Demikianlah, gagasan ini.  Mungkin ada poin-poin di sini yang masih harus ditambah atau dipertajam.  Terutama aspek empat dan lima mungkin tidak bisa dilihat langsung, tetapi harus dengan wawancara pada karyawan/pemilik.

Mungkin  ada  yang  akan  mencoba  melakukan  survei percobaan dengan menerapkan shariah compliance indicators di atas? Berapa kira-kira restoran yang lolos?  Dan mana yang mendapatkan nilai tertinggi?

Muslimpreneur, makin jelas Islam menuntun kita untuk berbisnis  penuh  ‘berkat’  dan  berkah  dengan  seperangkat aturan yang mudah dilaksanakan. Jadi tunggu apa lagi?[]

Ekonomi Umat tak hanya Zakat

Saturday, August 22nd, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Menjelang pilpres lalu muncul gagasan ekonomi rakyat sebagai antitesis isu neoliberal yang menghinggapi salah satu cawapres.  Selain ekonomi rakyat, ada istilah “ekonomi umat” – yang berkonotasi ekonomi yang dekat dengan pemeluk agama mayoritas negeri ini, yaitu umat Islam, yaitu ekonomi rakyat yang memperhatikan aspek halal-haram.  Ekonomi umat juga sering disebut ekonomi syariah.  Sejak hampir dua dekade ini, ekonomi syariah mengalami booming.  Bank-bank syariah bermunculan.  Disusul asuransi syariah, dan kini bahkan ada gagasan membuat pasar modal syariah.  Namun volume perbankan syariah dalam realita baru sekitar 2% dari volume perbankan nasional.  Dan masih banyak orang yang memandang bahwa ekonomi syariah adalah ekonomi yang menjadikan norma-norma ahlaq sebagai basis, ekonomi yang bebas riba dan mendorong zakat, wakaf, infaq dan shadaqah.  Akibatnya ekonomi syariah dianggap sudah terbangun dengan adanya UU zakat, UU perbankan syariah, dan terakhir ini UU obligasi syariah (sukuk ritel).

Mungkinkah ekonomi umat tumbuh sempurna tanpa menjadikan syariah sebagai pilar peradaban semestanya? Bagaimana sebenarnya ekonomi umat di masa Daulah Islam mengalami kejayaannya?

Daulah Islam tidak tumbuh di ruang hampa.  Pada saat Rasul datang ke Madinah untuk memimpin negara baru itu, sudah ada produksi, sudah ada bisnis, sudah ada pasar, pendeknya sudah ada ekonomi.  Yang dilakukan Rasulullah adalah mendorong atau mendiamkan sebagian besar, dan melarang sebagian kecil.

Karena lebih mudah menghitung yang sedikit, maka kita mulai dari yang dilarang.  Di antara sebab kepemilikan yang dilarang adalah bisnis terkait maksiat, yang menutup “keberkahan umum”, semisal pelacuran, perdukunan, bisnis sarana penyembahan berhala, bisnis makanan atau minuman yang diharamkan, dan sejenisnya.

Sedang pengembangan harta yang dilarang antara lain penimbunan, pembiaran lahan tidur, judi dan riba.  Riba dilarang dengan tegas, baik riba itu sedikit ataupun banyak, baik untuk tujuan produktif maupun konsumtif, baik yang melakukan yahudi ataupun muslim yang baik-baik, karena riba pertama yang dihapuskan adalah dari Abbas bin Abdul Mutholib, paman Nabi sendiri, meski dia adalah penjaga sumur zam-zam yang paling ramah dalam melayani jama’ah haji.

Perkembangan Daulah Islam yang semula hanya kecil di Madinah namun kemudian bisa menjadi negara adidaya, tak lepas dari peran ekonomi syariah yang diembannya.  Tanpa sistem ini, mustahil ekonomi umat akan tumbuh, sehingga mereka mampu mengumpulkan kekuatan untuk menantang negara-negara adidaya yang telah berkuasa beberapa abad lamanya: Romawi dan Persia.

Nabi membiarkan mata uang dinar emas Romawi dan dirham perak Persia tetap digunakan.  Sepertinya Nabi memang dituntun wahyu untuk menggunakan mata uang yang tidak tergantung rezim yang sedang berkuasa.  Meski belakangan beberapa khalifah mencetak dinar emas yang memiliki ciri Islam seperti adanya kalimat tauhid, namun yang terpenting pada mata uang emas adalah berat dan kadarnya.  Dan itu berlaku universal.  Jauh sebelum dunia mengenal istilah globalisasi ataupun IMF.

Nabi juga membiarkan sejumlah praktek ekonomi yang telah ada, seperti beberapa jenis aqad kerjasama bisnis atau syirkah (mudharabah, musyarakah, murabahah) dan melarang beberapa aqad yang lain, yang memang ternyata dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan kezaliman.  Nabi juga memberikan kepada sahabat suatu sumberdaya alam untuk dikelola, namun mencabut kembali bila diketahui sumber daya alam itu sangat besar, ibaratnya tak habis tujuh turunan.

Sejak Nabi masih hidup, negara sudah memiliki beberapa fungsi yang di zaman modern ini ada di Departemen Keuangan (urusan penarikan zakat dan distribusinya), Departemen Perdagangan (urusan pengawasan pasar), Bulog (urusan penyangga pangan), Departemen Sosial (urusan santunan bagi fakir miskin), hingga Kementrian BUMN (urusan industri strategis terkait pertahanan).  Fungsi-fungsi ini terus terjaga sepanjang sejarah khilafah, bahkan makin diperkuat baik dalam bentuk organisasinya maupun fisiknya.  Kalau di masa Rasul, urusan keuangan negara masih diselesaikan di rumah beliau, di masa Umar bin Khattab sudah harus dibuat bangunan khusus Baitul Maal yang juga memiliki areal padang rumput khusus untuk menggembalakan ternak-ternak zakat.  Umar tanpa ragu mengadopsi sistem administrasi Diwan dari Persia guna mengurus Baitul Maal.  Bagaimana tidak, seorang Abu Hurairah yang diutus Umar ke Bahrain saja pulang membawa harta 500 ribu dirham, atau dalam nilai sekarang sekitar 15 Milyar Rupiah.  Padahal di masa Umar wilayah Islam sudah amat luas dan mencakup daerah-daerah subur di Iraq, Syams atau Mesir.

Sistem khilafah yang bersifat kesatuan memungkinkan peredaran kemakmuran tidak hanya di daerah yang kaya saja.  Sumber-sumber keuangan seperti zakat, kharaj (pajak atas tanah yang dibebaskan oleh tentara Islam), ghanimah (pampasan perang), jizyah (pungutan pada non muslim ahlul dhimmah) dan fa’i semua diadministrasikan ke pusat.  Pusat mendistribusikan harta itu kembali sesuai kebutuhan.  Karenanya bisa jadi ada daerah-daerah Islam yang menjadi pensubsidi netto (karena paling kaya) atau tersubsidi netto (karena paling miskin).

Khilafah menggerakkan mesin negara berupa sistem pendidikan dan kesehatan gratis, juga pembangunan infrastruktur transportasi dan irigasi, agar daerah-daerah miskin itu perlahan-lahan bangkit menjadi daerah kaya.  Jalan-jalan itu bahkan dilengkapi dengan tempat-tempat singgah untuk para musafir.  Yang menarik, musafir dari negeri-negeri kafirpun akan dijamu dengan cuma-cuma selama maksimum tiga hari, bila singgah di sana.  Ini dilaporkan antara lain oleh pengelana Eropa paling legendaris: Marco Polo, yang pada abad-13 Masehi pergi dari Venezia Italia ke Cina melewati “jalur sutra”, yang berarti sebagian besar perjalanannya adalah wilayah Daulah Islam.  Islam memberikan jaminan keamanan bagi warga asing yang masuk negeri Islam, agar mereka dapat mendengarkan ayat-ayat Allah, dan melihat langsung bukti kehebatan Islam yang diamalkan.  Hingga hari ini, sisa-sisa jalan atau saluran air yang dibangun di masa khilafah itu masih dapat dilihat, bahkan di tempat paling terpencil di Asia Tengah, di Andalusia Spanyol atau di selatan Sahara di Afrika.  Sementara itu di tempat yang lebih ramai, jalan atau saluran itu tentu saja sudah direnovasi berulang kali dan kini menjadi bagian dari jalan atau kanalisasi modern.

Ketika Daulah Islam tegak dan menerapkan ekonomi syariat, perdagangan global adalah salah satu sarana dakwah yang efektif.  Bahkan lewat para pedagang itulah antara lain dakwah Islam sampai ke Nusantara, sehingga Kerajaan Hindu terbesar di sana (yaitu Majapahit) dapat berganti menjadi beberapa kesultanan Islam, praktis tanpa pertumpahan darah yang berarti.