Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Hak Konsumen dan Hak Diperlakukan Adil

Thursday, June 4th, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Hari-hari ini kita disibukkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang ibu berusia 32 tahun, yang semula dirawat inap di sebuah rumah sakit swasta bertaraf internasional, namun pelayananannya tidak memuaskannya, karena hasil lab yang memaksanya rawat inap itu tidak dapat dia peroleh.  Maka dia curhat ke teman-temannya melalui email, sayang email ini kemudian bocor ke publik melalui milis, dan si ibu Prita ini lalu dituntut oleh Rumah Sakit itu dengan tuduhan pencemaran nama baik, melanggar pasal 310 dan 311 KUHP, dan pasal 27 UU 11/2008 ttg Informasi dan Transaksi Elektronik (“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemarannama baik) yang dalam pasal 45 UU tersebut diancam dengan penjara 6 tahun dan/atau denda 1 Milyar Rupiah.  Karena ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun ini maka si ibu yang malang ini langsung ditahan hingga 3 minggu, dan baru dilepas setelah kasusnya menjadi perhatian publik, bahkan perhatian para capres yang sedang kampanye.

Si ibu yang malang ini semula hanya ingin mengadukan nasibnya sebagai pasien, konsumen layanan medis.  Jutaan pasien di negeri ini dalam posisi lemah terhadap dokter dan rumah sakit yang jarang proaktif memberikan informasi yang lengkap kepada pasien, apalagi pilihan tentang jenis obat atau tindakan yang diperlukan pasien.  Pasien hanya sekedar menjadi objek, bukan subjek yang memiliki kehendak dan bisa diajak kerjasama memulihkan kesehatannya.  Perlakuan dokter atau rumah sakit ini makin menggila jika pasien ditanggung oleh asuransi swasta.  Dengan alasan memberi layanan terbaik, maka obat yang termahal pun diberikan, sekalipun mungkin tidak dibutuhkan oleh fisik pasien, atau bahkan dalam jangka panjang bisa merusak organ vital pasien.

Ketika pasien diperlakukan semacam ini, kepada siapa dia akan mengadu?  Meski ada UU no 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan telah dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) di Departemen Perdagangan, namun faktanya tidak banyak masyarakat yang tahu keberadaannya.  Akibatnya orang lebih suka mengeluh ke mana saja pihak yang dia percaya: ke LSM seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ke Komnas HAM, ke DPR, atau menulis surat pembaca ke media massa atau email ke dunia maya.  Ini terjadi karena BPKN hanya bertindak setelah ada pengaduan langsung kepadanya.  BPKN tidak diwajibkan bertindak proaktif dengan memonitor dunia perdagangan, sekalipun hanya dari surat pembaca di media massa.

Masalahnya, begitu menjadi konsumsi publik, keluhan konsumen ini dapat dengan mudah dibalikkan oleh yang merasa lebih kuat (yaitu produsen) dengan tuduhan pencemaran nama baik.  Polisi, Jaksa ataupun Hakim yang menangani pun bisa bertindak tidak profesional, baik karena alasan keyakinan tertentu (yang mungkin mitos), alasan politis maupun alasan kepentingan lain yang terkait dengan pihak yang lebih kuat itu.  Maka sang konsumen yang malang tadi tertimpa tangga dua kali: diperlakukan tidak adil dalam transaksi muamalahnya, lalu didzalimi oleh alat negara ketika mencari keadilan.

Solusi Islam

Islam memberikan solusi preventif yang luar biasa, tidak cuma sekedar secara individual dengan ketaqwaan dan ahlaq, namun juga secara kultural dan struktural, karena mustahil mengharapkan semua orang bertaqwa dan berahlaq mulia, sebagaimana di zaman Nabi pun tetap ada orang-orang fasik dan munafik.

Solusi pertama adalah Mahkamah Hisbah (Muhtasib), yang berfungsi menjaga kepentingan umum.  Mahkamah ini dalam menegakkan hukum bertindak proaktif, tidak menunggu adanya pengaduan, karena realitasnya orang yang terganggu sering malas mengadu karena tidak cuma dia yang terganggu.  Dalam sistem sekuler, pengaduan orang banyak harus melalui class action.  Namun Rasulullah pernah memberi contoh yang lebih simpatik: mensidak pasar dan mengecek apakah kualitas gandum yang di bawah sama dengan yang dipajang di atas.  Di zaman modern ini, sebagian fungsi mahkamah muhtasib ada yang dijalankan oleh polisi (misalnya merazia SIM di jalanan, agar umum tidak dirugikan pengemudi yang tidak berhak), oleh metrologi (yang menera takaran di SPBU), oleh Badan POM (merazia makanan illegal, berracun atau kedaluarsa) atau oleh pemda yang merazia bangunan tidak ber-IMB yang bisa membahayakan atau merugikan kepentingan umum.  Namun masih banyak yang dapat dijadikan kewenangan Mahkamah Hisbah.  Mahkamah ini bisa merazia sekolah-sekolah palsu yang hanya menjual ijazah, layanan medis yang tidak menghargai hak pasien maupun pengobatan alternatif yang tidak syar’i, bisnis investasi atau MLM yang hanya bersifat money-game dan masih banyak lagi.  Rasulullah telah memberi teladan tentang sikap proaktif dalam melindungi rakyat.  Kita memerlukan birokrat-birokrat proaktif, inilah birokrat syariah yang sesungguhnya, bukan syariah yang hanya mempersoalkan pakaian atau ibadah semata.

Solusi kedua adalah Mahkamah Madzalim yang berfungsi menghilangkan kedzaliman dari alat negara, termasuk kedzaliman polisi, jaksa, hakim dan bahkan kedzaliman dari Undang-undang yang telah disahkan pemerintah.  Mahkamah ini berwenang memecat semua pejabat negara, bahkan memakzulkan Khalifah (Kepala Negara) bila mereka terbukti melakukan kedzaliman.  Bentuk-bentuk kedzaliman ini seperti mengambil harta rakyat tanpa landasan hukum, tidak tabayyun mendengarkan kedua pihak yang berperkara, tidak menerapkan hukum yang sesuai (semisal hukuman zina diterapkan pada orang yang nikah siri) hingga menerapkan hukum kufur seperti menghalalkan riba atau judi atau peredaran minuman keras pada masyarakat muslim.

Tentu saja, berjalannya struktur atau sistem ini sangat tergantung kepada kualitas budaya kritik sosial di masyarakat.  Imam Ghazali dalam kitab “Ihya Ulumudin” mengatakan, “Rusaknya rakyat adalah akibat rusaknya para pemimpin; Rusaknya para pemimpin adalah akibat rusaknya para ulama; dan Rusaknya para ulama adalah karena mereka cinta dunia (haus harta dan tahta)”.

Para ulama dan para ilmuwan harus menjadi mudzakkir (pemberi peringatan) baik pada para pemimpin, pebisnis maupun masyarakat umum.  Rasulullah menyatakan bahwa “Jihad terbaik itu adalah memberi peringatan di depan orang kuat / penguasa yang ja’ir (dzalim)”.

Berbagi dengan Smart Card

Tuesday, April 8th, 2008

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.

 

Kalau ditanyakan ke siswa Sekolah Dasar, apa dari kemampuan aritmetika dasar yang tersulit: penambahan, pengurangan, perkalian atau pembagian, jawabannya jelas: pembagian.  Dan ini ternyata berlanjut sampai siswa tadi menjadi para pejabat publik.  Mereka tak mengalami kesulitan untuk menambahkan (menaikkan) harga BBM, mengurangi subsidi, atau mengalikan tunjangan anggota Dewan dengan jumlah kursi yang dimiliki.  Namun mereka seperti kesemutan ketika harus membagi keuntungan dari asset-asset publik kepada para pemiliknya, yaitu rakyat.

Selama ini, pembagian tersebut banyak diserahkan pada mekanisme pasar, sebagaimana prinsip kapitalisme.  BBM dengan harga yang relatif murah (dibandingkan harga di pasar dunia) dijual di SPBU, dan siapapun dapat membelinya, berapapun banyaknya.  Walhasil, pemilik mobil Cherokee (yang seliter premium hanya untuk tiga kilometer) dapat menikmati subsidi BBM jauh lebih banyak dari pemilik motor (seliter premium untuk tigapuluh kilometer).  Mereka yang tak punya kendaraan bermotor, tinggal di gunung, dan jarang pula bepergian, tidak mencicipi sedikitpun subsidi BBM itu.

Memang ada pembagian yang bersifat langsung, tidak dengan mekanisme ekonomi.  Contohnya dulu dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau yang sering kita saksikan: operasi pasar minyak goreng atau pembagian zakat / daging Qurban.  Pembagian ini biasanya diawali dengan pendaftaran rumah tangga miskin atau mustahiq melalui RT.  Mereka ini lalu diberi kupon untuk mengambil BLT, membeli minyak goreng sesuai kupon atau jatah zakat.  Meski sebenarnya sudah pasti kebagian, acara pembagian ini hampir selalu dihiasi dengan antri panjang, kacau atau orang-orang yang pingsan karena kecapaian.  Mereka yang tidak sabar menunggu giliran ada yang lalu menjual kuponnya ke orang lain dengan harga miring.

Salah satu teknologi yang diusulkan dalam pembagian BBM adalah smartcard.  Idenya, dengan smartcard dapat diidentifikasi secara cepat orang yang akan menerima pembagian (dalam hal ini jatah BBM) termasuk jatah yang telah digunakan.  Hanya pemilik smartcard (yaitu yang secara teori dianggap pantas menerima subsidi BBM) yang dapat membeli BBM dengan harga bersubsidi pada volume tertentu.  Lebih dari limit volume itu, BBM harus dibeli dengan harga komersial.

Model hitungannya begini: Pada APBN-P 2007, subsidi BBM adalah Rp 61,84 Trilyun dari total subsidi 102,92 Trilyun.  Subsidi lainnya meliputi subsidi listrik, pangan, pupuk dll.  Menurut data BPS-2004, jumlah rumah tangga ada 52.904.295 rumah tangga.  Sedang menurut Indonesia Energy Outlook & Statistics 2006 (Pengkajian Energi UI), komposisi konsumsi BBM 2007 adalah: Industri 98,93 MB, Komersial 7,59 MB, Rumah Tangga 67,68 MB, Transportasi 225,40 MB dan Listrik 51,08 MB.  MB adalah Juta Barrel per tahun.  Dari komposisi tersebut yang langsung ke rakyat adalah sektor Rumah Tangga (minyak tanah) dan transportasi (SPBU).  Pada sektor ini pula saat ini subsidi BBM ada.  Dengan demikian, bila 61,84 Trilyun subsidi BBM dibagi rata ke jumlah rumah tangga, didapatkan angka Rp. 1.168.846 / rumah tangga. Nilai subsidi inilah yang akan disimpan dalam setiap smartcard yang dibagikan ke seluruh rumah tangga.  Bila minyak tanah atau bensin dihargai pasar dunia yaitu Rp. 7500, maka nilai subsidi di tiap smartcard ini mencukupi untuk membeli 90 liter minyak tanah dan 144 liter bensin seharga Rp. 2500/liter.  Jumlah 90 liter minyak tanah cukup untuk memasak setahun bagi rumah tangga kecil, dan 144 liter bensin cukup untuk naik motor ke tempat kerja sejauh 12 Km pp setiap hari selama setahun.

Tentu saja hitungan tadi mengabaikan kenyataan bahwa tarif angkutan umum atau angkutan sembako akan naik, kecuali kalau untuk angkutan tersebut ada suatu “smartcard khusus”.  Yang jelas, SPBU yang dapat melayani pembelian dengan smartcard harus lebih dulu dilengkapi dengan komputer pembaca smartcard.  Ini tentu saja memerlukan biaya baru, yang bila dibebankan kepada pemilik SPBU tentu jadi alasan penolakan mereka.  Memikirkan kerumitan ini, tak heran bila asosiasi pemilik SPBU lebih suka harga BBM dinaikkan saja.  Mereka tidak mau pusing, karena tujuan bisnis mereka yang penting dapat untung.

Tentu saja, teknologi smartcard tidak dapat mencegah jika smartcard dipinjamkan, disewakan atau bahkan dijual dari pemiliknya yang asli ke orang lain.  Kalau orang memang tidak butuh BBM karena energinya dapat dipenuhi sendiri, ya tak ada salahnya dia “menukarkan” subsidi dalam smartcard itu secara cash.  Kita ingat pada era Bantuan Langsung Tunai (BLT), ada sejumlah orang yang ingin dapat duit segera sehingga menggadaikan kupon BLT-nya.  Smartcard BBM memang tidak akan diikat dengan identitas biometrik (seperti sidik jari) supaya tidak membuat orang terlalu repot dengan harus selalu hadir sendiri setiap membeli BBM, padahal seharusnya bisa diwakilkan ke anggota keluarganya yang lain.  Namun ini dapat menyebabkan sasaran meleset.

Kalau diikat dengan biometrik, ya tidak perlu smartcard lagi.  Langsung saja sidik jari itu yang dipakai kemana-mana guna mendapatkan pelayanan apapun.  Namun dengan 220 juta penduduk, saat ini bukan tugas ringan bagi suatu jaringan superkomputer untuk setiap saat mengidentifikasi jutaan sidik jari yang harus dilayani.  Jadilah saat ini teknologi smartcard yang dilirik.

Namun secara umum, teknologi smartcard sebenarnya luar biasa, terutama bila diintegrasikan dengan sistem informasi penduduk.  Setiap orang dibuatkan smartcard sejak lahir, dengan nomor unik (single identity number) yang akan terus dipakai sampai mati.  Smartcard anak yang belum dewasa akan dipegang orang tuanya.  Pada saat pembuatan, data smartcard dikunci dengan biometriknya, sehingga bila hilang atau rusak, bisa dibuatkan lagi.

Smartcard ini mirip kartu ATM, memiliki chip yang dapat menampung berbagai informasi pribadi pemiliknya.  Informasi yang dapat dimasukkan hanya dibatasi imajinasi sang penyelenggara sistem.  Karena dapat terhubung ke berbagai sistem komputer dengan satu identitias tunggal, maka dari satu layar terminal saja kita dapat mengetahui riwayat kesehatannya, pendidikannya, pekerjaannya, pernikahannya, tempat tinggalnya, catatan kepolisiannya, keluarganya, rekeningnya di Bank, status langganan PLN, PAM dan teleponnya, dan seterusnya.  Jadi smartcard ini adalah akte kelahiran sekaligus KTP, SIM, ID-kantor, kartu askes, kartu kredit dan sebagainya.

Catatan-catatan ini, bila berada di tangan lembaga yang tepat dan orang yang berwenang, tentu akan sangat memudahkannya dalam melayani yang bersangkutan.  Bila seseorang melamar kerja atau meminta bantuan sosial, pihak pemberi keputusan dapat dengan cepat melihat apakah yang bersangkutan “tidak bermasalah” dan “layak diberi bantuan”.

Namun bila catatan ini jatuh di lembaga yang salah atau orang yang tidak berwenang, keberadaan smartcard bisa menjadi bumerang yang menjadikan hidupnya sempit.

Ada suatu illustrasi sebagai berikut: Suatu hari seseorang menelepon suatu warung Pizza untuk pesan.  Si pelayan pertama-tama menanyakan nomor smartcard nya.  Maka begitu dijawab, si pelayan langsung tahu, siapa orang tersebut dan di mana alamatnya.  Ketika orang tadi pesan jenis pizza tertentu, si pelayan langsung menjawab bahwa itu bukan ide baik, karena jenis pizza tersebut memiliki kandungan kolestrol yang cukup tinggi, sedang di komputer ketahuan catatan medis orang tersebut.  Saat orang tadi tanya, terus apa yang direkomendasikan, si pelayan menjawab “pizza Hokkian:.  Dari mana dia tahu?  Dari komputer ketahuan bahwa si pemesan baru saja meminjam buku tentang “Diet Hokkian” dari perpustakaan.  Ketika akhirnya pesan, si pelayan minta agar cash, tidak bisa kredit, karena di komputer ketahuan juga bahwa limit kreditnya telah terlampaui.  Si pemesan mengalah, dia akan bayar cash kalau pesanan sampai.  Si pelayan mengatakan, kalau ditunggu, baru 45 menit pizza akan diantar, tetapi kalau datang langsung paling cuma 5 menit. Si pemesan heran, darimana tahu cuma 5 menit?  Si pelayan tahu, si pemesan punya motor berikut nomor polisinya.  Mendengar itu si pemesan memaki-maki si pelayan yang “sok tahu”, karena mungkin motornya lagi dipakai orang lain.  Si pelayan dengan sabar menjawab agar si pemesan lebih hati-hati bicara, karena dari komputer juga ketahuan bahwa si pemesan pernah berurusan dengan polisi dengan pasal penghinaan …

Kita tahu bahwa smartcard-BBM tidak akan secanggih cerita itu.  Idenya hanya untuk membagi hak atas BBM pada rakyat, sehingga semua rakyat tercukupi kebutuhan asasinya akan energi, tanpa menghalangi mereka untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya dengan harga pasar.  Namun di lapangan tentu ini tidak mudah.

Barangkali lebih mudah membagikan kekayaan publik itu dalam totalitas layanan: listrik dan gas ke rumah-rumah, sarana pendidikan, kesehatan dan ibadah yang gratis dan sarana transportasi umum yang murah.  Untuk memasak di rumah ada gas, walaupun terbatas.  Untuk bepergian ada angkutan umum murah.  Untuk sekolah anak dan berobat juga sudah gratis.  Kalau sudah begitu, BBM mau naik ikut harga dunia, mungkin rakyat kecil sudah tidak begitu mikirin …