Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Komentar atas Buku E. Darmawan Abdullah “JAM HIJRIYAH”

Monday, April 18th, 2011

Saya menulis di blog ini karena terlalu banyak pertanyaan seputar buku E. Darmawan Abdullah “JAM HIJRIYAH”, yang diluncurkan di Islamic Book Fair 2011 lalu.  Kebetulan penulisnya pernah bertemu dan diskusi hangat dengan saya setahun yang lalu, dan setelah bukunya terbit juga menghadiahi buku tersebut.  Saya terpanggil menulis komentar ini di forum publik, karena pendapat penulisnya juga telah dilempar ke ruang publik.  Tentu saja saya juga mengirimkan langsung tulisan ini ke penulisnya.


Bismillahir Rahmaanir Rahiem

Secara umum saya sangat menghargai usaha Pak Darmawan yang sangat bersemangat dalam memberikan kontibusi demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin, khususnya dengan meluncurkan gagasan Jam Hijriyah dan Makkah Mean Time (MMT).

  1.   Untuk gagasan Jam Hijriyah secara umum saya tidak keberatan, karena tidak merubah apapun kecuali dalam cara memandang waktu.  Kalau suatu saat Dhuhur pukul 12:10 WIB dan menjadi Ashr 18:10 atau Ashr 6:10 Working Time, itu hanya soal display waktu, dan cukup mudah diterapkan apalagi di era digital sekarang.  Bahkan seandainya bentuk jam diganti sama sekali, menjadi 24 bagian dalam 1 muka, lalu yang rest-time (1-12) di bawah, dan working time (12-24) di atas, seperti posisi matahari, lalu jarum jam seperti thawaf (dari kiri ke kanan), maka itu juga hanya soal pembiasaan pada visualisasi waktu, dan bukan pada waktu itu sendiri.
  2. Adapun untuk gagasan Makkah-Mean-Time, secara umum, saya KEBERATAN, karena ada pemahaman penulis yang keliru mengenai (1) yang disebut Mean Time; (2) tentang fakta sejarah hari; (3) tentang garis tanggal.  Penerapan ide penulis akan menjadi BID’AH yang merubah secara radikal banyak hal.  Penjelasannya begini:

(1). Yang disebut Mean Time – sekarang di Greenwich – adalah, bahwa pada pukul 12:00 GMT, hari di seluruh dunia akan sama, yakni di pojok timur pukul 24, dan di pojok barat pukul 00.  Ini adalah hasil keputusan International Meridian Conference 1884.  Pojok barat = Pojok timur = Garis tanggal.  Jadi kalau akan menggunakan istilah “Makkah Mean Time”, maka juga harus diputuskan, bahwa misalnya pada Ashr 12 di Mekkah (39,.49E, 21.26N) maka nama hari di seluruh dunia sama (pojok timur Ashr 24 – hampir magrib, pojok barat Ashr 0 – baru saja maghrib).  Dalam konstelasi itu, maka pojok timurnya kira-kira akan ada pada bujur 180+39.49E = 140.51 W, masih di Pasifik juga.  Sekali lagi ini hanya soal display.

(2). Sejarah hari: bahwa pada masa Rasulullah masih hidup, sudah ada sahabat yang diutus ke negeri yang jauh di timur Mekkah, misalnya Muaz bin Jabal ke Yaman.  Dan hari yang dipakai di Yaman tetap hari yang sama dengan Mekkah.  Tidak ada satupun berita bahwa sholat Jum’at di Mekkah harus lebih awal dari Yaman.  Demikian juga ketika kaum muslimin lebih jauh menjelajah ke timur lagi, hingga Cina dan Nusantara, mereka tetap menggunakan hari yang sama, dan tidak ada ide agar harinya belakangan dari Mekkah.  Oleh karena itu, ide penulis untuk merubah hari itu adalah BID’AH yang luar biasa.

(3). Tentang garis tanggal, memang kebutuhannya baru disadari manusia ketika ada pelayaran yang mengelilingi dunia.  Ketika penjajah Spanyol masuk Filipina dari arah timur (mengelilingi Cape Horn di ujung selatan benua Amerika) dan mengalahkan Raja Sulaiman yang muslim, mereka mengganti hari agar sinkron dengan Spanyol, jadi hari yang semula Jum’at diganti Kamis.  Tetapi pasca International Meridian Conference 1884, kondisi di Filipina dipulihkan lagi.  Yang tetap bertahan adalah sebagian negeri kepulauan di Pasifik yang sebenarnya terletak lebih timur dari garis meridian 180 derajat, tetapi tetap ikut zona waktu timur, jadi GMT+13 (Tonga) dan  GMT+14 (Line Island), karena merasa tidak nyaman untuk merubah 1 hari yang disakralkan, lepas dari soal agama yang dianut penduduknya.

Demikianlah, semoga Pak Darmawan sebagai penulis buku berbesar hati untuk memahami pendapat ilmiah kami atas buku beliau.

Salam

Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional
Konsultan Ilmu Falak / Astronomi Islam untuk PP Muhammadiyah, Hidayatullah & Hizbut Tahrir Indonesia

Ketika Perpustakaan Jadi Identitas

Friday, March 5th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Kenalkah anda dengan satu perpustakaan di kota anda?  Pernahkah anda mengunjunginya?  Apakah anda merasa betah di dalamnya dan meraup manfaat darinya?  Berapa buku yang pernah anda baca dari perpustakaan?  Berapa orang yang biasanya anda jumpai di perpustakaan?  Apa yang biasanya mereka kerjakan?

Bagi banyak orang, jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas adalah jelas: geleng-geleng atau angkat bahu.  Perpustakaan yang lazim dikenal barangkali cuma perpustakaan sekolah atau kampus.  Orang ke sana karena ada tugas dari dosen dan harus mencari literatur.  Selain itu karena ingin belajar pada suasana yang nyaman, sambil sekali-sekali membaca koran hari itu.  Jarang orang datang ke perpustakaan, apalagi perpustakaan non kampus, untuk membaca buku-buku bermutu yang ada di dalamnya.  Perpustakaan menjadi tempat yang sepi, agak berdebu dan “angker”.  Hanya peneliti yang memerlukan singgah ke sana.  Para penjaganya juga kesepian, sehingga ada perpustakaan yang buka hanya kalau ada permintaan saja.

Beberapa perpustakaan lalu ganti strategi.  Mereka menjaring pembaca remaja dengan menyediakan lebih banyak bacaan populer, komik, teen-lit, dan multimedia.  Perpustakaan pelan-pelan beralih fungsi menjadi tempat penyewaan komik dan DVD.  Namun bertahan menjadi perpustakaan semacam ini tentu tidak mudah.  Dalam waktu singkat, koleksi populer itu pasti akan termakan zaman.  Tidak murah untuk terus mengupdate koleksi itu sesuai penerbitan terakhir yang jumlahnya makin banyak.  Ada yang terpaksa mengambil jalan pintas dengan membeli buku atau DVD bajakan.  Namun inipun tidak juga selalu menutup biaya operasional.  Perpustakaan adalah proyek rugi, cost center, bukan profit-center.

Ini berbeda dengan seribu tahun yang lalu.

Tahun 1000 M, di Bagdad pedagang buku Ibn an Nadim mempublikasikan al-Fihrist (“Katalog Pengetahuan”).  Buku ini terdiri dari 10 Jilid dan memuat judul seluruh buku dalam bahasa Arab yang terbit hingga saat itu, baik dari ilmu ushuluddin, astronomi, matematika, fisika, kimia, dan kedokteran.  Buku-buku yang masuk dalam katalog itu seperti sudah terjamin mutunya dan menjadi buruan para pengelola perpustakaan, berikut ahli salinnya, juga para cerdik cendekia yang tidak ingin ilmunya dikatakan orang “di bawah standar”, hanya karena tidak mengenal buku yang ada dalam katalog itu.  Buku yang saat itu masih ditulis tangan tentu saja sangat mahal.  Untunglah, bagi yang tak mampu membelinya tersedia perpustakaan.

Maka tertariklah mahasiswa dari timur dan barat pada perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam.  Perpustakaan Universitas Cordoba memiliki koleksi setengah juta buku.  Di Kairo ada beberapa ratus pustakawan yang melayani perpustakaan khilafah dengan koleksi dua juta buku.  Ini duapuluh kali lipat perpustakaan Mesir kuno di Alexandria sebelum dihancurkan oleh Romawi.  Pernahkah anda menghitung berapa buku yang dapat dimuat dalam rak buku anda?  Satu rak buku standar yang banyak terdapat di rumah-rumah dapat memuat rata-rata 100 buku.  Jadi di perpustakaan Kairo kira-kira terdapat 20.000 rak.  Kalau satu rak berikut ruang untuk orang lewat perlu area 1 meter persegi, maka berarti luas lantai perpustakaan itu kira-kira dua hektar!

Para pustakawan di masa itu wajib memiliki ilmu yang terkait dengan koleksi yang diurusnya.  Ia bukan hanya seorang yang tahu judul buku, pengarang dan di rak mana letaknya.  Namun seorang pustakawan yang mengurus buku-buku fiqih harus pula seorang faqih, seperti halnya pustakawan yang mengurus karya-karya al-Biruni atau al-Haitsam harus pula seorang astronom atau matematikawan.  Para pembaca dapat berkonsultasi tentang isi buku-buku itu pada para pustakawan.

“Aneh, bahwa di Roma tidak ada seorangpun, yang memiliki pendidikan yang cukup, bahkan sekedar untuk menjadi penjaga pintu perpustakaan itu”, keluh orang yang mestinya paling tahu, yaitu: Gerbert de Aurillac, yang pada tahun 999 M menjadi Paus di Roma!  Demikian Sigrid Hunke dalam Allahs Sonne ueber dem Abendland.

Pada tahun tersebut, Abulkasis menyelesaikan ensiklopedi bedah.  Al-Biruni menunjukkan kejeniusan layaknya “Aristoteles-nya dari Arab”, dengan karya-karya tentang peredaran bumi mengelilingi matahari.  Al-Haitsam menulis prinsip-prinsip optika serta bereksperimen dengan kamera obscura dan berbagai bentuk lensa dan cermin.

Pada tahun tersebut, saat dunia Islam sedang menikmati zaman keemasannya, dunia Barat ketakutan akan segera datangnya hari kiamat.  Anak lelaki Kaisar Otto III yang berusia duapuluh tahun berziarah ke Roma dan berpidato dalam penuh suasana sakral, “Sekarang Kristus akan segera datang untuk mengadili dunia dengan api, karena kedurjanaan sudah merajalela di Roma”.

Pada saat yang sama dan di usia yang sama, Ibnu Sina sedang memulai mengisi dunia dengan karya-karya intelektualnya yang hebat.

Dua dunia yang sangat berbeda.  Berawal dari padangan hidup yang juga amat berbeda.  Masyarakat Islam dituntun oleh sabda Nabinya, yang antara lain berbunyi, “Barang siapa meninggalkan kampung halamannya untuk mencari ilmu, dia seperti sedang pergi jihad fisabilillah”, “Tinta seorang pembelajar adalah lebih mulia daripada darah seorang syuhada”, dan “Ilmu itu ternak kaum muslim yang hilang, maka di mana saja kamu dapatkan, ambillah, sekalipun dari lisan seorang kafir”.

Sementara itu masyarakat Barat terpaku pada kata-kata Paulus, yang berbunyi, “Apakah Tuhan tidak menyatakan bahwa pengetahuan dunia ini sebagai hal tercela?”.  Satu-satunya sumber kebenaran untuk kaum Nasrani adalah kitab suci.  Karena itulah, meski Romawi mewarisi banyak peradaban tua seperti Yunani ataupun Mesir, mereka lalu membuangnya sejak beralih ke agama Nasrani.  Perpustakaan Alexandria yang sangat tua dibakar habis.  Andaikata tidak ada kaum muslim yang rajin memungut kembali ilmu pengetahuan Yunani, menerjemahkannya, dan mengkoleksinya di perpustakaan-perpustakaan, barangkali kita sekarang ini tak pernah lagi mengetahui tentang hukum hidrostatika Archimedes atau geometri Euklides.

Sementara itu orang-orang kaya se antero dunia khilafah menjadikan wakaf perpustakaan sebagai salah satu cara menunjukkan identitas.  Di Baghdad saja ada 200 perpustakaan pribadi yang diwakafkan untuk umum.  Dan tidak main-main, banyak yang mewakafkannya berikut suatu asset produksi untuk membiayai operasional perpustakaan selamanya.  Sayang, saat serbuan tentara Mongol, nyaris seluruh perpustakaan itu dihancurkan, sampai air sungai Tigris menjadi hitam warnanya.

Menjadi Cerdas dengan Kertas

Friday, March 5th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Pameran buku (Book Fair) adalah ajang yang ditunggu-tunggu baik oleh para penerbit, distributor maupun penggemar buku.  Meski demikian konsumsi buku per orang di Indonesia masih tergolong sangat rendah.  Bagi sebagian besar masyarakat kita, harga buku masih tergolong tinggi dibanding tingkat penghasilan.  Jadilah masyarakat kita bukan masyarakat pembaca.  Minat baca mereka rendah dibanding menonton televisi.  Sebenarnya tidak jadi soal bila siaran televisinya bermutu.  Namun semua orang tahu bahwa siaran televisi kita belum cukup edukatif, apalagi inspiratif.  Televisi kita sarat dengan tayangan gossip, pornografi, kekerasan ataupun mistik.  Bisa dinikmati bebas tanpa membayar.  Yang jelas hasilnya tidak membuat penonton bertambah cerdas.

Lain dengan buku.  Mahalnya buku antara lain disebabkan oleh tingginya harga kertas.  Kebutuhan kertas kita masih harus dipenuhi dengan kertas impor.  Meski kita memiliki sumber daya alam yang cukup untuk menghasilkan kertas, namun realitanya kita lebih suka mengekspor bahan mentah seperti kayu dan membeli hasil olahannya berupa kertas, dengan harga berlipat-lipat.  Padahal generasi awal kaum muslim telah bersusah payah pergi ke Cina untuk dapat merebut teknologi pembuatan kertas.

Tidak ada yang menyangkal bahwa kertas ditemukan dan lalu diproduksi massal pertama kali di Cina pada tahun 105 M, ketika kertas dibuat dari semak murbei.  Juga diriwayatkan bahwa tentara Cina sering menghancurkan pusat-pusat pembuatan kertas non Cina untuk tetap memegang monopoli pabrikasi kertas di dunia.  Namun akhirnya pabrik kertas muncul di dunia Islam yakni di kota Samarkand pada abad ke-2 H (ke 8 M).  Meski rahasia pembuatan kertas secara manual telah diketahui di era sahabat sejak sejumlah orang nekad mencarinya ke Cina, namun dalam skala industri, pabrik kertas itu baru dimulai setelah ada sejumlah orang Cina yang menjadi tawanan perang di Sungai Talas tahun 750 M.  Al-Qazwini mengabarkan bahwa sejak itu terjadilah revolusi pengetahuan di dunia Islam.  Bahan-bahan tulis-menulis bebas dari monopoli dan kertas menjadi barang yang sangat murah.

Di Baghdad saja di akhir abad-3 H (abad-9 M) terdapat lebih dari seratus kompleks tempat pembuatan buku.  Perpustakaan pribadi berlimpah, sementara perpustakaan umum tersedia di mana-mana.  Baghdad memiliki tak kurang dari tigapuluh enam perpustakaan umum pada waktu penghancuran oleh Tartar Mongol tahun 1258.

Sejarahwan George Sarton mengutarakan bahwa asal kata paper  kemungkinan besar dari bahasa Arab.  Dalam bahasa Arab tidak ada kata tunggal untuk kertas, termasuk antara lain ‘papyrus’.  Jejak lain bahasa Arab dalam industri kertas adalah kata ream  (dalam bahasa Inggris) atau risma  (dalam bahasa Italia) yang dipastikan berasal dari bahasa Arab rismah, yang artinya setumpuk atau sebundel kertas, biasanya terdiri dari 500 lembar.

Ibnu Badis di Kitab ‘Umdat al-Kuttab (Buku Penunjang untuk para Penulis) menjelaskan metode pembuatan kertas dari rami dengan proses perendaman di air kapur selama beberapa hari, diselang dengan peremasan dan penjemuran.  Rami yang telah memutih lalu dipotong-potong, direndam di air tawar lalu digerus dengan mortar.  Hasilnya llau dicetak, diratakan, lalu dibiarkan kering. Kertas yang telah setengah jadi dilewatkan dalam larutan tepung kemudian digosok dengan bambu.

Tentu saja proses ini bukan satu-satunya cara, namun Ibnu Badis sepertinya ingin mengajarkan teknik membuat kertas yang bisa dikerjakan sendiri di rumah.  Bukunya juga memuat cara membuat tinta sampai cara menjilid buku.  Untuk skala industri tentu saja dibutuhkan perlengkapan yang lebih besar dan mekanik.

Sejarahwan Dard Hunter mengatakan bahwa inovasi utama orang Islam dalam teknologi kertas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Penemukan cetakan bambu di mana lembaran kertas basah ditempatkan untuk dikeringkan.  Metode ini masih digunakan hingga sekarang, tentu saja tidak lagi dengan bambu namun dengan silinder logam atau karet yang sangat besar.
  2. Penggunaan bahan rami, katun serta perca linen dalam pembuatan kertas.  Ini adalah penemuan yang amat penting, karena orang Cina membuat kerrtas dari kulit batang pohon murbei yang tidak terdapat di daerah muslim.
  3. Untuk pembuatan beberapa jenis kertas, orang-orang Islam mengurai perca linen dengan menempatkannya dalam tumpukan, menjenuhkannya dengan air lalu membiarkan fermentasi terjadi.  Ini alternatif dari proses air kapur yang dijelaskan Ibnu Badis.
  4. Orang-orang Islam mencoba meniru kertas perkamen yang kuat (namun mahal) dengan menajin (mengkanji) kertas menggunakan tepung terigu, suatu inovasi yang menyebabkan permukaan kertas lebih menyenangkan untuk ditulis dengan tinta.
  5. Penggunaan roda martil untuk menghancurkan kertas sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih sedikit daripada proses yang dipakai di Cina.
  6. Pemakaian kincir air untuk menjalankan roda pabrik kertas.  Sejarahwan Robert Forbes menyebutkan bahwa pada abad-10 M pabrik kertas terapung banyak dijumpai di Sungai Tigris di Baghdad.  Kincir memang telah dikenal sejak zaman Romawi, tetapi hanya digunakan menggiling makanan.  Orang Islamlah yang pertama kali memakai kincir untuk membuat kertas.

Berbagai jenis kertas dibuat.  Ada yang untuk dokumen dan surat-surat resmi, untuk buku, bahkan untuk bungkus.  Al-Qalqasyandi mengatakan bahwa kerrtas Baghdad (al-Baghdadi) merupakan yang terbaik mutunya dan digunakan untuk menulis risalah kekhalifahan.  Syami (kertas Syria) juga tersedia dalam berbagai tingkatan mutu, salah satanya Hamwi dari kata Hama (kota di Syria) yang lazim digunakan di lembaga pemerintahan.  Ada juga kerta yang amat ringan, dipakai untuk mengirim surat yang diantar burung merpati pos, sehingga disebut ‘Kertas Burung’.

Kertas dibuat dalam berbagai warna.  Pada suatu manuskrip dapat dibaca berbagai ramuan tentang cara membuat warna seperti merah, hijau, tosca, dan bahkan petunjuk bagaimana membuat kertas terlihat usang.

Adalah hal yang ironis bahwa saat ini kaum muslim tak lagi berada di jajaran terdepan dalam teknologi kertas.  Kertas untuk mencetak kitab suci al-Qur’an dan kertas untuk mencetak uang negara-negara muslim pun banyak diimpor dari negara kafir, lengkap dengan mesin cetak dan tintanya.  Tanpa kertas, bagaimana mau cerdas?

 

 

Relik mesin pabrik kertas zaman dulu

 

 

Mesin-mesin di pabrik kertas modern