Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

MELEJITKAN KECERDASAN BERBASIS SPIRITUAL

Wednesday, November 2nd, 2011

Apakah yang bisa membuat Anda atau anak-anak Anda doyan belajar?  Kita melihat, banyak orang malas belajar, apalagi bila itu menyangkut pelajaran yang dinilai sulit, seperti matematika atau bahasa Inggris.  Padahal, sebenarnya semua anak pernah mengalami masa-masa belajar yang menyenangkan.  Hampir setiap anak suka belajar naik sepeda, berenang, atau menggunakan HP,  meski tidak ada sekolah yang memberinya nilai.

Setidaknya ada empat motivasi yang mendorong anak-anak sehingga suka belajar.

Pertama adalah pengalaman sehari-hari.  Bila sesuatu yang dipelajari dapat langsung digunakan dalam kehidupan sehari-hari, maka itu akan membuat mereka bersemangat mempelajarinya.   Itulah mengapa semua anak semangat belajar naik sepeda atau menggunakan HP tanpa perlu ada yang menyuruh atau menilainya.

Kedua adalah menyadari tantangan.  Bila anak menyadari apa saja yang pasti akan dihadapinya di masa mendatang atau di tempat baru yang pasti dapat dikunjunginya, maka mereka akan bersemangat untuk mempelajari ilmu yang diperlukan untuk menghadapi tantangan itu.  Maka anak yang tahu akan diajak wisata ke luar negeri atau bertemu orang asing akan lebih semangat belajar bahasa Inggris, dibanding yang tidak punya harapan untuk itu.

Ketiga adalah mendapatkan teladan.  Bila anak bertemu atau mendapatkan contoh sosok teladan yang menekuni suatu bidang ilmu, maka dia bisa terinspirasi untuk jadi menyukai bidang ilmu tersebut.  Seorang anak yang telah menonton film kisah Thomas Alva Edison bisa terinspirasi untuk tekun belajar fisika dan hobby utak-atik elektronika agar mengikuti jejak sang penemu lampu listrik itu seperti halnya anak yang rajin berlatih bola karena terinspirasi idola bola Zinedine Zidan.

Motivasi pertama dapat disebut “experiential”, motivasi kedua “adventurial”, dan motivasi ketiga “historical”.

Motivasi yang keempat adalah yang terunik, karena dapat mendorong orang mempelajari sesuatu yang di luar pengalaman sehari-hari, melebihi tantangan yang ada, dan nyaris tidak ada contohnya dalam sejarah.  Motivasi ini muncul dari kekuatan di luar dunia – yakni Allah swt, dan karena itu disebut juga “transendental”

Kaum muslimin terdahulu memberikan contoh, bagaimana mereka termotivasi belajar, mengembangkan kreativitas ilmiah dan menerapkan teknologi secara arif, oleh dorongan ayat-ayat Qur’an dan sabda Nabi saw.  Maka mereka meraih banyak hal, jauh di atas yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, melebihi yang dibutuhkan untuk menaklukkan musuh-musuhnya seperti Romawi atau Persia, dan menorehkan peradaban jauh di atas para teladannya yakni bangsa Yunani atau bangsa Cina.

Ayat yang pertama kali turun bukanlah ayat tentang ibadah mahdhoh seperti sholat, bukan pula ayat tentang keutamaan jihad, melainkan ayat tentang belajar.

Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaraan tulis-baca, Dia mengajarkan manusia apa yang tak diketahuinya. (QS al-Alaq 1-5) 

Ditambah sejumlah hadits, di mana Rasulullah sangat mengapresiasi pencari ilmu.

Siapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke sorga”  (HR Muslim) 

 “Para malaikat selalu membentangkan sayapnya menaungi para penuntut ilmu karena senang dengan perbuatan itu, dan orang alim dimintakan ampun 

oleh penduduk langit dan bumi dan ikan-ikan di dalam air.  

Kelebihan orang alim atas ahli ibadah bagaikan kelebihan cahaya rembulan atas cahaya bintang”  (HR Abu Daud)

Selain memberi motivasi secara umum, ada sekitar 800 ayat Qur’an yang secara spesifik mendorong kaum muslim agar mempelajari suatu hal.

Ayat  “Dan [mengapa kalian tidak memperhatikan] langit, bagaimana ia ditinggikan?” (QS al-Ghasiyah:18) dijadikan pendorong belajar astronomi.  Pada abad 9 M, di Baghdad, orang biasa menggunakan kitab Almagest karya astronom Yunani Ptolomeus dalam kajian “tafsir” atas ayat tersebut.

Sedang ayat “Hai jama’ah jin dan manusia, 

jika kamu sanggup melintasi penjuru langit dan bumi, 

maka lintasilah, kamu tak dapat menembusnya, kecuali dengan kekuatan.” (Qs. 55 Ar-Rahman :33) telah mendorong Abbas Ibnu Firnas dari Cordoba (abad 9 M) untuk menciptakan gantole dan parasut, yang dengan itu dia telah menjadi manusia pertama yang terbang dengan peralatan teknologi.

Sedang Hasan al Rammah (abad 13 M) mengembangkan hampir 70 resep bahan peledak hingga torpedo mungkin karena termotivasi ayat “Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan selain mereka yang kamu tak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya …”  (Qs. 8-Al-Anfaal :60).

Dalam kaitan teknologi, Rasulullah memandang manusia lebih tahu urusannya, sehingga beliau mendorong agar ada yang belajar ke Cina, yang tentu saat itu kaitannya dengan teknologi.  Sungguh, sebagian sahabat benar-benar pergi sampai ke Cina, antara lain untuk belajar teknologi membuat kertas, sehingga di masa Utsman bin Affan, Qur’an sudah dapat ditulis di atas mushaf (kertas).

Karena Nabi juga pernah mengatakan “Jika mati manusia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal, shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang mendoakan dirinya”  (HR Muslim), maka pada masa keemasan Islam, banyak orang kaya ataupun penguasa yang ingin menorehkan namanya dalam keharuman ilmu. Mereka melakukan wakaf berupa pembangunan lab riset atau observatorium, lengkap dengan kebun yang luas untuk menghidupi para ilmuwannya agar melakukan riset.  Hasilnya antara lain adalah suatu tabel almanak astronomi yang paling mutakhir dan akurat di zamannya.  Tabel itulah yang akan dibawa-bawa oleh para pelaut dan mujahidin menembus batas cakrawala dunia Islam, menemukan tempat-tempat baru yang perlu disampaikan risalah Islam atas mereka, juga untuk selangkah lebih maju dari para pelaut penjajah yang selalu mengintai kelemahan dan kelengahan kaum muslim.  Shadaqah jariyah yang sekaligus memiliki output ilmu yang manfaat.

Karena iklim cerdas di masyarakat seperti itu, tak heran bila para penguasa juga dikelilingi penasehat yang terdiri dari para ulama dan ilmuwan, sehingga kebijakan-kebijakannya tak melenceng dari dalil Qur’an dan Sunnah, dan juga tidak pernah mengabaikan sunnatullah yang ditemukan secara empirik dan ilmiah.  Meski penguasa dapat silih berganti, tetapi politik teknologi nyaris tidak berubah.  Negara tetap pro pencerdasan rakyat, memberi akses pendidikan yang maksimal kepada rakyat, dan menghargai karya para ulama dan ilmuwan sebagaimana mestinya.

 

Inilah kecerdasan berbasis spiritual.  Berawal dari sebuah dorongan transendental (Qur’an dan Sunnah), diproses dengan sebuah metodologi yang dibentengi syariah oleh orang-orang yang sejak kecil dididik dalam pendidikan Islam, dan akhirnya menerapkan teknologi yang ditemukannya untuk memberi rahmat seluruh alam

Abbas ibnu Firnas (abad 9 M), orang pertama yang terbang dengan teknologi.

Universitas Kelas Dunia

Sunday, August 1st, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Diskusi seputar kualitas perguruan tinggi tidak hanya menarik setiap tahun ajaran baru.  Untuk Indonesia yang rasio sarjana ke jumlah penduduk baru 6%, menjadi sarjana masih menjadi cita-cita banyak orang, dan merupakan salah satu cara naik ke jenjang sosial dan ekonomi yang lebih tinggi.

Namun tentu saja cita-cita itu hanya akan terwujud kalau perguruan tinggi yang memberikan gelar sarjana adalah perguruan tinggi yang bermutu.  Karena itu, informasi tentang kualitas perguruan tinggi menjadi sangat penting, walaupun orang tetap seharusnya tahu diri, apakah dia memiliki bakat yang dibutuhkan untuk kuliah di perguruan tinggi favorit itu.  Ini karena perguruan tinggi yang bermutu biasanya juga diserbu peminat, bahkan dari manca negara.  Karena itu, rasio kapasitas dengan peminat serta rasio mahasiswa mancanegara sering dijadikan aspek-aspek yang dinilai dalam pemeringkatan perguruan tinggi, misalnya oleh Academic Ranking of World Universities (ARWU), Times Higher Education (THES), ataupun Webometrics.  Aspek penilaian lainnya adalah jumlah paper internasional yang dihasilkan, penyerapan dan persepsi di dunia kerja dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan seperti jumlah dan kualitas dosen, perpustakaan, laboratorium serta sarana informasi dan akses internet.

Para pemeringkat itu kemudian membuat ranking perguruan tinggi sedunia.  Terang saja, mayoritas 100 atau 500 perguruan tinggi top di dunia berada di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang atau Australia.  Sebagian kecil ada di Singapura, China, Korea, India atau Malaysia.

Bagaimana seandainya pemeringkatan ini dilakukan seribu tahun yang lalu?

Maka universitas yang paling top di dunia saat itu tak pelak lagi ada di Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Cairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya.  Perguruan tinggi di luar Daulah Islam paling-paling hanya ada di Konstantinopel yang saat itu masih menjadi ibukota Romawi Byzantium, di Kaifeng ibu kota China saat itu atau di Nalanda, India.  Selain itu, termasuk di Eropa Barat, seribu tahun yang lalu belum ada perguruan tinggi.  Di Amerika Serikat apa lagi.  Benua itu baru ditemukan tahun 1492.

Sebenarnya di Yunani tahun 387 SM pernah didirikan Universitas oleh Plato, namun pada awal Milenium-1 universitas ini tinggal sejarah.  Berikutnya adalah Universitas di Konstantinopel yang berdiri tahun 849 M, meniru universitas di Baghdad dan Cordoba.  Universitas tertua di Itali adalah Universitas Bologna berdiri 1088.  Universitas Paris dan Oxford berdiri abad ke-11 hingga 12, dan hingga abad-16 buku-bukunya referensinya masih diimpor dari dunia Islam.

Namun, dari sekian universitas di dunia Islam itu, dua yang tertua dan hingga kini masih ada adalah Universitas al-Karaouiyinne di Fez Maroko dan al-Azhar di Cairo.

Universitas al-Karaouiyinne di Fez – Maroko, menurut Guiness Book of World Record merupakan universitas pertama di dunia secara mutlak yang masih eksis.  Kampus legendaris ini awalnya mengambil lokasi di mesjid Al Karaouiyinne yang dibangun tahun 245 H/ 859 M, di kota Fes – Maroko.  Universitas ini telah mencetak banyak intelektual Barat seperti, Silvester II, yang menjadi Paus di Vatikan tahun 999 – 1003 M, dan memperkenalkan “angka” arab di Eropa.

Universitas ke dua tertua di dunia adalah al-Azhar yang mulai beroperasi sejak tahun 975 M. Fakultas yang ada waktu itu yang paling terkenal adalah hukum islam, Bahasa Arab, Astronomi, Kedokteran, Filsafat Islam, dan Logika.  Universitas al-Azhar didirikan pada 358 H (969 M) oleh penguasa Mesir saat itu, yaitu dinasti Fathimiyah – yang menganut aliran syiah Ismailiyah, sebuah aliran syiah yang oleh kalangan Sunni dianggap sesat karena sangat mengkultuskan Ali dan mencampuradukkan Islam dengan ajaran reinkarnasi.

Ketika tahun 1160 M kekuasaan Fatimiyah digulingkan oleh bani Mameluk yang sunni – sebagai persiapan untuk memukul balik pendudukan tentara Salib di Palestina -, pendidikan al-Azhar yang disubsidi total ini sempat terhenti.  Konon di beberapa jurusan yang sensitif syiah, “pause” ini berjalan hingga 17 tahun!  Mungkin sebuah cara untuk “memotong generasi”.

Ketika pasukan Mongol menyerang Asia Tengah dan menghancurkan kekuatan kaum muslimin di Andalusia, Al Azhar mernjadi satu-satunya pusat pendidikan bagi para ulama dan intelektual muslim yang terusir dari negeri asal mereka. Para pelajar inilah yang kemudian berjasa mengharumkan nama Al Azhar.

Pada masa dinasti Utsmaniyyah, Al Azhar mampu mandiri, lepas dari subsidi negara karena besarnya dana wakaf dari masyarakat.  Wakafnya pun tak main: ada wakaf berupa kebun, jaringan supermarket, armada taksi dan sebagainya.

Kegiatan di Al Azhar sempat terhenti ketika pasukan Prancis di bawah Napoleon Bonaparte mengalahkan Mesir pada tahun 1213 H / 1789 M. Napoleon sendiri menghormati Al Azhar para ulamanya. Bahkan ia membentuk semacam dewan yang terdiri dari sembilan syaikh untuk memerintah Mesir. Namun hal itu tidak menghentikan perang antara kaum muslimin di bawah pimpinan Syaikh Muhamad Al Sadat melawan imperialis Prancis. Melihat situasi waktu itu akhirnya Imam Agung Al Azhar dan para ulama sepakat untuk menutup kegiatan belajar di Al Azhar karena aktivitas jihad fi sabilillah.  Tiga tahun setelah pasukan Prancis keluar dari Mesir, barulah Al Azhar kembali dibuka.

Karena itu, jika kembali ke “world-class-university”, sudah selayaknya kita tidak perlu ikut-ikutan pada standar yang ditetapkan Barat.  Islam tentu memiliki standar sendiri, seperti apa kualitas manusia yang ingin dicetak oleh sebuah universitas.  Mereka tidak cuma harus mumpuni secara intelektual, namun juga memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, kesalehan sosial dan keberanian dalam menegakkan amar ma’ruf – nahi munkar serta siap mati syahid dalam jihad fii sabilillah.

Sekarang di Indonesia, beberapa IAIN telah diubah menjadi islamic university yang ingin meraih kembali taraf world-class-university seperti di masa peradaban Islam.  Di Malaysia bahkan sudah lama berdiri International Islamic University of Malaysia (IIUM).  Namun melihat struktur kurikulum dan budaya keilmuan yang ada saat ini, sepertinya masih perlu upaya keras dari para civitas akademika agar upaya itu memang menghasilkan produk kelas dunia yang khas Islam.  Bahasa filosofinya, ada “ontologi” dan “epistemologi” Islam di sana.  Untuk itu tentu wajib ada dukungan politik Islam yang memadai.

Namun kita tetap optimis.  Karena istilah college yang lazim dipakai di Amerika, ternyata diambil dari istilah Arab “kulliyyat” yang artinya merujuk pada sesuatu yang urgen yang harus dimengerti keseluruhan.

Satu Negeri Pergi Sekolah

Monday, April 12th, 2010

Dr. Fahmi Amhar

Tahukah anda berapa tingkat buta huruf di desa anda?  Tingkat buta huruf adalah indikator ketertinggalan.  Anda percaya, bahwa di zaman sekarang, tinggal sedikit orang yang buta huruf.  Jika ada, itu “butu huruf sekunder”, yakni orang-orang yang pernah bisa membaca, tetapi lupa membaca, karena berpuluhtahun keterampilan itu jarang dipakai.  Dia lebih suka menonton televisi, itupun yang tak ada tulisannya.  Tentunya dia juga tak pernah menulis pesan pendek (sms).

Bayangkan suatu negeri yang tingkat buta hurufnya 95%!  Mengerikan.  Tetapi itulah Eropa abad 9 hingga 12 M.  Bahkan Kaisar Karl dari Aachen di usia tuanya konon masih berusaha mempelajari “keterampilan yang sulit dan langka” itu!  Di biara-biara hanya sedikit pendeta yang mampu membaca.  Di biara St Gallen Swiss pada 1291 bahkan tak ada seorangpun dapat membaca dan menulis.  Pada saat yang sama, jutaan anak-anak di desa dan kota Daulah Khilafah duduk di atas karpet dan mengeja huruf-huruf Qur’an, menulisnya, hingga menghafal surat-surat itu, lalu memulai mempelajari dasar-dasar gramatika bahasa Arab (nahwu dan shorof).

Keinginan seorang muslim untuk menjadi muslim yang baik, adalah awal semua ini.  Karena setiap muslim mesti mampu membaca Qur’an.  Di sinilah jurang antara Timur dan Barat.  Untuk kitab suci Nasrani, hanya pendeta yang memiliki akses, membaca dan mengerti bahasa kitab suci.  Namun sejak 800 M, para pengkhutbah dalam bahasa Latin sudah susah dimengerti orang kebanyakan, sampai-sampai sinode gereja memerintahkan menggunakan idiom awam, karena yang menikmati sekolah (berbahasa Latin) hanya selapis tipis rohaniwan.

Ini berbeda dengan Daulah Khilafah yang sangat berkepentingan agar rakyatnya cerdas.  Pendidikan benar-benar menjadi urusannya.  Anak-anak semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar, dengan biaya yang terjangkau semua orang.  Karena negara membayar para gurunya, orang-orang miskin mendapat tempat cuma-cuma.  Di banyak tempat malah sekolah sama sekali gratis, misalnya di Spanyol.  Selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan al-Hakam-II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin.  Di Kairo, al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah untuk anak yatim, dan menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup dan satu stel baju untuk musim dingin dan satu stel baju untuk musim panas.  Bahkan untuk orang-orang Badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya.  Tak ada lagi celah dalam jejaring sekolah seperti ini.

Namun pendidikan di Daulah Khilafah tidak terbatas pada pendidikan dasar.  Yang “salah” adalah politik.

Kompetisi antara oposisi dan pemerintah dalam melayani rakyat menyebabkan tingkat pendidikan cepat terangkat.  Pada abad-10 M, oposisi meluncurkan konsep berbagai program pendidikan untuk lebih menarik dukungan masyarakat dalam mengkritisi pemerintah.  Para oposisi ini merencanakan membangun universitas, tentunya juga bebas biaya.  Maka segera pemerintah mengambil ide ini, agar oposisi batal mendapat dukungan.  Hasilnya rakyat di seluruh kota besar menikmati pendidikan tinggi!

Para mahasiswa tinggal di kamar-kamar lantai atas gedung kampus.  Mereka juga mendapat makanan lengkap cuma-cuma, bahkan uang saku.  Di bawah tanah terdapat dapur, gudang dan tempat mandi.  Di lantai dasar ada ruang-ruang belajar dan perpustakaan.  Di situlah dipelajari Quran, Hadits, Bahasa Arab, Sejarah, Sosiologi, Geografi, Logika, Matematika dan Astronomi.  Melalui pertanyaan dan debat, mahasiswa dilibatkan dalam proses pembelajaran.  Para mahasiswa tingkat lanjut dan alumni membantu mereka belajar.  Mereka seperti “lebah yang sedang meracik madu ilmu dari ribuan bunga pengetahuan”, tulis Sigrid Hunke, sejarawan Jerman dalam Allah Sonne ueber dem Abendland.

Sebagian petani dari desa menitipkan anak mereka ke seorang guru di kota, bersama uang atau hasil bumi untuk biaya hidupnya.  Mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi seorang faqih yang kelak diterima sebagai qadhi atau bahkan syukur-syukur menjadi mujtahid Khalifah.  Anak-anak titipan ini akan menjadi “ajudan” dari sang guru.  Sebagai balas jasa, sang guru akan merawatnya jika si anak sakit, bahkan siap menjual keledai satu-satunya jika dia perlu membeli obat.

Sebagian ayah memanggil guru ke rumah, biasanya untuk anak berbakat, seperti misalnya Ibnu Sina yang di usia 10 sudah hafal Qur’an dan kitab-kitab kuno.  Ini tentu tidak mungkin tertampung di sekolah umum.  Setelah ia menamatkan fiqih pada seorang faqih dan aritmetika pada seorang pedagang, ayahnya memanggil Abu Abdullah an-Natsibi, yang terkenal sebagai filosof.  Tapi tak lama kemudian terbukti sang murid lebih pandai dari gurunya.  Baru saja gurunya mengajari 5-6 gambar dari kitab geometri karya Euklides, Ibnu Sina melanjutkan sendiri dengan bantuan kitab syarah.  Selesai kitab Euklid, dia teruskan dengan Almagest dari Ptolomeus, yakni kitab astronomi termasyhur saat itu.  Itupun tidak lama.  Dia kemudian pindah ke fisika, lalu di bawah bimbingan Isa bin Yahya al Masihi, ke kedokteran.  Dia diminta membaca buku yang tersulit.  Belakangan dia katakan kedokteran tidak sulit, karena dia hanya butuh waktu singkat.  Saat menamatkan semua ini, usianya baru 16!  Maka Sultan memanggilnya untuk menjadi ilmuwan istana.  Dia menambah ilmunya lagi dengan belajar di perpustakaan sultan dan di rumah sakit.  Di usia 18, dia benar-benar menamatkan semua yang dapat dipelajarinya.

Tentu yang seperti Ibnu Sina ini memang luar biasa.  Namun jalan umum untuk belajar adalah di masjid-masjid.  Siapa saja boleh datang dan pergi, laki ataupun perempuan.  Dan siapa saja boleh menginterupsi para guru untuk bertanya atau membantah.  Ini memaksa para guru untuk mempersiapkan materinya dengan seksama.  Sebenarnya, siapapun yang merasa mampu boleh mengajar.  Namun audiensnya yang selalu siap mengkritik, mencegah orang-orang yang belum matang atau baru setengah matang dalam ilmu untuk memimpin kalimat.

Di masjid-masjid juga biasa didengarkan kalimat dari para ulama yang sedang dalam perjalanan yang singgah di kota itu, terutama ketika musim haji.  Dengan demikian para mahasiswa selalu mendapatkan masukan.  Bahkan juga cepat tahu bila ada karya yang “dicuri” mentah-mentah (plagiarism).  Untuk mengungkap karya orang lain, sanad atau rawi wajib disebutkan.  Dan untuk itu perlu ada ijazah (lisensi) tertulis dari gurunya, bahwa dia layak untuk menjadi sanad dari pengetahuan tersebut.  Inilah mengapa gelar sarjana di timur tengah adalah Lc. dari kata Licentiate – berlisensi untuk menyampaikan.