Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Mencari Pequrban yang Revolusioner

Tuesday, December 18th, 2007

Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar

Penulis “Buku Pintar Calon Haji”, Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina

 Setiap tahun, ribuan – bahkan mungkin ratusan ribu kambing, domba dan sapi yang diserahkan umat Islam sebagai hewan qurban.  Namun kita perlu introspeksi, jangan-jangan selama ini kita terjebak dalam rutinitas ritual – atau rutinitas bisnis – sehingga dari ibadah qurban itu yang tersisa hanya ”baunya dan kolesterolnya saja” …

Bagi Allah, yang penting memang bukan darah dan daging hewan ternak itu.  Dalam surat al-Hajj, Allah berfirman:

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (Qs. 22:37)

Memang akan tampak terlalu ”murah” bila qurban cukup sekali setahun.  Itupun sebenarnya hukumnya bukan wajib, namun sunnah, serta tidak ada nishobnya sebagaimana zakat, lalu si pequrban masih boleh ikut menikmati sebagian dagingnya lagi.

Makanya kita harus lebih menghayati makna di balik qurban, agar qurban kita tidak sia-sia.

 Qurban berakar dari kata qa-ra-ba, artinya mendekat dan yang dimaksud ialah taqarrub ilallah, mendekat kepada Allah.  Di surat Al-Kautsar, Allah berfirman:

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membeci kamu dialah yang terputus. (Qs. 108:3).

Setiap manusia wajib merenungkan betapa banyak nikmat yang telah diberikan Allah.  Nikmat berupa organ tubuh seperti mata, telinga, lidah, tangan, kaki, ginjal, jantung, atau otak, yang entah berapa harganya dan di mana belinya kalau organ ini rusak; nikmat oksigen yang kita hirup setiap saat tanpa sadar apalagi membayar; nikmat orang-orang terdekat yang sebenarnya menyayangi kita, hanya kita mungkin baru akan sadar kalau mereka sudah tiada; nikmat ditutupnya aib kita oleh Allah swt sehingga banyak orang hormat kepada kita; dan segunung nikmat yang lain. 

Karena kita selama ini hanya menghitung nikmat yang berupa materi, dan jarang memasukkan hal-hal yang non materi seperti ilmu atau pengalaman, teman, tetangga dan saudara, kesehatan serta ketenangan batin, maka kita jadi jarang bersyukur.

Namun bersyukurpun harus dibuktikan dengan shalat dan berkorban.  Shalat yang dimaksud tidak cuma shalat dalam arti ritual, namun juga shalat dalam arti menegakkan syari’at, tunduk kepada hukum-hukum Allah, menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana sabda Nabi:

Shalat itu tiang agama, barangsiapa menegakkannya maka dia menegakkan agama, dan barangsiapa merobohkannya dia merobohkan agama.

Namun menegakkan syari’at tidak cukup itu saja.  Harus ditambah dengan banyak berkorban.  Puncak dari pengamalan syari’at adalah amar ma’ruf nahi munkar, dakwah, dan mahkotanya adalah jihad.  Sedang tentang jihad, nabi bersabda:

Sebaik-baik jihad adalah kata-kata yang benar di depan penguasa yang zalim.

Kata-kata benar artinya nasehat, atau bisa juga kritik atau kesaksian yang benar dari seseorang yang memang mengetahui duduk persoalan suatu hal.

Untuk berani bersaksi seperti ini diperlukan pengorbanan yang besar.  Pengorbanan yang tidak semudah membeli seekor domba lalu menyembelih dan membagikannya ke fakir miskin.  Namun pengorbanan yang lebih tinggi lagi, pengorbanan tenaga, pikiran, waktu, kehormatan, harta, dan jiwa.

Sejarah mencatat betapa banyak orang-orang yang karena keteguhannya membela membela prinsip-prinsip kebenaran di depan penjajah atau penguasa tirani, kemudian difitnah, diteror keluarganya, dikucilkan di tempat kerja, dipekerjakan secara tidak manusiawi, dibekukan rekeningnya, digusur rumahnya, dirampas hak-hak sipilnya, dipenjara, bahkan dibunuh dengan cara-cara mengerikan.

Namun sejarah juga mencatat, bahwa tanpa pengorbanan orang-orang seperti itu, mustahil ada kemerdekaan, ada kebangkitan, ada revolusi.  Tanpa darah dan airmata mereka, mustahil ada Indonesia.  Tanpa Nelson Mandela yang rela dipenjara 27 tahun mustahil ada Afrika Selatan yang bebas rasisme.  Tanpa Lech Walensa yang dikejar-kejar karena memimpin Serikat Buruh Solidarnosc yang terlarang, mustahil komunis bisa hilang dari Polandia.

Hanya dengan pengorbanan kita, maka makar orang-orang yang membenci kita, kaum Kuffar yang ingin menjajah dan menjarah negeri kita, akan gagal (terputus).  Tanpa kita siap berkorban, kita akan menjadi korban.  Maka berkorbanlah, sebelum anda dikorbankan!

Financial Spiritual Quotient

Tuesday, December 11th, 2007

Fahmi Amhar

Sejak tahun 2004 sebenarnya saya mencoba mengembangkan sebuah training berjudul “FSQ” (Financial Spiritual Quotient).  Meski belum cukup serius dan resmi – belum didaftarkan di Kantor HaKI, saya sudah mencobanya ke berbagai kalangan.  Ada yang sifatnya komersial, misalnya perusahaan atau pemerintah daerah.  Namun banyak juga yang ke kalangan pelajar, mahasiswa, pemuda atau aktivis – yang tentu saja non profit.

Training ini dikembangkan karena berbagai latar belakang:
– Sejak lama saya memperhatikan banyak orang atau keluarga yang saya kenal yang kesulitan mengelola keuangannya.  Dapat berapapun selalu habis, akhirnya terbelit hutang.
– Sementara itu ada sejumlah kawan yang salah langkah dalam berbisnis atau berinvestasi.  Akhirnya pasca dapat pesangon puluhan juta malah terjerumus pada berbagai bisnis/investasi palsu, dan uangnyapun dapat dipastikan amblas.
– Kemudian saya melihat betapa banyak pelajar, mahasiswa atau pemuda yang jauh dari kemandirian secara finansial, atau tidak tahu cara belajar mewujudkan “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”.
– Di samping itu saya melihat di berbagai kantor baik pemerintah, BUMN atau swasta, banyak pegawai yang kurang merasa memiliki asset institusi.  Uang digunakan secara royal, namun di sisi lain mereka takut pensiun karena dihadapkan penurunan penghasilan yang drastis.
– Sebagian lagi saya merasa tertantang untuk menerjemahkan prinsip-prinsip syariah pada kemampuan real seseorang dalam hal keuangan. Ekonomi syariah tidak cuma direduksi dalam Ahlaq, Zakat dan Anti Riba  (AZAR) saja.

Dari semua itu saya melihat strategisnya Kecerdasan Finansial Spiritual (FSQ).

Saya mencoba belajar – sebagian secara real dalam bisnis yang saya jalani, sebagian lagi di training-training sejak tahun 1985, dan sebagian lainnya secara virtual – dari tokoh-tokoh kecerdasan finansial dan spiritual dunia seperti Robert T. Kiyosaki, Donald Trump, Stephen Covey, hingga yang trainer-trainer lokal: Ary Ginanjar, Hermawan Kertajaya, Aa Gym, Safir Senduk dan Jamil AzZaini.  Sebenarnya masih banyak lagi nama lain yang pernah saya lihat VCD-nya atau baca bukunya.

Hasilnya adalah sebuah paket training dengan muatan seperti ini:

Materi Training

  1. The Value of Life (material – social – ethical – spiritual)
    & How to identify our value
  2. The Capital (spiritual – physical – intelectual – financial – emotional)
    & How to measure our Quotient (SQ – PQ – IQ – FQ – EQ) 
  3. Open Our Destiny (zeromind – be proactive – learn the universe – hear the soul – have vision – set priority – see bestpractices – do control – believe in angle)
  4. Financial Management (wise in consum, smart in investment, care in using loan, visionary in planing, multiple in protection)
  5. Vertical Investment (the power of [material] giving, knowledge sharing
    and human capacity-building)
  6. Iqtishady Games (simulation to improve the basic knowledge of shariah bussiness and simultaneously increase our Financial-Spiritual Quotient)

Tujuan training adalah untuk mengembangkan kecerdasan finansial yang berbasis spiritual, sehingga seseorang:
(1) memperoleh pencerahan spiritual tentang berbagai nilai-nilai sukses yang diperlukannya baik dalam kehidupan maupun dalam bisnis;

(2) memperoleh energi spiritual yang tak terhingga untuk memacu kemampuannya dalam meraih kesuksesan, terutama dalam bisnis dan finansial;
(3) mendapatkan tips & tricks untuk berinvestasi dan mengelola keuangan secara rasional dan syar’ie.
(4) mendapatkan motivasi untuk menjadikan segala yang dimiliki sebagai ladang amal untuk meraih kebahagiaan sejati.

Training diformat dalam bentuk aktivitas fisik (games, semi-outbond), dialog intelectual, emotional-coaching, spiritual-inspiring, dan simulasi finansial.  Setiap sesi selalu menyertakan 5 jenis kecerdasan manusia.  Peralatan audio-visual digunakan untuk mengoptimalkan penyerapan materi training.

Saya coba membagi kelas training saya dalam PROfesional (kalangan bisnis, perkantoran dan pemerintahan), REGular (peserta umum, suami-istri) dan STUdent (mahasiswa).

Paket Profesional (PRO) ditujukan untuk kalangan bisnis (swasta maupun BUMN), perkantoran (termasuk LSM), dan pemerintahan.  Tujuannya untuk meningkatkan kinerja individual maupun institusional dari peserta.  Durasi 24 jam (3 hari) – atau atas permintaan dapat dibuat 2 hari+1 malam selama weekend.

Paket Reguler (REG) ditujukan untuk peserta umum, baik pelaku bisnis maupun tidak.  Tujuannya untuk meningkatkan kinerja individual peserta dalam kehidupan, terutama untuk mengelola keuangan keluarga.  Durasi 12 jam (2 hari) – atau atas permintaan dapat dibuat 1 hari+1 malam selama weekend.

Paket Student (STU) ditujukan untuk mahasiswa.  Tujuannya untuk meningkatkan kinerja individual peserta dalam kehidupan, memunculkan semangat enterpreneur, dan mampu mengelola keuangan selama studi.  Durasi 6 jam (1 hari).

Selain itu ada juga Public Seminar dengan topik salah satu aspek pelatihan.  Durasi 2-3 jam.
Saya mengakui bahwa sayapun masih terus belajar untuk meraih FSQ yang ideal.  Dan dengan memberi training ini, saya merasa dapat belajar lebih banyak lagi.

Mencari Haji Mabrur yang Transformatif

Monday, November 27th, 2006

Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Penulis “Buku Pintar Calon Haji”, Alumni ESQ Eksekutif Nasional angk. 37.
Setiap tahun minimal dua ratus ribu manusia Indonesia berada di antara hampir tiga juta lebih muslim yang berhaji di tanah suci.  Demikianlah sudah berjalan berpuluh tahun.  Maka kita pantas bertanya, sejauh mana para haji ini bisa memberi manfaat bagi sekitarnya.  Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi sekitarnya”.

Sekiranya haji hanya dipandang sekedar rutinitas ritual – apalagi bagi sebagian orang: rutinitas bisnis – niscaya jutaan alumni tanah suci ini hanya menghambur-hamburkan devisa negara.  Sama seperti orang yang sholat lima waktu, namun terus saja korupsi (sholatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar).  Atau orang yang puasa namun yang didapat cuma lapar dan hausnya saja.

Ini artinya, para haji harus mampu menghayati inti ajaran haji.  Dan tulisan ini mencoba menguraikan secara singkat, bagaimana mendapatkan haji yang transformatif, haji yang mengubah masyarakat, dari masyarakat yang bodoh ke masyarakat yang cerdas, dari masyarakat tertindas ke masyarakat merdeka, dari masyarakat jahiliyah ke masyarakat Islami, tanpa menafikan pluralitas di dalamnya.

Pelajaran Lima Inti Ritual Haji

Haji memiliki lima ritual inti, yakni ihram, thawaf, sa’i, wukuf dan melempar jumrah.  Apa pelajaran yang harus dihayati oleh lima inti ritual ini?

Ihram adalah simbol penyucian diri.  Sungguh manusia diciptakan dalam keadaan sama, tidak punya apa-apa kecuali ruh sifat-sifat mulia Allah yang ditiupkan dalam dirinya.  Karena Allah al-’Adl (yang Maha Adil), maka manusia cenderung suka diperlakukan adil.  Karena Allah al-’Alim (Yang Maha Berilmu) maka manusia cenderung suka pada ilmu baru.  Dan karena Allah Ar Rahman (Yang Maha Penyayang) maka manusia suka disayang oleh siapapun.  Hanya saja, di dunia nyata dijumpai manusia yang berperilaku curang, tidak mau belajar dan kejam pada sesama.  Ini terjadi karena fitrah diri mereka tertutup oleh noda-noda kesombongan, kerakusan, kedengkian atau kemalasan.  Dari noda-noda inilah hati harus “diihramkan”.  Hati yang telah “ihram” akan lebih mudah menerima hidayah, menerima ilmu, sehingga potensi diri yang luar biasa dalam diri manusia bisa dibangkitkan.

Agar bangkit selain dibutuhkan hati yang bersih, juga dibutuhkan pedoman atau SOP, yaitu syari’at-Nya.  Pada syari’at ini setiap pribadi yang beriman wajib mengacu atau “berthawaf”.  Bulan dan satelit berthawaf mengelilingi bumi.  Bumi berthawaf mengelilingi matahari.  Bila satelit berhenti berthawaf, maka dia akan hilang atau jatuh.  Demikianlah, bila pikiran tidak berthawaf pada syari’at, maka dia akan liar atau beku.  Pikiran yang menolak syari’at akan liar mengikuti hawa nafsu, atau bertahan dalam tradisi yang anti modernitas.

Namun tak cukup membuka hati dan mengarahkan pikiran.  Aktivitas sehari-hari kita harus dipenuhi dengan kerja nyata, kerja keras, kerja cerdas dan kerja ihlas.  Contohlah ibunda Ismail, Siti Hajar, yang tak pernah berputus asa dalam menjemput rizki yang telah disediakan Allah.  Pikirannya tak pernah ragu bahwa Allah telah menyediakan rizki bagi setiap mahluknya.  Namun dia telah membuktikan langkah menjemput rizki ini dengan sa’i.  Maka mari kita “men-sa’i-kan” aktivitas kita selama ini.  Aktivitas yang dilandasi keyakinan bahwa Allah pasti memberi peluang sukses, hanya harus kita cari di jalan yang halal secara cerdas.

Setelah rizki didapat, baik itu berupa materi, fisik yang sehat, ilmu yang tinggi, posisi yang dihormati, dan teman yang menyenangkan, maka semua ini perlu dihadirkan di tengah manusia.  Inilah falsafah wukuf, hadir di Arafah bersama tiga juta manusia yang didepan Allah hanya dinilai taqwanya.  Kita harus mampu “me-wukuf-kan” semua rizki yang kita dapat, karena di depan Allah bukan itu yang dinilai, namun manfaatnya di tengah masyarakat.  Apa artinya kekayaan kalau tidak dibagi kepada dhuafa, apa artinya tubuh yang sehat kalau tidak digunakan untuk amar ma’ruf nahi munkar, apa artinya ilmu yang tinggi kalau tidak dipakai mencerdaskan umat, apa artinya posisi yang dihormati bila tidak mampu mengayomi rakyat, dan apa artinya teman yang banyak bila tidak mampu saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.

Semua jalan di atas pasti akan diganggu oleh orang-orang yang tidak suka, sebagaimana Sunnatullah iblis yang tidak suka Allah mencipta manusia sebagai wakilnya di muka bumi (Khalifatul fil Ardh) untuk menebar rahmat ke seluruh alam.  Karena itu, setan-setan kesombongan, kerakusan, kedengkian dan kemalasan akan terus bergentayangan menghalangi kita.  Untuk itu, setan-setan ini harus “dilempari” sebagaimana para hujaj melempar jumrah.  Dan setelah dilempar tentu saja mereka tidak boleh “dibawa pulang” alias “direhabilitasi”.

Meng-“ihram”-kan hati, men-“thawaf”-kan pikiran, men-“sai”-kan aktivitas, me-“wukuf”-kan rizki yang diterima dan me-“lempar jumrah” pada penghalang amal kita ini selayaknya mampu dihadirkan oleh siapapun, termasuk oleh mereka yang karena faktor finansial, kesehatan atau quota belum mampu memenuhi panggilan Allah ini.  Meski demikian, penghayatan nilai-nilai haji ini tentu saja bukan substitusi dari ibadah haji ke tanah suci.  Tentu saja, para haji sepulang dari Mekkah, ditunggu perannya menjadi teladan dan agen dalam transformasi bangsa ini, ke arah yang lebih mulia.