Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog
June 4th, 2012

Mengapa tidak bergabung dengan parpol / masuk parlemen saja?

Ini adalah sebuah pertanyaan klasik yang ditujukan kepada aktivis gerakan dakwah yang dalam setiap kesempatan selalu bicara yang terkait politik:  Mengapa tidak bergabung dengan parpol saja, lalu masuk parlemen?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 5 hal yang harus diluruskan:

1. Tentang POLITIK.

Bagi sebagian besar orang, politik adalah permainan kekuasaan.  Oleh karena itu, tempatnya adalah di Parpol, Parlemen, atau di Pemerintah, bukan di masjid!  apalagi di jalanan!

Sayangnya mereka keliru!

Sholat memang sebuah ibadah.  Masjid juga tempat ibadah.  Tetapi melakukan upaya agar semua muslim bisa sholat pada waktunya, agar masjid juga tersedia dalam jumlah, kapasitas dan kualitas yang cukup di tempat-tempat publik (terminal, mall, kantor pemerintah), maka itu adalah aktivitas politik!  Aktivitas politik adalah fardhu kifayah.  Dan jumlah fardhu kifayah itu bila dihitung-hitung, sesungguhnya melebihi jumlah fardhu ain.  Termasuk fardhu kifayah adalah mengupayakan adanya air bersih, ada listrik, ada jalan, ada sekolah, ada fasilitas kesehatan, ada pengelolaan sampah, ada sarana transportasi publik, ada petugas keamanan, ada layanan informasi kesempatan kerja, dsb.  Dan mengupayakan itu semua adalah aktivitas politik!

2. Tentang ORGANISASI POLITIK.

Bagi sebagian besar orang, partai politik adalah satu-satunya kendaraan untuk aktivitas politik.  Itu benar manakala yang dimaksud adalah untuk mendudukkan orang-orang di Parlemen atau Kekuasaan secara legitimate (LEGITIMASI politik).  Tetapi fungsi dari parpol menurut teori seharusnya tidak cuma itu, tetapi juga EDUKASI politik, ADVOKASI politik, AGREGASI politik, dan REPRESENTASI politik.  Rakyat perlu diedukasi agar tahu hak-hak dan kewajiban mereka dalam bermasyarakat dan bernegara.  Bila mereka dizalimi, atau dalam posisi lemah berhadapan dengan pihak yang lebih kuat ataupun penguasa, maka harus ada advokasi bagi mereka.  Oleh karena itu mereka harus dapat dikumpulkan (diagregasi) dengan suatu platform dan tujuan yang sama.  Dan karena itulah, mereka dapat menunjuk seorang atau beberapa wakil yang representatif untuk mewakili mereka.  Ini adalah fungsi-fungsi organisasi politik.  Kalau melihat fungsi-fungsi ini, maka aktivitas politik ternyata juga bisa dilakukan dalam skala kecil oleh sebuah LSM, atau dalam skala yang lebih besar oleh Ormas.  Ormas itu bisa berbasis profesi (seperti Ikatan Dokter Indonesia), berbasis kepemudaan (seperti KNPI), ataupun berbasis agama (seperti HTI).  Anehnya, justru parpol-parpol di Indonesia saat ini hanya eksis menjelang agenda legitimasi politik (yaitu pemilu), dan mereka nyaris abai terhadap 4 aktivitas yang lain (edukasi, advokasi, agregasi dan representasi).  Akibatnya, mereka jadi bahan banyolan dari rakyat di bawah.

3. Tentang DEMOKRASI

Bagi sebagian besar orang, demokrasi hanyalah pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil.  Ini sebenarnya hanya demokrasi prosedural.  Hakekat demokrasi bukan itu, tetapi “kedaulatan bersumber dari [keinginan] rakyat”.  Kalau rakyatnya senang minum bir seperti di Jerman, keluarlah UU yang melegalkan produksi dan peredaran miras.  Kalau rakyatnya mentolerir narkoba seperti di Belanda, keluarlah UU yang melegalkan narkoba secara terbatas.  Kalau rakyatnya menganggap pernikahan sejenis itu bukan masalah seperti di Swedia, keluarlah UU yang melegalkan pernikahan sejenis.  Dan kalau rakyatnya setuju untuk menyerbu negara lain seperti di AS (dengan agresinya ke Irak dan Afghanistan), maka keluarlah UU-APBN yang membiayai serbuan itu, serta terpilihnya kembali presiden yang menginginkan agresi.  Jadi, demokrasi tidak bisa mencegah malapetaka seperti ini.  Kalau persoalannya bersumber dari tingkat kesadaran masyarakat, dan orang diminta optimis, bahwa bila masyarakatnya terdidik secara islami, maka mustahil demokrasi akan menghasilkan keputusan UU yang fatal seperti itu, maka berarti lebih tepat kita berjuang untuk memberi penyadaran masyarakat, bukan berjuang untuk bertarung di pentas demokrasi!  Tanpa didahului dengan upaya penyadaran masyarakat, maka proses demokrasi di negeri-negeri Islam tidak akan menjadikan Islam sebagai pemenang.  Bahkan di negeri yang Islam menang pun, kalau militernya belum sadar, militer masih bisa mengintervensi demokrasi.  Partai FIS di Aljazair, meraih 88% kursi dalam pemilu 1992, tapi lantas militer membatalkan pemilu.  Partai Refah di Turki, meraih mayoritas suara dan ketuanya (Erbakan) menjadi Perdana Menteri, tapi tak lama kemudian militer mengkudetanya dengan tuduhan membahayakan konstitusi sekuler, sekalipun Erbakan ketika dilantik sudah bersumpah akan membela konstitusi Turki yang sekuler.  Dan Partai Hamas di Palestina yang menang pemilu, juga akhirnya hanya dapat berkuasa di sebagian kecil wilayah Palestina yang merupakan basis massa pendukungnya.  Jadi terus jalan apa yang bisa dilakukan untuk melakukan perubahan?

4. Tentang PERUBAHAN

Bagi sebagian besar orang, perubahan otomatis akan terjadi ketika seseorang yang shaleh terpilih menjadi penguasa.  Mereka menyangka, masyarakat hanyalah kumpulan dari individu-individu.  Jadi ketika individu-individu itu sholeh, otomatis masyarakatnya akan sholeh.  Mereka keliru!

Sebuah gedung terdiri dari batu, besi, semen, kayu dan kaca.  Tetapi kumpulan itu semua tidak otomatis menjadi gedung.  Bahan bangunan itu perlu ditata atau diatur dengan suatu pola sedemikian rupa agar menjadi gedung.

Demikian juga masyarakat.  Kumpulan orang sholeh itu perlu ditata dan diatur agar menjadi sebuah masyarakat yang sholeh.  Mereka ditata dengan suatu pemikiran dan perasaan kolektif (atau kita sebut opini umum atau KULTUR), dan diatur dengan suatu peraturan yang disepakati (atau kita sebut STRUKTUR).  Kultur dan Struktur ini bersama-sama disebut SISTEM.  Perubahan kultural dilakukan melalui aksi-aksi pembentukan opini, sedang perubahan struktural dilakukan melalui kontak-kontak kepada tokoh-tokoh kunci masyarakat.  Kalau kedua hal ini bisa berjalan seiring, maka perubahan itu pasti akan terjadi.  Tapi kongkritnya bagaimana?

5. Tentang CONTOH KONKRIT

Tidak usah jauh-jauh menyebut contoh dari Eropa Timur (jatuhnya Komunisme) atau Afrika Selatan (tumbangnya rezim Apartheid), di Indonesia tahun 1998 Soeharto amat sangat berkuasa.  Pemilu pun menghasilkan “konsensus nasional” di MPR yang melanggengkan kekuasaan Soeharto.  Tapi dua bulan kemudian, opini publik di akar rumput berbalik mendesak Soeharto turun.  Sementara itu para tokoh kunci kekuasaan (Pimpinan DPR/MPR, Pimpinan TNI, Para Menteri) pun akhirnya mengamini desakan itu, atau netral, atau menolak bekerjasama dengan Soeharto lagi.  Jadilah Soeharto lengser.  Hanya saja, people-power seperti ini terbukti kemudian tidak solid, karena common-enemy mereka hanya person Soeharto.  Selanjutnya dalam agenda reformasi, ternyata mereka tidak fokus, pijakannya tidak sama, serta kepentingan lain-lain.

Tetapi bisa kita bayangkan, bahwa suatu hari nanti, setelah kondisi ekonomi makin buruk, sementara panutan pemerintah ini yaitu AS & Eropa juga makin hancur terkena krisis ekonomi global yang akhirnya juga menyeret Jepang, Cina dan India, maka suatu hari Presiden meminta para tokoh nasional untuk berkumpul.  Mereka terdiri dari para Pimpinan TNI, para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara (MA, MK, DPR, DPD), para Menteri strategis, Gubernur BI, Jaksa Agung, Ketua KPK, para pimpinan Parpol, Tokoh Intelektual, Tokoh Agama, Tokoh Pengusaha, Tokoh Media dll.

Presiden lalu curhat, “Saya kemarin saat kunjungan ke Amerika bertemu seorang pengusaha kelas dunia.  Kami berdiskusi, dan saya terkejut ketika dia bilang bahwa ekonomi Amerika ini tak lama lagi akan tenggelam.  Dia menyarankan agar kita menengok pada jalan alternatif.  Dan tadi malam, saya bermimpi bertemu almarhum eyang saya, seorang Kyai Kharismatis di masa Perjuangan Kemerdekaan dulu.  Dia menasehati saya agar menegakkan syariat Islam di negeri ini, karena itu adalah amanat perjuangan kemerdekaan, ini kalau kita tidak ingin kapal Indonesia ini ikut tenggelam, sementara saya sekarang nakhodanya.  Bagaimana pendapat Saudara-saudara?”

Maka tokoh paling senior di forum itu, yang kebetulan menjabat Ketua MPR mengatakan, “Saudara Presiden, akhir-akhir ini saya melihat bahwa yang disuarakan oleh gerakan-gerakan syariah dan khilafah sejak tahun 2000 itu barangkali benar.  Persoalannya, kita selama ini terlalu angkuh dengan kedudukan kita.  Dan perlu Saudara Presiden ketahui, di akar rumput partai saya, yang meskipun sebuah partai nasionalis dan demokratis, semakin hari saya rasakan semakin banyak yang mendesak agar elit partai mendukung penerapan syariah & khilafah.  Saya jadi memberanikan diri untuk bertanya kepada Ketua MUI, Ketua Muhammadiyah, Ketua NU dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, apa benar kalau kita terapkan syariah dan khilafah itu nilai-nilai luhur Pancasila akan lebih mudah terwujud?”

Ternyata 4 orang yang ditanya itu semua menganggunk-angguk tanda setuju.

Seorang tokoh media yang paling berpengaruh bicara, “Sebenarnya selama ini memang aktivitas gerakan syariah dan khilafah makin luas mendapat dukungan.  Mereka bergerak di tataran akademis maupun di tengah masyarakat.  Jumlah pendukung aksi pro syariah di jalan-jalan mencapai puluhan ribu orang di hampir 500 kota di Indonesia.  Tetapi kami kalangan media memang selama ini kurang menayangkan karena jarang ada insiden di aksi-aksi itu.  Tidak ada news”.

Gubernur BI menambahi, “Saya kemarin diskusi panjang dengan ajudan saya yang ternyata sangat cerdas, dan saya kini semakin yakin bahwa dengan sistem moneter syariah kita tidak perlu repot lagi menjaga nilai tukar mata uang ataupun menghitung nilai suku bunga yang tepat”.

Ketua KPK menimpali, “Saya juga berapa waktu yang lalu diyakinkan dalam diskusi terbatas bidang hukum bahwa dengan sistem syariah yang komprehensif maka pencegahan dan penindakan korupsi akan jauh lebih efektif”.

Tiba-tiba Panglima TNI angkat bicara, dengan suaranya yang khas, berat dan berwibawa, “Saudara Presiden, saya yakin, kalau Saudara, dengan sepersetujuan MPR, sepakat agar kita mengubah tata negara kita menjadi Negara Khilafah dan menerapkan syariat Islam di dalam dan di luar negeri, saya yakin, kemampuan kita dalam menjaga kedaulatan NKRI akan makin meningkat, bahkan mungkin, beberapa wilayah kita yang telah lepas seperti Timor-Leste, atau selama ini terancam separatis seperti Aceh dan Papua, akan justru menjadi yang pertama mendukung Negara Khilafah itu.  Oleh karena itu, kami pimpinan TNI – dan saya yakin juga Saudara Kapolri – akan siap berbaiat kepada Saudara sebagai Khalifah, dan kami siap membela Anda dalam menerapkan syariat Islam, lebih dari membela anak dan istri kami sendiri”.

Semua terkesiap.  Tetapi seorang tokoh PGI (Persatuan Gereja Indonesia) yang hadir menimpali, “Kami warga Kristen, termasuk yang di Indonesia Timur, sebenarnya selama ini banyak berinteraksi dengan gerakan pro syariah khilafah itu, dan sudah hilang keraguan kami, bahwa penerapan syariah itu justru akan melindungi kami dari aksi-aksi anarkis seperti selama ini”.

Seorang tokoh pengusaha nasional nyeletuk, “Kami para pengusaha nasional, juga yakin, bahwa kekuatan industri kita, sumberdaya alam kita, dan pasar dalam negeri kita, cukup kuat bila sewaktu-waktu karena keputusan ini ada embargo atau sanksi internasional” .

Menteri Ristek menambahkan, “Pengalaman Iran dengan embargo yang dijatuhkan Amerika sejak revolusi Islam dulu justru positif.  Embargo justru meningkatkan kemandirian dan kreatifitas anak bangsa.  Kata Presiden Ahmadinejad, embargo justru berkah terbesar bagi Iran.  Karena embargo, Iran justru mampu membangun sendiri PLTN-nya serta wahana ruang angkasa tanpa bantuan asing”.

Akhirnya wajah Presiden menjadi cerah.  Dia lalu mengatakan, “Kalau demikian halnya, saya minta blocking space kepada seluruh pimpinan media, besok jam 10 pagi, kita akan akan proklamasikan berubahnya negeri ini menjadi Daulah Khilafah di depan Sidang Istimewa MPR. Mohon pimpinan MPR mempersiapkan segala sesuatunya.  Nanti saya minta Menteri Hukum beserta Mensesneg untuk segera merumuskan apa saja yang dianggap perlu dalam proses konversi dan transisi dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.  Apakah masih ada yang tidak setuju?”  Ternyata tidak ada satupun yang berani tunjuk tangan.  “Apakah semua setuju?” tanya Presiden kembali meyakinkan.  Semua tunjuk tangan.

Begitulah, akhirnya di negeri antah berantah itu Khilafahpun berdiri tegak, dibela oleh rakyatnya di bumi, dan didoakan oleh mereka yang ada di langit.

** proses perubahan revolusioner mirip seperti ini terjadi di negara-negara Blok Timur pada tahun 1991, dan di Afrika Selatan tahun 1994.  Pemilu yang dilakukan sesudahnya di sana hanya melegitimasi keinginan kuat untuk merubah sistem yang sudah terjadi sebelumnya.

Tags: , , , , ,

.

One Response to “Mengapa tidak bergabung dengan parpol / masuk parlemen saja?”

  1. Ahmad Fauzi Iskandar Says:
    March 30th, 2015 at 8:33 am

    Bagus sekali pak tulisannya, saya harap Indonesia ini juga bisa total menerapakan hukum – hukum islam. Namun, sepertinya banyak pihak yang ingin berdakwah menurut caranya masing – masing, jadi sebaiknya kita harus menghargai gerakan – gerakan tersebut bukan malah saling menjatuhkan. In Syaa Allah kan sama sama tujuannya untuk menegakan islam kembali :).

Leave a Reply