Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

POLITIK itu …

Thursday, October 11th, 2012

Politik itu,

melayani umat sepenuh hati,
agar semua hak bisa diberi arti,
dan semua kewajiban bisa terpenuhi.

Politik itu,

mengkondisikan agar semua muslim bisa shalat,
meski shalat sendiri adalah persoalan ibadat,
bukan persoalan politik bulat-bulat.

Politik itu,

bagaimana agar setiap manusia mengenal Rabb-nya,
tidak cuma yang dekat dengan mushola,
atau yang pak ustadz masih saudara.

Politik itu,

menyelesaikan masalah sosial ekonomi hankam dan budaya,
dengan menggerakkan sumber daya manusia yang ada,
yang jumlahnya terbatas, dan kualitasnya masih ala kadarnya.

Politik itu,

bagaimana sebuah aktivitas yang aslinya tampak sederhana,
tapi bisa dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar manusia,
dan berdampak nyaris sepanjang masa.

Politik itu,

seni mempengaruhi orang-orang yang semula memusuhi kita,
menjadi minimal tidak menghalangi-halangi kita,
bahkan lama-lama mendukung kita.

Politik itu,

bagaimana memprovokasi perlawanan pada penjajahan nyata maupun maya,
agar manusia tidak saling memperbudak sesamanya,
tetapi hanya menghamba Allah semata.

Politik itu,

menyampaikan seluruh kebenaran pada orang yang tepat,
di tempat yang tepat, di saat yang tepat,
dengan uslub dan bahasa yang tepat.

Politik itu,

ketika logika ilmiah tidak seluruhnya dapat diterima,
ketika argumentasi bisnis dimentahkan realita,
dan ketika orang-orang bertanya tentang isu rahasia.

Politik itu,

seni menyelesaikan masalah orang-orang yang bersengketa,
tanpa membuat sebagian kehilangan muka,
tanpa membuat yang lain bertepuk dada.

Politik itu,

aktivitas para Nabi yang mulia,
untuk mengubah kehidupan manusia dengan kata-kata,
agar mereka menjadi hamba-Nya dan rahmat ke seluruh dunia.

Mengapa tidak bergabung dengan parpol / masuk parlemen saja?

Monday, June 4th, 2012

Ini adalah sebuah pertanyaan klasik yang ditujukan kepada aktivis gerakan dakwah yang dalam setiap kesempatan selalu bicara yang terkait politik:  Mengapa tidak bergabung dengan parpol saja, lalu masuk parlemen?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 5 hal yang harus diluruskan:

1. Tentang POLITIK.

Bagi sebagian besar orang, politik adalah permainan kekuasaan.  Oleh karena itu, tempatnya adalah di Parpol, Parlemen, atau di Pemerintah, bukan di masjid!  apalagi di jalanan!

Sayangnya mereka keliru!

Sholat memang sebuah ibadah.  Masjid juga tempat ibadah.  Tetapi melakukan upaya agar semua muslim bisa sholat pada waktunya, agar masjid juga tersedia dalam jumlah, kapasitas dan kualitas yang cukup di tempat-tempat publik (terminal, mall, kantor pemerintah), maka itu adalah aktivitas politik!  Aktivitas politik adalah fardhu kifayah.  Dan jumlah fardhu kifayah itu bila dihitung-hitung, sesungguhnya melebihi jumlah fardhu ain.  Termasuk fardhu kifayah adalah mengupayakan adanya air bersih, ada listrik, ada jalan, ada sekolah, ada fasilitas kesehatan, ada pengelolaan sampah, ada sarana transportasi publik, ada petugas keamanan, ada layanan informasi kesempatan kerja, dsb.  Dan mengupayakan itu semua adalah aktivitas politik!

2. Tentang ORGANISASI POLITIK.

Bagi sebagian besar orang, partai politik adalah satu-satunya kendaraan untuk aktivitas politik.  Itu benar manakala yang dimaksud adalah untuk mendudukkan orang-orang di Parlemen atau Kekuasaan secara legitimate (LEGITIMASI politik).  Tetapi fungsi dari parpol menurut teori seharusnya tidak cuma itu, tetapi juga EDUKASI politik, ADVOKASI politik, AGREGASI politik, dan REPRESENTASI politik.  Rakyat perlu diedukasi agar tahu hak-hak dan kewajiban mereka dalam bermasyarakat dan bernegara.  Bila mereka dizalimi, atau dalam posisi lemah berhadapan dengan pihak yang lebih kuat ataupun penguasa, maka harus ada advokasi bagi mereka.  Oleh karena itu mereka harus dapat dikumpulkan (diagregasi) dengan suatu platform dan tujuan yang sama.  Dan karena itulah, mereka dapat menunjuk seorang atau beberapa wakil yang representatif untuk mewakili mereka.  Ini adalah fungsi-fungsi organisasi politik.  Kalau melihat fungsi-fungsi ini, maka aktivitas politik ternyata juga bisa dilakukan dalam skala kecil oleh sebuah LSM, atau dalam skala yang lebih besar oleh Ormas.  Ormas itu bisa berbasis profesi (seperti Ikatan Dokter Indonesia), berbasis kepemudaan (seperti KNPI), ataupun berbasis agama (seperti HTI).  Anehnya, justru parpol-parpol di Indonesia saat ini hanya eksis menjelang agenda legitimasi politik (yaitu pemilu), dan mereka nyaris abai terhadap 4 aktivitas yang lain (edukasi, advokasi, agregasi dan representasi).  Akibatnya, mereka jadi bahan banyolan dari rakyat di bawah.

3. Tentang DEMOKRASI

Bagi sebagian besar orang, demokrasi hanyalah pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil.  Ini sebenarnya hanya demokrasi prosedural.  Hakekat demokrasi bukan itu, tetapi “kedaulatan bersumber dari [keinginan] rakyat”.  Kalau rakyatnya senang minum bir seperti di Jerman, keluarlah UU yang melegalkan produksi dan peredaran miras.  Kalau rakyatnya mentolerir narkoba seperti di Belanda, keluarlah UU yang melegalkan narkoba secara terbatas.  Kalau rakyatnya menganggap pernikahan sejenis itu bukan masalah seperti di Swedia, keluarlah UU yang melegalkan pernikahan sejenis.  Dan kalau rakyatnya setuju untuk menyerbu negara lain seperti di AS (dengan agresinya ke Irak dan Afghanistan), maka keluarlah UU-APBN yang membiayai serbuan itu, serta terpilihnya kembali presiden yang menginginkan agresi.  Jadi, demokrasi tidak bisa mencegah malapetaka seperti ini.  Kalau persoalannya bersumber dari tingkat kesadaran masyarakat, dan orang diminta optimis, bahwa bila masyarakatnya terdidik secara islami, maka mustahil demokrasi akan menghasilkan keputusan UU yang fatal seperti itu, maka berarti lebih tepat kita berjuang untuk memberi penyadaran masyarakat, bukan berjuang untuk bertarung di pentas demokrasi!  Tanpa didahului dengan upaya penyadaran masyarakat, maka proses demokrasi di negeri-negeri Islam tidak akan menjadikan Islam sebagai pemenang.  Bahkan di negeri yang Islam menang pun, kalau militernya belum sadar, militer masih bisa mengintervensi demokrasi.  Partai FIS di Aljazair, meraih 88% kursi dalam pemilu 1992, tapi lantas militer membatalkan pemilu.  Partai Refah di Turki, meraih mayoritas suara dan ketuanya (Erbakan) menjadi Perdana Menteri, tapi tak lama kemudian militer mengkudetanya dengan tuduhan membahayakan konstitusi sekuler, sekalipun Erbakan ketika dilantik sudah bersumpah akan membela konstitusi Turki yang sekuler.  Dan Partai Hamas di Palestina yang menang pemilu, juga akhirnya hanya dapat berkuasa di sebagian kecil wilayah Palestina yang merupakan basis massa pendukungnya.  Jadi terus jalan apa yang bisa dilakukan untuk melakukan perubahan?

4. Tentang PERUBAHAN

Bagi sebagian besar orang, perubahan otomatis akan terjadi ketika seseorang yang shaleh terpilih menjadi penguasa.  Mereka menyangka, masyarakat hanyalah kumpulan dari individu-individu.  Jadi ketika individu-individu itu sholeh, otomatis masyarakatnya akan sholeh.  Mereka keliru!

Sebuah gedung terdiri dari batu, besi, semen, kayu dan kaca.  Tetapi kumpulan itu semua tidak otomatis menjadi gedung.  Bahan bangunan itu perlu ditata atau diatur dengan suatu pola sedemikian rupa agar menjadi gedung.

Demikian juga masyarakat.  Kumpulan orang sholeh itu perlu ditata dan diatur agar menjadi sebuah masyarakat yang sholeh.  Mereka ditata dengan suatu pemikiran dan perasaan kolektif (atau kita sebut opini umum atau KULTUR), dan diatur dengan suatu peraturan yang disepakati (atau kita sebut STRUKTUR).  Kultur dan Struktur ini bersama-sama disebut SISTEM.  Perubahan kultural dilakukan melalui aksi-aksi pembentukan opini, sedang perubahan struktural dilakukan melalui kontak-kontak kepada tokoh-tokoh kunci masyarakat.  Kalau kedua hal ini bisa berjalan seiring, maka perubahan itu pasti akan terjadi.  Tapi kongkritnya bagaimana?

5. Tentang CONTOH KONKRIT

Tidak usah jauh-jauh menyebut contoh dari Eropa Timur (jatuhnya Komunisme) atau Afrika Selatan (tumbangnya rezim Apartheid), di Indonesia tahun 1998 Soeharto amat sangat berkuasa.  Pemilu pun menghasilkan “konsensus nasional” di MPR yang melanggengkan kekuasaan Soeharto.  Tapi dua bulan kemudian, opini publik di akar rumput berbalik mendesak Soeharto turun.  Sementara itu para tokoh kunci kekuasaan (Pimpinan DPR/MPR, Pimpinan TNI, Para Menteri) pun akhirnya mengamini desakan itu, atau netral, atau menolak bekerjasama dengan Soeharto lagi.  Jadilah Soeharto lengser.  Hanya saja, people-power seperti ini terbukti kemudian tidak solid, karena common-enemy mereka hanya person Soeharto.  Selanjutnya dalam agenda reformasi, ternyata mereka tidak fokus, pijakannya tidak sama, serta kepentingan lain-lain.

Tetapi bisa kita bayangkan, bahwa suatu hari nanti, setelah kondisi ekonomi makin buruk, sementara panutan pemerintah ini yaitu AS & Eropa juga makin hancur terkena krisis ekonomi global yang akhirnya juga menyeret Jepang, Cina dan India, maka suatu hari Presiden meminta para tokoh nasional untuk berkumpul.  Mereka terdiri dari para Pimpinan TNI, para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara (MA, MK, DPR, DPD), para Menteri strategis, Gubernur BI, Jaksa Agung, Ketua KPK, para pimpinan Parpol, Tokoh Intelektual, Tokoh Agama, Tokoh Pengusaha, Tokoh Media dll.

Presiden lalu curhat, “Saya kemarin saat kunjungan ke Amerika bertemu seorang pengusaha kelas dunia.  Kami berdiskusi, dan saya terkejut ketika dia bilang bahwa ekonomi Amerika ini tak lama lagi akan tenggelam.  Dia menyarankan agar kita menengok pada jalan alternatif.  Dan tadi malam, saya bermimpi bertemu almarhum eyang saya, seorang Kyai Kharismatis di masa Perjuangan Kemerdekaan dulu.  Dia menasehati saya agar menegakkan syariat Islam di negeri ini, karena itu adalah amanat perjuangan kemerdekaan, ini kalau kita tidak ingin kapal Indonesia ini ikut tenggelam, sementara saya sekarang nakhodanya.  Bagaimana pendapat Saudara-saudara?”

Maka tokoh paling senior di forum itu, yang kebetulan menjabat Ketua MPR mengatakan, “Saudara Presiden, akhir-akhir ini saya melihat bahwa yang disuarakan oleh gerakan-gerakan syariah dan khilafah sejak tahun 2000 itu barangkali benar.  Persoalannya, kita selama ini terlalu angkuh dengan kedudukan kita.  Dan perlu Saudara Presiden ketahui, di akar rumput partai saya, yang meskipun sebuah partai nasionalis dan demokratis, semakin hari saya rasakan semakin banyak yang mendesak agar elit partai mendukung penerapan syariah & khilafah.  Saya jadi memberanikan diri untuk bertanya kepada Ketua MUI, Ketua Muhammadiyah, Ketua NU dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, apa benar kalau kita terapkan syariah dan khilafah itu nilai-nilai luhur Pancasila akan lebih mudah terwujud?”

Ternyata 4 orang yang ditanya itu semua menganggunk-angguk tanda setuju.

Seorang tokoh media yang paling berpengaruh bicara, “Sebenarnya selama ini memang aktivitas gerakan syariah dan khilafah makin luas mendapat dukungan.  Mereka bergerak di tataran akademis maupun di tengah masyarakat.  Jumlah pendukung aksi pro syariah di jalan-jalan mencapai puluhan ribu orang di hampir 500 kota di Indonesia.  Tetapi kami kalangan media memang selama ini kurang menayangkan karena jarang ada insiden di aksi-aksi itu.  Tidak ada news”.

Gubernur BI menambahi, “Saya kemarin diskusi panjang dengan ajudan saya yang ternyata sangat cerdas, dan saya kini semakin yakin bahwa dengan sistem moneter syariah kita tidak perlu repot lagi menjaga nilai tukar mata uang ataupun menghitung nilai suku bunga yang tepat”.

Ketua KPK menimpali, “Saya juga berapa waktu yang lalu diyakinkan dalam diskusi terbatas bidang hukum bahwa dengan sistem syariah yang komprehensif maka pencegahan dan penindakan korupsi akan jauh lebih efektif”.

Tiba-tiba Panglima TNI angkat bicara, dengan suaranya yang khas, berat dan berwibawa, “Saudara Presiden, saya yakin, kalau Saudara, dengan sepersetujuan MPR, sepakat agar kita mengubah tata negara kita menjadi Negara Khilafah dan menerapkan syariat Islam di dalam dan di luar negeri, saya yakin, kemampuan kita dalam menjaga kedaulatan NKRI akan makin meningkat, bahkan mungkin, beberapa wilayah kita yang telah lepas seperti Timor-Leste, atau selama ini terancam separatis seperti Aceh dan Papua, akan justru menjadi yang pertama mendukung Negara Khilafah itu.  Oleh karena itu, kami pimpinan TNI – dan saya yakin juga Saudara Kapolri – akan siap berbaiat kepada Saudara sebagai Khalifah, dan kami siap membela Anda dalam menerapkan syariat Islam, lebih dari membela anak dan istri kami sendiri”.

Semua terkesiap.  Tetapi seorang tokoh PGI (Persatuan Gereja Indonesia) yang hadir menimpali, “Kami warga Kristen, termasuk yang di Indonesia Timur, sebenarnya selama ini banyak berinteraksi dengan gerakan pro syariah khilafah itu, dan sudah hilang keraguan kami, bahwa penerapan syariah itu justru akan melindungi kami dari aksi-aksi anarkis seperti selama ini”.

Seorang tokoh pengusaha nasional nyeletuk, “Kami para pengusaha nasional, juga yakin, bahwa kekuatan industri kita, sumberdaya alam kita, dan pasar dalam negeri kita, cukup kuat bila sewaktu-waktu karena keputusan ini ada embargo atau sanksi internasional” .

Menteri Ristek menambahkan, “Pengalaman Iran dengan embargo yang dijatuhkan Amerika sejak revolusi Islam dulu justru positif.  Embargo justru meningkatkan kemandirian dan kreatifitas anak bangsa.  Kata Presiden Ahmadinejad, embargo justru berkah terbesar bagi Iran.  Karena embargo, Iran justru mampu membangun sendiri PLTN-nya serta wahana ruang angkasa tanpa bantuan asing”.

Akhirnya wajah Presiden menjadi cerah.  Dia lalu mengatakan, “Kalau demikian halnya, saya minta blocking space kepada seluruh pimpinan media, besok jam 10 pagi, kita akan akan proklamasikan berubahnya negeri ini menjadi Daulah Khilafah di depan Sidang Istimewa MPR. Mohon pimpinan MPR mempersiapkan segala sesuatunya.  Nanti saya minta Menteri Hukum beserta Mensesneg untuk segera merumuskan apa saja yang dianggap perlu dalam proses konversi dan transisi dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.  Apakah masih ada yang tidak setuju?”  Ternyata tidak ada satupun yang berani tunjuk tangan.  “Apakah semua setuju?” tanya Presiden kembali meyakinkan.  Semua tunjuk tangan.

Begitulah, akhirnya di negeri antah berantah itu Khilafahpun berdiri tegak, dibela oleh rakyatnya di bumi, dan didoakan oleh mereka yang ada di langit.

** proses perubahan revolusioner mirip seperti ini terjadi di negara-negara Blok Timur pada tahun 1991, dan di Afrika Selatan tahun 1994.  Pemilu yang dilakukan sesudahnya di sana hanya melegitimasi keinginan kuat untuk merubah sistem yang sudah terjadi sebelumnya.

Jebakan-Jebakan Demokrasi Bagi Partai-Partai Islam

Wednesday, April 1st, 2009

Dr. Fahmi Amhar

Siapapun yang pernah merasakan hidup di bawah penguasa yang tiranik, sewenang-wenang, serta buta dan tuli pada penderitaan rakyat, tentu sepakat bahwa pemerintahan diktator otoriter seperti itu harus dihentikan, dilawan dan dicegah agar jangan pernah muncul kembali.

Di dunia, ada beberapa tipe diktator.  Ada diktator aristokrasi, yakni diktator para bangsawan.  Hukum dibuat hanya untuk melindungi kepentingan bangsawan yang seakan-akan pemilik negara seluruhnya. Kemudian ada diktator teokrasi, yaitu diktator para pendeta.  Mereka menciptakan hukum dengan hawa nafsunya, namun diklaim bahwa itu adalah ilham dari Tuhan.  Mereka juga mengklaim dirinya tidak bisa salah (maksum).  Lalu ada diktator militer, yang memerintah dengan asas “yang kuat menguasai yang lemah”.  Dan dalam negara, siapa yang lebih kuat dari angkatan bersenjata?

Demokrasi dicitrakan di Barat sebagai anti tesis dari diktatur, dan memang begitu sejarahnya.  Manusia cenderung untuk melakukan pembagian dikotomis: besar-kecil, baik-buruk, benar-salah, demokratis-diktatur.  Jarang yang memikirkan pihak di tengah, yang tidak besar maupun kecil, yang tidak dapat disifati baik-buruk (karena bukan persoalan etika), yang tidak dapat disifati benar-salah (karena bukan persoalan logika).  Demikian juga, jarang yang berpikir adanya sistem kekuasaan yang bukan demokratis namun juga bukan diktatur.

Maka setelah 32 tahun diperintah rezim Soeharto yang otoriter, anti kritik dan korup, masyarakat menyambut gembira reformasi yang ditandai sejumlah perubahan demokratis.  Demokrasi dipahami dengan adanya keterbukaan yang akan mencegah korupsi, dengan kebebasan dari rasa takut untuk berpendapat, berdemonstrasi, membangun media massa, membentuk partai, hingga mencalonkan diri menjadi presiden.

Sejumlah aktivis Islam yang di era Orde Baru harus mendekam di penjara karena vocal mengritik Soeharto maupun yang harus bergerak di bawah tanah, sejak era Reformasi tidak ragu-ragu lagi untuk bergerak terbuka.  Muncullah berbagai partai-partai baru, baik yang berasas Islam maupun Pancasila.  Mereka berkompetisi memperebutkan kepercayaan rakyat via Pemilu.  Mereka mencoba berjuang melalui koridor yang diberikan demokrasi, yaitu mendirikan partai, melakukan kaderisasi dan sosialisasi, ikut pemilu, meraih kursi di parlemen, jabatan kepala daerah atau bahkan presiden, kemudian memodifikasi peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan syariat Islam.

Sejauh ini, itu adalah teori yang dinilai cukup meyakinkan, karena selama ini TNI/POLRI terbukti netral.  TNI/POLRI mendukung siapapun yang terpilih di negeri ini.  Maka kemudian negeri ini disebut sebagai negeri muslim dengan demokrasi terbesar di dunia, dan negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia dilihat dari jumlah populasinya (setelah India dan AS).

Simplifikasi

Namun semua itu ternyata hanya simplifikasi.  Orang menganggap mudah (simple) sesuatu yang sebenarnya tidak sesederhana itu.  Ketika demokrasi hanya diartikan sebagai tangga meraih kekuasaan: partai, pemilu, parlemen, maka demokrasi ini oleh para ideolog demokrasi, dianggap hanya prosedural, belum substansial.  Apalagi ketika tujuan akhir dari proses ini adalah untuk menegakkan syariat Islam.  Sebagian kalangan liberal menilai, cara ini adalah cara Hitler, sang pemimpin NAZI yang berkuasa di Jerman dari tahun 1933-1945 dan menyeret Jerman dalam malapetaka Perang Dunia II.  Hitler meraih kekuasaannya dalam proses pemilu yang demokratis.  Masa awal pemerintahannya diisi dengan politik pembangunan yang sangat populis (“setiap keluarga Jerman mendapatkan satu pekerjaan, satu rumah dan satu mobil”), sehingga pada pemilu berikutnya dia meraih mayoritas mutlak.  Ini kemudian digunakannya untuk merubah konstitusi Jerman sedemikian rupa sehingga dapat dinilai justru membunuh asas-asas demokrasi itu sendiri (yaitu politik diskriminasi dan bahkan pemusnahan bagi para lawan-lawan politiknya).  Karena itu tak heran bila kalangan liberal tetap curiga bahwa prosedur demokrasi di tangan para aktivis Islam suatu hari nanti akan dipakai untuk membunuh demokrasi itu sendiri.

Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa prosedur demokrasi ini tidak selalu mulus.  Minimal ada empat hal yang menjadi hambatan:

Pertama, bagaimana meraih kemenangan suara terbanyak, ketika suara rakyat jelata yang pendidikannya rendah dan awam terhadap politik sama beratnya dengan para politikus yang cerdas?  Bagaimana berkompetisi dengan partai lain yang benar-benar mengandalkan keawaman massa?  Kita melihat bahwa pada pemilu 1999 dan 2004, suara pendukung tokoh reformasi Amin Rais dan partainya tidak sebanyak suara ke tokoh dan partai yang lain, yang sebenarnya tidak punya citra reformasi yang kental!  Mengapa?  Salah satu alasannya: mesin keuangan mereka tidak sekuat kompetitornya.

Kedua, pihak yang mendapat suara terbanyak, tidak otomatis akan didukung dalam segala sikap politiknya.  Ini berlaku juga bagi partai yang ingin menegakkan syarat Islam via jalur demokrasi.  Akibatnya, partai Islam yang terpilih tidak otomatis akan dibela para pemilihnya itu ketika mereka dalam kesulitan, sebagaimana kasus FIS di Marokko atau Refah di Turki.  Pada tahun 1991, FIS memenangkan 188 dari 231 kursi parlemen Aljazair.  Tetapi kemudian militer yang direstui Perancis menganulir pemilu dan menangkapi para pemimpin FIS.  Tahun 1996 partai Refah yang memenangkan pemilu di Turki bahkan telah memerintah dengan Najmudin Erbakan sebagai perdana menteri.  Namun pada 1997  terjadi kudeta militer dengan alasan Refah memiliki agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi.  Pada 1998, Mahkamah Agung Turki menyatakan Refah menjadi partai terlarang.  Pada kedua kejadian ini, mayoritas para pemilih ternyata memilih bersikap pasif (diam)!

Ketiga, pemegang kekuasaan yang sesungguhnya di negara manapun adalah siapa yang dapat mengendalikan kekuatan bersenjatan (militer).  Pengendali ini bisa tokoh informal yang tidak duduk di kekuasaan, bisa pula kekuatan asing.  Merekalah yang hakekatnya mampu melakukan apapun, termasuk membekukan konstitusi.  Ini terjadi di negeri-negeri yang pernah merasakan kudeta.  Siapapun yang memenangkan pemilu, baik dengan jujur maupun curang, tidak akan mampu berbuat apa-apa bila militer tidak netral atau tidak bersama mereka.  People power yang sebesar apapun juga hanya akan berhasil bila militer mendiamkannya.

Untuk melakukan kudeta, bagi militer adalah cukup mudah.  Cukup merebut pusat-pusat komunikasi, menahan rumah para politisi termasuk memutus semua alat komunikasinya, lalu mengumumkan di televisi bahwa telah terjadi kondisi darurat.  Untuk melakukan semua ini hanya dibutuhkan sekitar 1000 orang tentara.  Inilah yang terjadi di Thailand tahun 2006.

Keempat adalah hambatan konstitusi.  Di beberapa negara, sekulerisme menjadi harga mati yang ditanam dalam konstitusi.  Segala upaya apapun yang akan menggoyang asas ini, dapat dinyatakan melanggar konstitusi oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.  Di UUD 1945 hasil Amandemen para hakim konstitusi ini diberi kewenangan menguji undang-undang apapun terhadap UUD, menyatakan presiden telah mengkhianati negara karena melanggar konstitusi hingga dapat dimakzulkan, membubarkan suatu partai yang agendanya dianggap bertentangan dengan konstitusi, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.  Karena itu, pada negara-negara sekuler, selain para komandan militer, posisi para hakim konstitusi adalah strategis yang harus dijaga agar tetap ditangan orang-orang sekuler.

Jebakan Demokrasi

Jalan untuk menegakkan syariah pastilah bukan jalan yang mudah dan ringan, tetapi jalan yang sukar dan mendaki.  Namun manusia memang secara naluriah lebih cenderung mencari jalan yang mudah dan ringan.  Benarkah kata Qur’an:

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.  (QS Al-Balad [90]: 10-11)

Demokrasi dengan one-man one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah.  Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan.  Yang termudah adalah dengan menjual “sesuatu” yang gampang diterima oleh massa.  Terkadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya “sembako murah” atau citra “bersih”), terkadang berupa public-figure seperti da’i kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer, dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti bantuan uang atau materi lainnya.  Semua hal mudah ini jelas berakibat lunturnya ideologi partai.  Para pemilih bahkan tim sukses pun tidak lagi melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak di benak mereka.  Mereka terpaku pada yang “gampang diterima massa”.

Demokrasi prosedural juga memberikan waktu yang terbatas pada siapapun yang terpilih.  Para legislator dan kepala daerah umumnya hanya diberi waktu lima tahun.  Setelah itu kartu akan dikocok ulang.  Khusus para kepala daerah bahkan hanya dapat dipilih ulang sekali saja.  Waktu lima tahun tentulah bukan waktu yang cukup untuk perubahan dalam skala ideologi.  Revolusi di manapun membutuhkan masa transisi cukup panjang yang biasanya dirasakan cukup berat.  Rasulullah yang merevolusi kaum Muhajirin dan Anshar pun dalam sepuluh tahun pemerintahannya dapat dikatakan era transisi, ditandai dengan puluhan perang yang harus mereka alami.  Tentu saja tidak mudah untuk mengukir tonggak keberhasilan dalam lima tahun dan menunjukkannya ke para pemilih agar mereka memperpanjang mandatnya.  Karena tidak mudah ini, maka dalam masa lima tahun itu terjadilah politik pragmatisme, yakni mengejar kemanfaatan jangka pendek.  Dibuatlah berbagai aturan yang dapat memperkokoh kedudukan partai, baik dari segi dana, SDM maupun organisasi.  Upaya ini dapat berasal dari pundi-pundi lembaga yang dikuasainya (legislatif, eksekutif, yudikatif) maupun dari unsur-unsur eksternal seperti bantuan dari pihak swasta ataupun bantuan non pemerintah dari Luar Negeri.  Semuanya tentu ada kompensasinya.  Tidak heran bahwa banyak partai yang semula sangat sederhana, tiba-tiba jadi memiliki gedung kantor yang megah lengkap dengan fasilitas kendaraan mewah dan perlengkapan lainnya setelah kadernya ada yang duduk di parlemen atau pemerintahan.

Dan ketika mereka telah duduk di pemerintahan, tampaklah bahwa ada 1001 persoalan bersamanya.  Ada aturan-aturan yang saling menopang dan membelit, yang tidak dapat diubah satu persatu begitu saja.  Kadang-kadang seorang menteri atau kepala daerah berpikir bahwa jika suatu aturan dibuat di instansinya, maka dia dapat berinisiatif untuk merubah atau bahkan mencabutnya.  Namun ternyata, banyak aturan yang terkait dengan peraturan lain, atau bahkan terkait dengan perjanjian internasional.

Contoh: aturan bunga bank (yang sudah difatwa haram oleh MUI).  Kalau suatu kepala daerah ingin membuat perda, misalnya hanya bank-bank dengan sistem syariah yang boleh beroperasi di daerahnya, pasti akan digugat oleh bank-bank konvensional dengan alasan persaingan usaha, dan perda tersebut pasti akan kalah saat Judicial Review, karena menyalahi Undang-undang.  Dan kalau Menteri Keuangan bersama Gubernur BI akan mensyariahkan Undang-undang perbankan, pasti digugat oleh IMF, Bank Dunia dan WTO, sebab Indonesia punya kesepakatan-kesepakatan internasional bidang moneter dan perdagangan.  Hal ini juga terjadi dalam perkara pertanahan, pertambangan, kehutanan, pendidikan, hukum pidana, hukum perdata, dan sebagainya.  Adanya globalisasi makin mempersulit posisi tersebut.  Kalau bukan disentil oleh IMF, Bank Dunia atau WTO, kita akan didemo oleh LSM-LSM asing, atau diberitakan miring oleh jaringan pers internasional.  Para aktivis syariah akan distempel fundamentalis, radikal, dan teroris!

Hanya revolusi yang dapat mendobraknya, namun revolusi adalah jalan yang mendaki dan sukar.  Tidak banyak yang berani menanggung resikonya.  Walhasil banyak dari politisi yang masuk dalam legislatif atau eksekutif ini yang menyerah pada situasi, suka tidak suka jadi terlibat dalam sistem perundang-undangan yang tidak lagi melihat halal-haram.  Padahal sistem perundang-undangan semacam itu hakekatnya adalah sistem kufur.  Akhirnya karena mereka tidak sanggup lagi mengubahnya, mereka menyatakan kondisi saat ini sebagai kondisi darurat.  Mereka akan mengatakan bahwa masih lebih baik mereka yang duduk, bukan politisi sekuler yang kejam, bukan pula diktator korup.

Kita tidak ingin mengatakan bahwa para aktivis partai Islam tersebut telah terjebak.  Mereka berjuang, dan tidak dinafikan bahwa sebagian dari mereka betul-betul berjuang dengan ikhlas, mengorbankan harta, waktu, tenaga dan pikirannya.  Kita menyebut fenomena di atas adalah jebakan sebagaimana seorang prajurit yang gagah berani di medan perang dapat juga tanpa sengaja terkepung pada medan penuh ranjau yang sangat sulit, sehingga dia dengan sadar memutuskan untuk memilih jalan yang dalam pertimbangannya ranjaunya paling sedikit.

Jalur Alternatif

Namun kalau dipikir jernih, ada cara yang lebih aman secara syar’i, meskipun tentu saja lebih sukar.  Tidak ada “nikmatnya demokrasi” di sana, karena jalan ini tidak menjanjikan jabatan, tidak menjanjikan “perubahan” yang cepat ataupun segala indikator duniawi lainnya.

Jalan itu adalah jalur yang ditempuh Rasulullah, melalui dakwah ideologis baik ke level akar rumput maupun ke level elit.  Di Makkah, hanya level akar rumput yang dapat diakses, itupun dalam 13 tahun hanya berhasil merekrut sekitar 100 orang.  Namun di Madinah, dalam setahun, hampir seluruh lapisan elit dapat dipegang, sehingga revolusi berjalan mulus.  Tentu saja revolusi ini hanya akan tercatat dengan tinta emas sejarah bila dapat dipertahankan.  Dan itu tergantung kesiapan akar rumput menanggung beban revolusi.  Namun Rasulullah telah memberikan contoh yang luar biasa bagaimana proses yang alami ini dapat berlangsung manusiawi dan sempurna.