Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Archive for the ‘SosPol’ Category

Soeharto telah tiada

Sunday, January 27th, 2008

Fahmi Amhar

Hari ini Soeharto telah tiada
Maka wahai Saudaraku bangsa Indonesia
Andaikata kalian “menyembah” Soeharto, ketahuilah bahwa hari ini Soeharto telah tiada
Tapi kalau kalian menyembah Allah, Sungguh Allah selalu hidup dan Maha Kuasa.

Benar, Soeharto telah banyak jasanya
Di akhir 60-an Soeharto telah menyelamatkan ekonomi yang porak poranda
Di awal 70-an Soeharto telah memanfaatkan oil-boom untuk pembangunan Indonesia
Puskesmas dibangun di tiap kecamatan, SD inpres berdiri di tiap desa
Petani mendapatkan pabrik pupuk, dan ada transmigrasi bagi yang tanah tak punya.

Namun wahai Saudaraku
Kalau Soeharto melegalkan yang haram, takutkah kau memprotesnya?
atau jika Soeharto mengharamkan yang halal, beranikah kau membangkangnya?
Sungguh kata nabi, bila demikian Soeharto telah kau sembah secara nyata!

Soeharto melegalkan riba dan mengundang hutang luar negeri ke Indonesia
Sampai riba hutang itu menjerat leher anak cucu kita sampai akhir masa
Soeharto membuka pintu-pintu asing untuk menguasai sumberdaya alam kita
Sampai akhirnya tambang, hutan dan laut kita tergadaikan hampir seluruhnya
Soeharto melarang orang bicara tentang Islam yang mengatur negara
Padahal tiada islam tanpa syariat, dan takkan tegak syariat tanpa negara.

Saudaraku, kini Soeharto tua telah tiada
Tapi kerinduan bangsa ini akan figur seperti Soeharto masih membara
Jalanan ditutup untuk konvoi para pengunjuk duka cita
Para pejabat berduyun menuju makam yang dibangun seperti istana
Yang para syuhada, khalifah dan Nabi pun tak akan pernah merasakannya
Karena itu hanya imitasi dari adat Yahudi, Nasara dan penyembah berhala
Tak tahu, berapa milyar uang milik rakyat yang tersita.

Saudaraku, bolehlah mengambil ibrah atas segala fenomena
Tapi marilah kau pegang Qur’an dan Sunnah, bila tak ingin hidup ini sia-sia
Soeharto yang pernah amat berkuasa itu kini telah menghadap Tuhannya
Dan dia hanya akan ditemani oleh amal-amalnya
Tak ada yang lain yang menemaninya, baik pengawal atau menterinya yang setia
maupun konon rekening milyaran Dollar di bank Swiss yang amat rahasia
Dan Tuhan yang amat cepat dan teliti perhitungannya
tidak akan melewatkan satu noktahpun amal manusia
apalagi kalau amal ini menjadi suatu tradisi yang diikuti ratusan jutaan manusia.

(Senin, 28 Januari 2008).

Minggu, 27 Januari 2008

Renungan Usia 45

Sunday, January 27th, 2008

Soekarno lahir 1901, jadi presiden tahun 1945, usia 44.
Soeharto lahir 1921, jadi presiden tahun 1966, usia 45.

Mungkin ini yang menyebabkan mereka sangat gesit pada awalnya.
Visioner, cekatan, berani …

Presiden setelah itu baru naik setelah mendekati/melampaui “usia pensiun”.
Habibie lahir tahun 1936, jadi saat 1998 jadi presiden, usianya telah 62 tahun.
Gus Dur lahir tahun 1940, jadi saat 1999 menggantikan Habibie, usianya telah 59 tahun.
Megawati lahir tahun 1947, jadi saat 2001 mengantikan Gus Dur, usianya telah 54 tahun.
SBY lahir tahun 1949, jadi saat 2004 menggantikan Megawati, usianya telah 55 tahun.

Tetapi stamina Presiden muda ini ternyata jarang lebih dari 15 tahun.

Di tahun 1960 Soekarno sudah bermetamorfosis menjadi diktator.  Atau dia mulai lebih banyak menghabiskan waktu bersama istri-istrinya yang banyak dan muda, daripada bersama rakyat.

Demikian juga, kalau 1983 Soeharto mundur, mungkin  dia akan dicatat sebagai presiden yang nyaris tanpa cela (kecuali oleh keluarga ex PKI, korban Malari atau keluarga Petisi 50).  Tahun 1983 in anak pak Harto yang tertua yaitu mbak Tutut (lahir 1949) baru berusia 34 tahun), dan adiknya yang paling ngetop yaitu Tommy (lahir 1962) baru berusia 21 tahun.  Jadi mungkin belum terlalu neko-neko lah …

Tapi ya itulah, “suratan takdir” bangsa ini.

Terus apa pelajaran yang bisa kita tarik dari sini:

Berusahalah meraih ambisi sebelum usia 45 ?
Segera berhenti ketika masih di puncak prestasi ?

Apa pelajaran bagi anda?

IEDUL ADHA SETENGAH HATI

Tuesday, December 18th, 2007

Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar

Aktivis pro syariah & pecinta astronomi

Iedul Adha tahun 2007 (1428H) saya hadapi dengan setengah hati.  Setengah karena taat kepada sebuah hukum syara’, dan setengah lagi karena tahu bahwa hukum itu telah diterapkan tanpa mengindahan sebuah keniscayaan ilmiah.

Mahkamah Agung Saudi telah menerima dan menetapkan keabsahan sebuah klaim rukyatul hilal (melihat bulan sabit baru) pada hari Minggu sore 9 Desember 2007.  Artinya Senin 10 Desember 2007 menjadi 1 Zulhijjah, dan seterusnya Selasa 18 Desember 2007 menjadi 9 Zulhijjah, hari di mana para jama’ah haji akan wukuf di Arafah (dan yang lainnya puasa Arafah), dan akhirnya Rabu 19 Desember 2007 menjadi 10 Zulhijjah, hari Iedul Adha, saat hewan-hewan qurban disembelih.

Syara’ telah menetapkan bahwa masalah penentuan hari wukuf menjadi wewenang penguasa Makkah, yang saat ini adalah penguasa Saudi Arabia.  Raja Saudi telah mendelegasikan kewenangan ini kepada Mahkamah Agungnya.

Syara’ juga mengatur bahwa penentuan 1 Zulhijjah cukup didasarkan kesaksian dua muslim yang terpercaya.  Riwayat dari Nabi menunjukkan bahwa ketika ada orang Badui mengaku melihat hilal, Nabi hanya memintanya bersyahadat saja.  Nabi tidak memeriksa hal yang lain.

 

Persoalan kesaksian ini yang membuat Iedul Adha ini menjadi setengah hati.

Karena kesaksian hilal ini terjadi pada saat yang mustahil.  Hilal hanya mungkin terjadi setelah ijtima’ (moon-conjunction).  Dan di Mekkah ijtima’ baru terjadi pada Minggu 9 Desember 2007 pukul 20:40, setelah matahari terbenam (Maghrib) yang terjadi pukul 17:42 waktu setempat

Sebagian orang mempertanyakan keabsahan data astronomis ini:  “Dari mana tahu bahwa prediksi ijtima’ ini tepat?”  atau membantah kemungkinan si perukyat yang salah: “Bagaimana memastikan bahwa si perukyat itu tidak dapat dipercaya?”.

Prediksi astronomis untuk peristiwa ijtima’ tidak didasarkan hanya dari kesaksian satu atau dua orang.  Tetapi adalah hasil riset ribuan orang selama berpuluh tahun yang dilakukan secara sistematis dan terdokumentasikan dengan baik.  Selama ini prediksi ijtima’ yang terkadang bertepatan dengan gerhana matahari, selalu akurat sampai ke detik terdekat.  Prediksi bulan untuk fase-fase lain saat bulan sudah tinggi, juga sangat akurat.  Di bulan terdapat reflektor yang dipasang oleh misi-misi angkasa Amerika Serikat dan Rusia yang dapat memantulkan sinar laser yang dikirim dari berbagai stasiun Lunar-Laser-Ranging (LLR) dari bumi.  Dan semuanya OK.  Kesalahan fatal data ijtima’ tertutup.  Data astronomis bisa saja dikoreksi, namun tentunya hanya oleh pengamatan ilmiah yang juga berakurasi tinggi.  Kalau memang hilal itu benar-benar ada pada hari Minggu 9 Desember 2007, dan ada foto atau pengukuran LLR yang memvalidasinya, pasti semua rumus astronomi akan dikoreksi.

Sementara itu bagaimana memastikan bahwa si perukyat tak dapat dipercaya?  Tidak ada caranya!  Kita tidak ingin membuktikan bahwa si perukyat berbohong.  Dia hanya keliru meneruskan fakta.  Seorang yang paling shalehpun bisa salah menjawab soal ujian.  Dia tidak berbohong, dia hanya keliru.  Ada sejumlah test yang bisa dilakukan, misalnya menunjukkan berbagai foto hilal dan foto placebo hilal (yang sebenarnya hilalnya tidak ada).  Test mata juga bisa dilakukan untuk melihat kesehatan mata yang bersangkutan.  Demikian juga informasi kondisi lingkungan saat pengamatan.  Tentu aneh mengaku melihat objek langit bila di tempat yang bersangkutan tertutup awan.

Tentu saja semua ini tidak dilakukan di masa Nabi.  Namun tidak semua hal yang tidak dilakukan di masa Nabi itu haram dilakukan di masa sekarang.  Ketika itu dapat menjaga agama, menjaga (kesatuan) negara, menjaga hidup, menjaga akal dan sebagainya, apakah lantas tidak boleh dilakukan.  Atau seharusnya berlaku kaidah “Maa la yatimul waajib illa bihi fahuwa waajib”  (Apa yang tanpa dengannya suatu kewajiban tak dapat disempurnakan, hukumnyapun menjadi wajib juga).

Di masa Nabi belum ada kompas untuk mengetahui arah kiblat, karena itu pasti Nabi tidak pernah menggunakan kompas untuk mengetahui arah kiblat.  Apakah lantas dengan alasan sholat itu ibadah “tauqifi” terus kita harus menentukan arah kiblat persis seperti di zaman Nabi, tidak boleh pakai kompas?

Tentu saja, siapapun yang ada di Mekkah mau tidak mau harus tunduk pada keputusan wukuf Saudi.  Mustahillah wukuf sendirian menuruti keyakinannya sendiri.

Menjadi rumit tatkala itu dibawa ke negeri yang jauh seperti Indonesia.  Memang, sebelum ditemukan alat telekomunikasi, tidak ada riwayat yang menceritakan bahwa otoritas Mekkah mengirimkan berita ke seluruh dunia Islam tentang penentuan 1 Zulhijjah.  Secara teknis, pengiriman berita ke negeri yang jauh seperti Indonesia saat itu juga mustahil.  Karena itu perbedaan hari Iedul Adha saat itu mungkin juga dimaklumi – karena juga mungkin tidak disadari.

Berbeda dengan sekarang.  Globalisasi membuat kita menjadi setengah hati.  Akhirnya ada juga yang ambil jalan minimal.  Rabu dia tidak puasa dan juga tidak sholat Ied.  Toh puasa dan sholat Ied hukumnya sunnah.  Tapi kalau puasa di hari Iedul Adha kan haram.  Dan sholat Ied di hari yang salah, tulalit juga …  Kita ingin persatuan.  Namun otoritas Saudi yang saat ini menentukan hari wukuf bukanlah penguasa kita.

Andaikata ia adalah khalifah kita, demi persatuan dan demi menghindari kekeliruan, tentu sangat bijaksana jika di masa depan otoritas ini mengadopsi ilmu & teknologi ketika menerima kesaksian hilal.  Agar Iedul Adha dan haji kita tidak setengah hati lagi.  Allahu Akbar.