Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Tanggal 3 hingga 14 Desember 2007 akan berlangsung konvensi / Pertemuan antar pihak (Conference of Parties / Meeting of Parties) tingkat tinggi di Bali yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Pertemuan ini diharapkan dapat mengevaluasi Protokol Kyoto yang dibuat tahun 1997, yang ditandatangani untuk mengurangi kadar CO2 guna mencegah pemanasan global. Fenomena ini tidak bisa dilihat sesaat atau semusim saja, tetapi harus dalam jangka yang lama, berpuluh tahun atau bahkan berabad-abad.
Cuaca adalah fenomena yang dapat bervariasi dari hari ke hari. Sedang tren jangka panjang disebut iklim. Ketika tren ini berubah maka kita bicara tentang perubahan iklim. Pada skala global, ini disebut Global Climate Change. Sejak era industri, orang mencatat perubahan iklim ini. Efek ini diduga akibat meningkatnya karbon dioksida (CO2) di atmosfir sebagai dampak pembakaran hidrokarbon baik bahan bakar fossil, hutan maupun sampah, sehingga sinar inframerah dari matahari lebih banyak terperangkap di atmosfir. Karena efek semacam ini mirip yang dirasakan di rumah-rumah kaca, maka disebut Efek Rumah Kaca (Greenhouse effect) dan CO2 disebut juga ”gas rumah kaca” (Greenhouse-Gas/GHG). Dan karena efeknya memanaskan secara global, maka disebut ”global warming”.
Karena memerlukan riset jangka panjang seperti ini, maka sebagian orang masih berbeda pendapat tentang dimensi efek global warming. Ada yang menganggap efek ini akan dinetralisir oleh peningkatan reaktivitas lautan secara alami.
Namun mau tak mau kita tetap harus mempersiapkan diri. Masalahnya, salah iklim tidak dapat diatasi dalam waktu singkat. Kalau kemarau panjang terjadi, sedang lahan pertanian terlanjur ditanami dengan padi yang sangat butuh air, maka akan terjadi krisis pangan. Karena itu memang pemerintah perlu mengarahkan agar dunia pertanian mengantisipasi hal itu. Ribuan kilometer sistem irigasi harus segera direvitalisasi. Bibit padi yang disiapkan harus juga yang lebih tahan kekeringan.
Namun di sisi lain, sistem pemantauan cuaca kita juga harus terus dibangun. Jaringannya perlu diperpadat, komputernya dimodernisir dan SDM-nya ditingkatkan profesionalitas dan kesejahteraannya. Sistem ini juga harus diintegrasikan ke jaringan pemantau cuaca global, termasuk yang berbasis satelit. Akurasinya harus ditingkatkan, agar ramalan iklim ini memang prediksi yang ilmiah, bukan sekedar isu murahan yang dimanfaatkan segelintir pengusaha untuk mendapatkan proyek pengadaan beras impor atau justifikasi kebakaran hutan – yang sebenarnya telah disengaja.
Sejak masa pencatatan temperatur secara ilmiah dan teratur selama 100 tahun terakhir, tercatat suhu bumi naik 0,75° C. Yang mencolok, setelah 1950, tren kenaikan suhu terlihat cukup konsisten dengan sekitar 0,25° C per dekade untuk daratan dan 0,13° C per dekade untuk lautan.
Dampak Pemanasan Global
Pemanasan global diduga keras akan berpengaruh dalam bentuk sebagai berikut:
(1) Es di kutub dan gunung-gunung tinggi mencair. Menurut perhitungan, hal ini menaikkan paras laut setinggi hingga 5 – 7 meter! Tentu saja kenaikan paras laut rata-rata ini harus diukur dari stasiun pasang surut yang stabil, tidak terjadi gempa atau penurunan muka tanah (land-subsidence).
(2) Kalau air laut naik, maka dataran rendah akan tergenang. Daerah pantai atau dataran rendah yang produktif di bawah level tertentu akan hilang. Pulau-pulau kecil yang rendah juga akan dihapus dari peta. Dataran rendah ini hilang karena muka air laut naik, bukan hanya karena digerus abrasi atau diambil pasirnya.
(3) Bila daratan yang hilang ini merupakan acuan dari ”pagar batas” suatu negeri, maka batas negeri itu bisa kembali menjadi persengketaan mengingat batas alamnya hilang. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia dengan batas laut yang kritis dengan beberapa negara, hilangnya sebuah pulau terluar bisa berakibat ribuan kilometer persegi wilayah kedaulatan laut baik itu laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif atau Landas Kontinen dapat tiba-tiba hilang.
(4) Perubahan sirkulasi plankton dan otomatis perubahan sebaran ikan yang pada akhirnya pada persediaan sumber pangan dari laut. Nasib jutaan nelayan atau petani tambak ada di ujung tanduk.
(5) Perubahan vegetasi. Daerah yang kini beriklim sedang akan menjadi lebih hangat sehingga dapat menanam tanaman tropis. Sementara itu daerah yang sekarang sudah hangat seperti di Indonesia, dapat berubah menjadi gurun!
(6) Perubahan pola penyakit, akibat beberapa virus atau bakteria yang dulu hanya ada di daerah tropis (seperti malaria, DBD dan sejenisnya) akan melanda daerah beriklim sedang. Bila para pekerja kesehatan di sana tidak akrab dengan penyakit tropis seperti itu, maka akan timbul pandemi yang sangat ganas.
Sumber Gas Rumah Kaca
Hingga saat ini dua negara besar yaitu China dan Amerika Serikat menolak meratifikasi protokol Kyoto, walau dengan alasan yang berbeda. China berposisi bahwa aktivitas ekonominya masih jauh di bawah negara-negara industri maju. Pengurangan CO2 berarti menutup kesempatan rakyat China untuk menikmati standar hidup yang lebih baik. Sedang AS memang kurang berminat menurunkan tingkat penggunaan energi fossilnya, terutama di bidang transportasi. Namun isu yang saat ini beredar justru bahwa sumber gas rumah kaca ini dunia Islam akibat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali karena penolakan terhadap program Keluarga Berencana (KB).
Faktanya, selama ini AS adalah “juara” penghasil CO2, yaitu 39% dunia. Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia. Artinya, jumlah CO2 dari seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%.
Selama ini sektor yang paling banyak menghasilkan CO2 adalah energi (baik untuk industri maupun transportasi). AS menghembuskan hampir 6500 Mega Ton CO2-equivalen, di mana 95% dari sektor energi. Sebagai pembanding, Indonesia hanya menghembuskan kurang dari 400 Mega Ton CO2-equivalen, meski jumlah penduduk Indonesia sudah mendekati penduduk AS. Namun karena di Indonesia sering terjadi kebakaran hutan, baik disengaja atau tidak, Indonesia “menyumbang” CO2 sebanyak 3000 Mega Ton CO2-equivalen.
Negara-negara maju anggota UNFCCC pada awalnya punya komitmen untuk membantu secara finansial negara-negara berkembang dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim ini. Untuk itu negara-negara berkembang diwajibkan untuk melakukan sejumlah hal seperti menjaga hutan-hutannya serta menyerahkan data Greenhouse gas-inventory.
Namun setelah sepuluh tahun Kyoto Protokol, negara-negara berkembang semakin sadar bahwa ada faktor-faktor institusional yang sangat sulit diatasi, yaitu: (1) negara-negara industri terdepan di dunia (dikenal dengan G-8) sudah berada pada “zona nyaman”, sehingga malas untuk berubah; (2) di dunia saat ini tidak ada skema ekonomi alternatif yang berskala global; dan (3) PBB ternyata tidak punya kapasitas politik yang cukup. Faktanya, politik PBB dan ekonomi dunia saat ini sangat ditentukan oleh politik dan aktivitas korporasi Amerika Serikat – yang menolak meratifikasi protokol Kyoto tadi.
Maka semakin jelas bahwa untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran ekologis, perlu paradigma dan sistem politik dan ekonomi global yang baru. Sistem politik dan ekonomi kapitalistis-sekuler terbukti gagal. Perlu ada sistem alternatif yang bersandar kepada Sang Pencipta Yang Maha Tahu. Allah berfirman:
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30: 41)
Sistem alternatif bagi dunia yang sekaligus adalah sistem satu-satunya bagi kaum muslimin itu adalah sistem pemerintahan Islam global (khilafah). Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh khilafah akan mengatasi masalah CO2 ini sejak dari akarnya. CO2 akan dikurangi dari sisi demand maupun supply.
Dari sisi demand: CO2 dihasilkan dari penggunaan energi konvensional (minya, gas, batubara). Semakin materialis gaya hidup seseorang, makin banyak energi dihabiskannya dan semakin banyak pula CO2 akan dibuangnya. Dengan digantinya paradigma kebahagiaan dengan paradigma Islam, maka sekaligus dua masalah teratasi: kebutuhan energi dan CO2. Bentuk mengurangi demand ini bisa berupa penataan ruang baik makro maupun mikro yang lebih baik, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk transportasi, penerangan atau penyejuk udara. Secara teknologi, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) juga dapat menekan kebutuhan transportasi cukup signifikan, karena akan banyak hal dapat dilakukan secara jarak jauh (misalnya tele-conference, tele-working, dsb).
Sedang dari sisi supply, penggunaan energi terbarukan seperti energi surya dalam berbagai bentuknya (solar-cell, solar-farm, solar-tank), energi angin (wind-farm), energi air (dari mikrohidro sampai PLTA), energi ombak, energi suhu laut (Ocean-Thermal-Energi-Conversion, OTEC), pasang surut, panas bumi (geothermal) hingga energi nuklir dapat membantu menurunkan penggunaan energi konvensional, dan pada akhirnya mengantisipasi pemanasan global.
Di sisi lain, gerakan pelestarian hutan dan penanaman pohon harus digalakkan, baik secara individual, korporasi maupun negara. Dalam 12 tahun (1991-2003), Indonesia sudah kehilangan 68 juta hektar hutan, atau sekitar 10 hektar per menit! Bayangkan, hutan seluas 15x lapangan bola lenyap setiap menit! Di level bawah, para aktivis dakwah perlu mengingatkan ummat pada hadits Nabi yang berbunyi kira-kira, “Andaikan kiamat terjadi sore hari, di pagi hari seorang muslim tetap akan menanam sebuah pohon”, dan di hadits lain, “Andaikata buah pohon itu dinikmati oleh ulat atau burung, maka itu tetap terhitung sedekah dari yang menanamnya”.
Tanah mati dengan definisi “tanah yang ditelantarkan / tidak dikelola selama 3 thn” – yang oleh karena itu bisa disita oleh negara – di Indonesia saat ini masih sangat sulit diidentifikasi kecuali ada sinergi yang baik dari aspek hukum & teknis.
Yang ada adalah:
(1) lahan kritis, yaitu yang kurang subur, meski dikelola tiap hari dan bayar PBB. Ini ada datanya di Deptan. Luasnya 22 juta ha dari 107 juta ha lahan pertanian di Indonesia.
(2) lahan nunggak pajak, yaitu lahan yang tidak dibayar pajaknya, baik karena alasan ekonomis (kurang menghasilkan), politis (enggan bayar pajak) ataupun karena ditelantarkan (si empunya mungkin sudah lupa).
Persoalannya sebagai berikut:
(1) secara teknis lahan kritis gampang dideteksi secara visual ataupun dengan penginderaan jauh. Namun apakah lahan itu ditelantarkan, maka perlu ada cross data dengan survei sosial-pertanian untuk menemukan fakta bahwa benar-benar tidak ada orang yang diserahi tugas untuk menggarapnya.
(2) secara hukum lahan nunggak pajak juga gampang dideteksi, karena Direktorat PBB sudah punya peta dasar perpajakan di seluruh Indonesia. Tetapi apakah nunggak pajak itu karena ditelantarkan (ini asumsi yang lazim dari masa lalu), maka masih perlu survei. Faktanya di sisi lain, lahan yang rajin bayar pajak juga tidak otomatis tidak ditelantarkan. Banyak lahan yang hanya menjadi objek investasi / spekulasi — nunggu harga naik. Bukankah tanah adalah sumber daya yang terbatas, sedang kebutuhannya terus naik, sehingga harganya pasti naik? Buat para spekulan ini, lahan yang diterlantarkanpun tetap ekonomis, karena harganya toh naik terus.
Solusi:
Perlu ada model pengawasan tanah yang sudah diserahkan menjadi hak milik pribadi. Pengawasan tidak boleh hanya semata-mata dengan instrumen PBB, tetapi juga dari instrumen survei pemetaan (untuk melihat sejauh mana lahan itu dapat diharapkan produktivitasnya) dan survei sosial (untuk melihat aktivitas pengelolaan lahan tsb).
Dr. Fahmi Amhar [Al Wa’ie November 2007]
Khilafah: Solusi Dunia
Perkembangan dunia Abad 21 ini menunjukkan peningkatan interdependensi (saling ketergantungan) antarbangsa. Teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menjadikan dunia sebagai “desa global” (global village). Perkembangan di manapun dapat diikuti oleh siapapun di pelosok dunia manapun. Ini membuat batas-batas artifisial yang diciptakan oleh Negara-bangsa menjadi kurang berarti. Pertanyaannya: siapa yang dapat memanfaatkan perkembangan global itu lebih baik?
Dalam hal ini, gaya hidup yang diciptakan dunia Barat yang materialistis-kapitalistis dan liberal-sekular pada awalnya memang berhasil mewarnai seluruh pelosok dunia lebih cepat. Namun, ujung-ujungnya gaya hidup ini juga lebih cepat menuai kecaman dari seluruh bangsa di dunia. Di segala pelosok dunia orang mengeluhkan pemborosan sumberdaya alam yang makin cepat, perusakan lingkungan yang makin dahsyat, tercerabutnya kearifan lokal, terdesaknya masyarakat adat dan makin jelasnya penjajahan ekonomi di mana-mana. Globalisasi yang semula dimaksudkan untuk mengokohkan peradaban Kapitalisme—sehingga Francis Fukuyama menyebutnya sebagai “The End of History”—justru menjadi bumerang. Di mana-mana orang mencari alternatif. Bahkan di negeri-negeri asal Kapitalisme, arus orang yang mencari jalan alternatif semakin meningkat. Orang mencari makanan alternatif. Tren pertanian tanpa pupuk kimia atau pestisida (pertanian organik) meningkat pesat. Orang mencari wisata alternatif (eco-wisata). Bahkan orang mencari agama alternatif (dari mainstream di sana, yaitu agama Nasrani). Jumlah pemeluk Islam, Budhisme dan sekte-sekte tumbuh pesat.
Di sinilah, sistem Khilafah dengan syariah Islam sebagai solusi total permasalahan manusia akan menjadi alternatif yang makin menarik guna memberikan pemecahan praktis persoalan dunia. Dunia yang kehilangan arah makna kehidupan akan diberi paradigma baru yang tepat. Sistem Khilafah yang bersifat global, tetapi memberikan ruang bagi pluralitas, akan memberikan jalan yang berbeda daripada perangkap-perangkap negara-bangsa yang sudah tidak kompatibel lagi dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta isu-isu lingkungan hidup.
Khalifah Juga Manusia
Sistem khilafah masih perlu didetilkan. Konferensi Khilafah Internasional (KKI) yang digagas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus 2007 lalu mulai menuai bola salju. Di Harian Media Indonesia (24/8/2007) lalu muncul dua tulisan yang mempersoalkan ide-ide HTI.
M. Hasibullah Satrawi (alumnus al-Azhar Kairo) mempertanyakan prosedur pemerintahan seperti apa yang hendak diciptakan? Satrawi menganggap HTI mengalami kerancuan paradigma; di satu sisi ingin menegakkan pemerintahan Khilafah (yang menurutnya pada masa awal Islam sarat dengan nilai-nilai demokrasi), tetapi di sisi lain HTI anti demokrasi. Bahkan dia mempertanyakan apakah HTI sama atau memang Khawarij baru—suatu hal yang juga dilontarkan oleh kelompok Salafi.
Adapun Zuhairi Misrawi (Direktur Moderate Muslim Society) menggunakan pendekatan hermeneutik. Istilah khalifah dan khilafah dikatakan mengalami perkembangan dan partikularisasi, dari “mandat Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia apapun agamanya” menjadi “justifikasi dan legitimasi suatu klan politik”. Kedaulatan Tuhan atau sistem Khilafah menurutnya adalah kalimat mulia tetapi maknanya bisa menjadi batil.
Lepas dari setuju atau tidak dengan isinya, keberadaan dua tulisan itu dapat bernilai positif, dan diharapkan terus membuka perdebatan ilmiah yang mengandalkan kekuatan logika.
Sepanjang sejarahnya, HT terbukti konsisten untuk concern dengan adu argumentasi ilmiah, dan bukan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengandalkan logika kekuatan. Justru logika kekuatan ini yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh penguasa negeri ini (atas desakan AS dan Uni Eropa), yang mencekal dan mendeportasi para pembicara KKI dari Luar Negeri, serta melarang dan menekan beberapa tokoh Dalam Negeri agar tidak hadir apalagi berorasi di forum KKI.
Sebenarnya apa yang dipersoalkan dua penulis di atas sudah terjawab oleh buku-buku HT sendiri. Dalam buku Ajhizah Dawlat al-Khilâfah (Struktur Negara Khilafah) yang dikeluarkan HT (Internasional) tahun 2005, ditegaskan bahwa sistem Khilafah adalah sistem manusia dan bersifat duniawi. Khalifah juga manusia dan negara Khilafah bukan negara teokrasi.
Memang, istilah khalifah dipakai secara umum dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 30, dan secara agak khusus dalam surah Shad ayat 26. Namun, Rasul saw. telah dengan jelas membatasi istilah khalifah/khilafah itu untuk pemerintahan pasca Beliau. Nabi saw. bersabda:
“Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiapkali seorang nabi meninggal, ada nabi lain yang menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku; yang akan ada adalah para khalifah, dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus.” (HR Muslim).
Dalam hadis lain Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara sehingga melarang munculnya kepala negara tandingan. Dalam hal ini, Nabi saw. secara eksplisit menggunakan istilah khalifah untuk kepala negara kaum Muslim:
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim).
Tentang mekanisme pemilihan khalifah, apa yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin, dan diamnya mereka melihat mekanisme pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa keempatnya adalah sah sebagai model. Hal ini karena ada sabda Nabi saw.:
Umatku tidak akan sepakat dalam kemungkaran.
HT menyimpulkan bahwa Ijmak Sahabat adalah sebuah sumber hukum. Karena itu, bagi HT mekanisme itu sangat jelas. Khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar, atau dengan nominasi khalifah sebelumnya seperti Umar, atau dengan suatu komite pemilihan seperti Utsman. Semua model ini semuanya absah pada saat yang tepat. Jadi, keliru untuk mengatakan bahwa Islam atau sistem Khilafah tidak memiliki model suksesi.
Adapun apa yang terjadi di masa Bani Umayah, Abbasiyah atau Utsmaniyah adalah penyalahgunaan sistem baiat, namun bukan metode nominasinya sendiri yang salah. Dalam sistem demokrasi juga ada nominasi. Hampir semua penerus perdana menteri (PM) pada sistem demokrasi parlementer dinominasikan oleh PM sebelumnya. Toh nominasi ini hanya akan berjalan dengan baik kalau diterima oleh Parlemen dan diperkuat pada Pemilu berikutnya.
Dalam sistem Khilafah, orang yang dicalonkan ini baru akan sah menjadi Khalifah dengan baiat. Baiat adalah akad antara umat (yang terwakili oleh tokoh-tokoh kunci kekuatan umat, yaitu di politik atau militer) yang siap taat dan membela seseorang agar menerapkan syariah Islam. Orang yang menerima baiat itulah yang kemudian menjadi khalifah, atau amirul mukminin, atau sultan atau sebutan lain yang sah. Karena itu, jika khalifah tidak lagi menerapkan syariah maka akadnya otomatis batal. Mahkamah Madzalim secara konstitusional dapat memecat khalifah. Pemecatan ini tentu saja baru akan efektif jika kekuatan politik dan militer mendukungnya—sebagaimana juga mereka adalah kunci ketika seorang khalifah naik tahta. Kondisi real politis ini ada pada sistem apapun.
Sebaiknya dalam melihat suatu sistem pemerintahan, kita tak hanya terpaku pada sistem suksesi atau peralihan kekuasaannya. Konstitusi manapun tidak hanya mengatur suksesi. Dalam UUD ‘45 hasil amandemen, soal suksesi hanya ada pada 3 pasal dari 37 pasal. Jadi, saat kita menilai kualitas sebuah negara, jangan pula hanya melihat suksesinya. Kalau mau jujur, Indonesia ini, meski telah melakukan suksesi secara sangat demokratis, kualitas kehidupan masyarakatnya justru semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita proklamasi. Sebaliknya, meskipun terjadi penyimpangan sebagian kecil khalifah pada masa lalu, mereka masih melindungi seluruh rakyatnya, mencerdaskannya, menjadikannya sejahtera, dan menorehkan sejarah peradaban yang mulia. Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah berhasil mensejahterakan rakyatnya dalam 2,5 tahun, padahal waktu itu kekuasaannya membentang dari Spanyol hingga Irak. Khalifah al-Rasyid dan al-Makmun dari Bani Abbasiyah mensponsori aktivitas keilmuan yang luar biasa. Al-Mu’tashim Billah dengan tegas menindak suatu negara boneka Romawi yang aparatnya melakukan pelecehan seksual atas Muslimah di negeri itu. Bayangkan dengan apa yang diperbuat Republik yang sangat demokratis ini pada ribuan perempuan buruh migran yang tidak cuma dilecehkan namun juga disiksa di luar negeri? Al-Qanuni dari Bani Utsmaniyah berhasil menahan—untuk beberapa abad kemudian—laju imperialisme kekaisaran-kekaisaran Eropa saat itu (Habsburg Austria, Tsar Rusia, dll). Andaikata Khilafah Utsmani ini tidak pernah ada, barangkali Islam belum berkembang di Indonesia seperti saat ini.
Khilafah: Negara Hukum, Bukan Totaliter
Sering menjadi pertanyaan pula adalah masalah check and balance. Sistem demokrasi sering dipuja-puja karena adanya trias politika atau pembagian/pemisahan kekuasaan: legislatif–eksekutif–yudikatif. Sebaliknya, kekuasaan khalifah seperti dalam kitab-kitab fikih dituduh terlalu besar, tidak cuma sebagai eksekutif, tetapi juga bisa merangkap legislatif dan yudikatif. Sebagai legislatif: meski ada Majelis Syura, hanya dalam soal masyura keputusan syura mengikat; sedangkan dalam hukum syariah keputusan syura tidak mengikat. Sebagai yudikatif: selama tidak menyangkut dirinya, khalifah boleh mengadili secara langsung suatu pertikaian.
Orang lupa bahwa dalam sistem demokrasi dengan trias politika, kepala negara tetap paling berkuasa. Undang-undang apapun, kalau presiden tidak menerapkan, ya tidak jalan. Presiden juga bisa membuat Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden agar suatu UU menjadi operasional. Adapun dalam soal yudikatif, faktanya presiden mempunyai kekuasaan memberikan amnesti, grasi, abolisi dan rehabilitasi—sesuatu yang justru dalam sistem Khilafah tidak ada ketika perkaranya menyangkut hudûd atau jinâyah.
Orang juga sering lupa bahwa di negara manapun, dengan sistem apapun, kualitas kekuasaan akan bergantung pada kualitas masyarakatnya! Pada negara demokratis dengan trias politika, bisa saja seluruh kekuasaan itu praktis pada satu partai atau bahkan satu tangan. Jika suatu partai yang populer menang mutlak dalam Pemilu, dia akan mendominasi legislatif dan eksekutif. Anggota yudikatif yang konon independen pun toh dipilih dari para ahli hukum oleh DPR. Di Indonesia kita melihat sendiri seperti apa kualitas lembaga legislatif dan yudikatif yang konon melakukan check and balance itu.
Di sisi lain, jika legislatif dan eksekutif didominasi partai yang berbeda memang check and balance akan lebih kuat, namun dalam banyak hal juga akan membuat pengambilan keputusan sangat lamban yang bahkan bisa membuat pemerintahan lumpuh.
Seberapa efektif kekuasaan itu juga sangat bergantung pada kekuatan politik dan militer yang mengawalnya. Di negara yang sangat diktator pun, pemimpin tertinggi (raja, presiden atau sekjen partai komunis) akan berpikir seribu kali agar keputusannya juga didukung para aristokrat, tokoh partai dan pemimpin militer. Pada awal tahun 90-an, politik di sejumlah negara (Jerman Timur, Polandia, Uni Soviet dan Afrika Selatan) berubah total meski tanpa Pemilu. Kuncinya adalah perubahan cara pandang para tokoh politik dan militer sehingga sejalan dengan aspirasi masyarakat. Jadi, kuncinya sangat bergantung pada kualitas masyarakat. Dari rahim merekalah lahir para pemimpin. Masyarakat yang cerdas akan memunculkan para pemimpin politik dan militer yang cerdas.
Dari sini kita akan dapat mengerti bahwa tidak mungkin seluruh khalifah pada masa Umayyah-Abbasiyah-Utsmaniyah itu memerintah secara totaliter. Kalau ini terjadi, pasti umur sistem itu tak akan lama. Faktanya, mereka meninggalkan peradaban yang besar dan masyarakat yang kuat.
Namun, menganggap sistem Khilafah awal sarat dengan nilai-nilai demokrasi juga menunjukkan kebutaan kita terhadap demokrasi. Demokrasi direduksi hanya dalam proses prosedur Pemilu (demokrasi prosedural). Orang-orang liberal pun paham akan hal ini sehingga mereka menentang kalau orang Islam hanya menggunakan demokrasi sebatas prosedural.
Sejatinya, dalam demokrasi itu ada asas sekularisme (penetralan kehidupan publik dari acuan agama apapun), asas liberalisme (kebebasan berpikir, berpendapat dan berperilaku sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain) serta asas kapitalisme (pasar bebas dengan modal sebagai panglima). Demokrasi boleh mempersoalkan apa saja (termasuk Islam), namun tidak boleh mempersoalkan ketiga asas penopangnya.
Sebaliknya, ide khilafah yang diusung HT sebenarnya tidak mempersoalkan pemilihan langsung oleh rakyat, sebab kekuasaan memang ditangan rakyat, namun menentang demokrasi dengan tiga asas penopangnya. Adakah demokrasi tanpa sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme? Negara mana contohnya?
Kesimpulan
Sistem Khilafah adalah sistem pemerintahan manusiawi yang menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum (kedaulatan dari Allah), namun kekuasaan adalah dari umat. Karena kekuasaan dari umat, maka ia akan mengikuti dinamika politik manusia yang ada di dunia. Ini adalah realitas yang harus dimengerti, baik oleh para pejuang Khilafah maupun mereka yang skeptis terhadapnya. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[Dr. Fahmi Amhar]
Daftar Pustaka:
Ali Muhammad Ash-Shalabi: Bangkit & Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Pustaka al-Kautsar, 2003.
Ibnu Khaldun: Muqaddimah. Edisi Indonesia oleh Pustaka Firdaus, 2000.
Robert Greene: The 48 Laws of Power. Edisi Indonesia oleh Karisma Publishing Groups, 2007.