Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Bang Fauzi Bowo (Foke) dan Priyanto telah terpilih dan dilantik sebagai gubernur & wakil gubernur DKI Jakarta yang baru. Namun terlalu pagi untuk pesta syukuran. Karena siapapun yang terpilih sebagai gubernur DKI, pasti akan segera pusing dihadapkan pada beberapa masalah serius ibu kota, yaitu: (1) kemacetan, (2) sampah, (3) banjir, (4) layanan umum dan (5) kemiskinan. Masalah kemiskinan sangat terkait erat dengan keamanan.
Persoalan transportasi begitu mengemuka karena lebih dari dua juta orang setiap hari masuk Jakarta, dan mereka menghabiskan 4-5 jam setiap hari di jalan raya. Energi yang terbuang percuma di jalanan karena kemacetan ditaksir mencapai 30% konsumsi energi ibu kota. Demikian juga pengeluaran warga kelas bawah di Jakarta hampir 30% ada di sektor transportasi. Seorang buruh dengan penghasilan UMR di bawah Rp. 1 juta, akan mengeluarkan ongkos untuk dirinya sendiri ke tempat kerja minimal Rp. 4000 / hari atau lebih dari Rp 100.000/bulan.
Kemacetan adalah problema transportasi. Tata ruang yang buruk menyebabkan warga yang bekerja di dalam kota harus tinggal di permukiman kumuh yang tak layak atau jauh di pinggiran, menyebabkan kebutuhan transportasi yang tinggi, yang saat ini tidak terlayani dengan angkutan umum massal yang memadai. Kuncinya sebenarnya pada penyediaan sebanyak mungkin permukiman susun di tengah kota yang dekat dengan tempat kerja. Agar permukiman susun ini tidak salah sasaran, Jakarta perlu secepatnya menerapkan Single Identity Number (SIN) untuk tiap penduduknya. SIN bersama sistem informasi penduduk yang handal, dapat mendeteksi dengan cepat warga yang memang belum memiliki tempat tinggal, atau tempat tinggalnya terlalu jauh dari lokasi kerjanya.
Dengan demikian, strategi pertama adalah ”reduce”, atau mengurangi kebutuhan transportasi melalui pola tata ruang yang optimal. Strategi kedua adalah ”(sha)re-use”, atau penggunaan bersama/berulang – artinya mendorong transportasi umum massal yang optimal. Untuk Jakarta seharusnya yang ideal adalah monorel. Namun entah kenapa, teknologi yang ditawarkan selalu terlalu mahal, sehingga tidak ada investor – termasuk BUMN atau BUMD pemda DKI sendiri – yang berani maju. Yang sudah operasional baru busway, yang sebenarnya tidak benar-benar signifikan dalam memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum massal. Sebagian besar pengguna busway sekarang sebenarnya sudah pengguna angkutan umum juga, hanya karena kebetulan tujuannya terlayani jalur busway sehingga merasa lebih untung naik busway yang lebih cepat (karena melalui jalur khusus) dan murah (karena satu tarif ke manapun). Namun beberapa koridor busway justru menimbulkan masalah baru, misalnya ketika busway itu bersilangan dengan jalur kendaraan yang akan masuk/keluar tol. Strategi ketiga adalah ”re-cycle” – artinya penggunaan cycle atau sepeda. Jakarta adalah kota yang datar, yang sangat mungkin orang menggunakan sepeda. Namun saat ini sangat sulit menemukan sepeda melewati jalan-jalan protokol. Jakarta adalah kota yang sangat tidak ramah pada pengguna sepeda. Tidak ada jalur khusus sepeda seperti di kota-kota besar Eropa. Padahal bersepeda sangat sehat, hemat dan tidak menimbulkan polusi. Kalaupun merasa jarak tempuh cukup jauh, sekarang sudah banyak sepeda listrik yang dapat memiliki jarak tempuh 40 km. Malam hari baterei sepeda itu dapat diisi ulang di rumah. Sayang teknologi yang antara lain dikembangkan oleh LIPI ini tidak banyak dilirik.
Strategi reduce, re-use dan re-cycle juga ditemukan untuk mengatasi sampah. Bertahun-tahun DKI harus ”berantem” dengan masyarakat sekitar Tempat Pembuangan Akhir di Bantargebang Bekasi atau Bojong Bogor. Sampah apapun harus dikurangi. Dengan pemisahan sampah yang benar (logam – gelas – plastik – kertas – bio – khusus), sampah-sampah tertentu dapat digunakan kembali (reuse) atau didaur ulang (recycle). Jadi teknologi mengatasi sampah tidak sebatas landfill atau inscenerator. Teknologi reuse & recycle akan membuka lapangan kerja yang luas. Di lapangan sudah banyak orang yang mengais rizki sebagai pemulung. Tinggal diciptakan pola kerja yang lebih manusiawi dan sehat untuk mereka saja.
Kalau tata ruang dapat dibenahi dan sampah teratasi, banjir juga lebih mudah teratasi. Memang banjir tidak hanya persoalan tata ruang dan sampah. Namun tata ruang yang salah adalah penyebab rusaknya daerah resapan air. Dan sampah adalah penyebab utama pendangkalan saluran, macetnya pompa dan tidak optimalnya pintu air. Barangkali jika Banjir Kanal Timur sudah adapun, dia tak akan banyak berfungsi lantaran penuh dengan sampah. Makanya rencana pemda DKI membangun terowongan dalam serba guna atau Multi Purpose Deep Tunnel (MPDT) yang di musim kering jadi terowongan tol, dan di musim banjir jadi pembuang air harus dikritisi. Dengan volume sampah seperti sekarang, bisa saja terowongan itu hanya sekali pakai – setelah itu tidak dapat dipakai lagi karena sampahnya nyaris mustahil dibersihkan lagi.
DKI yang dihuni hampir 10 juta jiwa memang sudah saatnya memerlukan sistem layanan umum yang canggih. Namun sekarang, jangankan untuk mendapatkan layanan mudah dan murah untuk KTP, akte kelahiran atau pemakaman, untuk mendapat informasi tentang bagaimana cara mendapatkan pelayanan saja di DKI susah. Datang ke dinas-dinas, kita sering dihadang oleh jam kerja yang tidak jelas dan SDM yang kurang kompeten. Sedang teknologi internet yang sebenarnya dapat digunakan untuk layanan 24 jam malah kurang dimanfaatkan. Masak DKI yang punya APBD terbesar dan dekat dengan para pakar harus kalah dengan misalnya Kabupaten Takalar yang justru sudah menerapkan e-government dengan berhasil?
Kalau masalah transportasi, sampah, banjir dan layanan umum teratasi, mengatasi kemiskinan juga akan terasa jauh lebih mudah. Kemiskinan di DKI terasa di depan pelupuk mata. Di mana-mana ada pengemis. Namun kita justru diancam denda bila bersedekah pada pengemis, sementara pemerintah juga praktis tidak berbuat banyak. Malah bikin peraturan yang mengancam denda Rp 50 juta bagi pengemis atau pengamen. Tetapi ini hanya aturan konyol yang tidak akan operasional. Kalau punya 50 juta ngapain ngemis atau ngamen? Atau kita sudah terlalu stress dengan kemacetan sehingga tak sempat lagi berfikir jernih bagaimana mengatasi kemiskinan?
Memang tidak ada teknologi untuk mengatasi kemiskinan. Namun banyak hal yang bisa digerakkan untuk mengatasi masalah di DKI (kemacetan, sampah, banjir, layanan), yang semestinya mampu membuka banyak lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan. Lagi-lagi diperlukan sistem informasi penduduk yang handal. Kemiskinan bukan sekedar angka-angka statistik atas penghasilan perkapita, tetapi realita bagi seorang bocah harus terdampar di jalanan, seorang janda menjadi pelacur untuk membelikan susu bayinya, dan seorang ayah kebingungan membawa jasad anaknya yang sakit dan kemudian mati di atas gerobak sampahnya.
DKI harus lebih manusiawi, dengan teknologi yang tepat, di atas landasan yang berkah, yaitu syariah!
(dimuat di Suara Islam no. 31 minggu I-II November 2007)
Dr. Fahmi Amhar
Alumnus Vienna University
Peneliti Sejarah Islam.
Konferensi Khilafah Internasional (KKI) yang digagas oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus 2007 lalu mulai menuai bola salju. Di harian Media Indonesia 24 Agustus 2007 lalu muncul dua tulisan yang mempersoalkan ide-ide HTI.
M. Hasibullah Satrawi (alumnus al-Azhar Kairo) mempertanyakan prosedur pemerintahan seperti apa yang hendak diciptakan? Satrawi menganggap HTI mengalami kerancuan paradigma, yang di satu sisi ingin menegakkan pemerintahan khilafah (yang menurutnya pada masa awal Islam sarat dengan nilai-nilai demokrasi), tetapi di sisi lain HTI anti demokrasi. Bahkan dia pertanyakan apakah HTI sama atau memang Khawarij baru – suatu hal yang juga dilontarkan oleh kelompok Salafi.
Sedang Zuhairi Misrawi (Direktur Moderate Muslim Society) menggunakan pendekatan hermeneutik. Istilah khalifah dan khilafah dikatakan mengalami perkembangan dan partikularisasi, dari “mandat Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia apapun agamanya” menjadi “justifikasi dan legitimasi suatu klan politik”. Kedaulatan Tuhan atau sistem khilafah menurutnya adalah kalimat mulia tapi maknanya bisa menjadi batil.
Lepas dari soal setuju atau tidak dengan isinya, keberadaan dua tulisan itu dapat bernilai positif, dan justru diharapkan oleh HTI untuk membuka perdebatan ilmiah yang mengandalkan kekuatan logika. Sepanjang pergumulan saya dengan gerakan HT selama lebih kurang 17 tahun, saya melihat bahwa gerakan ini sangat concern dengan adu argumentasi ilmiah, dan bukan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengandalkan logika kekuatan. Justru logika kekuatan ini yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh penguasa negeri ini, yang mencekal dan mendeportasi dua pembicara KKI dari Luar Negeri, serta melarang dan menekan beberapa tokoh Dalam Negeri agar tidak berorasi di forum KKI.
Sebenarnya apa yang dipersoalkan oleh dua penulis di atas, sudah terjawab oleh buku-buku HT sendiri. Dalam buku Ajjihzah daulatih khilafah (Struktur Negara Khilafah) yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir (Internasional) tahun 2005, ditegaskan bahwa sistem khilafah adalah sistem manusia dan bersifat duniawi. Khalifah juga manusia, dan negara Khilafah bukan negara teokrasi.
Meskipun istilah Khalifah dipakai secara umum di dalam Qur’an Surat al-Baqarah ayat 30 (Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”), namun Rasul telah dengan jelas membatasi istilah itu untuk pemerintahan pasca Nabi. Nabi bersabda dalam hadits riwayat Muslim: “Dulu Bani Israel diurus dan dipelihara oleh para nabi. Setiap seorang nabi meninggal, nabi yang menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah, dan mereka banyak”. Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang kau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus”.
Di hadits yang lain Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara, sehingga melarang munculnya kepala negara tandingan. Dalam hadits riwayat Muslim tersebut Nabi secara eksplisit menggunakan istilah khalifah untuk kepala negara kaum muslimin: Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya”.
Tentang mekanisme pemilihan khalifah, apa yang terjadi pada masa khulafaur Rasyidin, dan diamnya mereka melihat mekanisme pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa keempatnya adalah sah sebagai model. Hal ini karena ada sabda Nabi: “Ummatku tidak akan sepakat dalam kemungkaran”. HT menyimpulkan bahwa kesepakatan (ijma’) para sahabat (dan hanya berlaku untuk para sahabat Nabi) adalah sebuah sumber hukum.
Karena itu bagi HT mekanisme itu sangat jelas. Khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar; atau dengan nominasi khalifah sebelumnya seperti Umar; atau dengan suatu komite pemilihan seperti Utsman atau dengan suatu pengambil alihan di saat terjadi vacuum of power seperti Ali. Keempat model ini semuanya absah pada saat yang tepat. Jadi keliru untuk mengatakan bahwa Islam atau sistem khilafah tidak memiliki model suksesi.
Sedang apa yang terjadi di masa dinasti Umayah, Abbasiyah atau Utsmaniyah adalah penyalahgunaan sistem nominasi. Namun bukan metode nominasinya sendiri yang salah. Dalam sistem demokrasi juga ada nominasi. Hampir semua penerus Perdana Menteri pada sistem demokrasi parlementer adalah dinominasikan oleh PM sebelumnya. Toh nominasi ini hanya akan berjalan dengan baik kalau diterima oleh Parlemen dan diperkuat lagi oleh pemilu berikutnya.
Dalam sistem khilafah, nominasi ini baru akan sah ketika ada baiat. Baiat adalah semacam kontrak antara umat (yang terwakili oleh tokoh-tokoh kunci kekuatan umat, yaitu di politik atau militer) yang siap taat dan membela seseorang agar menerapkan syariat Islam. Orang yang menerima baiat itulah yang kemudian menjadi khalifah, atau amirul mukminin, atau sultan atau sebutan lain yang sah.
Sebaiknya kalau kita meneropong suatu sistem pemerintahan, kita jangan hanya terpaku pada sistem suksesinya. Konstitusi negara manapun tidak hanya mengatur suksesi. Di UUD 45 hasil amandemen, soal suksesi hanya ada pada 3 pasal dari 37 pasal. Maka, ketika kita menilai kualitas sebuah negara, jangan pula hanya dilihat suksesinya. Kalau kita mau jujur, Indonesia ini meski sukses melakukan suksesi secara demokratis, tetapi kualitas kehidupan masyarakatnya justru semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita proklamasi.
Sementara, se-despot apapun para khalifah Islam di masa lalu, mereka masih melindungi rakyatnya, mencerdaskannya, menjadikannya sejahtera, dan menorehkan sejarah peradaban emas Islam. Umar bin Abdul Azis dari bani Umayyah berhasil mensejahterakan rakyatnya dalam 2,5 tahun, padahal waktu itu kekuasaanya membentang dari Spanyol hingga Iraq. Khalifah al Rasyid dan al Makmun dari bani Abbasiyah mensponsori aktivitas keilmuan yang luar biasa di masanya. Al Mu’tashim Billah dengan tegas menindak suatu negara boneka Romawi yang serdadunya melakukan pelecehan seksual atas wanita muslimah di negeri itu. Bayangkan dengan apa yang diperbuat Republik Indonesia yang sangat demokratis pemilunya ini pada ribuan perempuan buruh migran yang tidak cuma dilecehkan namun juga disiksa di luar negeri? Al Qanuni dari bani Utsmaniyah berhasil menahan – untuk beberapa abad kemudian – laju imperialisme kekaisaran-kekaisaran Eropa saat itu (Habsburg Austria, Tsar Russia, dll). Andaikata khilafah Utsmani ini tidak pernah ada, barangkali Islam belum berkembang di Indonesia seperti saat ini.
Menganggap sistem khilafah awal sarat dengan nilai-nilai demokrasi justru menunjukkan kebutaan kita terhadap demokrasi. Demokrasi direduksi hanya dalam proses pemilu (demokrasi prosedural). Orang-orang Islam liberal pun sangat paham akan hal ini, sehingga merekapun menentang kalau orang hanya menggunakan demokrasi sebatas prosedural. Padahal dalam demokrasi itu juga ada asas sekulerisme (penetralan kehidupan publik dari acuan agama apapun), asas liberalisme (kebebasan berpikir, berpendapat dan berperilaku sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain) serta asas kapitalisme (pasar bebas dengan modal sebagai panglima). Demokrasi boleh mempersoalkan apa saja (termasuk Islam), namun tidak boleh mempersoalkan ketiga asas pendampingnya. Sementara itu ide khilafah yang diusung HT sebenarnya tidak pernah mempersoalkan demokrasi sebagai prosedur, namun menentang keras tiga asas pendampingnya. Adakah demokrasi tanpa sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme? Negara mana contohnya? Kalau anda yakin jawabannya ada, mungkin anda masih bermimpi!
oleh Fahmi Amhar
Kalian bertanya tentang apa itu kekerasan?
Tanyakan pada televisi yang tayangan smackdownnya berhasil menyedot iklan
Tanyakan pada petugas tramtib yang sehari-hari dengan PKL berkejar-kejaran
Tanyakan pada satpol pamong praja yang harus menggusur kolong jalan tol atau jembatan
Tanyakan pada senior STPDN tentang yuniornya yang perlu tambahan pelajaran
Tanyakan juga pada Mr. Bush tentang pemerintah negara yang tidak menganggapnya majikan: “either you are with us, or you are with terrorist !!!!”
Kalian bertanya tentang seperti apa rasanya kekerasan?
Tanyakan pada anak sekolah, yang gurunya stress karena gaji kecil tapi bejibun kewajiban
Tanyakan pada orang udik yang datang-datang ke Jakarta sudah ditodong atau kecopetan
Tanyakan pada para perempuan, yang suaminya selingkuh, pulang mabuk dan ringan tangan
Tanyakan pada para wartawan, ketika narasumbernya tak rela kasusnya diungkapkan
Tanyakan pada para korban, di Palestina, di Irak atau di Afghanistan: “bagaimana rasanya anakmu hilang, ayahmu dibunuh atau istrimu diperkosa … ”
Kini kalian bertanya tentang hakekat kekerasan?
Kalian tak rela ajaran agama apapun dipersangkutpautkan
Kalian ingin, Islam lebih-lebih, tidak mentolerir apalagi mengajarkan kekerasan
Kalian lebih suka, bila pipi kiri ditampar, berikan pipa kanan tanpa sungkan-sungkan
Kalian setuju, biarlah para pemeluk agama yang taat itu cinta damai dan anti kekerasan
Tapi apakah lantas sepak terjak kapitalis penjajah itu seterusnya kita biarkan?
Ya Allah
Aku menyembahmu tanpa paksaan
Aku belajar menghadapmu lima waktu, tanpa orang tuaku mengancam dengan pukulan
Aku tidak berzina atau mencuri, bukan karena aku takut hukum rajam atau potong tangan
Aku bisa mengendalikan diriku sendiri ya Allah, karena Engkau sinari hatiku dengan iman
Namun Engkau Maha Tahu ya Allah, di luar sana ada orang-orang yang memuja setan
Hawa nafsu syahwat politik atau ekonomi atau budaya mereka tak tertahankan
Mereka injak-injak syari’atmu, meski syari’at itu Kau buat demi rahmat seluruh insan
Untuk itulah aku kira, Engkau turunkan beberapa syariat berbau kekerasan
Tetapi tidak untuk digunakan sembrono, serampangan dan asal-asalan
Melainkan semata-mata untuk menjaga tegaknya mizan keadilan.
Aku percaya keadilanmu ya Allah
Ampunilah dosa-dosaku.