Dr.-Ing. Fahmi Amhar
dimuat di Suara Islam, minggu III-IV November 2006
Salah satu yang akan dikeluhkan oleh warga Bogor menjelang kunjungan Presiden Amerika George Walker Bush tanggal 20 November 2006 nanti adalah pematian ponsel selama 10 jam. Aktivitas ini tidak dilakukan oleh provider ponsel melainkan merupakan SOP para pengawal Bush demi mengamankan sang penjagal umat Islam di Afghanistan dan Irak itu. Untuk kunjungan 6 jam itu pemerintah menganggarkan minimal Rp. 6 Milyar, 18000 personil keamanan, menutup hampir seluruh jalan protokol di Bogor (yang memang hampir semuanya bersentuhan dengan Kebun Raya Bogor, tempat mendarat Bush) dan meliburkan sekolah-sekolah. Biaya sosial dan ekonomi yang ditanggung masyarakat Bogor akan jauh berlipat-lipat.
Ketika lalu lintas macet karena berbagai penutupan jalan, maka komunikasi seluler adalah salah satu jalan keluar bagi orang-orang yang memiliki urusan. Namun apa daya, saat kunjungan itu, telekomunikasi seluler (dan juga handy-talky) juga dimatikan.
Pematian ponsel adalah salah satu bentuk radio jamming. Ponsel menggunakan suatu informasi terkode yang ditumpangkan (dimodulasikan) di atas gelombang radio pembawa (carrier). Gelombang radio memiliki sifat dapat berinterferensi dengan gelombang radio lain yang fasenya berbeda. Interferensi membuat kedua gelombang itu saling memusnahkan (bila beda fasenya persis setengah gelombang) atau minimal jadi sangat terganggu. Walhasil kedua gelombang jadi “kacau” atau “mati”.
Untuk gelombang ponsel, ketika frekuensi pembawanya kacau, maka dapat dipastikan kode yang termodulasi di atasnya (baik TDMA seperti pada GSM maupun CDMA) tidak bisa lagi diterjemahkan. Dan hasilnya, ponsel itu akan “mati. Secara teknis dapat dibuat suatu pemancar multi-frekuensi untuk menginterferensi seluruh gelombang radio yang ada. Khusus untuk mengganggu provider seluler, alat ini disebut cell phone jammer.
Alat sejenis juga dipakai untuk mematikan seluruh pemancar radio atau televisi (broadcasting), handytalky, remote control yang menggunakan radio (bukan yang dengan inframerah) dan juga peralatan radar. Konon pesawat siluman Stealth selain memiliki body yang tidak tertangkap oleh radar, juga mampu mematikan radar musuh. Istilah mematikan sebenarnya tidak pas, karena alatnya sendiri sebenarnya tidak mati. Hanya alat itu tidak efektif lagi karena pancaran gelombangnya praktis dimatikan dengan interferensi.
Cell phone jammer biasanya dipakai di area-area di mana komunikasi seluler dapat mengganggu atau bahkan berbahaya, misalnya di tempat ibadah, perpustakaan, gedung teater atau ruang operasi di rumah sakit. Juga untuk membatasi spionase di gedung-gedung tertentu. Alat ini jauh lebih murah daripada “sangkar Faraday” yang dulu dipakai untuk menolak seluruh gelombang radio masuk ke dalam ruangan tertentu. Sangkar Faraday biasanya dipasang di dalam gedung, dan tak mudah dipindah-pindahkan. Namun untuk keperluan khusus, misalnya menangkal peralatan yang dikendalikan dari jarak jauh dengan radio (bom, robot mata-mata) sangkar Faraday jelas masih lebih aman.
Di masa lalu, ketika telephon seluler masih analog, cukup suatu jammer sederhana buat mematikannya. Namun dengan era digital, apalagi era 3G, perlu peralatan jammer yang juga lebih canggih.
Operasional
Jammer akan mengisolir ponsel dengan mengirim keluar gelombang radio dengan frekuensi yang sama dengan yang dipakai ponsel. Ini menyebabkan interferensi atau gangguan yang cukup sehingga komunikasi dari ponsel ke menara BTS praktis tidak bisa digunakan. Pengguna akan merasakan seperti diluar jangkauan layanan.
Mayoritas ponsel menggunakan band (kanal) yang berbeda untuk mengirim dan menerima informasi dari menara. Maka jammer akan bekerja dengan mengganggu frekuensi dari ponsel ke menara atau sebaliknya.
Model Jammer kecil ukuran tangan akan memblok seluruh kanal dari 800 MHz hingga 1900 MHz di dalam radius 10 meter. Jammer besar yang mahal seperti TRJ-89 dapat mencapai radius 8 kilometer. Jammer yang kuat ini juga bisa berbahaya karena dapat mengganggu alat-alat kedokteran, misalnya alat pacu jantung. Namun pada umumnya, alat-alat ini bekerja dengan power di bawah 1 Watt untuk mencegah beberapa masalah.
Di peperangan, penggunaan jammer baik untuk mematikan telekomunikasi, broadcast (radio/TV) maupun radar adalah termasuk bagian dari perang elektronik. Orang memimpikan dapat melindungi negerinya dari serangan pesawat atau rudal musuh cukup dengan mengganggu gelombang radionya. Rudal nuklir sekalipun, hanya dapat mencapai sasaran bila sistem navigasinya tetap berfungsi. Bila sistem navigasi ini hanya mengandalkan GPS, radar dan kontrol radio, maka dia akan dapat mudah dipatahkan dengan jammer. Ada dugaan bahwa peristiwa pesawat yang menabrak menara WTC tanggal 9 September 2001 adalah pesawat yang telah dijam seluruh sistem radionya, sementara radar Angkatan Udara juga telah dijam sehingga tidak melihat apa-apa di layar. Pesawat itu hanya tinggal bisa dilihat langsung secara visual.
Karena itu para ilmuwan sistem kontrol kemudian mengembangkan navigasi mandiri yang tidak tergantung gelombang radio. Navigasi ini memakai prinsip inersia dalam fisika, sehingga disebut inertial navigation system.
Demikian juga, para pengawal Bush tentunya juga harus memakai sistem telekomunikasi yang lain ketika seluruh gelombang radionya sendiri di-jam. Salah satu model yang akan selamat dari radio-jammer adalah menggunakan komunikasi inframerah atau ultrasonik. Meski sama-sama gelombang elektromagnetik, namun sinar inframerah memiliki sifat cahaya, yang berbeda dengan gelombang radio. Komunikasi inframerah dapat mencapai tempat yang jauh selama tidak ada penghalang yang berarti. Sedang ultrasonik adalah gelombang suara pada frekuensi yang tak terdengar telinga manusia, dan tak berinteraksi dengan gelombang elektromagnetik.
Ketika seluruh gelombang radio yang operasional dijam oleh peralatan para pengawal Bush, maka para polisi biasa dan satpam Kebun Raya yang tidak dilengkapi alat komunikasi khusus juga tidak akan bisa berkomunikasi jarak jauh. Kalau pramuka jaman dulu mungkin masih bisa pakai semaphore atau kode asap, atau Ki Gendeng Pamungkas mungkin bisa pakai telepathy. Tapi sama siapa?
Begitulah teknologi yang ada saat ini. Manfaatnya tergantung pada siapa yang menggunakan. Dan untuk tujuan apa orang menggunakan, tergantung dari ideologi yang diyakininya.
Tanpa sengaja, ketika membuka kotretan-kotretan lama,
saya menemukan kembali dua rangkaian kata-kata
yang saya tulis beberapa masa yang telah lama tiada.
Mungkin bisa jadi inspirasi untuk anda semua …
Wassalam
Fahmi Amhar
(** Sastrawan Jalanan yang kesasar jadi Peneliti …. 🙂
—————————————————————–
Mariott
Hotel ini Mariott namanya, bukan Mak Erot
Lantai marmer, lampu kristal, pokoknya mewah
Tapi tidak punya tempat ibadah
Tempat peserta seminar melepas lelah
Hotel ini Mariott namanya, bukan Mak Erot
Hawa dingin AC menusuk-nusuk tulang
Aku heran kenapa segitu banyak uang
Hanya untuk membuat investor asing senang
Hotel ini Mariott namanya, bukan Mak Erot
Datanglah wahai bule, investasikan uangmu di sini
Bukalah kesempatan kerja untuk ribuan anak negeri
Kita sudah tak punya uang sendiri, semua habis dikorupsi
Hotel ini Mariott namanya, bukan Mak Erot
Tahun duaributiga dia dibom oleh teroris
Yakni mereka yang sepintas ditampakkan lebih agamis
Padahal boleh jadi di belakangnya negara adidaya iblis
Hotel ini Mariott namanya, bukan Mak Erot
Seribu pertanyaan, seribu misteri
Seribu kebingungan, seribu ilusi
Ah andaikata syari’at jadi sumber inspirasi …
(FIG-Regional Conference, Hotel JW Mariott Jakarta, 4-6 Oktober 2004)
—————————————————————–
Janji
Apakah janji tinggal janji
Dan rakyat cuma gigit jari
Menonton para pejabat berpesta-pora di sana sini
Bila dua belas juta penganggur terbuka diidentifikasi
Sementara setengah penganggur tigapuluh juta diestimasi
Mereka adalah bara yang tinggal ditiup untuk menjadi api
Bila tanah rakyat digusur tanpa henti
Sedang sumber daya air jadi milik korporasi
Namun pertambangan di hutan lindung justru oleh hukum dipagari
Bila BUMN terus diprivatisasi
Sehingga harga BBM bakal meroket lagi
Lalu listrikpun makin mahal walau sering mati
Bila pendidikan terus dikapitalisasi
Maka kekerasan pelajar akan terus menghias televisi
Lalu jadi apa anak cucu kita nanti
Bila kita butuh solusi
Untuk selamatkan negeri dari azab Ilahi
Tak ada selain terapkan Islam di negeri ini
(saat anggota DPR RI disumpah, Oktober 2004)
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal
Tsunami terjadi lagi. Senin sore 17 Juli 2006 gempa tektonik berkekuatan di atas 6 Skala Richter di lepas pantai Ciamis mengakibatkan tsunami melanda pantai Pangandaran dan sekitarnya. Sementara gempa ini tidak begitu dirasakan di daerah lainnya (yang barangkali di atas sub-lempeng yang berbeda), tsunami telah menghancurkan daerah wisata itu. Puluhan jiwa dipastikan tewas dan lainnya dinyatakan hilang. Orang masih bisa mengatakan, “Untung tsunami tidak terjadi saat puncak liburan sekolah kemarin”. Perisitiwa ini mengingatkan kita pada tsunami di Maumere beberapa tahun yang silam. Artinya, penyebab utama kehancurannya adalah tsunami, bukan gempanya itu sendiri.
Antara tsunami dan gempa hanya tersisa waktu beberapa menit. Setelah gempa di dasar laut, pergerakan vertikal lempeng akan memicu gelombang air sangat pesat, yang dapat mencapai pantai dengan kecepatan ratusan kilometer per jam sesuai dengan topografi dasar laut.
Sayang proyek Tsunami Early Warning System (TEWS) yang didanai Jerman dan dikerjakan bersama oleh BPPT, BMG, Bakosurtanal dan lain-lain baru saja mulai. Namun tsunami sudah datang lebih awal, tanpa menunggu sistem ini terbangun. Walhasil, harap maklum bila masyarakat panik.
Sebenarnyalah, hampir seluruh pantai Samudra Hindia dari Aceh hingga NTT rawan tsunami. Pantai itu persis di front terdepan perbatasan lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Maka sudah seharusnya bila di sepanjang garis rawan ini dipasangi jaring sistem peringatan dini tsunami, selain terus melatih penduduk secara teratur sampai tercipta suatu kebiasaan, suatu local wisdom terhadap tsunami, sebagaimana sudah terbentuk di kepulauan Simeulue.
Secara sederhana, TEWS itu akan bekerja seperti ini: sejumlah sensor akan bekerja sekaligus untuk memantau (1) pusat gempa (seismograf dipasang pada stasiun geofisika); (2) muka laut (dipasang pada stasiun pasang surut); dan (3) tekanan air di dasar laut (dipasang di dasar laut lepas pantai dan terhubung dengan buoy di permukaan laut). Seluruh sensor akan memasok data ke suatu superkomputer melalui telekomunikasi satelit.
Ketika gempa terjadi, pertama-tama minimal tiga seismograf akan mengukur pusat gempa. Dalam hitungan detik, bila akan terjadi tsunami, secara mendadak sensor muka laut akan mencatat perubahan tinggi muka laut, dan sensor dasar laut akan merasakan perubahan tekanan air. Seluruh data ini akan diolah di superkomputer, dan dalam beberapa menit saja sudah akan disimpulkan apakah gempa itu akan menimbulkan tsunami. Kalau ya, sampai batas mana tsunami itu akan menimbulkan kerusakan.
Keputusan itu dalam beberapa detik saja akan mengaktifkan sirene di daerah pantai yang terancam tsunami serta mengirim pesan pendek (sms) ke seluruh telepon seluler, terutama yang sedang berada di kawasan rawan.
TEWS tidak akan mencegah tsunami. Namun TEWS akan memberi waktu sekitar 15 hingga 30 menit kepada penduduk di daerah bahaya untuk segera menyelamatkan diri. Bila tata ruang di kawasan itu sudah diantisipasi sedemikian rupa, maka orang cukup mengungsi ke escapes area, yang dapat berupa perbukitan terdekat atau bangunan kokoh yang tingginya signifikan di atas tinggi gelombang tsunami. Jadi peringatan dini ini tidak dalam hitungan hari atau minggu, tetapi menit! Artinya tanpa adanya escapes area dan latihan sebelumnya, orang tidak akan siap untuk mengevakuasi diri secara cepat, dan TEWS yang berharga ratusan milyar itu tidak akan efektif.
Adanya potensi tsunami di daerah pantai selatan pasti telah membuat penghuninya kurang tenang. Isu tsunami yang bakal melanda kota Padang telah memicu sejumlah penghuni pantai untuk menjual murah rumah dan tanahnya. Sebenarnya, jauh sebelum kejadian tsunami di Aceh, banyak pakar telah memperkirakan suatu “efek domino” bila terjadi gempa di batas dua lempeng raksasa ini. Tentu saja prediksi semacam ini sering dianggap paranoia ilmuwan. Konsekuensinya memang luas. Memang tidak mudah menata ulang kota-kota yang menghadap pantai selatan, dari Padang hingga Denpasar. Namun apa mesti menunggu tsunami menghantam habis mereka?
Energi yang tersimpan dalam gerakan lempeng benua ini masih sangat banyak, masih cukup untuk membuat ribuan gempa dan ribuan tsunami. Kita tidak akan mampu memaksa alam mengikuti keinginan kita. Kitalah yang harus menyesuaikan diri hidup bersama mereka. Mereka tidak pernah menunggu kesiapan kita. Kitalah yang harus selalu menyiapkan diri, agar ketika mereka datang, bencana ini tidak menghabiskan modal kita.
Sebenarnya (bencana) itu akan datang kepada mereka dengan sekonyong-konyong lalu membuat mereka menjadi panik, maka mereka tidak sanggup menolaknya dan tidak (pula) mereka diberi tangguh. (Qs. 21-al-Anbiya’:40)
Bagi orang yang beriman, kepastian akan adanya maut yang tiba-tiba itu akan memotivasi mereka untuk selalu memaksimalkan amal sholehnya di dunia. Ketika modal sirna, amal sholehlah yang tersisa. Maka mereka tak menunggu modal hidup mereka hilang sia-sia tersapu bencana. Mereka selalu menyiapkan diri, dengan memaksimalkan amal, agar ketika Yang Maha Kuasa menarik “pinjaman-Nya”, mereka dalam keadaan prima.
Dan jika (amalan itu) hanya seberat debupun pasti kami mendatangkan balasannya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan. (Qs. 21:47)