Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Strategi Marketing Informasi Spasial

Sunday, January 3rd, 2010

Dr.-Ing. Fahmi Amhar

Peneliti Teknologi Pemetaan Digital Bakosurtanal

Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong

Telp/fax. 021-87901254  email: famhar @telkom.net

 Abstrak

Strategi marketing menurut Hermawan Kartajaya (one of “Marketing Guru”, who shaped the world of marketing) dapat dringkas dalam 9 prinsip.  Prinsip-prinsip ini ternyata bisa diterapkan dalam berbagai aplikasi, baik di perusahaan besar, BUMN, jasa konsultasi, professional, bahkan hingga sampai ke personal (misalnya bagi seseorang yang ingin menjalani satu karier tertentu). 

Pada tulisan ini 9 prinsip itu dicoba diterapkan untuk meningkatkan “daya jual” kemampuan penyediaan data, informasi dan solusi spasial dari dunia data spasial, khususnya Bakosurtanal.

 

Gambar 1. Sketsa model 9 prinsip dalam marketing

 

Prinsip 1 – 3: Explore MIND SHARE

 

Prinsip-1 (mapping strategy) : Segmentation
– View Your Market Creatively

Bagi suatu institusi publik LPND seperti Bakosurtanal, market mereka adalah masyarakat.  Masyarakat ini dari sisi latar belakang ada yang telah melek peta (data spasial) dan ada belum (map illiteracy); yang melekpun ada yang telah menggunakan produk Bakosurtanal ada yang belum.  Dari sisi respon terhadap produk, ada yang negatif, positif dan netral.  Dari sisi sosiologis didapatkan berbagai latarbelakang:  dari aspek kelembagaan (Bappeda, Dinas, BUMN, swasta, akademik, LSM), finansial (kurang, rata-rata, mampu), pendidikan (rendah, rata-rata, tinggi), lingkungan (rural, urban, metro), budaya (tradisional, modern, liberal), serta kedekatan kepada peta (jauh, standar, kental).

Apa yang perlu dibidik oleh Bakosurtanal khususnya dan dunia data spasial umumnya secara spesifik?  Mungkin di suatu tempat, prioritas ditujukan ke Bappeda, sementara di tempat lain ke mahasiswa atau LSM. 

Ibaratnya kita tidak boleh melihat semua pihak sebagai hutan, namun sebagai pohon, yang masing-masing bisa berbeda.  Maka kita perlu kelompokkan yang karakternya kurang lebih sama – agar diakses dengan “bahasa” yang sama, atau oleh person dengan karakter sama.  Kita juga akan tahu sikap dan perilaku yang tepat ketika berinteraksi dengan tiap segmen itu, sehingga marketing akan sampai, tidak belum-belum sudah ditolak, hanya karena ketaksesuaian metode pendekatan komunikasi kita, misalnya karena bahasa yang kita gunakan terlalu teknis, terlalu “spasial” – belum empati kepada calon konsumen.

 

Prinsip-2 (fitting strategy) : Targeting
– Allocate Your Resources Effectively

Karena kita memiliki sumberdaya yang terbatas, baik dari sisi jumlah orang, waktu maupun dana, maka mau tak mau harus ada skala prioritas.  Inilah targeting.  Mana yang akan kita bidik duluan, meski tidak berarti melalaikan segmen yang lain.

Sebelumnya kita mesti melihat dulu di mana potensi dan kekuatan kita.  Target memang sedikit banyak tergantung pada kompetensi kita.  Kita harus memastikan bahwa pada segmen yang kita tuju itu kita mempunyai possibility yang besar untuk diterima.  Kalau kita menyapa target itu, dan kemudian timbul respon atau diskusi, maka itu berarti kita akan mendapatkan kemajuan.  Namun sebagaimana sniper, kita memang perlu mengalokasikan waktu, tenaga dan pikiran, terutama untuk target utama kita.  Baru sisanya untuk target berikutnya.

 

 

 

Gambar 2. Posisi Bakosurtanal (sebagai company) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

 

 

 

Dalam hal ini, Hermawan memberi ide analisis TOWS – kebalikan dari SWOT (lihat gambar-2).  Dalam TOWS ini, yang dilihat pertama-tama adalah Threat (tantangan).  Tantangan muncul dari 3C (Customer, Competitor dan Change). 

Customer memiliki permintaan yang beraneka ragam (dari mulai keinginan membuat peta yang setiap rumah kelihatan, sampai yang satu kabupaten bisa muat dalam selembar untuk ditaruh di meja rapat). 

Competitor meliputi berbagai institusi yang mengklaim diri mampu menyediakan data hingga solusi spasial dengan cepat (LAPAN, BPPT, Perguruan Tinggi, swasta) selain “clasic competitor” (Dittop-AD, Dishidros-AL, BPN, DKP). 

Change meliputi perubahan-perubahan teknologi (hadirinya 4S – GPS, GIS, RS dan e/m-BussinesS), regulasi (UU Akses Informasi, UU Perlindungan Konsumen, RUU Rahasia Negara) dan perubahan sosial budaya yang inkremental (seperti penggunaan PDA dan GPS yang makin luas).

Namun tantangan inipun diimbangi dengan Opportunity – peluang menjadikan Bakosurtanal sebagai content-provider berbagai jenis location based service.  Walaupun kita juga tahu bahwa untuk itu masih ada banyak Weakness (kelemahan) yang masih harus diatasi, terutama SDM yang benar-benar cakap manajemen dan melek informatika. 

Namun kita tetap harus berbesar hati dengan apa yang telah dimiliki, terutama data yang begitu besar dengan kualitas terbaik yang mencakup seluruh Indonesia, juga dengan SDM yang berpengalaman dan berpendidikan tinggi.  Selain juga jangan dilupakan posisi quasi-monopolistik yang masih ada, serta intangible assets berupa jaringan kerjasama yang telah dirintis selama ini.

 

Prinsip-3 (being strategy) : Positioning
– Lead Your Customers Credibly

Kalau kita mendatangi suatu lembaga dan menawarkan produk atau jasa kita, mereka akan bertanya, siapakah kita ini? 

Karena itu agar aktivitas Bakosurtanal ini menancap dengan baik di dada customer, maka Bakosurtanal harus kredibel di mata customernya.  Kredibilitas ini akan didapat ketika orang percaya bahwa kita ini unik dan membuktikan keunikan itu dengan produk dan jasa yang berkualitas nomor satu.  Bahkan Bakosurtanal tidak hanya siap dengan produk unik sebagai sekedar komoditas, namun juga siap dengan produk yang memuaskan, bahkan memberi “sensasi” dan solusi. Kalau perlu tunjanglah hal itu dengan track-record selama ini, agar positioning itu kuat dan kita memang punya kredibilitas untuk itu.

Positioning bukan sesuatu yang bisa didapat dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan dan dipupuk dengan differentiating dan branding.

 

 

 

 

Gambar 3. Produk yang unik dan “beda” dan relevan pada kebutuhan pengguna

 

 

Prinsip 4-6: Engage MARKET SHARE

 

Prinsip-4 (core tactic) : Differentiation
– Integrate Your Content and Context

Dalam berlomba-lomba bersama para “competitor”, kita harus menentukan kuat di mana dan mendiferensiasi di content atau context.  Paling tidak satu dari ini harus beda dengan competitor.  Akan lebih baik kalau content memang informatif, akurat atau berkualitas, dan context juga cantik, sistematik, pokoknya menarik orang untuk menyimak.

Content dan context harus terintegrasi dengan baik.  Karena kita bergerak dalam informasi spasial ya contentnya harus spatially.  Dan karena kita mass data provider – bukan sekedar riset, atau malah presentasi belaka – ya contextnya harus benar-benar memberikan apa yang dibutuhkan orang dalam mengatasi problemnya, bukan sekedar wacana ilmiah atau seminar tiada akhir (lihat gambar-3).

 

Differentiation of Bakosurtanal

 

We don’t make any map,
but 3D-topographic map

We don’t map just a garden or a city,
but national wide

We don’t map for specific purpose,
but for all purposes

We don’t offer just map,
but spatial data infrastructure

We are not just a mapping institute,
but also a “university of mapping”

We are not just a spatial data factory,
but we do also advance research in spatial data

We are not the only or the first in mapping,
but we are the most experienced in Indonesia

 

 

 

Prinsip-5 (creation tactic) : Marketing Mix
– Integrate Your Offer and Access

Marketing mix meliputi 4P yakni Product, Price, Place dan Promotion.  Dalam merancang marketing mix ini kita harus kembali pada diferensiasi.  Kita mau different di bidang apa?  Kita misalnya ingin menjadi provider infrastruktur data spasial, maka orang harus mengingat kita sebagai penyedia yang paling ahli atas infrastruktur data spasial.  Kita harus bicara mengenai data spasial dengan segenap aspeknya.  Apapun persoalannya, harus kembali ke infrastruktur data spasial yang dalam tataran praktis baru akan sempurna bila diimplementasikan oleh semua stakeholder.  Jadi diferensiasi harus diingat dulu agar tidak salah arah.

Kemudian kita harus susun product, price, place dan promotion agar cocok dengan diferensiasi tadi.  Produk kita jelas yakni infrastruktur data spasial, mulai dari titik-titik kontrol, data gaya berat, pasut, foto-foto udara, peta dasar rupabumi dan wilayah cetak maupun digital dalam berbagai formatnya, gasetir toponimi, hingga ke berbagai atlas. 

Pricenya adalah apa yang perlu diberikan oleh customer?  Secara makro, masyarakat adalah customer yang membayar Bakosurtanal melalui mekanisme pajak dan APBN.  Sedang secara mikro, berbagai pihak membeli data, informasi atau solusinya secara langsung dalam bentuk PNBP.

Gabungan antara product dan price ini disebut Offer.  Offer adalah apa yang kita tawarkan kepada orang.  Kita punya “servis”.  Kita juga memasang “harga”.

Selain itu kita juga harus bisa diakses melalui place dan promotion.  Kita bisa diakses lewat channel mana?  Kalau orang mau produk ini, dia harus kemana?  Bagaimana kita bisa diakses juga sebaiknya direncanakan, misalnya melalui suatu website, kartunama standar yang lengkap dengan nomor telepon atau HP. 

 

Prinsip-6 (capture tactic) : Selling
– Build Long-term Relationship with Customer

Kita harus berani melakukan selling, tapi jangan hard selling atau menjual secara frontal.  Tapi kalau terlalu pasif juga salah.  Jadi ”seling is about art”.

Kita bisa menjual feature selling dengan menjual apa yang kita ada, benefit selling dengan menjual manfaat yang akan didapat customer bila “beli” kita.  Namun yang terbagus adalah menjual solusi.

Ini artinya, jangan terpaku pada PNBP dari penjualan data.  Andaikata seluruh data atau peta habis terjual pun, revenuenya tidak akan menutup investasi (yang untungnya ditanggung negara melalui APBN).  Produk pemetaan tidak seperti produk industri rekaman.  Investasi satu nomor lembar peta dapat mencapai Rp. 100 juta; sementara berapa exemplar peta yang akan terjual dengan harga Rp. 30.000/hardcopy atau Rp. 500.000/softcopy? 

Karena itu lebih baik bermain pada benefit-selling.  PNBP bisa didapat dari customization, memberikan solusi pada pengguna, termasuk juga memberikan update atau training. Dan untuk memperluas pasar ini, tidak ada salahnya untuk mencoba membagikan data secara gratis (pada segmen pasar tertentu), dan kemudian melihat peluang bisnis derivatifnya.  Jadi rugi (sedikit) pada feature selling namun untung banyak di benefit selling.

Setelah itu kita harus terus menjaga relationship dengan pelanggan.  Hubungan ini berlanjut terus, meski pelanggan sudah (pernah) membeli kita.

Kita bisa mengingatkan pelanggan dengan suatu newsletter atau mailing-list yang menginformasikan produk baru kita atau kemungkinan update data yang mereka miliki.  Kita perlu mengadakan semacam “Bakosurtanal User Meeting” secara teratur sehingga hubungan dengan customer terus berlanjut.

 

 

Prinsip 7-9: Execute HEART SHARE

 

Prinsip-7 (value indicator) : Brand
– Avoid the Commodity-Like Trap

Jangan anggap nama sekedar nama.  Nama itu penting dan orang harus mengetahui asosiasi apa yang melekat dengan nama kita.  Kita punya kewajiban membangun brand kita sendiri, baik sebagai individu professional maupun sebagai “kru Bakosurtanal”.  Walau awalnya adalah secara “kecil-kecilan” hanya di forum-forum “klasik” seperti Bappeda (Tata Ruang) atau Tata Pemerintahan (Tata Batas), tapi harus meningkat sehingga juga merambah ke dunia bisnis atau infotainment (informasi yang dikemas sebagai entertainment), sehingga makin banyak yang mengenal kita.  Menulis di media, tampil di acara publik, atau muncul di televisi adalah salah satu usaha melakukan branding.

Setelah itu jaga nama baik kita.  Jangan sampai kita keseringan mengumbar janji tapi tidak mampu memenuhinya (promise under delivery). 

Lebih baik kita rugi materi, tidak apa asal jangan sampai nama kita jatuh.  Sekali nama tercemar, kerugiannya akan lebih besar daripada yang diperkirakan.

 

 

Brand image Bakosurtanal

 

Spatial information

Sistematics – Nationwide

Quality – Accurate

 

 

Prinsip-8 (value enhancer) : Service
– Make Service as Your Way of Life

Dalam tingkatan intelektual, ilmu-ilmu servis memang harus dipelajari dengan baik, bagaimana memperlakukan orang yang butuh pelayanan, bagaimana melakukan orang dengan empati, bagaimana menghadapi orang yang tidak tahu namun sok tahu, dan sebagainya.

Namun kita juga harus belajar mengenali mood kita sendiri, dan mengindentifikasi mood orang lain.  Dengan ini kita bisa menyesuaikan servis kita secara tepat, dengan empati yang lebih besar.

Dan supaya pelayanan menjadi mantap, kita harus berusaha menganggap servis sudah menjadi tugas kita di dunia.  Artinya, bagi staf Bakosurtanal, jangan sampai mencurahkan perhatian kepada masalah pemetaan hanya dilakukan ketika ada tugas saja atau ketika ada kompensasi materi (UPK) saja.  Di sinilah perlunya spiritual commitment, sehingga aktivitas marketing akan makin bersifat spiritiual.

 

Prinsip-9 (value enabler) : Process
– Improve Your Quality, Cost and Delivery

Menjadi terkenal atau memberikan servis yang baik tidak cukup, tetapi harus diperhatikan bahwa kita memberikan servis yang sesungguhnya.  Dan ini sebuah proses.  Di dalam segala proses ini kualitas harus dijaga, cost harus efisien dan bisa diberikan tepat waktu.  Ada tiga proses, yaitu : 1) proses pekerjaan kita sehari-hari; 2) proses menangani keluhan atau permintaan “pelanggan”; dan 3) proses penciptaan suatu servis baru yang kreatif.

Demikianlah, Branding yang baik ini akan menaikkan Positioning Bakosurtanal, sehingga posisi tawarnyapun akan jauh lebih baik dari sebelumnya.

 

 

 

Gambar 4. Spiral peningkatkan posisi suatu institusi dengan marketing yang tepat

 

 

Daftar Pustaka:

Kartajaya, H. (2004): Marketing Your Self.  Markplus.

Agustian, A.G. (2001): ESQ Power.

India, negeri masa lalu dan masa depan.

Sunday, February 22nd, 2009

Dr. Fahmi Amhar

 

Apa yang anda pikirkan mendengar “India” disebut?  Tentang agama Hindu?  Mahatma Gandhi?  Bollywood?  Martabak (yang ternyata di India tidak ada)?  Bajay?  Atau Teknologi Informasi?

Penulis ke India pada Februari 2009, menghadiri konferensi “Map World Forum” di Hyderabad selama seminggu.  Penulis belum menjelajahi India, belum melihat langsung Taj Mahal apalagi Bollywood, namun semoga cukuplah merasakan India di kota terbesar ke empat India setelah Mumbai (dulu Bombai), Delhi, dan Kolkata (dulu Calcutta).

Hyderabad yang berpenduduk hampir 7 juta adalah ibu kota negara bagian Andhra Pradesh.

Sejarah Hyderabad dimulai dari 1463, ketika panglima Quli Qutb-ul-Mulk mendirikan benteng Golconda untuk memadamkan pemberontakan di kawasan Telanggana.  Pada 1518 dia memisahkan diri dari Sultan Bahmani dan menyebut dirinya sendiri sultan.  Nama Hyderabad diambil dari nama istrinya yang semula bernama Bhagyanagar, namun setelah masuk Islam kemudian bernama Hyder Mahal, sehingga dia namakan kota itu Hyderabad.

Pada 1591 cucunya memerintahkan untuk mendirikan Charminar, suatu monumen yang di atasnya terdapat masjid, sebagai tanda syukur atas keberhasilannya mengatasi penyakit menular.

Dinasti Qutb berkuasa sampai 1687 hingga penguasa Mughal Aurangzeb mengalahkannya dan mengambil alih Hyderabad.  Dia mengangkat gubernur dengan julukan Nizam-ul-Mulk.  Pada 1724 Nizam Asaf Jah I menyatakan merdeka dari Mughal setelah tampak tanda-tanda kemundurannya.  Pada 1763, Hyderabad membuat aliansi pertahanan dengan Inggris sehingga menjadi negara terbesar di bawah “asuhan” British-India.  Negeri ini adalah yang terkaya di wilayah India, hingga pada tahun 1930-an, majalah Time meranking Nizam sebagai orang terkaya di dunia.

Pada 1947 dengan kemerdekaan India, Nizam ke-7 lebih menginginkan bergabung dengan Pakistan mengingat populasi muslim di Hyderabad sangat tinggi.  Namun India segera mengirim tentaranya dan mengakhiri kekuasaan Islam di Hyderabad.

Hyderabad kini adalah sebuah kota yang penuh kontradiksi.  Suasana jalanan adalah khas dunia ketiga: kumuh, semrawut, bising oleh bunyi klakson dan deru knalpot auto-rickshaw (taksi berbentuk bajay, sebagian berargometer).  Lokasi wisata seperti Charminar, istana Nizam dan masjid Makkah (disebut masjid Makkah karena ada serpihan dari Hajar Aswad di sana), dikelilingi pedagang kaki lima.  Di mana-mana pengemis yang dekil meminta uang kepada orang berwajah asing.

Namun Hyderabad juga “kota masa depan” India.  Hyderabad berkompetisi dengan kota India yang lain Bangalore dan Chennai menjadi sentra IT dunia.  Microsoft, Google, Oracle dan perusahan software India terkemuka “Wipro” berkantor pusat di Hyderabad.  Sebuah kota technology (Hitech-city) telah dibangun.  Bahkan Hyderabad sering diplesetkan jadi “Cyberabad”.

India dengan penduduknya yang 1,15 Milyar manusia, memang potensi pasar yang sangat besar.  Dari tahun 1950-an hingga 1980-an, India menganut paham sosialis.  Uni Soviet yang berseteru dengan Cina mencoba merangkul India agar menjadi sekutunya.  Kebetulan India punya masalah dengan Cina di Tibet.  Karena India digaet Soviet maka Amerika Serikat merangkul Pakistan untuk menghadapinya.  Kebetulan Pakistan punya masalah dengan India di Kasymir.  Kedua adidaya ini sama-sama membekali sekutunya dengan nuklir.  Setelah masing-masing memiliki nuklir inilah, India dan Pakistan tidak pernah lagi perang terbuka.

Setelah Uni Soviet melakukan glasnost dan perestroika, India pelan-pelan meninggalkan sosialisme yang penuh dengan korupsi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah.  Sejak 1991, India sebagaimana Cina, sepenuhnya masuk ke sistem kapitalisme, yang membuatnya meroket menjadi adidaya ekonomi baru.  Selepas runtuhnya Soviet, AS juga kini merangkul India guna mengimbangi Cina dan menekan kebangkitan Islam di Asia Selatan.

Di India terdapat 154 juta Muslim.  Meski cuma 13,4% populasi, rata-rata tingkat pendidikan mereka jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional.  Tingkat melek huruf nasional (literacy rate) India adalah 64,8 %, namun di kalangan muslim bisa lebih dari 91%.  Itu juga barangkali alasan Inggris dulu menghasut agar India dibagi dua menjadi India yang mayoritas Hindu dan Pakistan yang mayoritas muslim.  Kalau tidak dibagi, pasti lambat laun yang berkuasa adalah muslim, karena mereka memiliki bekal intelektual yang lebih tinggi.  Sebagai negara sekuler, India pernah memiliki presiden yang muslim, Dr. Abdul Kalam, yang juga menjadi Bapak Nuklir India.  Sekarang wakil presidennya yang muslim, Muhammad Hamid Anshari.

Dengan sejarah dan komposisi penduduk India seperti ini, budaya India menjadi ditandai dengan derajat yang tinggi pada sinkretisme dan pluralisme.  Hindu sebagai agama mayoritas di India, ternyata memiliki ribuan sekte, dan tidak sedikit sekte yang memiliki keyakinan yang bertentangan dengan kemajuan.  Namun satu hal yang positif dari pemeluk Hindu dan Budha adalah kebiasaan makan vegetarian.  Dapat dibayangkan kesulitan pangan yang akan dialami bila ratusan juta orang tiba-tiba meninggalkan kebiasaan vegetariannya.

Sementara itu bekal kemandirian yang dibangun di era sosialisme menjadikan mereka memiliki harga diri untuk masuk ke pasar global sebagai subjek, bukan hanya sebagai objek.  Oleh sebab itu kita akan banyak menyaksikan bahwa di India, kendaraan yang dominan di jalanan adalah TATA dan BAJAY, buatan India sendiri.  Semua mobil impor (yang di jalanan cuma sedikit) pasti bermitra dengan merek lokal.

Meski masih 42% (atau 483 juta orang!) penduduknya yang hidup di bawah garis kemiskinan (US$ 1,25 / hari), India tidak menghalangi pengembangan teknologi tinggi.  Teknologi roket peluncur ruang angkasa dan satelit India kini sudah setara dengan yang dimiliki Amerika atau Uni Eropa.  Teknologi ini bahkan sudah dikomersilkan dan menghasilkan devisa yang besar.  Beberapa universitas di India, sekalipun bangunannya sederhana, dan beasiswa S3-nya cuma Rs 4800 (sekitar Rp. 1 juta), masuk dalam 100 perguruan tinggi sains terbaik dunia.  Kapitalisme tidak mengubah keyakinan India untuk tetap mensupport pendidikan dan riset teknologi sebagai sebuah investasi.  Kalau di India ada makanan yang murah, itu adalah makanan kelas jalanan atau kaki lima.  Namun kalau tentang buku yang murah, itu ternyata juga belaku pada buku-buku teknologi atau manajemen standar Internasional, dengan harga seperlima atau sepersepuluhnya.  India berhasil menaruh subsidi pada pendidikan, termasuk pada buku.

GIS untuk Pemetaan Bahasa

Friday, August 15th, 2008

GIS untuk Pemetaan Bahasa

Dr.-Ing. Fahmi Amhar

Abstrak

Dengan perangkat Sistem Informasi Geografi (GIS), data sebaran bahasa, dialek dan fonem akan lebih mudah untuk disajikan dan dianalisis.  Pada tulisan ini akan disampaikan beberapa bentuk analisis serta penyajian data bahasa dengan GIS, dari sekedar presentasi hingga korelasi spasial antar “layer” bahasa, sintesis data sebaran bahasa dengan data statistik, serta simulasi dengan GIS untuk menunjang aktivitas penelitian bahasa, misalnya untuk menentukan area kerja.

1      Sistem Informasi Geografi

GIS adalah sistem berbasis komputer yang didesain untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek serta fenomena, di mana lokasi geografi adalah karakteristik penting atau kritis terhadap hasil analisis (Aronoff, 1989).

Dengan GIS data yang telah diakuisi dari dunia nyata akan lebih mudah ditata sehingga lebih fleksibel diakses, diteliti lebih dalam, dianalisis serta disajikan, untuk kemudian dijadikan alat bantu para pengambil keputusan (decission support system) dalam bertindak di dunia nyata.

Sementara itu data sebaran bahasa, dialek dan fonem dapat dipandang sebagai atribut yang tercode atas suatu lokasi geografi, baik dengan kode wilayah, batas administrasi, atau juga batas-batas budaya baik yang ditentukan dengan perkiraan maupun yang diukur dengan alat seperti Global Positioning System (GPS).

Salah satu software GIS yang banyak dipakai di Indonesia – dan kemudian dijadikan alat eksperimen dalam tulisan ini adalah Arc/View dari ESRI.  Arc/View adalah suatu software yang memiliki kemampuan database dan sekaligus penyajian secara spasial.  Dalam Arc/View, data geometri dapat dimasukkan (didigitasi langsung); diimpor dari format software lain; diedit; ditambahkan berbagai data attribut; disajikan secara selektif menurut kriteria lokasi atau thema tertentu dengan berbagai variasi bentuk tampilan (jenis simbol, warna atau arsiran); dikombinasikan dengan berbagai data yang berbeda (seperti spatial join, intersection, union, …) dsb.  Kemampuan semacam ini hanya ada dalam software-software GIS, dan belum ada dalam software grafika seperti Corel Draw atau software editing seperti AutoCAD.

Selain Arc/View – yang harga resminya relatif mahal – ada juga software GIS yang lebih murah – dengan kemampuan lebih terbatas – misalnya Mapinfo, atau bahkan software GIS yang sama sekali gratis, misalnya GRASS atau TatukGIS.

 

 

Gambar 1 – Tampilan software Arc/View (tampilan warna-warni tiap kecamatan)
dan TatukGIS (tampilan desa yang terseleksi oleh lingkaran)

 

2        Analisis Sebaran Bahasa dengan GIS

Data spasial dan data atribut bahasa dapat digunakan bersama-sama untuk membuat peta tematik (special purpose maps) dan untuk mendapatkan suatu informasi atas area geografi tertentu.  Data tersebut juga dapat dipakai untuk analisis yang lebih khusus, di antaranya adalah pengalamatan suatu fenomena yang hanya diketahui dalam dialek tertentu (address matching), pengelompokan komunitas berdasarkan bahasa atau dialek yang dominan (district delineation) hingga seleksi route untuk suatu pekerjaan tertentu yang terkait bahasa (route selection).

Bentuk data yang paling sederhana adalah pencacahan bahasa atau dialek yang digunakan per satuan administrasi.  Untuk bahasa daerah yang dominan, barangkali satuan administrasi kabupaten / Kota dapat digunakan.  Pusat Bahasa adalah organ di bawah Depdiknas, yang juga memiliki jaringan dinas-dinas di setiap Kabupaten / Kota.  Untuk itu tidak terlalu sulit kiranya untuk melakukan inventarisasi – misalnya dengan mengetahui bahasa daerah yang diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah di Kabupaten / Kota tersebut.  Dengan itu akan didapatkan tabel dengan dua kolom utama: KabKota – Bahasa.  Tentunya akan ada sejumlah daerah dengan bahasa yang sama.

Berikut ini adalah contoh simulasi untuk wilayah propinsi.


Tabel-1 Data simulasi sebaran bahasa daerah yang dominan di tiap provinsi

 

PROVINSI

Bahasa Daerah yang Dominan

PROVINSI

Bahasa Daerah yang Dominan

NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Aceh

NUSATENGGARA BARAT

Sasak

SUMATERA UTARA

Melayu

NUSATENGGARA TIMUR

Sasak

RIAU

Melayu

KALIMANTAN BARAT

Dayak

KEPULAUAN RIAU

Melayu

KALIMANTAN TENGAH

Dayak

SUMATERA BARAT

Minang

KALIMANTAN TIMUR

Dayak

JAMBI

Melayu

KALIMANTAN SELATAN

Banjar

BENGKULU

Melayu

SULAWESI UTARA

Manado

SUMATERA SELATAN

Melayu

GORONTALO

Gorontalo

BANGKA-BELITUNG

Melayu

SULAWESI TENGAH

Kaili

LAMPUNG

Lampung

SULAWESI BARAT

Bugis

BANTEN

Banten

SULAWESI SELATAN

Makassar

DKI JAKARTA

Betawi

SULAWESI TENGGARA

Bugis

JAWA BARAT

Sunda

MALUKU

Ambon

JAWA TENGAH

Jawa

MALUKU UTARA

Ternate

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Jawa

PAPUA

Papua

JAWA TIMUR

Jawa

IRIANJAYA BARAT

Papua

BALI

Bali

 

 

 

 Gambar 2 – Tampilan peta sebaran bahasa daerah
Geometri Kabupaten berdasarkan data dari Pusat PDRTR Bakosurtanal, 2005
Attribut bahasa daerah yang dominan berdasarkan data simulasi

 

Sedang untuk dialek, diperlukan satuan administrasi yang lebih rinci, misalnya Kecamatan, atau bahkan Desa.  Pembagian ini tidak harus kaku, karena tentunya akan ada data yang hanya dapat / perlu dilacak ke level kecamatan saja, ada juga daerah yang diperlukan pelacakan sampai desa – misalnya di Papua di mana area kecamatan sangat luas dan dihuni oleh berbagai suku yang memiliki dialek berbeda-beda.

 

 

Gambar 3 – Tampilan peta sebaran dialek di Kab. Puncak Jaya pada Arc/View
Geometri Desa berdasarkan data dari BPS, 2003
Attribut dialek berdasarkan data simulasi (disamakan dengan Kecamatan)

 

Selain itu harus disadari adanya sebaran dialek yang bahkan lebih rinci lagi dari area desa, sehingga tidak dapat dipetakan sesuai batas administratifnya.  Untuk itu dapat digunakan simbol (point) pada koordinat tempat dialek ditemukan (pada umumnya centroid suatu permukiman), atau grafik tambahan (theme / layer terpisah) bahkan dapat overlap dengan batas administratif.

Secara umum, batas sebaran bahasa memang harus ditaruh pada layer terpisah dari batas administrasi karena memiliki sifat-sifat yang berbeda.  Namun di sisi lain dibutuhkan mekanisme untuk menjamin agar dapat dilakukan link dengan berbagai data yang hanya bisa diakses sesuai batas administrasi – misalnya data statistik kependudukan atau ekonomi.

Penggunaannya antara lain untuk mengetahui bahasa apa yang penuturnya paling sedikit, atau ekonominya pada level terrendah – sehingga dikhawatirkan bahasa itu akan punah.  Pada sisi lain, peta bahasa ini dapat digunakan untuk agregasi daerah-daerah dengan kultur budaya yang kurang lebih homogen – karena bahasa dapat menunjukkan pola budaya yang mirip.

Pada level yang lain terdapat pemetaan penggunaan fonem untuk objek yang sama, misalnya Air – Ayer – Aik – Cai.  Peta fonem ini jauh lebih terbatas, dan tersedia dalam bentuk tabel-tabel dengan dua kolom utama: Fonem – KodeWilayah, di mana daerah ini sering diisi dengan data kode daerah secara sekuensial, misalnya sebagai berikut:

 

Fonem Kode daerah tempat ditemukannya
Fonem-1 1, 3, 5-8, 11
Fonem-2 2,4,10
Fonem-3 9

 

Bentuk kolom ini harus diubah agar memenuhi syarat sebagai data relasional dengan kunci pada lokasi, sehingga kolom KodeWilayah harus ditaruh di depan.

 

KodeDaerah Fonem yang ditemukan

1

Fonem-1

2

Fonem-2

3

Fonem-1

4

Fonem-2

5

Fonem-1

6

Fonem-1

7

Fonem-1

8

Fonem-1

9

Fonem-3

10

Fonem-2

11

Fonem-1

 

Selain itu ada juga bentuk tabel di Pusat Bahasa yang berisi ratusan kolom (sehingga kertas tabel itu digulung seperti perkamen kuno).  Setiap kolom pada baris pertama s.d ketiga berisi informasi wilayah (mungkin Kabupaten-Kecamatan-Desa).  Kemudian di bawahnya berisi daftar fonem.

 

Kab Kab-A Kab-A Kab-A Kab-B Kab-B
Kec Kec-a Kec-a Kec-b Kec-a Kec-b
Desa Desa-1 Desa-2 Desa-1 Desa-1 Desa-1
Fonem-1 Fonem-Aa1-1 Fonem-Aa2-1 Fonem-Ab1-1 Fonem-Ba1-1 Fonem-Bb1-1
Fonem-2 Fonem-Aa1-2 Fonem-Aa2-2 Fonem-Ab1-2 Fonem-Ba1-2 Fonem-Bb1-2
Fonem-3 Fonem-Aa1-3 Fonem-Aa2-3 Fonem-Ab1-3 Fonem-Ba1-3 Fonem-Bb1-3
Fonem-4 Fonem-Aa1-4 Fonem-Aa2-4 Fonem-Ab1-4 Fonem-Ba1-4 Fonem-Bb1-4
Fonem-5 Fonem-Aa1-5 Fonem-Aa2-5 Fonem-Ab1-5 Fonem-Ba1-5 Fonem-Bb1-5
Fonem-n Fonem-Aa1-n Fonem-Aa2-n Fonem-Ab1-n Fonem-Ba1-n Fonem-Bb1-n

 

Tabel inipun harus ditransposisi.  Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, misalnya dengan Excel (fungsi TRANSPOSE(array)).  Yang penting adalah huruf fonetik yang dipakai bisa terus dipakai di Excel dan nantinya di Arc/View.

 

Kode Fonem-1 Fonem-2 Fonem-3 Fonem-4 Fonem-5 Fonem-n
Aa1 Fonem-Aa1-1 Fonem-Aa1-2 Fonem-Aa1-3 Fonem-Aa1-4 Fonem-Aa1-5 Fonem-Aa1-n
Aa2 Fonem-Aa2-1 Fonem-Aa2-2 Fonem-Aa2-3 Fonem-Aa2-4 Fonem-Aa2-5 Fonem-Aa2-n
Ab1 Fonem-Ab1-1 Fonem-Ab1-2 Fonem-Ab1-3 Fonem-Ab1-4 Fonem-Ab1-5 Fonem-Ab1-n
Ba1 Fonem-Ba1-1 Fonem-Ba1-2 Fonem-Ba1-3 Fonem-Ba1-4 Fonem-Ba1-5 Fonem-Ba1-n
Bb1 Fonem-Bb1-1 Fonem-Bb1-2 Fonem-Bb1-3 Fonem-Bb1-4 Fonem-Bb1-5 Fonem-Bb1-n
 

 

Penggambarannya adalah dengan langsung memplot fonem yang berfungsi sebagai atribut itu pada posisinya (pada Arc/View fungsi AutoLabel).  Idealnya peta fonem ini dibuat setiap lembar untuk satu jenis objek, sehingga bila ada 250 objek maka akan tercipta 250 lembar peta se Indonesia, yang tiap lembarnya berisi varian-varian istilah untuk objek yang sama.

Misalnya untuk objek “sungai”, di Aceh disebut “Alue”, di Sumatera Selatan “Way”, di Jawa Barat “Ci”, di Jawa Tengah “Kali” hingga di Timor “Mota”.  Para ahli toponimi biasa mengenali bahwa istilah-istilah tersebut adalah nama generik untuk sungai (lihat Spesifikasi Pemetaan Rupabumi).  Tentu saja spesifikasi dari objek air tersebut (misalnya ukuran sungai) di tiap bahasa tetap bisa bervariasi.

Dapat juga yang dipetakan adalah arti dari bunyi / ucapan yang sama di berbagai tempat, sehingga bila suatu kata – misalnya – “atos” memiliki banyak arti (“sudah” di Jawa Barat, “keras” di Jawa Tengah, dan sebagainya), maka yang dijadikan judul peta adalah “atos”.

3. Analisis Lanjut dengan GIS-Bahasa

Teknik Address-Matching memungkinkan berbagai data dari file terpisah digabungkan dengan suatu common georeferenced address, misalnya data sebaran bahasa dengan data populasi, pendapatan perkapita dengan distribusi sekolah.  Dengan demikian bisa didapat berapa jumlah penutur suatu bahasa daerah / dialek, dan apakah mereka tergolong komunitas yang sejahtera.  Suatu bahasa lokal yang hanya ditututkan oleh kalangan yang secara ekonomi kurang beruntung serta kurang berpendidikan, dapat dipastikan lambat laun akan hilang.  Bila ternyata di masa silam pada bahasa itu tersimpan khasanah ilmu pengetahuan (lontar-lontar kuno berisi sejarah, pusaka atau resep obat-obatan), maka ilmu pengetahuan inipun akan terkubur bersamanya.

Gambar 4.  Contoh variasi sajian statistik dari penutur bahasa

Bahkan teknik ini memungkinkan melakukan sintesis antara data statistik dengan non-statistik, untuk mengetahui korelasi di antara mereka, dengan syarat, masing-masing data memiliki relevansi geografi.  Contoh analisis dengan metode ini adalah untuk mendapatkan korelasi antara kemiskinan di suatu tempat dengan penguasaan / penggunaan bahasa / dialek yang dominan.

Dalam hal data yang dipakai hanya data statistik, sebenarnya bisa diterapkan GIS “non-geometrik”, misalnya hanya menggunakan kode wilayah atau topologi sederhana.  Untuk analisis non geometrik, dari peta rupabumi sebenarnya cukup diambil kelas batas administrasi dan kelas nama-nama geografi, atau maksimal kelas jaringan jalan (untuk topologinya).

Teknik District Delineation adalah prosedur untuk mendefinisikan suatu area secara kompak dengan satu atribut atau lebih.  Misalnya untuk membagi daerah sosialisasi suatu program pemerintah berdasarkan populasi dengan bahasa lokal yang kurang lebih sama – sehingga diasumsikan memiliki budaya yang mirip.  Informasi bahasa didapat dari data atribut sedang informasi untuk mendefinisikan batas diambil dari data spasial.

4  Kesimpulan

GIS mempermudah penyajian data sebaran bahasa, membuka serangkaian analisis baru yang terintegrasi dengan data spasial dari peta dasar digital, serta mempermudah aktivitas survey statistik sendiri.  Namun kualitas hasil analisis dengan GIS tidak akan berbeda jauh dengan kualitas data yang merupakan masukkannya, bahkan bisa jadi kualitas analisis ini akan lebih jelek dari kualitas data bila petugas analis tidak memperhatikan tingkat akurasi maupun tingkat kemutakhiran data yang dipakainya.

Referensi

Amhar, F. (1999) GIS untuk Analisis dan Penyajian Data Statistik; presented paper pada Seminar “Statistika Sebagai Solusi Problematika Ilmiah dan Bisnis” BPS, Jakarta 20 April 1999

Aronoff (1989): Geographic Information Systems: A Management Perspective.  WDL Publ. Ottawa. 294 pp.

Bakosurtanal (2003): Spesifikasi Pemetaan Rupabumi.

Prahasta, E. (2002): Sistem Informasi Geografis: tutorial-ArcView.  Informatika, Bandung.


 

[1] disampaikan pada workshop “GIS untuk Pemetaan Bahasa”
Pusat Bahasa Depdiknas, Jakarta 24 Maret 2006

[2] Peneliti pada Lab Pemetaan Digital, Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang (PDRTR)
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong
Telp/fax. (021) 87901254,  email: famhar@yahoo.com